Kenaikan BM impor tembakau tunggu persetujuan Menko

Kementerian Perdagangan telah selesai menggodok aturan tentang impor tembakau dan tengah menunggu persetujuan dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Pengenaan cukai pada impor bertujuan agar pelaku industri rokok menyerap produksi tembakau lokal.

JAKARTA (alfijak): “Pertimbangannya supaya pelaku industri memprioritaskan produk dalam negeri,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan di Auditorium Kementerian Perdagangan, Jakarta, Kamis (4/1).

Alasannya, industri masih memilih tembakau hasil produksi luar negeri. Aturan dibuat untuk menetapkan metode serap yang jelas.

Nantinya, mekanisme impor berdasarkan Rekomendasi Impor Produk Holtikultura (RIPH) untuk kalkulasi serapan lokal dari Kementerian Pertanian dan hasil perhitungan Kementerian Keuangan.

Aturan ini juga dipertegas dengan kemungkinan kenaikan bea masuk tembakau.

“Selain itu (produk) tembakau yang tidak diproduksi di sini juga akan dikenakan bea masuk,” ujarnya, beberapa waktu lalu.

Oke mencontohkan, jika pelaku industri melakukan produksi rokok sebesar 5 kilogram, nantinya harus dilakukan penyerapan produk lokal sebesar 3 kilogram dan baru diizinkan untuk mengimpor 2 kilogram.

Setelah mendapatkan persetujuan, regulasi berbentuk Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) akan dibawa ke Kementerian Hukum dan HAM untuk diundangkan.

Sementara, pelaku usaha khawatir larangan dan pembatasan impor dapat menyebabkan penurunan daya saing dan produktivitas industri dalam negeri karena bahan baku dalam negeri belum mencukupi pemenuhan industri lokal.

Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moeftie menyebutkan kebutuhan tembakau sebagai bahan baku industri rokok dalam negeri sekitar 300 ribu ton per tahun. Tapi, produksi tembakau nasional hanya mencapai 200 ribu ton per tahun.

“Sisanya terpaksa kami impor sekitar 100 ribu ton,” kata Muhaimin

Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Hasan Aoni Azis juga membenarkan bahwa bahan baku tembakau dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan.

Dia menyarankan agar pemerintah lebih meningkatkan kemampuan dalam negeri, terutama petani, untuk pemenuhan kebutuhan industri.

“Bila ada industri yang menggunakan bahan baku dalam negeri lebih besar maka dia akan dapat reward,” katanya. “Bukan punishment.”

Data Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa pabrikan rokok pada 2007 berjumlah lebih dari 4.600 pabrik, tapi pada 2015 hanya tinggal 713.

Jumlah tersebut terdiri atas 246 pabrik rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM), 441 pabrik rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT), dan 26 pabrik rokok Sigaret Putih Mesin (SPM).

Demikian pula jumlah pekerja di sektor rokok juga telah berkurang menjadi 281.571 jiwa pada 2012 dari 316.991 jiwa pada 2007. (katadata.co.id/ac)

Gakoptindo keberatan keran impor kedelai ditutup

Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) keberatan jika impor kedelai distop total. Pasalnya, produksi dalam negeri tidak akan mampu mencukupi seluruh kebutuhan industri tahu dan tempe.

JAKATA (alfijak): Ketua Umum Gakoptindo Aip Syarifuddin mengatakan pihaknya setuju dengan rencana peningkatan produksi kedelai, tetapi tidak demikian dengan penutupan kran impor sama sekali.

Menurut dia, lebih baik impor kedelai dikurangi secara bertahap, sejalan dengan kenaikan produksi lokal. Gakoptindo mencatat kebutuhan kedelai industri tahu dan tempe berkisar 1,9 juta-2,2 juta ton per tahun. Adapun produksi domestik sekitar 800.000 atau 900.000 ton per tahun.

“Gakoptindo mendukung peningkatan kedelai lokal, tapi tidak percaya dengan kita tahun ini [bisa produksi] 3,5 juta ton,” katanya, Kamis (4/1/2018).

Ketidakyakinan Gakoptindo dilatarbelakangi beberapa hal.

Pertama, yield padi lebih tinggi ketimbang kedelai sehingga petani kemungkinan tetap menjadikan padi sebagai tanaman utama. Dengan produktivitas kedelai paling tinggi 2,5 ton per hektare (ha) dan harga Rp8.000 per kg, pendapatan petani setiap panen Rp20 juta per ha.

Jika menanam padi, dengan produkstivtas 4 ton per ha dan harga Rp8.000-Rp10.000 per kg, pendapatan petani bisa mencapai Rp36 juta-40 juta per ha.

Kedua, kedelai lebih rentan diserang penyakit ketimbang padi.

Ketiga, kedelai tidak semudah padi yang dapat ditanam di mana-mana. Kedelai membutuhkan tanah yang benar-benar subur.

Keempat, kedelai merupakan tanaman sela ketika petani tidak menanam padi.

Aip menuturkan perajin tahu dan tempe pada dasarnya meminati kedelai lokal karena mutunya lebih baik. Kulit kedelai lokal lebih tipis sehingga jika dimasak lebih cepat matang.

Dengan demikian, biaya produksi bisa lebih murah.

Selain itu, tempe atau tahu yang dihasilkan lebih harum, rasanya legit. Kedelai lokal pun non-GMO sehingga bebas dari zat kimia meskipun produktivitasnya rendah.

“Kami itu pembeli kedelai lokal. Kedelai lokal selalu habis terserap perajin tahu dan tempe,” kata Aip.

Meskipun demikian, beberapa kelemahan harus diperbaiki, seperti panen kedelai lokal yang terlalu awal sehingga perajin tempe dan tahu kerap mendapatkan kualitas yang kurang baik karena biji masih muda.

Di samping itu, panen masih dilakukan secara manual sehingga perajin kerap mendapati daun dan batang bercampur dengan biji.

Sebelumnya, Kementerian Pertanian menggagas penutupan kran impor kedelai akhir tahun ini sejalan dengan rencana peningkatan produksi dalam negeri hingga 3,5 juta ton. (bisnis.com/ac)