Ketergantungan RI pada impor pangan tinggi

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati, mengatakan persoalan utama pangan di Indonesia adalah ketergantungan impor yang cukup besar.

“Jadi kata Pak Mentan, tahun 2016 tidak ada impor beras, ternyata kita cek datanya di Bea Cukai cukup besar, yaitu 1,7 juta ton,” ungkap Enny Sri Hartati dalam diskusi bertajuk ‘Pangan dan Agraria di Era Jokowi’ yang digelar rilis.id di Jakarta, Senin (19/6/2017).

Hartati kemudian mencontohkan harga bawang. Menurutnya, di pasar Indonesia sampai 70-80 ribu, sedangkan di pasar internasional berbeda. Disparitas harganya sangat jauh antara pasar domestik dengan pasar internasional.

“Jangankan itu, di depan mata kita saja, harga yang ada di level petani hingga yang harus dibayarkan konsumen untuk semua jenis bahan pangan hampir dua kali lipat. Beras misalnya, di petani mungkin hanya Rp 6.000 tapi dikonsumen lebih dari Rp 11.000,” bebernya.

Penyebabnya, terang Hartati, karena biaya logistik mahal, panjangnya rantai distribusi, termasuk perbuatan tertentu yang mampu mempengaruhi pasokan, dalam hal ini kartel-kartel bahan pangan.

“Tetapi itu adalah akibat, bukan penyebab, karena pasar tidak bekerja secara sehat antara permintaan dan penawaran,” jelasnya.

Sebagai solusi, ia mencontohkan beberapa negara yang memiliki pasar lelang komoditas, tujuannya untuk menghilangkan rantai pasok yang panjang dan menyediakan informasi harga yang lengkap.

“Dengan begitu, akan menutup terjadinya penguasaan pasokan. Pemerintah seharusnya menciptakan struktur pasar yang sehat. Karena pemerintah memiliki wewenang untuk mengatur,” pungkasnya.

sumber: rilis.id

Opini: praktik kartel muncul dari kuota impor

Memang kasihan jadi rakyat di negeri bernama Indonesia. Sudah kesejahteraannya mayoritas masih rendah, tapi mereka harus membayar harga berbagai kebutuhan justru lebih mahal ketimbang rakyat negara lain yang lebih sejahtera. Harga gula pasir, daging sapi, daging ayam, kedelai, jagung, bawang putih, dan lainnya di negeri ini puluhan persen lebih mahal dibandingkan di negeri lain.

Rentetan musibah itu bermula dari tingginya tingkat impor berbagai produk pangan. Salah kaprah kebijakan dari para petinggi negeri, membuat ketergantungan terhadap produk pangan impor seperti terus dipelihara. Maklum, ada aliran fee haram yang amat menggiurkan dari tiap kilogram impor produk pangan ke kantong para pencoleng kebijakan.

Sampai di sini sebetulnya bisa ditebak, gerangan apa dan siapa di balik derita rakyat akkbat tingginya harga komoditas pangan. Yup, ada persengkolan busuk antara penguasa dan pengusaha yang menikmati privilege dari kebijakan ugal-ugalan di sektor perdagangan. Para begal ekonomi ini tergabung dalam kartel yang mencekik rakyat dengan permainan harga.

Contoh terbaru, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) beberapa waktu lalu menduga kartel bawang putih bisa meraup untung Rp12 triliun setahun. Angka ini muncul dengan asumsi kartel bawang putih mengerek harga jual komoditas ini di pasar ke Rp40.000/kg. Padahal di Malaysia yang bawang putihnya juga diimpor dari Cina dan India, harganya cuma Rp23.000/kg.

“Kebutuhan bawang putih kita sekitar 480.000 ton/tahun. 97% dari kebutuhan itu dipasok dari impor. Ada kuat dugaan, kenaikan harga bawang putih selama ini karena permainan para importir yang menahan stok dari tingkat distributor hingga pedagang eceran. Jadi, kalau mereka jual Rp40.000/kg saja, maka omsetnya mencapai Rp19,2 triliun. Di Cina harganya tidak sampai Rp15.000 atau hanya Rp7,2 triliun. Jadi, kartel bawang putih meraup untung sekitar Rp12 triliun,” papar Ketua KPPU, Syarkawi Rauf kepada awak pers di kantornya.

