Arsip Tag: Dwi Teguh Wibowo

Kontainer impor antre behandle di Priok

Ratusan kontainer impor yang terkena pemeriksaan fisik jalur merah (behandle) di Pelabuhan Tanjung Priok Priok Jakarta harus antre menunggu di behandle lantaran belum menerima pemberitahuan informasi petugas pemeriksa (IP) dari Bea dan Cukai Pelabuhan Priok, sejak awal pekan ini.

JAKARTA (alfijak): Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok Dwi Teguh Wibowo mengatakan untuk mengejar antrean pemeriksaan kontainer wajib behandle itu, instansinya sudah menambah tambahan petugas pemeriksa.

Dari pantauan Bisnis, kondisi itu menyebabkan fasilitas atau longroom behandle di pelabuhan itu semrawut akibat dipenuhi kontainer impor yang hendak diperiksa.

Ketua Forum Pengusaha Jasa Transportasi dan Kepabeanan (PPJK) Pelabuhan Tanjung Priok M. Qadar Zafar mengatakan seharusnya petugas pemeriksanya dari Bea Cukai Priok diperbanyak supaya tidak terjadi antrean seperti saat ini.

“Soalnya kalau kegiatan penarikannya sudah cepat dari terminal peti kemas ke lokasi behandle, tetapi kalau kontainer sudah nyampe lokasi bahandle namum belum dapat IP-nya dari Bea Cukai, kita jadi nunggu lama dan menyebabkan antrean kontainer,” ujarnya kepada Bisnis pada Kamis (3/5/2018).

Qadar berharap regulator maupun penyedia fasilitas behandle di Priok dapat meningkatkan bersinergi untuk mempercepat layanan behandle kontainer impor jalur merah itu.

Saat ini kegiatan behandle kontainer impor jalur merah dari Jakarta International Container Terminal (JICT) dan Terminal Peti Kemas Koja dilaksanakan di fasilitas behandle Graha Segara yang berada di wilayah pabean Pelabuhan Priok.

Adapun terhadap kontainer impor jalur merah yang dibongkar dari New Priok Container Terminal-One (NPCT-1) dilakukan di fasilitas longroom behandle pada kawasan terminal tersebut.

Saat dikonfirmasi Bisnis, Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok, Dwi Teguh Wibowo mengatakan untuk mengejar antrean pemeriksaan kontainer wajib behandle itu, instansinya sudah menambah tambahan petugas pemeriksa.

“Dari mulai Senin pekan ini sudah kita kerahkan SDM pemeriksa tambahan khusus untuk mengurai pemeriksaan fisik di lokasi behandle Graha Segara,” ujarnya.

Dwi Teguh mengungkapkan antrean behandle diakibatkan pada pekan sebelumnya banyak outstanding lantaran lapangan tidak dapat digunakan karena cuaca hujan sehingga berdampak hingga sekarang.

Namun, dia beserta jajarannya langsung ke lapangan dan sudah berkoordinasi dengan pihak manajemen Graha Segara untuk mengoptimalkan pemeriksaan.

“Bahkan pagi tadi saya briefing 75-an pemeriksa untuk segera melakukan pemeriksaan di sekitar pukul 8.30 Wib dan ini disupport dengan penambahan jumlah buruh bongkar muat untuk mensupport pemeriksaan. Insya Allah besok sudah bisa normal kembali,” paparnya.

Dia juga mengatakan jika antrean IP banyak, maka selain di longroom, petugas Bea Cukai juga melayani di blok khusus untuk pemeriksaan kontainer. Saat ini, ungkapnya, jumlah petugas pemeriksa di KPU Bea dan Cukai Priok sebanyak 1.050 orang.

“Longroom sekali pemeriksaan kurang lebih 40-an kontainer secara bersama sama karena barang kan dikeluarkan sehingga kurang lebih sepruh kapasitas seluruh longroom untuk pemeriksaan secara bersamaan,” tutur Dwi Teguh.

Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta Widijanto mengatakan asosiasinya juga menerima sejumlah keluhan mengenai antrean kegiatan behandle di Priok itu.

“Sudah sejak awal pekan ini kami menerima keluhan itu, kami berharap ada solusi cepat supaya arus barang keluar tidak terhambat,” ujarnya.

Mulai 1 Mei 2018, Kantor Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Priok telah menetapkan standar kinerja layanan penarikan peti kemas impor yang wajib periksa fisik (behandle) dari lini satu terminal peti kemas pelabuhan Tanjung Priok ke lokasi behandle, maksimal 2,5 jam.

Penetapan batas maksimal waktu penarikan peti kemas behandle  itu untuk mendukung kelancaran impor. Selain itu, fasilitas behandle di pelabuhan Tanjung Priok agar beroperasi 24 jam sehari dan 7 hari sepekan atau 24/7. (bisnis.com/ac)

Perlu standarisasi pelayanan kargo impor LCL

Pelayanan kargo impor berstatus less than container load atau LCL di pelabuhan Tanjung Priok memerlukan standardisasi untuk menciptakan layanan yang efisien, efektif dan transparan.

JAKARTA (alfijak): Ircham Habib, Kepala Bidang Pelayanan Pabean dan Cukai Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok mengatakan sampai saat ini belum ada standardisasi untuk layanan barang impor LCL di depo atau tempat penimbunan sementara (TPS).

“Sampai saat ini belum ada standar layanan tersebut,” ujarnya saat berbicara dalam Focus Group Discussion ‘Membedah Peran CFS Center Dalam Menurunkan Biaya Logistik di Pelabuhan’ yang digelar Forum Wartawan Maritim Indonesia (Forwami) bekerja sama dengan PT. Pelabuhan Indonesia II/IPC di Jakarta, Rabu (11/4/2018).

Acara tersebut dibuka oleh Direktur SDM dan Umum PT. Pelindo II/IPC Rizal Ariansyah dan diikuti pelaku usaha terkait di pelabuha Priok. Sejak akhir 2017, PT. Pelindo II sudah menyiapkan fasilitas pusat konsolidasi kargo atau Container Freight Station (CFS) Center, di area pos 9 atau gate utama pelabuhan Priok.

