Yukki: sinergi BUMN & swasta perlu kejar Konektivitas ASEAN 2025

Ketua Umum ALFI (Asosiasi Logistik dan Forwarders Indonesia), Yukki Nugrahawan Hanafi menekankan pentingnya kolaborasi antar instansi terutama antara BUMN dan swasta untuk mendukung program pemerintah dalam membuat program menuju ‘Konektivitas ASEAN 2025.’

JAKARTA (alfijak): “Konektivitas logistik di kawasan ASEAN hanya dapat terwujud bila kita menjalin sinergitas strategis antara perusahaan logistik BUMN dan Swasta. Akan jauh panggang dari api jika pelaku industri logistik saling mengedepankan ego dan mengesampingkan semangat kolaborasi,” ujar Yukki yang juga merupakan Chairman AFFA (ASEAN Federation of Forwarders Associations) belum lama ini.

Logistik dikatakan Yukki merupakan bidang yang bersifat multisektoral.

Oleh sebab itu, diperlukan kerjasama oleh seluruh pihak terkait dalam mendorong daya saing industri logistik dalam negeri termasuk para pelaku logistik dan penyedia jasa logistik yang terdiri atas perusahaan- perusahaan swasta dan perusahaan- perusahaan BUMN.

Dalam hal ini, dirinya menyebutkan bahwa ALFI sebagai bagian dari AFFA memiliki peran penting dalam meningkatkan utilisasi aset, optimalisasi rencana investasi (pengembangan fasilitas), dan meningkatkan integrasi pelayanan salah satunya melalui platform “The HiVE.”

“ALFI sebagai bagian dari AFFA telah mengadopsi dan sepakat untuk bersama-sama membangun dan mengembangkan platform e-connectivity dengan meluncurkan ‘The Hive’ bersama. dengan pelaku logistik di negara-negara ASEAN,” papar Yukki..’

Dalam pidato saat pembukaan acara ini, Menteri Perhubungan RI, Bapak Budi Karya Sumadi mengatakan ASEAN telah menjadi pasar ekonomi terbuka dan terpadu, dimana perdagangan antar negara ASEAN mewakili 24% dari total perdagangan negara-negara ASEAN.

Dalam situasi ini AFFA merupakan aktor penting dalam membuat konektivitas menjadi sukses.

“AFFA harus mempromosikan dan membangun kerja sama yang kuat antar anggota dan membantu pemerintah untuk mewujudkan program konektivitas logistik di kawasan ASEAN,” ujar Menhub.  (tribunnews.com/ac)

 

BC yakin post border bisa turunkan dwelling time di pelabuhan

Pemerintah meyakini pengubahan mekanisme pengawasan terhadap baja impor melalui skema post border dapat menurunkan dwelling time di pelabuhan.

Kepala Seksi Impor Kantor Pusat Ditjen Bea Cukai Anju Hamonangan Gultom menyatakan pengawasan kesesuaian barang dapat dilakukan di luar pelabuhan.

Postborder itu nantinya dilakukan dalam rangka mempercepat dwelling time. Sama sekali tidak mengurangi pengawasan instansi mana pun, tapi memang mekanismenya saja yang berubah,” ujarnya di dalam gelaran Indonesia Quality and Safety Forum 2017, Rabu (29/11).

Pemerintah tidak serta merta mengalihkan seluruh pemeriksaan kesesuaian barang impor menjadi post border.

Menurutnya, pemerintah mengutamakan pengecekan barang yang terkait  langsung dengan kesehatan dan keselamatan tetap dilakukan di pelabuhan.

“Tidak semua barang menjadi post border, banyak yang tetap dilakukan di dalam port,” ujarnya

Berdasarkan data Ditjen Bea Cukai, dwelling time pada pelabuhan Tanjung Priok pada November rerata mencapai 3,2 hari.

Angka tersebut mencakup pre-clearance selama 1,8 hari, custom clearance selama 0,4 hari, dan post clearance 1,01 hari. “Targetnya bisa ditekan menjadi sekitar 2 hari,” ujarnya.

Sebelumnya, pebisnis baja domestik mencemaskan skema post border yang berisiko memperlonggar fungsi pengawasan terhadap baja imporPenyesuaian ketentuan pengawasan tersebut rencananya berlaku mulai Februari 2018.