Bayangkan, Rp12 triliun! Para pengusaha hitam itu meraup Rp12 triliun hanya dari prilaku kartel bawang putih. Sungguh jumlah yang sangat luar biasa. Padahal, di pasar bawang putih sempat menyentuh Rp60.000/kg. Artinya, laba nista yang mereka raup dipastikan makin menggelembung saja.

Selama bertahun-tahun harga sejumlah komoditas pangan menunjukkan tren kenaikan tidak wajar. Akibatnya, rakyat Indonesia harus membayar jauh lebih mahal dibandingkan komoditas serupa di luar negeri. Daging sapi, misalnya, di Indonesia harganya sempat menyentuh Rp150.000/kg. Padahal di Australia dan Malaysia, masing-masing hanya Rp40.000 dan Rp60.000/kg. Di negara-negara Uni Eropa, harga daging kelas premium hanya 3 uero, atau sekitar Rp50.000/kg.

Selain daging sapi, sejumlah komoditas pangan lain yang dikendalikan kelompok kartel adalah ayam, jagung, kedelai, dan bawang merah-bawang putih. Di hampir semua komoditas pangan ini, seolah-olah importir yang terdaftar berjumlah puluhan. Namun berdasarkan penelusuruan KPPU, sejatinya pemain riilnya paling banyak 6-7 saja. Sayangnya KPPU tidak mau mengungkap jati diri para anggota kartel tersebut.

KPPU menduga ada 12 perusahaan ternak ayam yang kegiatan kartel dan praktik persaingan usaha tidak sehat lainnya. Mereka mengusasi 90% pasar daging ayam nasional. Lembaga ini mengantongi sejumlah dokumen, termasuk bocoran dari pihak pelapor. Di antaranya, dokumen-dokumen perjanjian antar pelaku usaha, dan keterangan saksi, termasuk keterangan saksi ahli.

Sistem kuota vs tarif

Bagaimana mengatasi hal ini? Rizal Ramli, Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid punya solusi jitu. Ubah mekanisme impor produk pangan kita dari sistem kuota ke sistem tarif. Sistem kuota inilah yang jadi biang keladi melambungnya harga berbagai produk komoditas pangan selama puluhan tahun belakangan.

Paling tidak sejak 2013 Rizal Ramli gencar menyuarakan agar sistem kuota impor komoditas pangan diganti dengan sistem tarif. Sistem kuota hanya menguntungkan segelintir pemain. Dengan keuntungan yang sangat besar itu, para mafia kuota memberi gratifikasi kepada para pejabat agar mengalokasikan kuota tersebut hanya kepada mereka.

Sistem kuota awalnya untuk mengendalikan arus impor komoditas pangan. Tujuannya untuk melindungi petani dan peternak dalam negeri. Namun pada praktiknya, para penikmat kuota tadi membentuk kartel yang hanya menguntungkan kelompoknya. Mafia kartel ini umumnya terdiri atas 6-7 pengusaha saja.

“Sebaliknya, kebijakan impor lewat skema tarif membuat pemerintah bisa mengendalikan harga dengan efektif. Sepanjang memenuhi persyaratan yang ditentukan, siapa pun boleh mengimpor. Ini akan menumbuhkan banyak pemain sehingga persaingan harga lebih fair. Pemerintah tetap bisa melindungi produsen lokal dengan menerapkan tarif impor tertentu. Negara pun memperoleh pemasukan dari bea masuk,” ungkap Rizal Ramli yang pernah menjadi Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog).

Para pelaku kartel membuat seolah-olah importir komoditas pangan tertentu jumlahnya banyak. Padahal, mereka adalah orang-orang yang sama. KPPU menemukan ada enam kelompok pelaku impor bawang putih. Salah satu kelompok itu menguasai 50% impor bawang putih dari Cina ke Indonesia. Itulah sebabnya mereka bisa mengontrol harga sesuai selera.

Soal kartel bawang putih, sebetulnya kali ini bukanlah yang pertama. Pada 2014 KPPU juga pernah mengusut keterlibatan 19 importir bawang putih dalam permainan kartel serupa. Tapi KPPU belum bisa memastikan pemainnya orang yang sama atau berbeda.

Namun terlepas sama atau berbeda pemain, sepanjang sistem kuota impor masih diberlakukan maka praktik kartel tetap akan ada. Jadi, kalau pemerintah memang bermaksud melindungi rakyatnya, maka sudah semestinya sistem kuota diganti dengan sistem tarif.

