Arsip Tag: Riza Erivan

VGM peti kemas ekspor di Priok libatkan BKI

Kegiatan penimbangan peti kemas ekspor di pelabuhan atau verifikasi berat kotor kontainer ekspor/verified gross mass (VGM) di Pelabuhan Tanjung Priok bakal melibatkan PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) sebagai penerbit dokumen sertifikasi VGM.

JAKARTA (alfijak): Wakil Dirut PT Jakarta International Container Terminal (JICT)  Riza Erivan mengatakan keterlibatan BKI dalam proses sertifikasi VGM kontainer ekspor diharapkan mulai bisa dilakukan dalam waktu dekat atau paling lambat pada Maret 2018.

“Sekarang tergantung kesiapan BKI. Dari sisi kami selaku pengelola terminal peti kemas sudah siap karena VGM sudah diimplementasikan sejak 2 tahun lalu di terminal peti kemas ekspor impor pelabuhan Priok,” ujarnya kepada Bisnis pada Selasa (27/2/2018).

Dia mengutarakan pengelola terminal peti kemas di Priok sudah menjalin komunikasi dan melakukan korrdinasi dengan asosiasi pelaku usaha terkait menyangkut pelibatan BKI dalam sertifikasi VGM kontainer ekspor itu.

Riza mengungkapkan tidak ada rencana evaluasi terhadap tarif layanan berupa penambahan biaya VGM meskipun nantinya sertifikasi kegiatan itu dilaksanakan oleh BKI selaku BUMN yang selama ini telah bergerak pada bidang klasifikasi dan sertifikasi sektor usaha angkutan laut.

Kegiatan penimbangan peti kemas ekspor/VGM di JICT dan TPK Koja dilaksanakan sejak 1 Agustus 2016 dengan memberlakukan biaya jasa penimbangan di di auto gate JICT-TPK Koja sebesar Rp50.000 per boks kontainer serta biaya sertifikasi VGM sebesar Rp75.000 per boks jika pemilik barang atau eksportir melakukan sertifikasi VGM-nya di terminal.

Besaran biaya jasa tersebut sudah disetujui pengguna jasa melalui asosiasi terkait yakni Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) DKI Jakarta dan Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta.

“Selain di JICT dan TPK Koja, keterlibatan BKI juga rencananya di terminal peti kemas lainnya di Pelabuhan Priok,” paparnya.

Saat ini, di Pelabuhan Tanjung Priok terdapat lima pengelola fasilitas terminal ekspor impor yakni JICT, TPK Koja, Terminal Mustika Alam Lestari (MAL), Terminal 3 Priok, dan New Priok Container Terminal-One (NPCT-1).

A. Tjejep Zahrudin, Dirut PT Tenders Marine Indonesia (TMI), perusahaan logistik dan pengurusan ekspor di Pelabuhan Tanjung Priok, mengatakan sertifikasi VGM ekspor selama ini diperlukan oleh pelayaran pengangkut ekspor dan sudah harus diserahkan oleh pihak eksportir sebelum kontainer ekspornya dimuat ke kapal.

Sayangnya, kata dia, tarif VGM di pelabuhan Tanjung Priok belum semuanya seragam di seluruh terminal, dan hanya di JICT dan TPK Koja yang sudah sama.

“Keterlibatan BKI dalam proses sertifikasi VGM ekspor boleh-boleh saja sepanjang tidak menambah beban biaya kepada pengguna jasa/eksportir,” ujarnya.

Kegiatan penimbangan peti kemas ekspor di pelabuhan atau VGM diamanatkan oleh International Maritime Organization (IMO) melalui amendemen International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS) tahun 1972 Bab IV Pasal 2 dan diberlakukan di Priok mulai 1 Juli 2016. (bisnis.com/ac)

JICT minta maaf layanan terganggu, MTI tetap dipertahankan

PT Jakarta International Container Terminal (JICT) menegaskan akan tetap melanjutkan kerjasama dengan PT Multi Tally Indonesia (MTI) sebagai suplier operator Rubber Tired Gantry Crane (RTGC) di terminal JICT di pelabuhan Tanjung Priok.