Potensi biaya

Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia Hidayat Triseputro menyatakan pabrikan memperkirakan kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan biaya tambahan bagi industri dan memperlambat kecepatan importasi.

“Kalau boleh jujur, sebenarnya kami juga sedang meraba-raba bagaimana dampaknya nanti.  Tapi pertanyaaannya, siapa saja yang terlibat dalam pengawasannya nanti?” ujarnya.

Menurutnya, ketentuan pemeriksaan fisik barang yang dilakukan di dalam gudang penyimpanan importir memungkinkan barang impor tertahan lebih lama.

“Dan itu juga berkaitan dengan kemungkinan tambahan cost karena bukan tidak mungkin malah mengurangi kecepatan barang masuk. Semakin lambat kecepatan barang keluar masuk, itu yang mengganggu produksi,”ujarnya.

Terlebih, pemeriksaan fisik barang pada skema post border menimbulkan berbagai pertanyaan lain tatkala barang impor tak memenuhi ketentuan pemerintah. Sementara itu, barang tersebut sudah berada di dalam gudang importir.

“Dan  yang terpenting, begitu ada barang yang tidak sesuai ketentuan masuk, lalu barangnya mau diapakan? Dibalikin re-ekspor lagi kan rasanya kan enggak mungkin, sedangkan kalau hanya pengecekan barang sesuai sesuai dokumen, resiko barangnya tidak sesuai itu tinggi sekali,” ujarnya. (bisnis.com/ac)

Aptrindo desak UU Nomor 22 Tahun 2009 segera direvisi

Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) menilai sudah waktunya pemerintah merevisi UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan jika ingin serius melakukan penindakan di jembatan timbang terhadap angkutan barang dengan muatan atau tonase berlebih.

JAKARTA (alfijak): Wakil Ketua Aptrindo Bidang Distribusi dan Logistik Kyatmaja Lookman mengatakan pemerintah akan kesulitan menghilangkan muatan atau tonase berlebih jika UU No. 22/2009 tidak direvisi.

UU itu, ungkapnya, baru menyentuh pengemudi angkutan barang truk ketika terdapat pelanggaran muatan atau tonase berlebih.

“Susah [menghilangkan overtonase atau overload tanpa merevisi UU No. 22/2009] karena semua harus dimulai dari aturan tertingginya,” kata Kyatmaja di Jakarta pada Senin (27/11/2017).

Dia menjelaskan muatan atau tonase berlebih dan kemacetan sangat merugikan bagi para pelaku usaha angkutan barang truk. Akibat kedua hal tersebut, lanjutnya utilisasi angkutan barang menjadi sangat rendah.

Saat ini, menurut dia, angkutan barang truk di Thailand bisa 2,5 kali lebih produktif dibandingkan dengan di  Indonesia, Eropa empat kali, dan Amerika Serikat bisa 5 kali lebih produktif. Dia menegaskan muatan berlebih dapat memperpendek umur kendaraan hingga 50%. “Kalau utilisasi, kita lihat konteks daya saing saja.”

Dia menambahkan para pelaku usaha angkutan barang truk pada dasarnya tidak suka dengan muatan atau tonase berlebih.

Oleh karena itu, lanjutnya, pihaknya setuju dengan penindakan yang dilakukan pemerintah di jembatan timbang terhadap truk bermuatan atau tonase berlebih.

Kemudian, ujar Kyatmaja, UU No. 22/2009 juga perlu direvisi mengingat sudah ada cukup lama dan perlu pembaruan dengan mengacu pada situasi-situasi terkini.

“Kalau pemerintah serius yang diperbaiki, kalau enggak ya biarkan saja.”

Dia mengungkapkan angkutan barang sejak 1993 tidak pernah diatur oleh pemerintah.

Akademisi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Djoko Setijowarno mengatakan komponen sanksi yang tegas kepada pemilik barang merupakan yang paling penting diatur jika pemerintah  merevisi UU 22/2009 agar tidak ada truk muatan atau tonase berlebih.

Pemerintah, ungkapnya, bisa memberikan sanksi berupa pidana selain administratif terhadap pemilik barang yang kedapatan barang-barang yang diangkutnya melebihi jumlah berat yang diizinkan.