Dengan langkah sederhana ini, rakyat bisa membayar produk pangan secara wajar. Selain itu, pemerintah juga menerima pemasukan dari bea masuk dan berbagai pajak impor lainnya. Kuncinya; sistem kuota impor dihapus, kartel pun bakal pupus. Mau?

Edy Mulyadi
Penulis adalah Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS).
sumber: rmol.co

APL siap ajukan banding, kukuh negara punya hak monopoli

Direktur Utama PT Angkasa Pura I, Danang Baskoro mengaku kecewa putusan Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha (Majelis KPPU) yang telah menghukum PT Angkasa Pura Logistik (APL) bersalah telah melakukan praktek monopoli di terminal Kargo Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan.

Majelis KPPU dalam putusannya menjelaskan, APL, anak usaha PT Angkasa Pura I dinilai bersalah dan terbukti melakukan praktek monopoli sesuai Pasal 17 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 5/1999 tentang Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Menurut Danang, putusan Majelis KPPU terlalu dini dan berlebihan. Selaku anak usaha BUMN, APL tidak pernah melakukan monopoli, yang dilakukan hanyalah menjalankan tugas dari perusahaan negara (BUMN) yaitu PT Angkasa Pura I selaku induk usaha.

“Pastinya kami banding, karena APL hanya mendapat penugasan BUMN,” jelas Danang, di kantornya, Senin (19/6) kemarin.

Menurutnya, negara punya hak monopoli di bandara, yang penugasannya diserahkan kepada perusahaan BUMN. Kargo dan Pos adalah barang-barang yang meliputi kebutuhan orang banyak, pengelolaannya harus dikuasai oleh negara dan negara meyerahkannya kepada BUMN.

Majelis KPPU, ungkap Danang, kurang jeli dalam melihat permasalahan secara utuh dan transparan dan terlalu terburu-buru dalam memuat keputusan, sehingga APL selaku anak usaha PT Angkasa Pura I, dinyatakan bersalah dan wajib membayar denda senilai Rp 6,5 miliar.

Padahal yang dilakukan APL, kata Danang, hanyalah menjalankan tugas negara. Karena tidak bisa barang-barang Pos dan Kargo diserahkan swasta, ini adalah kewenangan negara untuk mengelolanya secara utuh, yang diserahkan kepada BUMN.

“Berdasarkan analisa kami, Majelis KPPU kurang jeli dalam melihat permasalahan. Ini kan memang kewenangan negara dan negara punya hak monopoli untuk Kargo dan Pos yang pengelolaannya di lapangan diserahkan pada BUMN,” tegas Danang, Senin sore (19/6/2017) di kantornya .

Kalau masalah Kargo dan Pos yang menjadi kebutuhan hajat hidup orang banyak, kata Danang, bila diserahkan kepada swasta, akan muncul masalah baru. Dimana tarif bisa seenaknya ditetapkan, karena swasta tidak akan mau rugi.

“Kalau diserahkan swasta, bisa seenaknya menentukan tarif sendiri,” tegas Danang.

Terkait putusan KPPU, yang akhirya mewajibkan APL membayar denda senilai Rp 6,5 miliar, Danang mengaku curiga, ada pihak-pihak tertentu yang ingin menguasai bisnis ini di Bandara Internasional Sultan Hassanuddin Makassar.

“Harusnya mereka tahu, negara punya hak monopoli,” tegas Danang.

Dia berharap, Majelis KPPU menyadari itu dan masyarakat mengerti masalah yang sebenarnya.

Dia menambahkan bahwa Angkasa Pura I mendapat perintah dari BUMN untuk melakukan monopoli Kargo Pos dan bandara, terlepas dari pengusaha swasta yang telah lama menuangkan investasi di bandara-bandara yang dikelola Angkasa Pura I.

Ketua Komisi Pengawas Pesaingan Usaha Syarkawi Rauf mengatakan, tidak ada yang salah dalam putusan itu. Semua putusan Majelis sudah benar dan mengacu pada bukti-bukti persidangan.

Sidang putusan perkara Nomor 08/KPPU-L/2016 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 17 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Terkait Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat atas PT Angkasa Pura Logistik di Terminal Kargo Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai BUMN tidak boleh berlindung di balik hak monopoli. Sebagian besar Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merasa bebas dari hukum persaingan.

Pelaku usaha plat merah itu cenderung berlindung dibalik Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Pasal tersebut memang memberikan pengecualian monopoli, namun apakah Pasal 51 bisa diterapkan pada seluruh BUMN?