Habib mengemukakan dalam terminologi kepabeanan tidak ada istilah CFS Center namun hanya mengenal istilah Tempat Penimbunan Sementara (TPS) yang memiliki izin Kemenkeu. “Pengelola CFS Centre merupakan pengusaha TPS yang bertanggung jawab atas seluruh barang yang ditimbun,” paparnya.

Dia mengatakan fasilitas CFS center mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan TPS sehingga berlaku semua ketentuan tentang pemasukan,penimbunan dan pengeluaran barang dari dan ke TPS.

“Jadi secara regulasi dan aturan kami tegaskan tidak pernah mengistimewakan fasilitas dari CFS Centre ini.Tidak ada perlakuan khusus untuk itu,” paparnya.

Direktur SDM dan Umum Pelindo II/IPC Rizal Ariansyah berharap CFS Center di Pelabuhan Priok bisa menjadi pilihan pelaku usaha dalam layanan kargo impor berstatus LCL.

“Kita ingin fokus pada kelancaran arus barang dan efisiensi di pelabuhan Tqnjung Priok,salah satunya melalui penyediaan fasilitas CFS centre di Priok,” ujarnya.

Testimoni

Kantor Bea Cukai Tanjung Priok menegaskan bahwa importir mitra utama (MITA) kepabeanan dan importir jalur hijau tidak mengalami kendala terkait dwell time di International Container Terminal, Tanjung Priok Jakarta.

Hal itu diungkapkan Kepala Kantor Bea Cukai Tanjung Priok Dwi Teguh Wibowo kepada Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi dan perwakilan instansi kepelabuhanan dalam rapat terbatas di International Container Terminal, Tanjung Priok Jakarta, belum lama ini.

Namun, Dwi mengakui, masih terdapat kendala pada importir jalur kuning dan jalur merah.

“Hampir 50% importir jalur kuning dan jalur merah mulai melakukan kegiatan pre-customs clearance pada hari ketiga setelah kedatangan sarana pengangkut,” ujar Dwi melalui siaran pers, Rabu (11/4/2018).

Begitu juga dalam kegiatan post customs clearance, lanjut dia, sebanyak 45% mengeluarkan barang dari tempat penimbunan sementara pada hari ketiga setelah mendapatkan Surat Perintah Pengeluaran Barang.

Masalah-masalah tersebut menurutnya akan dikaji untuk mengetahui faktor terbesar apa yang memengaruhinya.

Setelah mendengarkan pemaparan dari Kantor Bea Cukai Tanjung Priok,

Menhub meminta beberapa pengguna jasa yang hadir untuk memberikan testimoni, kritik, maupun masukan terkait pelayanan dan pelaksanaan kegiatan kepabeanan di pelabuhan.  (sindonews.com/bisnis.com)

Dwelling time Priok melonjak, pengawasan longgar

Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok sedang mendalami dan memverifikasi penyebab naiknya angka dwelling time di pelabuhan tersebut.

JAKARTA (alfijak): Dwelling time merupakan masa inap barang/peti kemas impor yang dihitung berdasarkan tiga indikator yakni pre-clearance,custom clearance, dan post clearance.

Kepala KPU Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok Dwi Teguh Wibowo mengatakan penyebab naiknya rata-rata dwelling time harus dilihat secara detial dan konprehensif melalui tiga indikator tersebut.

Di Pelabuhan Priok, ungkapnya, karekteristik importasi didominasi jalur hijau/prioritas atau MITA (mitra utama) sebanyak 80% dan sisanya jalur kuning 7% dan jalur merah kurang dari 10%.

“Melihat dwelling time itu mesti konprehensif dalam mencari solusinya, jangan sampai ada percepatan waktu namun tidak seiring dengan penurunan cost logistik,” ujarnya kepada Bisnis.com pada Senin (29/1/2018).

Menurut dia, dari kegiatan jalur importasi yang 80% itu masih perlu dianalisa apakah berkontribusi pada penaikan dweling time.

“Jangan sampai kita terjebak, masak sih yang 80% itu tadi tidak memperhitungkan cost logistik sementara importasinya sudah bisa clearance dokumen saat submit,” paparnya.

Sedangkan untuk pemeriksaan fisik peti kemas jalur merah, Bea dan Cukai sudah menyiapkan lebih banyak SDM pemeriksa, bahkan bisa dilakukan pemeriksaan malam hari.

Dwi Teguh mengungkapkan pada Senin siang (29/1/2018) KPU Bea Cukai Tanjung Priok juga menerima kunjungan dari Komisi XI DPRRI dan Staf Khusus Kepresidenan serta Ditjen Bea dan Cukai, untuk mengetahui kondisi dwelling time di Priok.

Kepala Kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok Arif Toha Tjahjagama mengatakan instansinya akan berkordinasi dengan KPU Bea dan Cukai Tanjung Priok dalam upaya menekan angka dwelling time di pelabuhan.

“Kita koordinasi dengan Bea Cukai terhadap hal ini.”

Longgar

Longgarnya pengawasan dari instansi terkait ditengarai menjadi penyebab melambungnya rerata masa inap barang dan peti kemas atau dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok yang lebih dari 4 hari.

Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Gemilang Tarigan mengatakan instansi yang terkait dengan kegiatan ekspor impor termasuk kementerian dan lembaga (K/L) di pelabuhan mesti terus memantau pergerakan dwelling time tersebut.

“Jangan menunggu Presiden Joko Widodo kembali turun mengurusi dwelling time seperti yang terjadi beberapa tahun lalu. Otoritas pelabuhan dan K/L terkait mestinya konsisten mengawal dwelling time itu,” ujarnya kepada Bisnis pada Senin (29/1/2018).

Menurut Tarigan, saat ini angka dwelling time di setiap pelabuhan bisa diakses secara terbuka oleh masyarakat melaui dashboard online INSW (Indonesia National Single Window], dan seharusnya menjadi perhatian kementerian dan instansi yang berwenang.