JAKARTA (alfijak); Wakil Direktur Utama JICT Riza Erivan, dalam siaran persnya, Senin, mengatakan penunjukan MTI sudah sesuai prosedur yang berlaku dan standar kerja di JICT.

Pergantian suplier operator RTGC sejak 1 Januari 2018 ini dilakukan setelah perusahaan melakukan evaluasi menyeluruh atas kinerja JICT.

Manajemen menyatakan bahwa upaya Serikat Pekerja (SP) JICT yang terus berusaha menggagalkan pergantian suplier operator RTGC sangat merugikan perusahaan dan pelanggan JICT.

“Tender terbuka untuk menentukan suplier operator RTGC dilakukan agar layanan JICT meningkat dan pelanggan mendapatkan manfaat yang optimal. Kami sangat kecewa dengan berbagai upaya dari SP JICT yang terus berusaha membuat situasi kerja di JICT tidak kondusif,” kata Riza.

Sebelum dikelola MTI, suplier operator RTGC di terminal JICT adalah PT Empco Trans Logistics yang berada dibawah naungan Koperasi Karyawan (Kopkar) JICT.

Pada saat lelang suplier operator RTGC dilakukan di akhir tahun 2017 lalu, PT Empco juga memasukkan penawaran, namun harga penawarannya tidak kompetitif sehingga JICT memilih MTI.

“Seharusnya PT Empco dapat bersikap profesional dan mencari peluang kerja di tempat lain. Proses tender telah dilakukan secara terbuka, sesuai prosedur dan semestinya hasilnya juga dihormati oleh setiap peserta tender. Kami prihatin dengan langkah SP JICT yang berusaha memaksakan kehendak agar Empco terus dipekerjakan di JICT,” ujar Riza.

Riza juga menegaskan bahwa JICT tidak memiliki hubungan langsung dengan para karyawan PT Empco, sehingga setiap persoalan yang terjadi di perusahaan tersebut menjadi tanggungjawab manajemen yang bersangkutan.

“Karyawan PT Empco bukan pekerja JICT. Silahkan PT Empco bertanggungjawab dan menyelesaikan persoalan di internal perusahaan. JICT tidak ada hubungannya dengan internal perusahaan lain,” tegasnya.

Terkait suplier operator RTGC, manajemen JICT telah berkoordinasi dengan otoritas pelabuhan Tanjung Priok.

Berdasarkan hasil pertemuan antara PT MTI, Kepala Sudinakertrans Jakarta Utara dan Kepala Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok tanggal 29 Desember 2017, disepakati agar MTI membuka lowongan kerja untuk dapat menerima karyawan PT Empco.

Sejak lowongan kerja dibuka pada Desember 2017, hingga kini tercatat sebanyak 114 karyawan PT Empco yang bergabung dengan PT MTI dan bekerja di terminal JICT dan perusahaan suplier RTGC ini juga masih membuka lowogan kerja bagi para karyawan PT Empco yang ingin bekerja kembali.

Manajemen JICT juga berkomitmen untuk secepatnya mengatasi berbagai hambatan yang terjadi di JICT pasca pergantian suplier operator RTGC dan volume petikemas yang masuk ke terminal JICT meningkat.

“Kepada para pelanggan kami mohon maaf jika masih terjadi sedikit perlambatan dalam layanan di JICT. Sejak Jumat kemarin produktifitas di terminal JICT telah meningkat dan kami sangat percaya layanan di JICT akan segera berjalan normal. Kami juga terus berkoordinasi dengan otoritas pelabuhan dan Pelindo II sebagai pemegang saham JICT untuk dapat memberikan layanan terbaik,” kata Riza.

MTI merupakan perusahaan yang bergerak di bidang outsourcing tenaga kerja, sehingga saat ini masih dalam tahap transisi untuk menyesuaikan dengan sistem operasi di JICT.

MTI menjadi supplier gate checkers, truck drivers dan pekerjaan-pekerjaan lain di pelabuhan.