Kata Syarkawi, BUMN kerap melakukan monopoli lantaran memposisikan diri sebagai bagian dari negara atau pemerintah. Padahal BUMN tidak berbeda dengan perseroan. Yang beda hanyalah kepemilikan saham.

Dalam perkara yang bergulir sejak tahun 2016 ini, ditemukan fakta penarikan tarif ganda (double charge) yang dikenakan kepada para pengguna jasa di Bandar Udara internasional Sultan Hasanuddin Makassar, yang justru tidak mencerminkan amanat Pemerintah, khususnya di dalam KM 15 Tahun 2010. Selain itu dalam mengenakan tarif ganda, pengguna jasa tidak mendapatkan prestasi atau tambahan layanan yang seharusnya menjadi sebab pengenaan tarif ganda tersebut.

Dari keterangan tersebut, majelis komisi memutus bersalah kepada PT Angkasa Pura Logistik yang terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 17 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, serta menjatuhkan denda sebesar Rp6.5 miliar lebih.

Komisioner Sukarmi menjelaskan, “EMPU atau shipper lain hanya dapat mengakses sampai ke Lini II di bandara Sultan Hasanuddin, sedangkan EMPU AP Logistik dapat mengakses sampai ke Lini I di bandara yang sama. EMPU APL juga dapat memperoleh barangnya dengan cepat, dibandingkan dengan EMPU yang lain, karena peran APL sebagai operator Terminal Kargo dan posisi berada di Lini I.”

Sukarmi juga menambahkan, APL mengenakan tarif ganda ketika menjalankan Regulated Agent, “Sejak Juni hingga Desember 2015, total produksi outgoing domestic di bandara internasional Sultan Hasanuddin mencapai 12.064.102kg dan outgoing internasional mencapai 4.112.586kg.”

“Terdapat pula kerugian konsumen, di mana konsumen dikenakan tarif ganda, meskipun kegiatan yang dilakukan baik di Regulated Agent dan Terminal Kargo adalah kegiatan yang sama,” sebut Sukarmi.

Jauh sebelumnya, di tahun 2014, KPPU pernah menghukum Angkasa Pura I dan PT Execujet Indonesia yang diduga terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 17 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.

KPPU memerintahkan PT Execujet Indonesia untuk membayar denda sebesar Rp 2 miliar, sementara PT Angkasa Pura I (Persero) harus menghentikan hak Eksklusifitas-nya kepada PT Execujet Indonesia terkait pengoperasian dan pemberikan layanan khusus di General Aviation Terminal untuk Pesawat General Aviation dan/atau penumpang.

Selain itu, diperintahkan pula untuk membuka kesempatan kepada pelaku usaha lain yang telah memiliki izin jasa terkait bandar udara dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara untuk berusaha sebagai penyedia layanan jasa Ground Handling dan Jasa Terkait lainnya di General Aviation Terminal Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali.

Apabila kesempatan terhadap pelaku usaha lain tersebut tidak dipenuhi maka Angkasa Pura I harus membayar denda sebesar Rp5 Miliar. Bahkan Mahkamah Agung (MA) pun menguatkan putusan KPPU tadi.

Sebelumnya, Ketua Umum DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI), Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan, praktik monopoli membuat pelaku usaha swasta khawatir akan adanya persaingan tidak sehat yang berpotensi “mematikan” usaha perusahaan swasta. Selain itu, hal ini juga menyurutkan minat investor asing untuk menanam modal di Indonesia.

“Monopoli BUMN yang terjadi untuk kesekian kalinya membuat iklim usaha menjadi tidak sehat, mengancam kelangsungan usaha swasta, dan tidak berkeadilan. Lebih lagi, praktik kartel dan monopoli ini tidak menarik untuk investor menanam modal di Indonesia,” ujar Yukki di Jakarta, Kamis (6/4/2017).

Dalam draft Pedoman Pasal 51 UU No. 5/1999 disebutkan, monopoli negara dapat dilakukan terhadap cabang produksi yang penting bagi negara atau yang menguasai hajat hidup orang banyak. Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945.

Cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dibagi ke dalam tiga kategori. Pertama terkait alokasi, yaitu barang atau jasa yang berasal dari sumber daya alam. Kedua terkait distribusi, yakni kebutuhan pokok masyarakat, tapi suatu waktu atau terus menerus tidak dapat dipenuhi pasar. Ketiga terkait stabilisasi seperti pertahanan keamanan, moneter, fiskal dan regulasi.