Data online dashboard dwelling time INSW, per 29 Januari 2018, menyebutkan masa inap barang dan kontener di Pelabuhan Priok atau dwelling time rata-rata masih 4,75 hari.

Perinciannya, rata-rata dwelling time di Jakarta International Container Terminal (JICT) 4,7 hari, TPK Koja 4,5 hari, New Priok Container Terminal-One (NPCT-1) 4,1 hari, Terminal Mustika Alam Lestari (MAL) 4,2 hari, dan Terminal 3 Priok 4,7 hari.

Wisnu Waskita, praktisi forwarder dan logistik di Pelabuhan Priok yang juga Komisaris PT Tata Waskita, menilai belum optimalnya fasilitas Container Freight Station (CFS) centre menjadi salah satu penyebab dwelling time untuk impor di Priok naik.

“Padahal fasilitas lapangan CFS centre yang juga bisa menjadi buffer area impor sudah tersedia di Priok dan sistem IT serta single billing-nya sudah didiimplemantasikan.inikan semestinya dioptimalkan oleh semua pelau impor di pelabuhan,” ujarnya.

Wisnu mengatakan fasilitas CFS Centre di Priok merupakan komitmen PT Pelabuhan Indonesia II/IPC dalam meningkatkan performance layanan dan tata kelola pelabuhan yang lebih modern agar biaya logistik semakin efisien.

“Maka itu, kami rasa aneh jika masih ada pihak-pihak yang menolak kehadiran fasilitas CFS Centre di Priok. Padahal dengan fasilitas itu, semua kargo impor LCL bisa terdeteksi dengan baik dan tentunya biayanya juga akan efisien,” paparnya.

Sejak akhir 2017, Pelindo II mengoperasian fasilitas CFS Centre di Priok yang berlokasi  di lapangan eks-gudang Masaji Kargo Tama (MKT) dan Gudang Agung Raya yang saat ini bersebelahan dengan akses masuk utama pos 9 Pelabuhan Tanjung Priok.

CFS Centre di Priok itu kini dioperasikan oleh dua perusahaan penyedia logistik yakni PT Multi Terminal Indonesia (IPC Logistic Services) yang juga merupakan anak usaha PT Pelindo II dan PT Agung Raya Warehouse.

Wisnu mengutarakan dengan pemusatan konsolidasi kargo impor less than container load (LCL) diharapkan layanan tidak semrawut dan pengeluaran/delivery barang lebih cepat sehingga dwelling time bisa lebih dikontrol.

“Selama ini layanan LCL kargo impor itu tersebar di banyak lokasi. Ini menyulitkan dari sisi pengawasan sehingga dwelling time-nya juga tidak bisa dikontrol. Sebagai pelaku usaha kami mendukung adanya penataan di pelabuhan terkait dengan layanan kargo impor LCL dipusatkan ke CFS Centre di Priok,” ujarnya.

Edukasi importir

Pemerintah perlu lebih gencar melakukan sosialisasi dan edukasi kepada pebisnis yang berkicimpung dalam kegiatan importasi di pelabuhan untuk menekan angka dwelling time guna mengefisiensikan biaya logistik nasional.

Sekjen Indonesia Maritime, Transportation, & Logistic Watch (Imlow) Achmad Ridwan Tento mengharapkan upaya itu dilakukan terus menerus supaya terjalin sinergi program pemerintah terkait dengan penurunan dwelling time dengan kepentingan pelaku usaha.

“Untuk mencapai angka dwelling time ideal di pelabuhan itu mesti dilihat komprehensif dari sisi pemerintah selaku regulator dan pelaku bisnis. Harus disinergikan,” ujarnya.

Ridwan menyampaikan hal tersebut sehubungan dengan naiknya rata-rata angka dwelling time di sejumlah terminal peti kemas ekspor impor yang dikelola PT Pelindo II/IPC dan PT Pelindo III.

Berdasarkan data dashboard dwelling time INSW (Indonesia National Single Window) per 25 Januari 2018, rerata dwelling time di Pelindo III mencapai 5,45 hari dengan perincian di Terminal Peti Kemas Semarang 7,05 hari dengan jumlah kontener menumpuk sebanyak 11.898 boks, TPS Surabaya 4,86 hari (28.230 boks) dan Terminal Teluk Lamong 5,08 hari (6.523 boks).

Sedangkan rerata dwelling time di Pelindo II, mencapai 4,9 hari dengan perincian di Jakarta International Container Terminal (JICT) 5,3 hari dan jumlah kontainer menumpuk sebanyak 42.744 boks, terminal peti kemas Koja 4,8 hari (23.797 boks), New Priok Container Terminal-One (NPCT-1) 4,1 hari (22.488 boks) dan untuk Terminal 3 Priok 5,3 hari (74.814 boks).

Ridwan yang menjabat Ketua Bidang Kemaritiman Asosiasi Profesor Doktor Hukum Indonesia (APDHI) itu menjelaskan merujuk pada Bank Dunia, dwelling time dihitung berdasarkan indikator pre-clearance, custom clearance, dan post-clearance.

Selama ini, menurut dia, operator pelabuhan (PT Pelindo) sudah berupaya memperbaiki kinerja operasionalnya agar masa inap barang dan peti kemas atau dwelling time di sejumlah terminal peti kemas yang dikelola BUMN itu terus membaik sesuai dengan harapan Presiden Joko Widodo agar dwelling time rata-rata hanya 3 hari.

“Melihat persoalan dwelling time yang saat ini kembali naik, kita harus fair kelambatannya di mana apakah ada di kinerja kementerian dan lembaga (K/L) atau pada perilaku importir yang tidak mau berubah. Ini yang perlu perlu sama-sama diselidiki dan semua pihak duduk bersama,” paparnya.

Menurutnya, pemerintah sudah berupaya memperbaiki kinerja importasi dengan menerbitkan sejumlah regulasi termasuk menyiapkan suprastruktur atau sistem seperti INSW dan akan memberlakukan delivery order atau D/O online.

