JAKARTA: Pengusaha forwarder dan logistik yang tergabung dalam Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) meminta pemerintah segera mengevaluasi kebijakan pembatasan kendaraan barang ke pelabuhan di Indonesia yang sudah sangat merugikan kegiatan distribusi dan logistik.
Pasalnya, kerugian yang ditimbulkan dari pembatasan kendaraan itu ditaksir mencapai Rp 6 triliun per tahun.
Ketua DPP ALFI, Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan, kebijakan pembatasan kendaraan angkutan barang itu selayaknya tidak ada.
“Ini soal pilihan pemerintah, mau mendahulukan ekonomi atau tidak. Saya tegas menyampaikan ini supaya kalau nanti eskpor tidak tercapai logistik yang disalahkan karena mahal. Padahal jam kerja kita dibatasi,” kata Yukki.
Menurut Yukki, pembatasan kendaraan angkutan barang ke pelabuhan dan bandara ini terjadi sudah berlangsung dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir dan ALFI juga sudah kerap menyuarakan masalah tersebut berikut solusinya. Namun sejauh ini, pembatasan masih terus berlangsung.
“Ambil contoh yang kita usulkan dan kita dorong adalah daerah Cikampek untuk dicabut pembatasan waktu jamnya mulai pukul 06.00 sampai 09.00 untuk golong III ke atas. Kita mengusulkan ada satu line khusus untuk angkutan barang. Pembatasan tentunya setiap daerah berbeda-beda,” ungkapnya.
Menurut Yukki, masalah pembatasan kendaraan ini merata terjadi di sejumlah pelabuhan yang melakukan kegiatan ekspor, yakni pelabuhan di Palembang, Kalimantan Barat, Manado, Medan dan Bali.
Pembatasan tersebut tentu sangat disayangkan mengingat infrastruktur yang sudah dibangun oleh pemerintah dan menggunakan biaya tinggi tetapi tidak dioptimalkan. Seluruh anggota ALFI yang jumlahnya mencapai 3.412 dan tersebar 34 provinsi berharap pemerintah pusat segera bertindak.
“Semestinya tidak harus menungu Pak Jokowi dilantik. Pemerintah segera menurunkan tim khusus ke lapangan agar kerugian yang ditimbulkan tidak terjadi, apalagi pembatasan ini sudah sangat mengganggu distribusi dan logistik barang,” ujarnya.
Yukki menjelaskan, sektor transportasi darat itu menguasai dari moda satu kegiatan transportasi kurang lebih 70 persen untuk domestik dan eskpor 30 persen.
“Bisa dibayangkan kalau ada pembatasan kendaraan, kalau dari biaya logistik nasional sebesar Rp 1.783 triliun kita ambil 15 persen itu artinya ada Rp 230 triliun. Dari jumlah itu kalau kita ambil transportsi darat 40 persen aja berarti ada Rp 60 trliun. Dari jumlah itu kita ambil 10 persen berarti ada Rp 6 triliun. Itulah kerugian akibat pembatasan kendaraan di jalan. Kerugian itu juga belum termasuk multiplier effect di pelabuhan dan lainnya,” tandas Yukki.
Yukki menambahkan, pihaknya berharap pemerintah baru ini melanjutkan komitmen untuk mengkonektivitaskan antara pelabuhan dan bandara ke pusat-pusat ekonomi dan pusat-pusat UMKM serta industri pangan dan lainnya. “Termasuk komitmen untuk melakukan penghematan biaya logistik 5 persen dari GDP kita, yakni menjadi 18 persen hingga 19 persen,” tegas Yukki.(ri)