Arsip Tag: Toto Dirgantoro

Priok di ambang kongesti

Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia, (Depalindo) menyatakan pengalihan sebagian layanan kapal dari NPCT-1 untuk mengurai tingkat kemacetan di jalur distribusi Pelabuhan Priok sudah sangat mendesak dilakukan guna menghindari kerugian dan beban biaya tinggi logistik pengguna jasa.

JAKARTA (alfijak): Depalindo juga menyarankan Kantor ePelabuhan Tanjung Priok dan Manajemen PT.Pelabuhan Indonesia II/IPC agar mengambil langkah konkret untuk mengalihkan sebagian penyandaran layanan kapal di NPCT-1 ke terminal peti kemas lainnya di pelabuhan tersebut, mengingat crowded-nya kemacetan dan kepadatan di pelabuhan itu.

Ketua Umum Depalindo Toto Dirgantoro mengatakan pengalihan penyandaran dan bongkar muat kontener dari New Priok Container Terminal-One (NPCT-1) dapat dilakukan ke Jakarta International Container Terminal (JICT) maupun Terminal Peti Kemas Koja.

“Sebagian layanan kapal NPCT-1 saat ini mesti dialihkan sementara ke terminal JICT dan Koja terkait kepadatan dan kemacetan di Priok saat ini sehingga tidak menghambat kelancaran arus barang yang sangat merugikan pelaku usaha,” ujar Toto, kepada Bisnis, Minggu (27/5/2018).

Dia mengungkapkan, tingkat isian lapangan penumpukan peti kemas atau yard occupancy ratio (YOR) di NPCT-1 saat ini cukup tinggi namun belum didukung sarana prasarana bongkar muat yang memadai.

“Kami berharap Manajemen Pelindo II secepatnya mencari solusi dan segera bisa mengatasi hal tersebut serta menyiapkan betul-betul sarana prasarana serta operasional terminal,” paparnya.

Alihkan

Indonesian Maritime Logistic and Transportation Watch (IMLOW) mengusulkan dilakukan pengalihan layanan kapal sementara dari New Priok Container-One (NPCT-1) ke terminal peti kemas ekspor impor lainnya untuk mengurangi kepadatan dan kemacetan di jalur logistik dari dan pelabuhan tersibuk di Indonesia itu.

Sekjen IMLOW, Achmad Ridwan Tento mengungkapkan, kemacetan di jalur logistik pelabuhan Priok terjadi sudah lebih dari sebulan terakhir dan belakangan justru semakin krodit.

Dia mengatakan, diperlukan upaya win-win solution mengingat salah satu titik sumber kemacetan jalur logistik Priok berada di NPCT-1 lantaran belum tersedianya back-up area bagi trucking yang melayani terminal itu.

Selain juga, imbuhnya akibat truk enggan menggunakan akses tol langsung pelabuhan Priok karena tarif tol-nya dinilai terlampau mahal bagi operator trukcking.

“Sifatnya sementara,sebaiknya untuk menunggu back up area NPCT-1 siap , sementara layanan kapal sebagian dialihkan ke terminal JICT atau TPK Koja agar pihak pengguna jasa dan pihak lainnya tidak dirugikan dengan adanya kemacetan tersebut,” ujar Ridwan kepada Bisnis, Sabtu (26/5/2018).

Ridwan mengatakan, kemampuan kapasitas melayani kapal kontener di NPCT-1 saat belum didukung dengan back up area untuk menampung truk yang masuk , akhirnya jalan raya jadi terpakai sebagai back up area NPCT-1.

“Disisi lain jalan tol langsung akses priok yang kini Rp.45 ribu/truk juga agar diturunkan tarifnya supaya trukcing mau memanfaatkan tol yang terkoneksi dengan Jakarta outer ring road/JORR itu,” paparnya.

Kondisi kemacetan di NPCT-1 ini juga berimbas pada kegiatan keluar masuk kontener di terminal peti kemas lainnya di pelabuhan Tanjung Priok.

Wakil Dirut Jakarta International Container Terminal (JICT) Riza Erivan mengatakan, kemacetan dijalur logistik Priok itu juga berimbas hingga ke JICT.

“Pasti nya berdampak, bahkan hingga perempatan pintu 9 depan JICT saat ini macet tambah parah, sampai gak jalan, mengunci,” ujarnya dikonfirmasi Bisnis.com.