Sementara, cabang produksi yang penting bersifat strategis seperti pertahanan dan keamanan nasional. Selain itu, cabang produksi yang berkaitan dengan pembuatan barang/jasa untuk kestabilan moneter dan perpajakan, serta sektor jasa keuangan publik.

Monopoli negara harus diselenggarakan oleh BUMN atau badan yang dibentuk dan ditunjuk pemerintah pusat berdasarkan penetapan Undang-Undang.

Badan itu bercirikan melaksanakan pemerintahan negara, manajemen keadministrasian negara, pengendalian atau pengawasan terhadap BUMN atau tata usaha negara. Pengelolaan kegiatan monopolinya pun harus dipertanggungjawabkan pada pemerintah. Sifatnya tidak semata-mata mencari keuntungan. Lalu, kewenangan monopoli tidak bisa dilimpahkan kepada pihak lain.

sumber: harianterbit.com

Asperindo kecewa kebijakan agen inspeksi belum disentuh

Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspress Pos dan Logistik kecewa karena pemerintah belum mengakomodasi usulan merevisi kebijakan tentang agen inspeksi atau regulated agent yang dianggap membebani pemerintah.

M. Feriadi, Ketua Umum DPP Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspress Pos dan Logistik (Asperindo) mengatakan pihaknya sangat menyayangkan Paket Kebijakan XV belum fokus pada logistik melalui udara.

Feriadi menilai pemerintah harus segera mengevaluasi tata acara kelola regulated agent (RA) karena penentuan tarif yang tidak jelas dan sangat tinggi.

“Harapan kami tentunya urusan tata laksana RA menyangkut keselamatan dan keamanan penerbangan dilakukan oleh pemerintah,” ujar Feriadi kepada Bisnis, Senin (19/6/2017).

Dia menegaskan, Asperindo berharap dengan tata laksana RA yang baik bisa membuat biaya logistik semakin efisien. Penurunan biaya logistik juga pada akhirnya bisa mendorong peningkatan ekonomi.

Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldy Ilham Masita juga mengatakan hal yang sama.

Dia menilai RA harus dideregulasi karena memiliki dampak yang besar terhadap biaya logistik. Dia pun menyayangkan pemerintah karena belum mengakomodasi poin itu dalam Paket Kebijakan XV.

“RA seharusnya dikembalikan saja kepada pemerintah, dan tak bisa dikelola oleh swasta,” usulnya.

sumber: bisnis.com

DPR terima usulan tindak lanjut kasus JICT

Serikat Pekerja Jakarta International Container Terminal (JICT) secara resmi menyampaikan usulan tindak lanjut kasus perpanjangan kontrak pengelolaan pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia, JICT.

Pimpinan DPR yang diwakili Fadli Zon menerima dokumen bukti-bukti dugaan perbuatan melawan hukum dalam kasus perpanjangan JICT yang diberikan oleh Ketua Serikat Pekerja JICT Nova Sofyan Hakim di Ruang Kerja Fadli Zon, Kompleks Parlemen, Senayan, Senin (19/6).

“Dengan ini kami sampaikan usulan terkait tindaklanjut kasus JICT. Pertama agar kasus JICT dapat ditingkatkan ke penyidikan karena unsur perbuatan melawan hukumnya jelas. Selain itu kontrak JICT agar tidak diperpanjang dengan Hutchison Hong Kong untuk mewujudkan visi kemandirian nasional,” kata Nova.

Tindaklanjut penyidikan kasus JICT dinilai perlu untuk mengetahui alasan Pelindo II ngotot perpanjang kontrak 5 tahun sebelum privatisasi berakhir dan sampai saat ini Pelindo II serta Hutchison masih bersikeras menjalankan termin-termin perpanjangan kontrak JICT.

Padahal, menurut bukti yang ada, ditambah hasil audit investigatif BPK, perpanjangan kontrak JICT cacat hukum dan merugikan negara Rp 4,08 trilyun.

Selain itu Nova juga mendorong agar Pansus Pelindo II tidak berhenti hanya pada kasus Perpanjangan JICT.

“Selain kasus JICT, ada persoalan lain terkait global bond, Perpanjangan TPk Koja yang dilakukan tanpa valuasi dan pembangunan pelabuhan Kalibaru,” ujar Nova.

Menanggapi usulan ini, Fadli mengatakan, Pimpinan DPR akan menindaklanjutinya kepada pihak-pihak terkait termasuk pemerintah.

