Importir hindari overbrengen karena lebih mahal?

Kebijakan pergeseran pemeriksaan barang impor yang masuk kategori larangan terbatas dari border ke post border diharapkan mampu menurunkan waktu bongkar muat (dwelling time). Dengan demikian, pada akhirnya kebijakan ini juga akan menghemat biaya logistik yang dikeluarkan importir.

JAKARTA (alfijak); Direktur Teknis Kepabeanan dan Cukai Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) R Fadjar Donny mencontohkan, mengatakan sebelum dilakukan pergeseran, importir banyak menimbun barang di pelabuhan menunggu proses pemeriksaan.

Otomatis, importir akan mengeluarkan biaya yang cukup besar, terutama biaya yang terkait dengan sewa gedung dan penumpukan.

“Nantinya dengan pola pergeseran ini pasti akan ada biaya yang dihemat, minimal terkait dengan sewa gedung dan biaya penumpukan itu,” kata Fadjar, Selasa (30/1).

Ia mencontohkan, di Pelabuhan Tanjung Priok misalnya, tahap pertama tidak dikenakan biaya.

Namun, tahap kedua dikenakan tarif 300% dan tahap ketiga dikenakan tarif 600%.

Dengan menerapkan tarif progresif ini saja, dwelling time masih sulit ditekan.

Padahal, “Tarif progresif sebenarnya ditujukan agar mendorong importir untuk menyelesaikan kewajiban kepabeanan terkait dengan fiskal dan lartasnya (persyaratan impor),” tambahnya.

Sayangnya, Fadjar enggan memproyeksi seberapa besar efisiensi biaya yang bisa dilakukan dari kebijakan pergeseran pemeriksaan tersebut.

Yang jelas lanjut Fadjar, penurunannya signifikan.

Direktur Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai Kemenkeu Heru Pambudi sebelumnya mengatakan bahwa dwelling time rata-rata saat ini masih sekitar tiga hari.

Pemerintah menargetkan, dengan kebijakan ini dwelling time hingga akhir 2018 bisa ditekan hingga dua hari.

Bukan cerminan?

Direktur Operasional & Komersial Pelindo III Muhammad Iqbal mengatakan kontribusi operator pelabuhan dalam perhitungan dwelling time terbilang minim.

Dia menggambarkan, kontribusi Pelindo III terhadap perhitungan dwelling time hanya 6% terhadap total dwelling time selama 5,4 hari per 25 Januari 2018 lalu.

“Dwelling time ini istilah untuk melihat berapa lama kontainer menginap di pelabuhan dan mengukur kapasitas pelabuhan, bukan tolok ukur biaya logistik menjadi lebih murah,” jelasnya saat berkunjung ke redaksi Bisnis Indonesia, Selasa (30/1/2018).

Penghitungan dwelling time selama ini diukur berdasarkan indikator pre clearance, custom clearance, dan post clearance.

Ketiga proses ini melibatkan koordinasi banyak instansi baik kementerian dan lembaga dari sisi pemerintah dan pihak swasta sebagai pemilik barang.

Sebagai gambaran, di Terminal Peti Kemas Semarang, proses stevodering atau proses bongkar barang dari kapal ke dermaga hanya berlangsung 0,01 hari.

Sementara itu, kontainer harus menginap 9,09 hari karena harus dilakukan proses pemeriksaan barang dan dokumen barang. Walhasil, total rata-rata dwelling time di Pelabuhan Tanjung Emas per 29 Januari 2018 mencapai 6,98 hari.

Adapun, total rata-rata dwelling time di tiga terminal yang dikelola Pelindo III mencapai 5,33 hari.

Iqbal mengungkapkan, pemilik barang berpotensi menambah ongkos logistik bila kontainer miliknya lekas dikeluarkan dari area pelabuhan.

Biaya tersebut berasal dari biaya angkut, biaya penanganan kontainer (lift on lift off), hingga biaya penyimpanan.

Tarif di luar pelabuhan untuk biaya-biaya tersebut menurut Iqbal lebih mahal dibandingkan di dalam area pelabuhan sehingga justru membebani pemilik barang.

Senada, PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) atau Indonesia Port Corporation (IPC) juga menilai kontribusi operator terhadap perhitungan dwelling time terbilang minim.

Prasetyadi, Direktur Operasi & Sistem Informasi IPC mengatakan rata-rata dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok mencapai 4,76 hari pada 29 Januari 2018.

“Meski volume kami sangat besar, kami menangani lebih efisien,” ujarnya kepada Bisnis.com.

Berdasarkan data INSW, Per 29 Januari 2018, lima terminal petikemas yang dikelola IPC menangani 63,47% total peti kemas impor sedangkan 28,47% ditangani Pelindo III.

Sementara itu, Pelindo I dan Pelindo IV masing-masing menangnai 7,84% dan 0,22% kontainer impor.

Prasetyadi menerangkan angka dwelling time bisa bertambah karena pemilik barang atau impor tidak mengeluarkan kontainer mereka kendati sudah mengantongi surat perintah pengeluaran barang atai SPPB.

Secara umum, hal itu dilakukan importir untuk menghindari penambahan biaya karena tarif penanganan dan penyimpanan kontainer di luar pelabuhan lebih mahal.

Menurut Prasetyadi, operator pelabuhan tidak mempermasalahkan penumpukan peti kemas oleh importir sepanjang rasio penggunaan lapangan atau yard occupancy ratio (YOR) tidak melampaui rasio 65% sebagaimana diatur oleh Kementerian Perhubungan.

Saat ini, IPC mencatat YOR di kisaran 40% sehingga kapasitas lapangan penumpukan masih cukup renggang. (kontan.co.id/bisnis.com/ac)