Saat ini di pelabuhan Priok terdapat lima fasilitas terminal peti kemas yang melayani kapal dan bongkar muat kontener ekspor impor, yakni; JICT, Terminal Peti Kemas (TPK) Koja, Terminal Mustika Alam Lestari (MAL), NPCT-1 dan Terminal 3 Priok.

Dikonfirmasi Bisnis, manajemen NPCT-1 mengklaim kapasitas terminalnya saat ini belum penuh, dan sedang mencari solusi atas kemacetan teraebut.

“Kapasitas sih belom, kami juga sedang berupaya atasi masalahnya. Solusi buffer area di common gate sudah dilakukan tapi kelihatannya belum juga menolong. Jadi kami juga gak tinggal diam kok” ujar Didip Sulaiman, Marketing Manajer NPCT-1. (bisnis.com/ac)

Tarif progresif di Priok agar ditinjau kembali

Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo) mendesak penurunan tarif progresif di terminal peti kemas pelabuhan Tanjung Priok.

JAKARTA (alfijak): Ketua Depalindo, Toto Dirgantoro mengatakan pengenaan tarif progresif untuk penumpukan peti kemas di pelabuhan Tanjung Priok perlu ditinjau kembali.

Selain itu, kata dia, Depalindo juga mendesak adanya evaluasi terhadap implementasi relokasi peti kemas dari lini satu ke lini dua supaya ditinjau ulang atau dkoreksi dengan mengacu pada YOR 65% di terminal peti kemas.

Saat ini, di Pelabuhan Priok terdapat 5 fasilitas terminal yang layani ekspor impor yakni Jakarta International Container Terminal (JICT), Terminal Peti Kemas Koja, New Priok Container Terminal-One (NPCT-1), Terminal Mustika Alam Lestari (MAL) dan Terminal 3 Priok.

“Tarif progresif hendaknya ditinjau ulang dan kegiatan perpindahan peti kemas dari lini satu ke lini dua agar kembali seperti dulu berdasar yard occupancy ratio (YOR) max 65% dan dikenakan overbrengen pada hari ke tujuh,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (9/4/2018).

Dia menegaskan relokasi peti kemas ke lini dua pelabuhan itu dengan catatan tempat penimbunan sementara (TPS) lini 2 harus ada alat standby, sistem layanan online, kerja 24/7 termasuk tersedia petugas Bea dan Cukainya.

“Jadi peti kemas ditarik jam berapa pun terlayani tanpa extra cost,” ungkapnya.

Toto mengaku desakan Depalindo tersebut didasari angka Dweling time hingga 4 hari–6 hari normal karena di Thailand dan Malaysia dweling time 5 hari–6 hari.

“Singapura tidak bisa dipakai benchmark karena pelabuhan transhipment bukan pengepul,” tuturnya.

Selain itu, imbuhnya, rata-rata YOR terminal peti kemas di Pelabuhan Priok saat ini masih di bawah 65% dan dalam kondisi relatif masih aman.

Dia mengatakan Depalindo mendukung segala upaya untuk menekan biaya logistik yang semakin tinggi terhadap komoditas nasional.

“Ini perlu dilakukan jika pemerintah memiliki perhatian pada penurunan biaya logistik, sesuai janji Menhub 5% dalam 5 tahun,” ujar dia. (bisnis.com/ac)


Depalindo minta Pelindo siapkan buffer area untuk overbrengen

Dewan pemakai jasa angkutan laut Indonesia (Depalindo) mendesak PT. Pelabuhan Indonesia II (IPC) menyiapkan area penyangga atau buffer di kawasan pelabuhan Tanjung Priok untuk menampung kegiatan relokasi peti kemas impor guna menjaga dwelling time dan mengefisiensikan biaya logistik.

JAKARTA (alfijak): Ketua Umum Depalindo Toto Dirgantoro, mengatakan buffer itu yakni fasilitas tempat penumpukan sementara (TPS) penampung over brengen peti kemas impor yang belum mengantongi surat perintah pengeluaran barang (SPBB) atau belum clearance kepabeanan, serta fasilitas lapangan umum untuk peti kemas impor yang sudah clearance pabean namun lebih tiga hari tidak dikeluarkan pemiliknya/longstay.

“Pengelola terminal peti kemas di Priok hendaknya berkordinasi dengan IPC/Pelindo II untuk segera menyiapkan fasilitas TPS over brengen maupun untuk peti kemas impor yang sudah clearance dokumen di Priok. Kalau yard occupancy ratio dari buffer yang disiapkan Pelindo II sudah penuh barulah peti kemas impor direlokasi keluar pelabuhan,” ujarnya kepada Bisnis.com, Kamis (25/1/2018).