“Sanksi yang lebih tegas kepada pemilik barang. Tidak hanya administratif, tapi juga pidana,” kata Djoko.

Dia menambahkan selama ini pihak yang paling banyak terkena sanksi akibat muatan atau tonase berlebih adalah pengemudi. (bisnis.com/ac)

Diduga monopolistik, ALFI siap gugat CFS ke KPU

Perusahaan forwarder dan logistik yang beroperasi di pelabuhan Tanjung Priok keberatan adanya pemusatan kegiatan konsolidasi kargo ekspor impor atau container freight station (CFS) center di pelabuhan itu karena berpotensi monopolistik dan menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat.

JAKARTSA (alfijak): kretaris Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Adil Karim menyatakan asosiasinya akan menyampaikan kepada komisi pengawas persaingan usaha (KPPU) untuk mempertanyakan pendapat lembaga tersebut perihal adanya CFS center di pelabuhan Priok yang kini disiapkan oleh PT.Pelindo II/IPC.

“Kemarin (27/11), sejumlah perusahaan forwarder mengadukan masalah kehadiran CFS centre di Priok itu kepada ALFI karena berpotensi mematikan kegiatan usaha forwarder yang selama ini berada di luar pelabuhan Priok dalam melayani kargo impor berstatus less than container load. Secepatnya, ALFI akan pertanyakan masalah ini kepada KPPU,” ujarnya kepada Bisnis.com, Selasa (28/11/2017).

Adil mengungkapkan, selama ini penanganan kargo impor berstatus lesss than container load (LCL) tersebar di sejumlah fasilitas gudang yang ada di dalam pelabuhan Priok maupun gudang di luar pelabuhan yang masih dalam wilayah pabean pelabuhan Tanjung Priok.

“Jika harus dipusatkan di dalam satu lokasi atau CFS centre di dalam pelabuhan apakah hal ini tidak bertentangan dengan UU monopoli dan persaingan usaha?.Sebab Pelindo II sebagai BUMN semestinya juga ikut berperan menumbuhkembangkan usaha swasta dengan cara kemitraan, bukan menciptaka persaingan yang berpotensi tidak sehat,” paparnya.

Dia juga menyatakan fasilitas CFS centre di dalam area Pelabuhan Tanjung Priok berpotensi membuat pelabuhan itu terancam kemacetan dan krodit, lantaran lokasi fasilitasnya tidak tepat.

Lokasi CFS centre Priok saat ini berada di eks gudang Masaji Kargo Tama (MKT) dan Gudang Agung Raya yang saat ini bersebelahan dengan akses masuk utama pos 9 Pelabuhan Tanjung Priok.

“Mestinya dilakukan kajian terlebih dahulu sebelum menentukan lokasinya CFS centre, karena sekarang ini saja truk untuk masuk ke gudang Agung Raya bisa memakan tiga lapis lajur jalan dan parkirnya di pinggir jalan dekat pintu masuk gudang itu.Apalagi kalau di gudang itu di jadikan CFS centre akan menjadi masalah baru terkait traffic di dalam pelabuhan,”paparnya.

Adil mengatakan sejak awal ALFI sudah menyampaikan kepada PT.Pelindo II/IPC untuk melakukan simulasi terlebih dahulu soal CFS centre di pelabuhan Priok sebelum dioperasikan termasuk bagaiman sistem tehnologi yang akan diimplementasikannya.

Selain itu, imbuhnya, ALFI juga sudah mengusulkan supaya disiapkan satu lokasi lainnya di luar pelabuhan untuk CFS centre itu yang terintegrasi dengan sistem layanan arus barang berbasis online.

“ALFI juga sudah meminta agar dilakukan kajian supaya tidak terjadi traffic jump di pelabuhan akibat barang impor LCL dikumpulkan hanya di dua fasilitas gudang itu yakni MKT dan Agung Raya. Sebab selama ini saja kondisnya sudah jalan ke lokasi itu macet,” paparnya.

Dia mengatakan Pelindo II hendaknya tidak memaksakan kehendak mengoperasikan fasilitas CFS centre di lokasi fasilitas yang ada saat ini, namun bisa dicarikan solusi alternative lokasi lainnya yang tidak menimbulkan persoalan baru terutama menyangkut kelancaran arus barang dari dan ke pelabuhan Priok.