Sebelumnya, Ketua Serikat Pekerja Container Sabar Royani, Ketua Serikat Pekerja Multi Terminal Indonesia Wahyu Trijaya, Sekjen SP JICT M Firmansyah, Ketua SP JICT Hazris Malsyah, Ketua Federasi Pekerja Pelabuhan Indonesia Nova Hakim, dan Ketua Serikat Pekerja Jasa Armada Indonesia Akbar Aziz usai memberikan paparan soal kinerja Jakarta International Container Terminal (JICT) di Jakarta, Minggu (14/1/2018).

Akibat dari pergantian vendor operator lapangan Jakarta International Container Terminal (JICT) di pelabuhan Tanjung Priok sejak 1 Januari 2018 oleh PT Multi Tally Indonesia (MTI) yang dinilai tidak memiliki kompeten namun didukung Direksi JICT dan Pelindo II, menyebabkan dampak buruk dan mengurangi performa bagi anak usaha PT Pelindo II (Persero) itu. (inews.id/antaranews.com/ac)

SP menilai vendor baru merugikan JICT

Dampak dari pergantian vendor operator lapangan Jakarta International Container Terminal (JICT) di pelabuhan Tanjung Priok sejak 1 Januari 2018 sudah mengurangi performa anak usaha PT Pelindo II (Persero). 

JAKARTA (alfijak): Tidak profesionalnya para pekerja operator baru di bawah vendor PT Multi Tally Indonesia itu bahkan membuat Dirut JICT Gunta Prabawa sampai mengajukan surat permohonan bantuan tenaga operator RTGC kepada Pelindo II.

Hal itu disampaikan Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja (SP) JICT Firmansyah Sukardiman saat melakukan konferensi pers kepada semua awak media di Kelapa Gading, Jakarta Utara pada Minggu (14/1).

“Pergantian vendor yang dilakukan manajemen Direksi JICT merupakan persengkongkolan jahat yang tidak hanya merugikan nama baik perusahaan namun juga para pengguna jasa karena banyak kesalahan fatal yang dilakukan operator amatir di lapangan,” ujar Firmansyah.

Ia menyebutkan selama setidaknya 12 hari beroperasi, JICT sudah merugi Rp 8,7 miliar bahkan kerugian pengguna jasa antara Rp 40 Miliar hingga ratusan miliar padahal beberapa diantaranya nilai proyeknya hanya Rp 14 Miliar/Tahun.

“Untuk mengurangi load di JICT bongkar muat petikemas empat buah kapal ke terminal dermaga lainnya di Pelabuhan Tanjung Priok. Dwelling time saat ini sudah naik di angka 6,6 hari (target Presiden Jokowi di bawah 3 hari) sehingga kemacetan truk kontainer di kawasan pelabuhan sering terjadi,” tambahnya.

Perubahan vendor yang sudah diupayakan sejak Juni 2017 dan perusahaan swasta yang menguasai bisnis hulu sampai hilir operasional JICT hingga 92 persen tenaga outsourcing di bawah group Gaga (milik mantan prajurit Kolinlamil TNI AL) menyebabkan 400 pekerja operator lama tidak diperpanjang kontraknya.

“Sejak vendor ini beroperasi sudah ada 14 kecelakaan kerja, bahkan dua petikemas impor yang sudah dikirim ke gudang salah penerima atau pemiliknya. Antrian truk mencapai 32 jam dan kapal hingga 44 jam, serta produktivitas turun hingga 11 move per hour dari 26 menjadi 15 mph,” ungkap Firmansyah.

Ia berharap agar pemerintah melalui Kementerian Perhubungan dan Kementerian BUMN segera melakukan tindakan secepatnya terhadap situasi buruknya performa JICT. Ini agar tidak semakin mengorbankan para pihak yang berkepentingan dan merugikan negara.

Ketua Serikat Pekerja Container (SPC), Sabar Royani menyebutkan situasi di dalam pelabuhan Tanjung Priok khususnya di JICT sudah tidak kondusif karena pergantian vendor. Ia berharap agar situasi bisa kembali seperti semula.

Ketua Umum SP Multi Terminal Indonesia (MTI), Wahyu menyayangkan keputusan pergantian vendor yang dilakukan Direksi JICT dan Pelindo II merugikan negara secara tidak langsung baik dalam jangka pendek dan panjang.