Toto yang juga menjabat Komisaris PT. IPC Logistics (MTI), anak usaha Pelindo II itu, mengusulkan tarif layanan penumpukan pada fasilitas buffer yang disiapkan Pelindo II tersebut agar tidak diberlakukan tarif progresif seperti yang berlaku di terminal peti kemas atau lini satu pelabuhan.

Justru sebaliknya, kata dia, jika buffer disiapkan sendiri oleh Pelindo II/IPC, maka harus ada diskon tarif relokas /moving yang selama ini dikenakan Rp900.000/boks menjadi Rp600.000/boks, dan tariff lift on-lift off (Lo-Lo) juga bisa didiskon hingga 10%.

“Upaya ini untuk mendorong agar consigne segera menarik keluar peti kemas impornya maksimum dalam waktu 3 x 24 jam,” paparnya.

Toto mengatakan kegiatan penumpukan peti kemas impor dengan batas waktu maksimal 3 hari diatur melalui Permenhub 25/2017, untuk menghindari terjadinya aktivitas penimbunan barang yang bisa mengganggu dwelling time di pelabuhan itu, seperti yang terjadi pada awal tahun ini.

“Tetapi mesti dipahami angka dwelling time naik 4,9 hari pada awal tahun ini , karena akumulasi adanya dampak hari libur saat natal dan tahun baru dimana truk tidak bisa operasi, disisi lain pabrik-pabrik juga libur sehingga terjadi perlambatan,” ujar dia.

Saat ini, terdapat 12 fasilitas TPS over brengen untuk menampung peti kemas impor yang belum clearance kepabeanan yakni; TPS Indonesia Air & Marine Supply, Transporindo Lima Perkasa, Agung Raya Warehouse, Multi Terminal Indonesia, Dharma Kartika Bhakti,Lautan Tirta Transportama, Berdikari Logistik, Buana,Primanata Jasa Persada, Wira Mitra Prima, Pesaka Loka Kirana, dan TPS Kodja Terramarin.

Sedangkan, kegiatan relokasi peti kemas impor yang sudah clearance kepabeanan dan melewati batas waktu penumpukan atau longstay di pelabuhan Priok, hingga sekarang belum dilaksanakan meskipun telah diamanatkan melalui Peraturan Menteri Perhubungan No:25/2017.

Beleid itu sebagai perubahan atas Permenhub No:116/2016 tentang pemindahan barang yang melewati batas waktu penumpukan atau longstay di pelabuhan utama Belawan Medan Sumut, Tanjung Priok Jakarta, Tanjung Perak Surabaya, dan Pelabuhan Makassar.

Adapun di pelabuhan Priok terdapat lima operator terminal peti kemas yang melayani ekspor impor yakni; Jakarta International Container Terminal (JICT), Terminal Peti Kemas Koja, Terminal 3 Pelabuhan Priok, Terminal Mustika Alam Lestari, dan New Priok Container Terminal-One (NPCT-1).  (bisnis.com/ac)

Ginsi tegaskan Permenhub 25 efektif tekan dwelling time & kecam Depalindo

Gabungan Importir nasional seluruh Indonesia (Ginsi) DKI Jakarta, mendukung  sikap dari Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) bahwa Peraturan Menteri (PM) Perhubungan Nomor  25/2017 efektif menekan angka dwelling time di pelabuhan.

JAKARTA (infolog); Karena itu, kedua organisasi tersebut mengecam usulan Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo)  yang meminta Permenhub 25/2017 dicabut, atau setidaknya direvisi agar pemindahan petikemas mengacu Yard Occupancy Ratio (YOR) terminal 65 persen.

“Posisinya sebagai apa  Toto Dirgantoro  mengomentari soal pelabuhan. Kalo sebagai Ketua Umum Depalindo sebaiknya dia keluar dulu dari komisaris MTI. Karena argumentasi dan analisanya pasti tidak objektif.  Karena dipengaruhi conflict of interest. Mengingat beliau juga selaku komisaris di salah satu anak perusahaanya Pelindo yaitu MTI,” ujar Ketua Ginsi DKI Capt Subandi, kepada Indopos.co.id, Jumat (10/11).

Dia pun mempertanyakan analisa Depalindo bahwa permenhub Nomor 25 tahun 2017 membuat biaya logistik menjadi lebih mahal.

“Sadar nggak dia bahwa biaya storage di terminal sudah naik menjadi 900 persen dari tarif dasar per harinya,” ujar Capt Subandi.