“Kami melihat CFS centre yang disiapkan Pelindo II saat ini terkesan BUMN itu hanya untuk mengisi fasilitas gudang miliknya yang selama ini kosong sehingga mau dipaksakan dengan dalih CFS centre,” paparnya.

Pada prinsipnya ALFI DKI sangat mendukung program modernisasi pelabuhan Priok namun harus jelas konsepnya dan kajiannya serta jangan hanya sekedar untuk merebut pasar yang sudah ada selama ini untuk dialihkan ke CFS centre tetapi berdampak masalah traffic di dalam pelabuhan sehingga menggangu kelancaran arus barang ekspor impor khususnya yang full container.

Untuk kategori barang LCL, cargo owner-nya itu adalah perusahaan forwarder dan pengirimannya dari negara asal adalah container yard to container yard atau yang sering disebut CY to CY sehingga sampai dipelabuhan atau pun terminal perusahaan forwarder yang melakukan pecah pos status barang itu ke pelayaran pengangkutnya.

“Forwarder punya hak menempatkan di gudang manapun untuk kargo impor berstatus LCL itu bukan harus di dalam pelabuhan. Makanya, jangan sekedar bikin fasilitas CFS center tetapi acuannya juga mesti jelas,”tuturnya.

Fasilitas CFS center di Pelabuhan Priok, saat ini dioperasikan oleh dua perusahaan penyedia logistik di pelabuhan itu yakni PT.Multi Terminal Indonesia (IPC Logistic Services) dan PT.Agung Raya Warehouse. (bisnis.com/ac)

Appkindo bantah jadi penyebab biaya logistik tinggi di bandara

Asosiasi Perusahaan Pemeriksa Keamanan Kargo dan Pos Indonesia (Appkindo) membantah jika pihaknya dianggap sebagai penyebab utama biaya logistik di bandara tinggi.

JAKARTA (alfijak): Ketua Umum Appkindo Andrianto Soedjarwo mengatakan pemerintah harus objektif dalam menilai biaya logistik di bandara. Pasalnya, penentuan tarif agen inspeksi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.

“Beberapa waktu lalu kami disurvei oleh Kemenko Maritim. Kami dianggap jadi penyebab biaya logistik tinggi. Padahal, biaya kami tinggi juga karena aturan yang dibuat pemerintah,” katanya kepada Bisnis di Jakarta pada Minggu (26/11/2017).

Biaya yang dimaksud Andrianto antara lain pembelian mesin pemindai (x-ray) baru dan biaya sewa gudang dan lahan di sekitar bandara.

Apalagi, baru-baru ini Kementerian Perhubungan mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 53 Tahun 2017. Dalam aturan baru tersebut regulated agent (RA) diharuskan menggunakan mesin x-ray dual view untuk kargo tujuan internasional.

“Sekarang x-ray harus dual view, mengadopsi standar Eropa dan Amerika. Jadi terpaksa kami harus beli lagi. Artinya kami harus naikkan harga,” ucapnya.

Andrianto menjelaskan harga mesin x-ray teknologi terbaru cukup mahal. Kisaran harganya antara Rp4,5 miliar-Rp6,6 miliar.

Sebelumnya, sejumlah pelaku industri logistik mengeluhkan keberadaan RA yang dinilai membebani biaya pengiriman barang.

Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspress Pos dan Logistik Indonesia (Asperindo) menilai RA sepatutnya dievaluasi karena membuat biaya pengiriman tinggi. (bisnis.com/ac)

GINSI siapkan action plan untuk bersinergi dengan Bea Cukai

Gabungan importir nasional seluruh Indonesia (GINSI) DKI Jakarta menyiapkan action plan untuk melakukan sinergi lebih konkret dengan Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok dalam rangka sosialisasi kebijakan pemerintah terkait importasi untuk mendukung kelancaran arus barang.

JAKARTA (alfijak): Ketua BPD GINSI DKI Jakarta, Subandi mengatakan, pelayanan custom di pelabuhan Tanjung Priok yang kini dipimpin Dwi Teguh Wibowo dinilainya saat ini cukup humanis dan responsif agar terus ditingkatkan untuk menyukseskan program pemerintah menekan dwelling time dan menurunkan biaya logistik nasional.