Ketika dihubungi Suara Pembaruan, belum ada jawaban dari Wakil Dirut JICT Riza Erivan perihal tanggapan perihal data performa JICT yang  menurun seperti yang disampaikan Serikat Pekerja JICT dalam konferensi pers.

Begitu pula manajemen Pelindo II belum merespon perihal bantuan operator RTGC ke JICT. (beritasatu.com/ac)

Pelayanan JICT lambat, INSA tagih kompensasi

Indonesian National Shipowners’ Association atau INSA meminta kompensasi kepada PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) atas keterlambatan pelayanan bongkar muat barang di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Ketua Umum DPP INSA Carmelita Hartoto mengungkapkan pengusaha menanggung kerugian yang signifikan karena pelayanan kepada kapal-kapal di pelabuhan molor hingga 44 jam dari operasional normal empat jam.

“Semestinya ada kompensasi yang sesuai untuk perusahaan pelayaran yang alami kerugian akibat lambannya kinerja JICT,” ujar Carmeilita, Kamis (11/1/2018).

Dia menambahkan perlambatan kinerja JICT bakal berdampak besar bagi kelancaran rantai pasok bila pelayanan JICT masih lamban. Hal ini sekaligus bisa mencoreng reputasi JICT sebagai terminal kontainer ekspor-impor terbesar di Indonesia. INSA berharap JICT bisa segera memperbaiki produktivitas guna menghindar kondisi yang lebih buruk.

Untuk diketahui, produktivitas JICT molor akibat peralihan tenaga kerja alih daya operator alat bongkar muat jenis Rubber Tyred Gantry Crane (RTGCC) dari PT. Emco Logistic kepada PT. Multi Tally Indonesia (MTI).

Carmeilita menekankan, JICT seharusya mempersiapkan sumberdaya manusia dan teknis secara matang sebelum mengalihkan operator alat bongkar muat.

Dia mencontohkan peralihan operator bisa dilakukan secara bertahap dengan melibatkan SDM berpengalaman sehingga keterlambatan pelayanan bisa diminimalisasi saat arus barang tidak terlalu tinggi.

Carmeilita mempertanyakan, peralihan operator bongkat muat justru dilakukan JICT saat hari kerja atau saat arus barang cukup tinggi.

Di lain pihak, pihak JICT menyampaikan permohonan maaf kepad apengguna jasa atas keterlambatan layanan di JICT.

Riza Erivan, Wakil Direktur Utama JICT mengatakan perlambatan kinerja bersifat sementara dan akan segera berjalan normal setelah adanya pergantian pemasok RTGC.

Riza mengatakan, pergantian supplier RTGC merupakan langkah strategis yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas layanan kepada para pelanggan. Penetapan MTI juga telah melalui proses lelang terbuka dan sesuai standar kerja di JICT.

“Perubahan vendor ini diperlukan untuk meningkatkan kualitas layanan JICT agar memberikan manfaat yang optimal kepada pelanggan,” ujar Riza dalam keterangan resmi, Rabu (10/1/2018).

Menurut Riza JICT, telah beberapa kali melakukan pergantian supplier RTGC. Diawal pergantian, vendor yang baru cenderung melakukan penyesuaian dengan sistem dan ritme kerja di JICT.

Apalagi sejak akhir 2017 hingga menjelang Imlek tahun ini volume petikemas di terminal JICT meningkat signifikan. (bisnis.com/ac)

Buruknya pelayanan JICT rugikan importir miliaran rupiah

Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) meminta tanggung jawab manajemen Jakarta International Container Terminal (JICT) atas peti kemas impor yang terpaksa tidak bisa langsung delivery atau dikeluarkan dari pelabuhan sejak awal bulan ini sampai dengan sekarang.

JAKARTA (alfijak): Ketua BPD GINSI DKI Jakarta, Subandi mengatakan pelambatan produktivitas layanan JICT itu membuat pihak consignee/impotir mengalami kerugian yang tidak sedikit yang berasal dari biaya storage yang terkena penalti dan biaya penggunaan keterlambatan peti kemas atau demurrage.

“Apa yang akan diberikan JICT kepada importir yang barangnya enggak bisa dikeluarkan dan terkena tarif storage progresif. Bahkan terancam kena demurrage kontainer akibat amburadul serta lambatnya pelayanan di terminal JICT,” ujarnya kepada Bisnis.com, Rabu (10/1/2018).