“Kalaupun dia memiliki sense of crisis soal biaya logistik, sebaiknya  mengkritisi soal biaya-biaya di pelabuhan yang tinggi. Termasuk biaya penumpukan. Seharusnya dia mengusulkan dulu agar tarif storage hanya 200 persen dari tarif dasar per hari. Dan free time storagenya tetap 3 hari,” pungkasnya.

Sementara itu,  Ketua Umum DPW ALFI DKI Widijanto, dalam keterangan pressnya Kamis (9/11) meminta Depalindo jangan membuat  gaduh. Yakni ingin kembali menjadikan menjadikan Yard Occupancy Ratio (YOR) 65 persen sebagai parameter pemindahan petikemas dari lini satu pelabuhan keluar terminal.

“PM 25 Tahun 2017 pada intinya membatasi masa inap kontainer yang sudah mendapat clearance kepabeanan di lini I paling lama 3 hari. Setelah itu harus keluar dari pelabuhan untuk menjamin kelancaran arus barang,” ujar Widijanto.

“Pernyataan Depalindo yang menyebut pelaksanaan PM 25 Tahun 2017 menimbulkan logistik biaya tinggi tidak meyakinkan. Dasarnya apa? Hitung-hitungannya mana. Jangan asal  ngomong tanpa dasar,” imbuhnya.

Lebih lanjut ia mengatakan, pihaknya menyayangkan sikap Ketua Umum Depalindo  memahami defenisi dwelling time, serta meminta Kemenhub merevisi PM25/2017 dan relokasi pertikemas mengacu pada Yard Occupancy Ratio (YOR) di atas 65 persen.

Hal itu dianggapnya, tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah mendorong kelancaran arus barang di pelabuhan.

“Kita sudah sepakat pelabuhan bukan tempat menimbun barang tapi tempat bongkar muat,” tegas Widijanto.

“Itu artinya lapangan penumpukan terminal petikemas lini satu  bukan tempat penimbunan barang. Tetapi sebagai area transit menunggu pengurusan dokumen kepabeanan. Kemudian ke luar pelabuhan jika sudah dapat SPPB melebihi tiga  hari,” pungkasnya.

Sebelumnya, Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo) mendesak agar kegiatan pindah lokasi penumpukan atau relokasi peti kemas impor dari lini satu pelabuhan/terminal peti kemas ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok mengacu pada utilisasi fasilitas dan jika YOR di terminal peti kemas mencapai 65%.

Ketua Umum Depalindo Toto Dirgantoro mengatakan sejak adanya Permenhub No. 25/2017 tentang Perubahan atas peraturan menhub No. 116/2016 tentang Pemindahan barang yang melewati batas waktu penumpukan atau longstay di pelabuhan utama Belawan Medan, Tanjung Priok, Tanjung Perak Surabaya, dan Pelabuhan Makassar, beban logistik yang ditanggung pemilik barang justru bertambah.

Pasalnya dalam beleid itu disebutkan penumpukan barang impor hanya dibatasi maksimal 3 hari di pelabuhan dan yang sudah clearance kepabeanan pun atau SPPB seperti diamanatkan dalam beleid itu  mesti keluar dari lini satu.

“Menurut saya, ini tidak menyelesaikan masalah dwelling time, justru berpotensi menambah biaya logistik. Makanya Depalindo minta Permenhub 25/2017 dicabut atau setidaknya direvisi agar pemindahan petikemas mengacu YOR terminal 65%,” ujar Toto. (indopos.co.id/ac)

Beleid peti kemas longstay terancam, ALFI minta Depalindo tak bikin gaduh

Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) menyatakan beleid relokasi kontainer impor yang melewati batas waktu penumpukan (longstay) dan sudah mengantongi dokumen surat perintah pengeluaran barang (SPPB) atau sudah clearance kepabeanan di empat pelabuhan utama, termasuk di Pelabuhan Tanjung Priok harus dijalankan oleh pengelola terminal peti kemas.

JAKARTA (alfijak):  Ketua ALFI DKI Jakarta Widijanto mengatakan adanya penolakan terhadap implementasi beleid itu justru sebagai upaya menggagalkan program pemerintah untuk menekan dwelling time dan menurunkan biaya logistik.

Presiden Joko Widodo, tambahnya, sudah sering menginstruksikan supaya dwelling time di pelabuhan Priok dapat diturunkan menjadi kurang dari 3 hari dari saat ini yang berdasarkan data kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok rata-rata masih mencapai lebih dari 3 hari.