Namun, kata Ridwan, dari sisi pemberdayaan pelaku usahanya (importir) masih dirasa belum maksimal, padahal kegiatan importasi disejumlah pelabuhan utama seperti di Tanjung Priok Jakarta didominasi perusahaan besar manufaktur yang mengantongi jalur prioritas/MITA (mitra utama).

“Kalau jalur prioritas, itu memperoleh pelayanan berbeda, lantaran bisa pre-notification karena barang masih di kapal sudah bisa clearance dokumen kepabeanan, sehingga bisa langsung dikeluarkan dari pelabuhan,” tuturnya.

Ridwan mendesak untuk memberikan kepastian bisnis dalam rangka efisiensi kegiatan logistik, diperlukan pengaturan pengadaan barang dan jasa aktivitas logistik yang diselenggarakan perusahaan swasta.

“Selama ini tidak ada aturan tender terbuka aktivitas logistik swasta, sehingga tidak tercipta kompetisi dan keterbukaan bisnis yang sehat,” ujarnya. (bisnis.com/ac)

CEISA sering down ganggu proses eksim, biaya logistik membengkak

Layanan penerimaan dokumen kepabeanan berbasis online untuk ekspor impor melalui Pelabuhan Tanjung Priok terhambat akibat adanya gangguan pada sistem pelayanan dan pengawasan Customs-Excise Information System and Automation (CEISA) milik Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu.

JAKARTA (alfijak): Sekretaris Umum DPW Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta Adil Karim mengatakan gangguan sistem CIESA terjadi sejak Rabu siang (17/1/2018) dan hingga Kamis pagi (18/1/2018) belum bisa diakses.

“Akibatnya pengajuan dokumen ekspor maupun impor tidak bisa terproses dan hal ini sangat merugikan pelaku bisnis sebab barang lebih lama tertahan di pelabuhan,” ujarnya kepada Bisnis pada Kamis (18/1/2018).

Dia mengemukakan tidak berfungsinya CIESA juga mengakibatkan tidak bisa terlayaninya penarikan peti kemas impor yang hendak dilakukan pemeriksaan fisik atau behandle dari terminal peti kemas ke lokasi long room behandle.

“Semua proses layanan itu kan melalui sistem. Kalau sistemnya terganggu, layanannya pun mandek.”

ALFI berharap segera dilakukan pemulihan sistem CIESA kepabeanan dan cukai yang saat ini dimiliki Pusintek Kemekeu itu mengingat kejadian gangguan sistem itu sudah beberapa kali terjadi.

“Hal ini membuat pelayanan dokumen ekspor dan impor terganggu dan lambat. Biaya logistik juga bertambah. Ini bukti sistem layanan ekspor impor masih amburadul,” ucapnya.

Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tanjung Priok, Dwi Teguh Wibowo, saat dikonfirmasi masalah ini karena sedang rapat di kantor pusat Ditjen Bea dan Cukai.

“Maaf saya sedang raker di kantor pusat, tetapi kami sampaikan saat ini dalam penanganan perbaikan,” ujarnya lewat pesan singkat.

Penelusuran Bisnis Kamis pagi, puluhan pengguna jasa atau perusahaan forwarder dan pengurusan jasa kepabeanan (PPJK) nampak antre di loket analizyng point KPU Bea dan Cukai Tanjung Priok.

Mereka menunggu kejelasan kapan layanan CIESA bisa normal kembali.

“Saya sedang mengurus dokumen karena tidak bisa diproses Bea Cukai padahak kami ada 30 kontener  kami di NPCT-1 mau di pindah lokasi penumpukannya, gimana  masa kami harus menanggung  biaya tambahan dan sewa lapaangan sangat mahal,” ujar salah satu pelaku usaha forwarder. (bisnis.com/ac)

‘Bebaskan tarif penumpukan progresif di Priok!’

Pelaku usaha forwarder di Pelabuhan Tanjung Priok mengeluhkan lambatnya kegiatan penarikan kontainer impor kategori jalur merah yang mesti diperiksa fisik atau behandle dari lapangan penumpukan lini satu terminal peti kemas ke behandle.

JAKARTA (alfijak): Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta Widijanto mengatakan lambannya kegiatan penarikan kontainer wajib behandle itu selain berpotensi menyebabkan kepadatan arus barang dan mengganggu dwelling time di Priok, juga memunculkan biaya tinggi logistik.

“Semestinya ketika kontainer impor sudah ditetapkan kategori jalur merah oleh Bea dan Cukai, dan wajib di behandle dalam kurun waktu paling lambat 1 x 24 jam sudah mesti direlokasi dari terminal peti kemas ke lokasi behandle. Tapi kok sekarang bisa 2 sampai 3 hari baru direlokasi untuk behabdle,” ujarnya kepada Bisnis pada Kamis (21/12/2017).

Widijanto mengatakan lambatnya kegiatan penarikan kontainer impor wajib behandle itu menyebabkan consigne harus menanggung biaya storage di terminal peti kemas atau lini satu pelabuhan lebih mahal.

Kondisi ini, tambahnya, berdasarkan pengaduan sejumlah perusahaan anggota ALFI DKI Jakarta yang melakukan kegiatan ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok.

“Akibat lamanya kegiatan penarikan/relokasi kontainer behandle itu kami mendesak supaya semua pengelola terminal peti kemas di Priok membebaskan tarif penumpukan progresif, karena kondisi seperti ini bukan kesalahan consigne,” paparnya.

Saat ini di pelabuhan Priok terdapat lima pengelola terminal peti kemas yang melayani ekspor impor yakni Jakarta International Container Terminal (JICT), Terminal Peti Kemas Koja,

Terminal Mustika Alam Lestari, Terminal 3 Pelabuhan Priok, dan New Priok Containet Terminal One (NPCT-1). Adapun lokasi behandle dilakukan di fasilitas IPC Behanlde Graha Segara.

Oleh karenanya, kata Widijanto, ALFI mengharapkan agar Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok dapat mengawasi kegiatan penarikan kontainer behandle dari terminal peti kemas ke fasilitas behandle tersebut.