Subandi mengatakan biaya tambahan untuk storage jika sudah melewati batas waktu penumpukan dikenakan Rp300.000 per boks/hari untuk ukuran peti kemas 20 feet, dan untuk ukuran 40 feet dikenakan 600 ribu per boks/hari.

Adapun biaya demurrage, mencapai rata-rata US$60 per boks/ hari untuk peti kemas 20 feet dan US$100 per boks/hari untuk ukuran 40 feet.

“Ada ratusan bahkan mungkin ribuan kontener yang mengalami kelambatan proses delvery sejak awal bulan ini.Bisa dibayangkan berapa beban tambahan biayanya. bisa milliaran rupiah,” tuturnya.

Subandi mengungkapkan pelambatan layanan di JICT masih terjadi, bahkan pada Selasa 9 Januari 2018, GINSI masih menerima keluhan perusahaan importir di pelabuhan Priok menyangkut masih terjadi pelambatan layanan peti kemas di terminal JICT.

“Kemarin saya terima keluhan importir untuk kontainer yang hendak periksa melalui alat hi-co scan juga tidak bisa ketarik dan terlayani semuanya di JICT karena volume penarikan padat. Bahkan ada yang sudah dua hari lebih menunggu layanan hi-co scan dengan jumlah 8 kontainer diajukaan, namun baru satu kontainer yang ketarik, sisanya 7 kontainer belum bisa,” ungkapnya.

Subandi mensinyalir, lambannya layanan tersebut akibat ketidakbecusan SDM/operator alat di lapangan. “Lagi-lagi importir menerima imbas buruknya, banyak kontainer enggak bisa diproses lanjut gara-gara keadaan di dalam terminal JICT padat akibat lambannya proses lift on/off oleh operator,” ujar dia.

Hanya sementara

PT Jakarta International Container Terminal (JICT) menyatakan layanan bongkar muat dan arus barang di terminal Tanjung Priok segera berjalan normal. Pelambatan yang saat ini terjadi hanya bersifat sementara.

Wakil Direktur Utama JICT Riza Erivan mengatakan, setelah adanya pergantian supplier dari rubber tired gantry crane (RTGC) ke PT Multi Tally Indonesi (MTI) di terminal JICT, pelayanan akan kembali normal mulai 1 Januari 2018.

“Kepada para pelanggan, kami mohon maaf jika masih terjadi sedikit pelambatan dalam layanan di JICT. Perubahan vendor ini diperlukan untuk meningkatkan kualitas layanan JICT agar memberikan manfaat yang optimal kepada pelanggan,” kata Riza, dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Rabu, 10 Januari 2018.

enurut Riza, penggantian supplier RTGC merupakan langkah strategis yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas layanan kepada para pelanggan. JICT, kata dia, telah beberapa kali mengganti supplier RTGC.

Di awal penggantian, vendor yang baru cenderung melakukan penyesuaian dengan sistem dan ritme kerja di JICT.

Apalagi, sejak akhir 2017 hingga menjelang Imlek tahun ini volume peti kemas di terminal JICT meningkat signifikan.

Penetapan MTI, menurut Riza, juga telah melalui proses lelang terbuka dan sesuai dengan standar kerja di JICT.

Ia meminta JICT terus berkoordinasi dengan MTI agar secepatnya melakukan perbaikan, sehingga kualitas layanan terus meningkat.

“Pemilihan MTI telah melalui proses yang matang dan mempertimbangkan banyak hal. Kami yakin bahwa layanan kepada pelanggan akan secepatnya berjalan normal kembali,” ucapnya. (bisnis.com/tempo.co/ac)

JICT gandeng MTI, nasib karyawan Empco tak menentu

PT Jakarta International Container Terminal (JICT) memastikan akan mulai menggunakan jasa PT Multi Tally Indonesia (MTI) sebagai pemasok alat angkut kontainer (Ruber Tired Gantry Crane/RTGC) mulai 1 Januari 2018.

JAKARTA (alfijak): Kerja sama dengan MTI dilakukan untuk menggantikan mitra kerja sama sebelumnya, PT Empco Trans Logistik (Empco), yang telah habis masa kontraknya pada akhir 2017.