Widijanto menyebutkan relokasi peti kemas impor sudah SPPB dan menumpuk lebih dari tiga hari di pelabuhan atau longstay telah diatur melalui Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No: 25/2017 tentang perubahan atas Permenhub No:116/2016 tentang pemindahan barang yang melewati batas waktu penumpukan atau longstay di pelabuhan utama Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Perak Surabaya, dan Makassar.

Dalam beleid itu ditegaskan bahwa barang impor yang sudah clearance pabean atau SPPB hanya boleh menumpuk maksimal tiga hari di pelabuhan. Dalam pasal 3 ayat (1) beleid itu disebutkan, setiap pemilik barang impor wajib memindahkan peti kemasnya yang sudah SPPB dan melewati batas waktu penumpukan dari lini satu ke lapangan penumpukan di luar pelabuhan dengan biaya ditanggung pemilik barang.

Kemudian pada pasal 3 ayat (2) dinyatakan apabila pemilik barang/kuasanya tidak memindahkan peti kemasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut, maka badan usaha pelabuhan (BUP)/operator terminal peti kemas wajib merelokasi barang impor itu dari lapangan penumpukan terminal peti kemas dengan biaya ditanggung pemilik barang.

Jadi, imbuhnya, sesuai beleid itu kalau peti kemas impor sudah SPPB wajib keluar pelabuhan, jangan lagi ditimbun dilini satu pelabuhan guna menjamin dwelling time tetap rendah.

“Namun kami kini justru melihat ada upaya untuk menggagalkan implementasi beleid itu di pelabuhan Priok. Padahal ALFI sudah mengkaji bahwa jika aturan tersebut diterapkan konsisten akan membuat dwelling time yang diharapkan pemerintah tercapai dan biaya logistik juga otomatis ikut turun signifikan,” ujarnya kepada Bisnis pada Kamis (9/11/2017).

Widijanto prihatin dengan tidak berjalannya Permenhub No. 25/2017 itu meskipun sudah ada sistem dan prosedur sebagai juklaknya yang tertuang dalam peraturan Kepala Kantor Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Priok No. UM.008/27/11/OP.TPK.2017 tanggal 9 Oktober 2017 tentang perubahan atas peraturan kepala kantor otoritas pelabuhan utama Tanjung Priok No. UM.008/31/7/OP.TPK.2016 tanggal 10 november 2016 tentang tata cara pemindahan barang yang melewati batas waktu penumpukan (long stay) di pelabuhan Tanjung Priok.

ALFI, kata dia, mengajak seluruh stakeholders di pelabuhan Priok turut mendukung program Pemerintah dalam menurunkan dwelling time dan memangkas biaya logsitik di pelabuhan Priok.

“Operator terminal peti kemas itu bisnis intinya bongkar muat bukan mengandalkan pendapatan dari storage. Sebaiknya semua stakeholders di Priok dapat duduk bersama supaya aturan yang sudah di terbitkan Kemenhub bisa berjalan,” paparnya.

Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok, Dwi Teguh Wibowo mengatakan, masih mengkonsep jawaban atas pertanyaan surat asosiasi pengelola terminal peti kemas Indonesia (APTPI) mengenai sikap instansi tersebut terhadap kegiatan relokasi peti kemas impor yang sudah SPPB atau longstay.

“Nanti saya update, Sekarang masih dikonsepkan oleh kepala bidang terkait .Insya Allah minggu ini sudah ada jawaban,” ujarnya dikonfirmasi Bisnis, Kamis (9/11/2017).

Pada 26 Oktober 2017, APTPI melalui suratnya No. 05/APTPI/OKT-SK/2017 yang ditandatangani Sekjen APTPI Yos Nugroho, mempertanyakan kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok prihal aturan relokasi peti kemas bestatus SPPB ke depo non TPS.

Dalam surat APTPI yang diperoleh Bisnis, asosiasi itu mempertanyakan antara lain; apakah Kantor Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok memberikan izin kepada terminal operator peti kemas dalam penyampaian data peti kemas yang berstatus SPPB dan melewati batas waktu penumpukan kepada pihak depo peti kemas non-TPS.

Sebagaimana diketahui, SPPB adalah dokumen kepabeanan untuk pengeluaran barang dari terminal peti kemas dan secara hukum memiliki risiko yang sangat tinggi dalam tanggung jawab bila terjadi penyalahgunaan data SPPB tersebut.