“Apalagi saat ini kan menjelang libur Natal dan Tahun Baru, jangan sampai ada penumpukan barang yang berlebihan di dalam pelabuhan, karena bisa mengakibatkan kepadatan dan kongesti,” paparnya.

Dikonfirmasi Bisnis, Ketua Forum Pengusaha Jasa Transportasi dan Kepabeanan (PPJK) Pelabuhan Tanjung Priok, M. Qadar Jafar mengatakan lambatnya penarikan kontainer wajib behandle di Priok terjadi sejak awal pekan ini.

“Untuk narik kontainer behandle bisa lebih dari dua hari.Ini sangat merugikan pemilik barang karena beban biaya storage di terminal bertambah dan kena progresif.Akibatnya peti kemas impor menjadi lebih lama mengendap di dalam pelabuhan,” ujarnya.

Qadar berharap Bea dan Cukai dan Pengelola terminal peti kemas serta stakeholders di Pelabuhan Priok dapat mengantisipasi potensi terjadinya kepadatan arus peti kemas impor yang masuk pelabuhan Priok lantaran adanya hari libur yang cukup panjang saat Natal dan Tahun Baru.

Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok menyatakan sudah menyiapkan layanan tambahan berupa kegiatan pemeriksaan fisik peti kemas impor dan ekspor atau behandle pada malam hari guna mengantisipasi kepadatan arus peti kemas menghadapi libur Natal 2017 dan Tahun Baru 2018.

Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Dwi Teguh Wibowo, menuturkan upaya tersebut ditempuh dalam mendukung layanan 24/7 pada instansi Bea dan Cukai Pelabuhan Priok.

“Kami sudah menyiapkan layanan 24/7 untuk mengantisipasi libur panjang dan menjelang libur tersebut. Malam hari kami juga melayani pemeriksaan fisik peti kemas dan pengeluaran barang dari tempat penumpukan sementara (TPS) di wilayah pabean Priok,” ujar Dwi.

Namun, menurut dia, tentunya kegiatan layanan behandle pada malam hari itu berdasarkan permintaan dari importir maupun consigne dan pengelola TPS bersangkutan.

Dwi Teguh menjelaskan instansinya juga sudah mencoba menyampaikan layanan tambahan itu kepada pengguna jasa, dengan harapan ada respon dan permintaan kepada Bea dan Cukai untuk penyiapan kecukupan personil/SDM khususnya yang menangani pemeriksaan fisik peti kemas.

Dia mengungkapkan jumlah SDM pada KPU Bea dan Cukai Pelabuhan Priok dalam kondisi normal saja untuk petugas piket 24/7 terdapat 60 pegawai, sehingga jika permohonan dari pengguna jasa bertambah banyak, maka instansinya akan menyesuaikan dengan jumlah SDM yang dibutuhkan untuk memberikan layanan itu.

“Harapan kami supaya dapat berjalan dengan baik dalam perencanaan permohonan dapat disampaikan jauh-jauh hari atau satu hari sebelumnya untuk pelayanan dimalam hari tersebut,” paparnya.

Berdasarkan data Bea dan Cukai Tanjung Priok, saat ini kategori importasi di Pelabuhan Priok yakni untuk jalur MITA/Prioritas dan jalur Hijau sebanyak 85%, adapun jalur kuning dan jalur merah 15%. (bisnis.com/ac)

Okupansi peti kemas impor capai 80%, Priok terancam stagnasi

Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta mengimbau pengelola terminal peti kemas ekspor-impor untuk segera mengajukan kegiatan relokasi barang atau pindah lokasi penumpukan (PLP) peti kemas impor kepada Bea dan Cukai menyusul kepadatan arus peti kemas di pelabuhan Priok sejak awal pekan ini.

JAKARTA (alfijak): Pantauan dan informasi yang diperoleh Bisnis.com, tingkat isian lapangan penumpukan peti kemas atau yard occupancy ratio (YOR) di Jakarta International Container Terminal (JICT), TPK Koja dan New Priok Container Terminal-One (NPCT-1) rata-rata sejak awal pekan ini mencapai 72% hingga 80%.

Pebisnis di pelabuhan Priok juga mengkhawatirkan kondisi tersebut berpotensi memicu stagnasi di pelabuhan tersibuk di Indonesia itu apalagi jika tidak diantisipasi menjelang libur akhir tahun ini.

“Kami akan komunikasikan dengan pihak pengelola terminal peti kemas di Priok supaya mengajukan PLP segera dan juga dapat disampaikan melalui website Bea dan Cukai,” ujar Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok, Dwi Teguh Wibowo, Kamis (7/12/2017).

Dwi Teguh mengatakan, kepadatan peti kemas di Pelabuhan Priok kemungkinan terjadi lantaran adanya libur panjang selana tiga hari pada akhir pekan lalu sehingga delivery peti kemas impor oleh pemilik barang sangat minim.

“Padahal kami sudah sampaikan melalui website dan medsos kami bahwa KPU Bea dan Cukai Priok membuka layanan penuh di libur tiga hari kemarin. Dan ternyata tidak banyak (consignee) yang memanfaatkan,” tuturnya.

Dwi Teguh juga menyebutkan untuk kondisi pelabuhan Priok saat ini, layanan Bea dan Cukai sebanyak 80%-nya merupakan jalur hijau.

“Dalam hal kondisi YOR seperti itu dimungkinkan sebagian besar belum submit dokumen. Kalau sudah submit dokumen tentu banyak yang bisa langsung clearance pabean atau mengantongi surat perintah pengeluaran barang,” ujar dia. (bisnis.com/ac)

GINSI siapkan action plan untuk bersinergi dengan Bea Cukai

Gabungan importir nasional seluruh Indonesia (GINSI) DKI Jakarta menyiapkan action plan untuk melakukan sinergi lebih konkret dengan Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok dalam rangka sosialisasi kebijakan pemerintah terkait importasi untuk mendukung kelancaran arus barang.