Wakil Direktur Utama JICT Riza Erivan mengklaim, perusahaan menetapkan MTI sebagai suplier RTGC setelah melalui proses lelang secara terbuka, transparan dan sesuai standar kerja di JICT.

“Status MTI sama seperti halnya PT Empco, yaitu sebagai vendor pihak ketiga. Jadi, JICT tidak memiliki wewenang dan tanggungjawab terhadap perusahaan tersebut,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (27/12).

Penegasan Riza ini sekaligus menanggapi isu terkait adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh JICT terhadap karyawan PT Empco.

Sebelumnya diketahui, sebanyak 400 karyawan outsourcing Empco terancam PHK setelah sejak 2013 bekerja di JICT. Hal itu merupakan akibat berakhirnya kerja sama antara JICT dan Empco sebagai mitra kerja sama.

Menurut Riza, JICT tidak memiliki hubungan ketenagakerjaan langsung dengan para karyawan PT Empco.

Jadi, apabila para karyawan PT Empco menghadapi masalah, hal ini merupakan persoalan internal yang perlu diselesaikan oleh perusahaan bersangkutan.

“Kami selalu taat dan patuh terhadap setiap ketentuan yang berlaku di Indonesia. Kami tidak mungkin ikut campur terhadap masalah di perusahaan lain,” tegasnya.

Riza mengatakan, bagi para karyawan PT Empco yang ingin bekerja kembali di JICT, mereka bisa mengajukan lamaran kerja ke MTI.

Perusahaan tersebut saat ini diketahui sedang melakukan rekrutmen tenaga operator RTGC. Namun, sebagai pemberi jasa, JICT tidak menjadi penentu dalam rekrutmen karyawan di MTI.

“Keputusan rekrutmen tentunya ada di manajemen MTI. Tapi, kami yakin setiap orang yang memiliki kualitas dan integritas kerja yang baik akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan,” tegasnya.

Menurut Riza, penggantian suplier itu dilakukan untuk meningkatkan layanan bongkar muat dan arus barang di terminal petikemas di Indonesia pada tahun depan.

“Ini bagian dari evaluasi yang dilakukan direksi dan manajemen terhadap kinerja perusahaan, untuk menjamin tingkat dan kualitas pelayanan JICT setiap tahun,” ujar Riza.

Menurut dia, kompetisi antar operator terminal di pelabuhan Tanjung Priok semakin ketat. Perubahan vendor RTGC hanya bagian dari upaya perbaikan perusahaan agar bisa tetap kompetitif.

Tingkatkan pelayanan

PT Jakarta International Container Terminal (JICT) optimistis pelayanan kegiatan bongkar muat dan arus barang di terminal petikemas terbesar di Indonesia ini akan terus meningkat di tahun 2018.

Sebagai langkah strategis, mulai 1 Januari 2018 JICT akan mulai menggunakan jasa PT Multi Tally Indonesi (MTI) sebagai suplier RTGC (Rubber Tired Gantry Crane) menggantikan PT Empco Trans Logistik (Empco) yang telah habis masa kontraknya pada akhir 2017.

Wakil Direktur Utama JICT Riza Erivan menegaskan, penggantian suplier RTGC adalah bagian dari evaluasi yang dilakukan direksi dan manajemen terhadap kinerja perusahaan.

Langkah ini juga dilakukan untuk menjamin tingkat dan kualitas pelayanan JICT terus meningkat setiap tahun.

“Kompetisi antar operator terminal di pelabuhan Tanjung Priok semakin ketat. Perubahan vendor RTGC hanya bagian dari berbagai upaya perbaikan yang terus dilakukan JICT agar tetap kompetitif dan menjadi leader di industri ini di Indonesia,” tegas Riza di Jakarta, Rabu (27/12).

PT JICT telah menetapkan PT MTI sebagai suplier RTGC setelah melalui proses tender secara terbuka, transparan dan sesuai standar kerja di JICT.

Riza menambahkan, status MTI sama seperti halnya PT Empco, yaitu sebagai vendor pihak ketiga. Sehingga JICT tidak memiliki wewenang dan tanggungjawab terhadap perusahaan tersebut.