“Yang jelas ini akan kami teruskan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan tentu akan didorong juga ke Pemerintah,” ujar Fadli.

sumber: gatra.com

Truk non-sembako kebut kiriman jelang H-4

Menjelang diberlakukannya pelarangan melintas di Pantura mulai H-4 Lebaran, jalur ini dipadati truk barang. Mereka memanfaatkan sisa waktu hingga H-4 untuk mengebut pengiriman barang.

Aktifitas truk yang hampir bersamaan ini menyebabkan lalu-lintas terhambat.

Volume kendaraan angkutan barang itu mengalami peningkatan cukup banyak sehingga tampak memenuhi jalan-jalan di Pantura Jawa Tengah.

Belum diketahui secara pasti jumlah peningkatan kendaraan truk menjelang diberlakukanya larangan tersebut. Petugas baru melakukan hitungan pada saat dimulainya Operasi Ramadniya.

Di sepanjang jalan utama Pantura Brebes, pantauan Sabtu (17/6/2107) siang, terlihat kendaraan barang jenis truk boks maupun kontainer memenuhi jalan dari arah Jakarta maupun sebaliknya. Dalam satu iring-iringan, minimal terdapat 4-5 kendaraan angkutan barang.

Herman (34), sopir truk saat ditemui, menjelaskan saat ini sedang mengejar target pengiriman barang berupa besi dari Jakarta ke Surabaya.

“Ini kiriman besi dari Jakarta. Kiriman dikebut karena mau ada larangan melintas sebentar lagi,” ujar Herman.

Kasat Lantas Polres Brebes, AKP Arfan Zulkan Sipayung, mengatakan sebelum dilarang pengiriman barang nonsembako dan BBM semua dipercepat agar pada H-5, semua sudah terkirim. Karena mulai H-4 pukul 00.00 truk nonsembako dan BBM sudah dilarang melintas.

“Pasti itu dilarang. Karena ada surat dari Menhub pada H-4 hingga H+3 kendaraan barang dilarang melintas. Ini yang menjadi faktor mengapa setiap menjelang pelarangan mereka mengebut pengiriman barang,” terang Kasat Lantas.

Ditegaskannya pula, polisi akan menindak tegas sopir yang melanggar larangan tersebut.

Akibat banyaknya truk-truk angkutan berat tersebut, di beberapa titik terjadi kemacetan meski tidak parah. Di kawasan pasar, arus lalu-lintas terhambat seiring dengan aktifitas warga yang menyeberang jalan. Demikian pula di tempat-tempat keramaian lain.

sumber: detik.com

Paket kebijakan ekonomi tahap 15 diluncurkan

Pemerintah meluncurkan paket kebijakan ekonomi tahap XV untuk mengembangkan usaha dan daya saing penyedia jasa logistik nasional.

“Dalam aturan-aturan yang diterbitkan guna mendukung paket kebijakan ekonomi yang ke-15 ini, akan terbagi 3 yang difokuskan pada Perbaikan Sistem Logistik Nasional untuk mempercepat Pengembangan Usaha dan Daya Saing Penyedia Jasa Logistik Nasional,” kata Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution, saat melakukan konferensi pers bersama Menteri Perhubungan, Budi Sumadi, dan Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, di Kantor Presiden Jakarta, Kamis.

Pertama adalah pemberian kesempatan meningkatkan peran dan skala usaha, dengan kebijakan yang memberikan peluang bisnis untuk angkutan dan asuransi nasional dalam mengangkut barang ekspor impor, serta meningkatkan usaha galangan kapal atau pemeliharaan kapal di dalam negeri.

Kedua, kemudahan berusaha dan pengurangan beban biaya bagi usaha penyedia jasa logistik nasional, dengan kebijakan antara lain:

(1) mengurangi biaya operasional jasa transportasi;
(2) menghilangkan persyaratan perizinan angkutan barang;
(3) meringankan biaya investasi usaha kepelabuhanan;
(4) standarisasi dokumen arus barang dalam negeri;
(5) mengembangkan pusat distribusi regional;
(6) kemudahan pengadaan kapal tertentu dan
(7) mekanisme pengembalian biaya jaminan peti kemas.