JAKARTA (alfijak): Ketua BPD GINSI DKI Jakarta, Subandi mengatakan, pelayanan custom di pelabuhan Tanjung Priok yang kini dipimpin Dwi Teguh Wibowo dinilainya saat ini cukup humanis dan responsif agar terus ditingkatkan untuk menyukseskan program pemerintah menekan dwelling time dan menurunkan biaya logistik nasional.

Dia mengatakan faktor kelancaran arus barang dan efisiensi logistik di pelabuhan Priok sangat berdampak pada biaya logistik nasional mengingat lebih dari 65% arus barang ekspor impor saat ini dilayani melalui pelabuhan Priok.

“GiNSI akan lebih aktif menyelesaikan kendala yang dihadapi para importir yang berkaitan dengan ketidaktahuan importir terhadap regulasi yang ada. Hal ini untuk mendukung kelancaran arus barang di Tanjung Priok sebagaimana yang diharapkan pemerintah termasuk Presiden Jokowi,” ujarnya kepada Bisnis, Sabtu (25/11/2017).

Kendati begitu, kata dia, GINSI DKI juga mengimbau kepada para importir agar bekerja secara profesional dan mentaati segala regulasi yang ada.

Subandi mengatakan, Ginsi DKI akan lebih sering melakukan sosialisasi kepada perusahaan importir agar para anggota dapat mengupdate dan mengupgrade terkait pengetahuan perdagangan luar negeri terutama soal importasi.

“Tentunya, Ginsi DKI juga berharap hubungan kemitraan dengan custom dapat terus ditingkatkan agar tercipta susana kondusif dan tidak ada kegaduhan di pelabuhan,” ujar dia.

Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Dwi Teguh Wibowo mengatakan, saat ini terdapat tiga kategori karakteristik importasi melalui pelabuhan Priok.

Untuk kategori importasi jalur merah mencapai 7%, jalur kuning 8% dan jalur hijau 85%.

“Dengan karakteristik itu, sentuhan Bea Cukai terhadap kegiatan importasi tidak terlalu banyak sebab yang 85% tersebut tidak perlu dilakukan pemeriksaan dokumen maupun fisik barangnya,” ujar Dwi Teguh. (bisnis.com/ac)


Beleid peti kemas longstay terancam, ALFI minta Depalindo tak bikin gaduh

Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) menyatakan beleid relokasi kontainer impor yang melewati batas waktu penumpukan (longstay) dan sudah mengantongi dokumen surat perintah pengeluaran barang (SPPB) atau sudah clearance kepabeanan di empat pelabuhan utama, termasuk di Pelabuhan Tanjung Priok harus dijalankan oleh pengelola terminal peti kemas.

JAKARTA (alfijak):  Ketua ALFI DKI Jakarta Widijanto mengatakan adanya penolakan terhadap implementasi beleid itu justru sebagai upaya menggagalkan program pemerintah untuk menekan dwelling time dan menurunkan biaya logistik.

Presiden Joko Widodo, tambahnya, sudah sering menginstruksikan supaya dwelling time di pelabuhan Priok dapat diturunkan menjadi kurang dari 3 hari dari saat ini yang berdasarkan data kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok rata-rata masih mencapai lebih dari 3 hari.

Widijanto menyebutkan relokasi peti kemas impor sudah SPPB dan menumpuk lebih dari tiga hari di pelabuhan atau longstay telah diatur melalui Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No: 25/2017 tentang perubahan atas Permenhub No:116/2016 tentang pemindahan barang yang melewati batas waktu penumpukan atau longstay di pelabuhan utama Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Perak Surabaya, dan Makassar.

Dalam beleid itu ditegaskan bahwa barang impor yang sudah clearance pabean atau SPPB hanya boleh menumpuk maksimal tiga hari di pelabuhan. Dalam pasal 3 ayat (1) beleid itu disebutkan, setiap pemilik barang impor wajib memindahkan peti kemasnya yang sudah SPPB dan melewati batas waktu penumpukan dari lini satu ke lapangan penumpukan di luar pelabuhan dengan biaya ditanggung pemilik barang.

Kemudian pada pasal 3 ayat (2) dinyatakan apabila pemilik barang/kuasanya tidak memindahkan peti kemasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut, maka badan usaha pelabuhan (BUP)/operator terminal peti kemas wajib merelokasi barang impor itu dari lapangan penumpukan terminal peti kemas dengan biaya ditanggung pemilik barang.

Jadi, imbuhnya, sesuai beleid itu kalau peti kemas impor sudah SPPB wajib keluar pelabuhan, jangan lagi ditimbun dilini satu pelabuhan guna menjamin dwelling time tetap rendah.

“Namun kami kini justru melihat ada upaya untuk menggagalkan implementasi beleid itu di pelabuhan Priok. Padahal ALFI sudah mengkaji bahwa jika aturan tersebut diterapkan konsisten akan membuat dwelling time yang diharapkan pemerintah tercapai dan biaya logistik juga otomatis ikut turun signifikan,” ujarnya kepada Bisnis pada Kamis (9/11/2017).

Widijanto prihatin dengan tidak berjalannya Permenhub No. 25/2017 itu meskipun sudah ada sistem dan prosedur sebagai juklaknya yang tertuang dalam peraturan Kepala Kantor Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Priok No. UM.008/27/11/OP.TPK.2017 tanggal 9 Oktober 2017 tentang perubahan atas peraturan kepala kantor otoritas pelabuhan utama Tanjung Priok No. UM.008/31/7/OP.TPK.2016 tanggal 10 november 2016 tentang tata cara pemindahan barang yang melewati batas waktu penumpukan (long stay) di pelabuhan Tanjung Priok.

ALFI, kata dia, mengajak seluruh stakeholders di pelabuhan Priok turut mendukung program Pemerintah dalam menurunkan dwelling time dan memangkas biaya logsitik di pelabuhan Priok.

“Operator terminal peti kemas itu bisnis intinya bongkar muat bukan mengandalkan pendapatan dari storage. Sebaiknya semua stakeholders di Priok dapat duduk bersama supaya aturan yang sudah di terbitkan Kemenhub bisa berjalan,” paparnya.

Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok, Dwi Teguh Wibowo mengatakan, masih mengkonsep jawaban atas pertanyaan surat asosiasi pengelola terminal peti kemas Indonesia (APTPI) mengenai sikap instansi tersebut terhadap kegiatan relokasi peti kemas impor yang sudah SPPB atau longstay.

“Nanti saya update, Sekarang masih dikonsepkan oleh kepala bidang terkait .Insya Allah minggu ini sudah ada jawaban,” ujarnya dikonfirmasi Bisnis, Kamis (9/11/2017).

Pada 26 Oktober 2017, APTPI melalui suratnya No. 05/APTPI/OKT-SK/2017 yang ditandatangani Sekjen APTPI Yos Nugroho, mempertanyakan kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok prihal aturan relokasi peti kemas bestatus SPPB ke depo non TPS.

Dalam surat APTPI yang diperoleh Bisnis, asosiasi itu mempertanyakan antara lain; apakah Kantor Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok memberikan izin kepada terminal operator peti kemas dalam penyampaian data peti kemas yang berstatus SPPB dan melewati batas waktu penumpukan kepada pihak depo peti kemas non-TPS.

Sebagaimana diketahui, SPPB adalah dokumen kepabeanan untuk pengeluaran barang dari terminal peti kemas dan secara hukum memiliki risiko yang sangat tinggi dalam tanggung jawab bila terjadi penyalahgunaan data SPPB tersebut.

“Selama ini pihak terminal hanya mendapatkan data dari sistem tempat penimbunan sementara (TPS) online yang terkoneksi dengan sistem billing di terminal dan berfungsi dalam melakukan pencocokan dalam pengeluaran peti kemas,” kutip surat APTPI itu.

APTPI mendukung program pemerintah untuk menyederhanakan proses administrasi yang terukur dalam proses pengeluaran peti kemas dalam upaya menekan dwelling time , namun dalam koridor mekanisme yang efektif sehingga tidak menambah beban biaya logistik bagi pengguna jasa.

Surat APTPI itu diklaim mewakili lima operator terminal peti kemas ekspor impor di Indonesia yakni; Jakarta International Container Terminal (JICT), TPK Koja, Terminal Peti Kemas Surabaya, Terminal.Mustika Alam Lestari (MAL) dan New Priok Container Terminal One (NPCT-1).

Jangan bikin gaduh

Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) mengingatkan Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo) agar tidak membikin gaduh di pelabuhan dengan menyatakan Permenhub No 25/2017 menaikkan biaya logistik.

Peringatan itu disampaikan Ketum DPW Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Widijanto dalam keterangan pers DPW ALFI DKI Jakarta pada Kamis (9/11/2017).

Selain itu, kata Widijanto, Depalindo juga membuat gaduh karena ingin mengubah defenisi dwelling time yang selama ini mengacu pada Bank Dunia dan berlaku secara internasional.

Depalindo ingin kembali menjadikan yard occupancy ratio (YOR) 65% sebagai parameter pemindahan petikemas dari lini satu pelabuhan keluar terminal.

Padahal, kata Widijanto, PM 25 Tahun 2017 pada intinya membatasi masa inap kontainer yang sudah mendapat clearance kepabeanan di lini I paling lama 3 hari. Setelah itu, harus keluar dari pelabuhan untuk menjamin kelancaran arus barang.

“Pernyataan Depalindo yang menyebut pelaksanaan PM 25 Tahun 2017 menimbulkan logistik biaya tinggi tidak meyakinkan. Dasarnya apa, hitung-hitungannya mana kok asal njeplak ngomong tanpa dasar, ” ujar Widijanto.

Ketua DPW ALFI DKI itu juga menyayangkan Ketua Umum Depalindo Toto Dirgantoro yang dinilainya belum memahami definisi dwelling time, namun meminta Kemenhub merevisi PM 25/2017 dan relokasi petikemas mengacu pada YOR di atas 65%. “Itu namanya berpikir mundur,” ujar Widijanto.

Dia mengatakan pola pikir Toto yang juga komisaris salah satu anak perusahaan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo II) ini tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah mendorong kelancaran arus barang di pelabuhan.

Widijanto mengatakan para pemangku kepentingan sudah sepakat pelabuhan bukan tempat menimbun barang, tapi tempat bongkar muat.

“Ini artinya lapangan penumpukan terminal petikemas lini 1 bukan tempat penimbunan barang, tapi sebagai area transit menunggu pengurusan dokumen kepabeanan, kemudian keluar pelabuhan jika sudah dapat surat perintah pengeluaran barang (SPPB) melebihi 3 hari,” ujarnya.

Sebelumnya, Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo) mendesak agar kegiatan pindah lokasi penumpukan atau relokasi peti kemas impor dari lini satu pelabuhan/terminal peti kemas ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok mengacu pada utilisasi fasilitas dan jika YOR di terminal peti kemas mencapai 65%.

Ketua Umum Depalindo Toto Dirgantoro mengatakan sejak adanya Permenhub No. 25/2017 tentang Perubahan atas peraturan menhub No. 116/2016 tentang Pemindahan barang yang melewati batas waktu penumpukan atau longstay di pelabuhan utama Belawan Medan, Tanjung Priok, Tanjung Perak Surabaya, dan Pelabuhan Makassar, beban logistik yang ditanggung pemilik barang justru bertambah.

Pasalnya dalam beleid itu disebutkan penumpukan barang impor hanya dibatasi maksimal 3 hari di pelabuhan dan yang sudah clearance kepabeanan pun atau SPPB seperti diamanatkan dalam beleid itu  mesti keluar dari lini satu.

“Menurut saya, ini tidak menyelesaikan masalah dwelling time, justru berpotensi menambah biaya logistik. Makanya Depalindo minta Permenhub 25/2017 dicabut atau setidaknya direvisi agar pemindahan petikemas mengacu YOR terminal 65%,” ujar Toto. (bisnis.com/ac)

‘Tindak tegas penghambat beleid relokasi peti kemas’

Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, membantah menghambat pelaksanaan aturan relokasi barang impor yang sudah mengantongi surat perintah pengeluaran barang (SPPB) atau longstay di Pelabuhan Tanjung Priok sebagaimana diamanatkan dalam Permenhub No:25/2017.