Penegasan Riza ini sekaligus menanggapi tuduhan bahwa JICT telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap para karyawan PT Empco.

Menurut Riza, JICT tidak memiliki hubungan ketenagakerjaan langsung dengan para karyawan PT Empco.

Jadi apabila para karyawan PT Empco menghadapi masalah, hal ini merupakan persoalan internal yang harus diselesaikan oleh perusahaan bersangkutan.

“Kami selalu taat dan patuh terhadap setiap ketentuan yang berlaku di Indonesia. Kami tidak mungkin ikut campur terhadap masalah di perusahaan lain,” ujarnya.

Riza mengatakan, bagi para karyawan PT Empco yang ingin bekerja kembali di JICT mereka bisa mengajukan lamaran kerja ke PT MTI.

Perusahaan tersebut saat ini diketahui sedang melakukan rekrutmen tenaga operator RTGC. Namun sebagai pemberi jasa, JICT tidak menjadi penentu dalam rekrutmen karyawan di MTI.

“Keputusan rekrutmen tentunya ada di manajemen MTI. Tapi kami yakin setiap orang yang memiliki kualitas dan integritas kerja yang baik akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan,” tegasnya.

Gabung ke MTI

Manajemen Jakarta International Container Terminal (JICT) mengimbau agar tenaga kerja alih daya atau outsourcing PT.

Empco yang menjadi operator alat bongkar muat di terminal JICT dapat bergabung di PT.Multi Tally Indonesia (MTI) yang mulai Januari 2018 menjadi vendor operator alat di JICT.

Wakil Dirut JICT, Riza Erivan mengatakan pihaknya sudah menyarankan supaya tenaga outsourcing eks Empco  direkrut dan bergabung ke vendor baru tersebut supaya tetap bisa bekerja.

“Sekarang ini kan tergantung dari mereka (outsourching) itu mau bergabung apa tidak?Jangan dipolitisasi, inikan masalahnya sebenarnya sederhana jika mereka ingin tetap bekerja,” ujarnya kepada Bisnis.com, Rabu (27/12/2017).

Riza menyatakan hal itu menanggapi adanya reaksi dari sejumlah serikat pekerja di Pelabuhan Tanjung Priok, karena ada 400-an tenaga outsourcing yang terancam kehilangan pekerjaannya lantaran perusahaan induknya yakni PT Empco tidak lagi bermitra sebagai vendor operator alat di JICT.

“Setelah melalui lelang terbuka, PT Empco selaku vendor sebelumnya kalah dari PT MTI. Ini proses kemitraan yang sudah dijalankan sesuai aturan perusahaan,” paparnya.

Pada Selasa (26/12), lima elemen serikat pekerja pelabuhan dan transportasi menggelar jumpa pers sekaligus mengecam pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal yang menimpa sekitar 400-an tenaga outsourching atau alih daya di Jakarta International Container Terminal (JICT), di pelabuhan Tanjung Priok.

Kelima elemen serikat pekerja itu yakni; Serikat Pekerja Container (SPC), SP JICT, Federasi Pekerja Pelabuhan Indonesia (FPPI), Serikat Pekerja PT.Pelabuhan Indonesia II/IPC (SPPI Pelindo II), dan Federasi Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia (FBTPI).

PHK massal 409-an tenaga outsourcing di JICT itu, terjadi lantara pada bulan Desember 2017, manajemen PT JICT melakukan tender pemborongan pekerjaan outsourcing, salah satunya untuk penyediaan operator derek lapangan (RTGC).

“Sejak awal, proses dari tender ini kami pertanyakan mengingat adanya permintaan manajemen JICT kepada vendor baru untuk tidak menggunakan ratusan operator eksisting yang telah bekerja di JICT bertahun-tahun,” ujar Ketua SPC Sabar Royani.

Dia mengatakan Serikat Pekerja Container (SPC) yang beranggotakan 480 karyawan outsourcing JICT telah mengabdi bertahun-tahun dan memberikan produktivitas terbaik bagi pelabuhan petikemas terbesar se-Indonesia tersebut.