Ketiga, penguatan kelembagaan dan kewenangan Indonesia National Single Window (INSW), dengan kebijakan, antara lain:

(1) memberikan fungsi independensi badan INSW untuk dapat mengembangkan sistem elektronik pelayanan dan pengawasan ekspor impor, kepabeanan, dan kepelabuhan di seluruh Indonesia;
(2) mengawasi kegiatan ekspor impor yang berpotensi sebagai “illegal trading”;
(3) membangun “single risk management” untuk kelancaran arus barang dan penurunan dwelling time dan
(4) sebagai competent authority dalam integrasi ASEAN Single Window dan pengamanan pelaksanaan Free Trade Agreement (FTA).

“Tahu di pelabuhan Tanjung Priok ada berapa kembenterian dan lembaga mengatur? Ada 17, jadi bayangkan aturannya sendiri-sendiri yang menjalankan pelabuhan yang pusing. Kalau 17 kementerian/lembaga masing-masing membuat risk management sendiri bisa kejadian 2-3 kementerian mengatakan barang masuk jalur hijau, 3 lain masuk jalur kuning lalu lainnya masuk merah jadi pengukuran risiko ini harus disatukan,” tambah Darmin.

Keempat penyederhanaan tata niaga dimana pemerintah telah membentuk Tim Tata Niaga Ekspor Impor untuk mengurangi LARTAS (larangan terbatas) yang tinggi.

“Di Singapura dan Malaysia, dari 10 ribuan HS (Harmonized System), hanya 17 persen yang ada LARTAS. LARTAS itu tidak dilarang tapi harus ada rekomendasi dari kementerian teknis sedangkan di kita LARTAS-nya 49 persen,” ungkap Darmin.

Selanjutnya Darmin juga mengungkapkan ada 18 pokok kebijakan yaitu;

Pertama menghilangkan dan menerbitkan berbagai peraturan menteri (12 peraturan menteri, 2 Surat Edaran, 1 surat Menko) yang dapat mendorong perluasan usaha dan meningkatkan daya saing penyedia jasa logistik nasional dalam membangun dan mengembangkan Sistem Logistik Nasional.

Kedua, merevisi 3 Perpres yang disatukan menjadi 1 Perpres menyangkut INSW untuk mempercepat pengembangan dan penerapan pelayanan otomasi perizinan ekspor-impor, kepabeanan, dan Kepelabuhanan melalui penguatan kelembagaan dan kewenanganINSW.

Ketiga, menerbitkan 1 Inpres, untuk Penguatan Peran Otoritas Pelabuhan dalam mengelola kelancaran arus barang dim pelabuhan.

Keempat, menerbitkan 1 Keputusan Menko Perekonomian tentang Tim Tata Niaga Ekspor Impor.

Untuk pengembangan penyelesaian Paket Kebijakan Ekonomi XV maka sudah ada 5 peraturan setingkat menteri yang diterbitkan yaitu;

Pertama, Permenhub No. 24 Tahun 2017 tentang Pencabutan Persyaratan Kepemilikan Modal Badan Usaha di Bidang Pengusahaan Angkutan Laut, Keagenan Kapal, Pengusahaan Bongkar Muat dan Badan Usaha Pelabuhan

Kedua, Permenhub No. 130 Tahun 2016 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 74 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Jasa Pengurusan Transportasi: Menghilangkan Ketentuan Pembatasan Wilayah Kerja Pengusahaan Jasa Pengurusan Transportasi Asing;

Ketiga, Permenkominfo No. 7 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pemberian Izin Penyelenggaraan Pos: Penyederhanaan Perizinan Penyelenggaraan Pos;

Keempat, Permenhub No. 25 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 116 Tahun 2016 tentang Pemindahan Barang Yang Melewati Batas Waktu Penumpukan (Long Stay) di Pelabuhan Utama Belawan, Pelabuhan Utama Tanjung Priok, Pelabuhan Utama Tanjung Perak, dan Pelabuhan Utama Makassar: Peningkatan Efisiensi Biaya Kepelabuhanan dengan Mengurangi Biaya Pemindahan Barang (double handling) di Terminal;

Kelima, Permendag No. 29/M-DAG/PER/5/2017 tentang Perdagangan Antar Pulau: Standarisasi Dokumen Pergerakan Arus Barang Dalam Negeri (Manifes Domestik) Berbasis Elektronik.

Selain 5 peraturan setingkat meneri tersebut, juga telah diterbitkan 1 Surat Edaran setingkat Dirjen, 2 Surat Menteri, dan 1 Keputusan Menko.

Namun masih ada 2 kebijakan di tingkat presiden yang konsepnya sudah selesai, namun perlu diproses yaitu Perpres Penguatan Kelembagaan dan Kewenangan INSW untuk Meningkatkan Efisiensi Logistik dan Inpres Penguatan Peran Otoritas Pelabuhan (OP).