Dia mengatakan faktor kelancaran arus barang dan efisiensi logistik di pelabuhan Priok sangat berdampak pada biaya logistik nasional mengingat lebih dari 65% arus barang ekspor impor saat ini dilayani melalui pelabuhan Priok.

“GiNSI akan lebih aktif menyelesaikan kendala yang dihadapi para importir yang berkaitan dengan ketidaktahuan importir terhadap regulasi yang ada. Hal ini untuk mendukung kelancaran arus barang di Tanjung Priok sebagaimana yang diharapkan pemerintah termasuk Presiden Jokowi,” ujarnya kepada Bisnis, Sabtu (25/11/2017).

Kendati begitu, kata dia, GINSI DKI juga mengimbau kepada para importir agar bekerja secara profesional dan mentaati segala regulasi yang ada.

Subandi mengatakan, Ginsi DKI akan lebih sering melakukan sosialisasi kepada perusahaan importir agar para anggota dapat mengupdate dan mengupgrade terkait pengetahuan perdagangan luar negeri terutama soal importasi.

“Tentunya, Ginsi DKI juga berharap hubungan kemitraan dengan custom dapat terus ditingkatkan agar tercipta susana kondusif dan tidak ada kegaduhan di pelabuhan,” ujar dia.

Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Dwi Teguh Wibowo mengatakan, saat ini terdapat tiga kategori karakteristik importasi melalui pelabuhan Priok.

Untuk kategori importasi jalur merah mencapai 7%, jalur kuning 8% dan jalur hijau 85%.

“Dengan karakteristik itu, sentuhan Bea Cukai terhadap kegiatan importasi tidak terlalu banyak sebab yang 85% tersebut tidak perlu dilakukan pemeriksaan dokumen maupun fisik barangnya,” ujar Dwi Teguh. (bisnis.com/ac)


Biaya logistik CBL perlu dihitung ulang

PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II (Persero) terus menggenjot persiapan proyek Inland Waterways Cikarang Bekasi Laut Jawa (CBL).

JAKARTA (alfijak): Proyek inisiasi dari Pelindo II yang menjadi salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) itu diharapkan bisa berjalan sesuai target.

Direktur Operasi dan Sistem Informasi Pelindo II, Prasetyadi menyatakan saat ini hasil feasibility study (FS) Inland Wateways CBL telah selesai.

Namun pihaknya masih mengajukan kajian tambahan yang diminta Balai Besar Wilayah Ciliwung-Cisadane untuk dapat rekomendasi teknis sebagai dasar penerbitan izin pemanfaatan kanal dari Kementerian PUPR.

“Kita masih melakukan koordinasi dengan Kementerian PUPR untuk pengurusan izin penggunaan kanal dan secara simultan sedang menyusun detail desain dari aspek komersial, operasional dan teknik,” kata Prasetyadi kepada Kontan.co.id, Kamis (23/11).

Tapi dari hasil kajian FS, ada beberapa proyek infrastruktur eksisting yang bersinggungan dengan Inland Weterways CBL.

Di antaranya, adanya Jembatan Sukajaya, Jembatan Tembalang, Jembatan Baru, Jembatan Pulau Putar, dan Jembatan CBL. Untuk itu pihaknya akan mencarikan solusi.

“Akan dicarikan solusi dengan pihak terkait,” imbuhnya.

Dia menyatakan, proyek senilai Rp 3,4 triliun ini akan didanai dari capital expenditure (capex) secara multiyears tahun 2018 dan tahun 2019.

“Kita akan melakukan pembangunan secara bertahap disesuaikan dengan market,” pungkas dia.

Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Bambang Prihartono pihaknya mendorong agar proyek in bisa segera direalisasikan.

Maklum saja, proyek infrastruktur perhubungan ini akan jadi salah satu moda transportasi andalan memecah kemacetan angkutan barang dari Terminal Tanjung Priok.

Tapi pihaknya juga akan meminta Pelindo II untuk menghitung ulang aspek bisnis terkait logistik yang akan melalui proyek ini.

“Di khawatirkan, penggunaan CBL malah memberatkan cost logistik bagi pemakai jangan dengan pengenaan Canal Due dan penampungan barang di Container Yard milik Pelindo di Tanjung Priok,” jelas dia. (kontan.co.id/ac)

JICT buka kembali rute THI intra-Asia

Jakarta International Container Terminal (JICT) kembali menerima layanan kapal baru tujuan Intra Asia.