JAKARTA (alfijak): Kepala Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Dwi Teguh Wibowo, mengatakan instansinya justru sangat mendukung beleid itu, karena barang impor yang sudah clearance kepabeanan bisa dikeluarkan/relokasi merupakan kegiatan business to business (B to B) antara pengelola terminal peti kemas dan pemilik barangnya.

“Itu kan B to B antara terminal dengan pemilik barangnya. Pada prinsipnya, bagi kami silakan saja, namun sisdur kita yang belum mengatur itu, makanya perlu didiskusikan lagi dengan stakeholders terkait agar lebih matang. Kalau importir dan terminal sudah terminal kuat b to b nya itu monggo saja sepanjang tidak ada tuntutan di kemudian hari dari pemilik barang terhadap Bea dan Cukai. Jadi jangan dibilang kami menghambat, ” ujarnya kepada Bisnis pada Selasa (31/10/2017).

Menurut dia, dalam kaitan siapa yang bertanggung jawab atas kegiatan relokasi barang impor longstay di Pelabuhan Priok itu, pihak pengelola terminal peti kemas ekspor impor di mesti menyampaikan dokumen pemberitahuan terlebih dahulu kepada Bea dan Cukai.

“Harus ada surat dulu ke Bea dan Cukai sehingga barang itu dikeluarkan oleh terminal sehingga ada klausul tanggung jawab itu di terminal,” paparnya.

Di sisi lain, kata dia, sebenarnya masih ada barang impor yang meslipun sudah mengantongi SPPB namun masih mesti diawasi oleh Bea dan Cukai seperti barang impor dengan criteria BC.2.3 yang mesti direlokasi ke kawasan berikat.

Dwi Teguh juga mengungkapkan KPU Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok sedang menyiapkan jawaban atas surat Asosiasi Pengelola Terminal Peti Kemas Indonesia (APTPI) di Pelabuhan Priok terkait dengan relokasi barang impor sudah SPPB atau longstay tersebut.

Dia menyebutkan karekteristik barang impor yang menumpuk di Pelabuhan Tanjung Priok saat ini, terdapat sekitar 60% peti kemas impor yang belum diketahui apakah sudah SPPB/Clearance pabean atau belum SPPB namun sudah menumpuk satu hingga tiga hari di lini satu pelabuhan.

“Sedang saya susun untuk menjawab surat APTPI itu, pada prinsipnya Bea dan Cukai mendukung regulasi yang sudah dikeluarkan pemerintah. Jadi jangan sampai ada anggapan bahwa kami menghambat beleid itu,” tuturnya.

Dikonfirmasi Bisnis.com, Wakil Dirut PT.Jakarta International Container Terminal (JICT) Riza Erivan mengatakan pengelola terminal peti kemas di Pelabuhan Priok sudah menyampaikan surat kepada Bea dan Cukai Pelabuhan Priok melalui APTPI untuk meminta pendapat Bea dan Cukai terhadap pelaksanaan relokasi barang longstay di pelabuhan itu.

“Melalui APTPI kami sudah kirimkan surat ke Bea dan Cukai Priok. Kami masih menunggu responnya terkait hal itu,” ujarnya.

Tindak Tegas

Ketua Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) DKI Jakarta Subandi mengatakan harus ada tindakan tigas terhadap siapapun penghambat aturan yang sudah diterbitkan pemerintah.

Pasalnya, menurut dia, sudah sangat jelas disebutkan bahwa dalam PM 25/2017 ditegaskan peti kemas yang sudah mendapat Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB) dari Bea dan Cukai setelah 3 hari harus direlokasi ke luar pelabuhan.

'Tindak tegas penghambat beleid relokasi peti kemas'
‘Tindak tegas penghambat beleid relokasi peti kemas’

“Kalau aturan setingkat Permenhub tak bisa dijalankan, ada apa ini? Siapa yang menghambat perlu diberi tindakan. Jangan sampai ada konspirasi dan bila perlu tim saber pungli turun tangan ke pelabuhan Priok.

Sebab, menurut saya, penjelasan dan diskusi soal PM 25 /2017 dengan Terminal Petikemas di Priok sudah cukup dilakukan. Ini cuma soal ketidak taatan pada aturan,” tuturnya.

Subandi juga mengatakan terminal peti kemas di Priok saat ini sudah sangat menikmati pendapatan dari biaya storage atau sisi darat karena pendapatan sisi lautnya tidak bisa diandalkan lagi menyusul merosotnya arus kapal dan bongkar muat.

“Padahal bisnis inti terminal itu kan mestinya bongkar muat atau layanan kapal sisi laut, bukan dari storage yang saat ini berlaku progresif atau penalti.”

Saat ini di Tanjung Priok terdapat lima fasilitas terminal ekspor impor yakni Jakarta International Container Terminal (JICT), Terminal Peti Kemas Koja, New Priok Container Terminal, Terminal Mustika Alam Lestari (MAL) dan Terminal 3 Pelabuhan Priok.

Adapun relokasi peti kemas longstay yang sudah mengantongi SPPB atau sudah clearance sudah diatur melalui Permenhub No: 25 Tahun 2017 tentang perubahan atas peraturan menteri perhubungan nomor PM 116 tahun 2016 tentang pemindahan barang yang melewati batas waktu penumpukan (long stay) di pelabuhan utama belawan, pelabuhan utama Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Makassar.

Beleid itu juga diperkuat dengan adanya peraturan Kepala Kantor Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Priok No:UM.008/27/11/OP.TPK.2017 tanggal 9 Oktober 2017 tentang perubahan atas peraturan kepala kantor otoritas pelabuhan utama Tanjung Priok No:UM.008/31/7/OP.TPK.2016 tanggal 10 november 2016 tentang tata cara pemindahan barang yang melewati batas waktu penumpukan (long stay) di pelabuhan Tanjung Priok. (bisnis.com/ac)