“Selama ini pihak terminal hanya mendapatkan data dari sistem tempat penimbunan sementara (TPS) online yang terkoneksi dengan sistem billing di terminal dan berfungsi dalam melakukan pencocokan dalam pengeluaran peti kemas,” kutip surat APTPI itu.

APTPI mendukung program pemerintah untuk menyederhanakan proses administrasi yang terukur dalam proses pengeluaran peti kemas dalam upaya menekan dwelling time , namun dalam koridor mekanisme yang efektif sehingga tidak menambah beban biaya logistik bagi pengguna jasa.

Surat APTPI itu diklaim mewakili lima operator terminal peti kemas ekspor impor di Indonesia yakni; Jakarta International Container Terminal (JICT), TPK Koja, Terminal Peti Kemas Surabaya, Terminal.Mustika Alam Lestari (MAL) dan New Priok Container Terminal One (NPCT-1).

Jangan bikin gaduh

Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) mengingatkan Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo) agar tidak membikin gaduh di pelabuhan dengan menyatakan Permenhub No 25/2017 menaikkan biaya logistik.

Peringatan itu disampaikan Ketum DPW Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Widijanto dalam keterangan pers DPW ALFI DKI Jakarta pada Kamis (9/11/2017).

Selain itu, kata Widijanto, Depalindo juga membuat gaduh karena ingin mengubah defenisi dwelling time yang selama ini mengacu pada Bank Dunia dan berlaku secara internasional.

Depalindo ingin kembali menjadikan yard occupancy ratio (YOR) 65% sebagai parameter pemindahan petikemas dari lini satu pelabuhan keluar terminal.

Padahal, kata Widijanto, PM 25 Tahun 2017 pada intinya membatasi masa inap kontainer yang sudah mendapat clearance kepabeanan di lini I paling lama 3 hari. Setelah itu, harus keluar dari pelabuhan untuk menjamin kelancaran arus barang.

“Pernyataan Depalindo yang menyebut pelaksanaan PM 25 Tahun 2017 menimbulkan logistik biaya tinggi tidak meyakinkan. Dasarnya apa, hitung-hitungannya mana kok asal njeplak ngomong tanpa dasar, ” ujar Widijanto.

Ketua DPW ALFI DKI itu juga menyayangkan Ketua Umum Depalindo Toto Dirgantoro yang dinilainya belum memahami definisi dwelling time, namun meminta Kemenhub merevisi PM 25/2017 dan relokasi petikemas mengacu pada YOR di atas 65%. “Itu namanya berpikir mundur,” ujar Widijanto.

Dia mengatakan pola pikir Toto yang juga komisaris salah satu anak perusahaan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo II) ini tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah mendorong kelancaran arus barang di pelabuhan.

Widijanto mengatakan para pemangku kepentingan sudah sepakat pelabuhan bukan tempat menimbun barang, tapi tempat bongkar muat.

“Ini artinya lapangan penumpukan terminal petikemas lini 1 bukan tempat penimbunan barang, tapi sebagai area transit menunggu pengurusan dokumen kepabeanan, kemudian keluar pelabuhan jika sudah dapat surat perintah pengeluaran barang (SPPB) melebihi 3 hari,” ujarnya.

Sebelumnya, Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo) mendesak agar kegiatan pindah lokasi penumpukan atau relokasi peti kemas impor dari lini satu pelabuhan/terminal peti kemas ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok mengacu pada utilisasi fasilitas dan jika YOR di terminal peti kemas mencapai 65%.

Ketua Umum Depalindo Toto Dirgantoro mengatakan sejak adanya Permenhub No. 25/2017 tentang Perubahan atas peraturan menhub No. 116/2016 tentang Pemindahan barang yang melewati batas waktu penumpukan atau longstay di pelabuhan utama Belawan Medan, Tanjung Priok, Tanjung Perak Surabaya, dan Pelabuhan Makassar, beban logistik yang ditanggung pemilik barang justru bertambah.

Pasalnya dalam beleid itu disebutkan penumpukan barang impor hanya dibatasi maksimal 3 hari di pelabuhan dan yang sudah clearance kepabeanan pun atau SPPB seperti diamanatkan dalam beleid itu  mesti keluar dari lini satu.

“Menurut saya, ini tidak menyelesaikan masalah dwelling time, justru berpotensi menambah biaya logistik. Makanya Depalindo minta Permenhub 25/2017 dicabut atau setidaknya direvisi agar pemindahan petikemas mengacu YOR terminal 65%,” ujar Toto. (bisnis.com/ac)