JAKARTA (alfijak): Pelabuhan peti kemas terbesar se-Indonesia ini, melayani rute Taiwan – Hong Kong – Indonesia (THI) dari gabungan perusahaan pelayaran Yangming dan TS Line.

Kapal perdana Princess of Luck milik Yang Ming sandar tepat pukul 00.00 WIB. Kapal berbendera Siprus ini, memiliki bobot mati 24.346 dwt.

JICT layani rute THI dengan skedul rutin mingguan, dimulai Rabu hingga Jumat dini hari. Adapun dalam satu minggu, JICT mampu menangani 35 kapal sampai 40 Kapal.

Rute kapal baru yang dilayani meliputi Jakarta – Semarang – Surabaya – Kaohsiung – Hongkong – Shekou Container Terminal.

Direktur Operasional JICT, Kim Chang Su, mengatakan, pihaknya akan terus berupaya memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan.

“Kami berharap, kerja sama ini bisa menguntungkan semua pihak,” ujar Kim saat seremoni di atas kapal, di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (23/11).

Turut hadir pada acara Seremoni penyambutan kedatangan kapal perdana yakni Direktur Operasi JICT CS Kim, General Manager Yang Ming Santos Chu, Owner Representative TS Line Hank Liang dan Senior Manager Marketing JICT, Yanti Agustinova.

Nahkoda kapal Princess of Luck, kapten Tomchakovsky Sergiy, menyatakan, pihaknya memberikan apresiasi tinggi kepada JICT.

“Terimakasih kepada JICT. Saya berharap kinerja pelabuhan ini selalu prima,” ujarnya.

Sementara itu, Wakil Presiden Direktur JICT, Riza Erivan mengatakan, kedatangan kapal-kapal baru ke JICT adalah bentuk kepercayaan terukur dari pelanggan.

“Bagi JICT, pelayanan yang utama. Kapal-kapal tujuan internasional ini harus dapat dilayani dengan baik,” kata Riza. (beritasatu.com/ac)

Angsuspel tolak larangan beroperasi menjelang Natal & Tahun Baru

Seperti tahun-tahun sebelum menjelang Natal dan Tahun Baru, angkutan petikemas dan angkutan barang lainnya akan dilarang melintas di ruas tol serta jalan ekonomi yang akan dilalui para pemudik.

JAKARTA (alfijak); Namun tahun ini anggota Angkutan khusus pelabuhan (Angsuspel) Organda Provinsi DKI Jakarta menolak pembatasan/pelarangan operasional angkutan barang dan peti kemas (truk) pada musim libur Natal 2017 dan Tahun Baru 2018.

Ketua DPU Angsuspel Organda DKI Jakarta, Hally Hanafiah mengatakan kebijakan pelarangan atau pembatasan operasional truk barang pada Natal dan Tahun Baru 2018 belajar pengalaman tahun sebelumnya tidak efektif menekan kemacetan, bahkan merugikan aktivitas ekonomi nasional.

Jika operasional truk pada musim libur Natal dan Tahun Baru dilarang beroprasi, cerita Hally akan terjadi kerugian bagi pengusaha truk mencapai ratusan miliar rupiah dalam waktu tersebut.

Kerugian itu, belum termasuk kerugian dari pihak produksi barang (pabrik) dikarenakan tertundanya pengiriman produksi.

“Kami menolak rencana pembatasan truk itu dikarenakan sangat mempengaruhi distribusi logistik dari pelabuhan Priok ke wilayah tujuan, apalagi kita ketahui di saat inilah high season barang, menjadi momentum untuk mengejar target delivery hingga pengujung tahun 2017,” ujarnya Hally, Selasa (21/11/2017).

Pada bulan Desember hingga awal tahun terdapat empat hari libur yang sudah ditetapkan pemerintah sesuai kalender nasional yakni pada 25-26 Desember 2017, kemudian 31 Desember 2017 dan pada 1 Januari 2018.

“Saya berharap jangan selalu angkutan barang yang dikorbankan dan dijadikan kambing hitam saja sebagai biang kemacetan pada Natal dan Tahun Baru,” tegas Hally. (poskotanews.com/ac)