Apalagi, masih ada 4 kebijakan di tingkat menteri yang masih dalam tahap finalisasi.

sumber: antaranews.com

Luhut minta Rini copot Elvyn jika ongkos logistik Priok masih mahal

Menteri Koordinator (Menko) bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan meminta Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno, untuk mencopot Direktur Utama PT Pelindo II (Persero) Elvyn G Masassya, jika tidak bisa membenahi sistem logistik di pelabuhan Tanjung Priok.

Pasalnya, kata Luhut, hingga saat ini ongkos logistik di pelabuhan internasional tersebut masih tinggi. Dia mengungkapkan, waktu tunggu bongkar muat (dwelling time) di Pelabuhan Tanjung Priok memang sudah diturunkan menjadi tiga hari.

Meski demikian, mantan Menkopolhukam ini mengaku belum puas dengan capaian tersebut, karena ongkos logistik masih tetap mahal.

“Dwelling time memang berhasil diturunkan tiga hari sekian itu. Tapi saya pribadi belum puas. Karena ternyata kami cek cost-nya masih tinggi,” katanya di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Rabu (14/6/2017).

Awalnya, dia mengira ongkos logistik akan turun seiring dengan dwelling time yang mulai terpangkas. Ternyata, meski dwelling time sudah turun tapi ongkos logistik masih tetap tinggi. Seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) di pelabuhan seakan menikmati hal tersebut.

“Jadi, mereka enggak mau keluar dari comfort zone. Orang menikmati ketidakteraturan di situlah jadi bisa macam-macam,” imbuh dia.

Sebab itu, jenderal bintang empat ini meminta agar ongkos logistik di pelabuhan dapat dituruunkan. Sebab, hingga saat ini inefisiensi di pelabuhan mencpai Rp720 triliun.

“Jadi saya sudah bilang Bu Rini, kalau (Pelindo II) macam-macam ganti saja. We have to make choice,” ujar Luhut.

Penyimpangan manajemen lama

Di tempat terpisah, Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan ada indikasi kerugian negara sebesar Rp 4,08 triliun atas perpanjangan kerja sama pengelolaan dan pengoperasian pelabuhan PT Jakarta International Container Terminal atau JICT antara PT Pelindo II dan PT Hutchinson Port Holding (HPH).

“Berdasarkan hasil investigasi, BPK menyimpulkan adanya berbagai penyimpangan dalam proses perpanjangan kerja sama,” kata Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara saat ditemui di ruang pimpinan DPR, Jakarta, Selasa, 13 Juni 2017.

Moermahadi menuturkan indikasi kerugian yang dialami negara berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia per 2 Juli 2015, yaitu Rp 13.337 per US$.

“BPK menyimpulkan ada penyimpangan dari proses perpanjangan kerja sama yang ditandatangani 5 Agustus 2014.”

Adapun rincian penyimpangan-penyimpangan tersebut yang pertama adalah rencana perpanjangan kerja sama itu tak pernah dibahas dan dimasukkan dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP), serta tak dimasukkan ke Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP).

Padahal rencana perpanjangan ini telah diinisiasi oleh Direktur Utama PT Pelindo II saat itu sejak 2011. “Serta tidak diinformasikan secara terbuka kepada pemangku kepentingan dalam laporan tahunan 2014,” ujar Moermahadi.

Lalu penyimpangan kedua adalah perpanjangan perjanjian kerja sama tersebut terjadi tanpa adanya izin konsensi ke Menteri Perhubungan. Kemudian penunjukkan PT Hutchinson Port Holding oleh Pelindo II sebagai mitra juga dilakukan tanpa melalui mekanisme pemilihan mitra yang seharusnya.

Penyimpangan keempat adalah perpanjangan perjanjian kerja sama pengelolaan dan pengoperasian PT JICT ditandatangani oleh Pelindo II dan HPH, meski belum ada persetujuan di dalam rapat umum pemegang saham dari Menteri BUMN.

Terakhir penunjukkan Deutsche Bank sebagai financial advisor oleh Pelindo II dinilai dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan peraturan perundangan.

Pekerjaan DB berupa valuasi nilai bisnis perpanjangan perjanjian kerja sama itu diduga dipersiapkan untuk mendukung tercapainya kerja sama dengan PT HPH.

sumber: sindonews.com/tempo.co