“Sumbangsih pekerja outsourcing JICT mencapai ratusan milyar rupiah per tahun. Tapi sekarang malah di PHK massal. Dimana rasa kemanusiaan direksi?” tuturnya. (cnnindonesia.com/tribunnews.com/bisnis.com/ac)

 

JICT buka kembali rute THI intra-Asia

Jakarta International Container Terminal (JICT) kembali menerima layanan kapal baru tujuan Intra Asia.

JAKARTA (alfijak): Pelabuhan peti kemas terbesar se-Indonesia ini, melayani rute Taiwan – Hong Kong – Indonesia (THI) dari gabungan perusahaan pelayaran Yangming dan TS Line.

Kapal perdana Princess of Luck milik Yang Ming sandar tepat pukul 00.00 WIB. Kapal berbendera Siprus ini, memiliki bobot mati 24.346 dwt.

JICT layani rute THI dengan skedul rutin mingguan, dimulai Rabu hingga Jumat dini hari. Adapun dalam satu minggu, JICT mampu menangani 35 kapal sampai 40 Kapal.

Rute kapal baru yang dilayani meliputi Jakarta – Semarang – Surabaya – Kaohsiung – Hongkong – Shekou Container Terminal.

Direktur Operasional JICT, Kim Chang Su, mengatakan, pihaknya akan terus berupaya memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan.

“Kami berharap, kerja sama ini bisa menguntungkan semua pihak,” ujar Kim saat seremoni di atas kapal, di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (23/11).

Turut hadir pada acara Seremoni penyambutan kedatangan kapal perdana yakni Direktur Operasi JICT CS Kim, General Manager Yang Ming Santos Chu, Owner Representative TS Line Hank Liang dan Senior Manager Marketing JICT, Yanti Agustinova.

Nahkoda kapal Princess of Luck, kapten Tomchakovsky Sergiy, menyatakan, pihaknya memberikan apresiasi tinggi kepada JICT.

“Terimakasih kepada JICT. Saya berharap kinerja pelabuhan ini selalu prima,” ujarnya.

Sementara itu, Wakil Presiden Direktur JICT, Riza Erivan mengatakan, kedatangan kapal-kapal baru ke JICT adalah bentuk kepercayaan terukur dari pelanggan.

“Bagi JICT, pelayanan yang utama. Kapal-kapal tujuan internasional ini harus dapat dilayani dengan baik,” kata Riza. (beritasatu.com/ac)

‘Tindak tegas penghambat beleid relokasi peti kemas’

Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, membantah menghambat pelaksanaan aturan relokasi barang impor yang sudah mengantongi surat perintah pengeluaran barang (SPPB) atau longstay di Pelabuhan Tanjung Priok sebagaimana diamanatkan dalam Permenhub No:25/2017.

JAKARTA (alfijak): Kepala Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Dwi Teguh Wibowo, mengatakan instansinya justru sangat mendukung beleid itu, karena barang impor yang sudah clearance kepabeanan bisa dikeluarkan/relokasi merupakan kegiatan business to business (B to B) antara pengelola terminal peti kemas dan pemilik barangnya.

“Itu kan B to B antara terminal dengan pemilik barangnya. Pada prinsipnya, bagi kami silakan saja, namun sisdur kita yang belum mengatur itu, makanya perlu didiskusikan lagi dengan stakeholders terkait agar lebih matang. Kalau importir dan terminal sudah terminal kuat b to b nya itu monggo saja sepanjang tidak ada tuntutan di kemudian hari dari pemilik barang terhadap Bea dan Cukai. Jadi jangan dibilang kami menghambat, ” ujarnya kepada Bisnis pada Selasa (31/10/2017).

Menurut dia, dalam kaitan siapa yang bertanggung jawab atas kegiatan relokasi barang impor longstay di Pelabuhan Priok itu, pihak pengelola terminal peti kemas ekspor impor di mesti menyampaikan dokumen pemberitahuan terlebih dahulu kepada Bea dan Cukai.

“Harus ada surat dulu ke Bea dan Cukai sehingga barang itu dikeluarkan oleh terminal sehingga ada klausul tanggung jawab itu di terminal,” paparnya.

Di sisi lain, kata dia, sebenarnya masih ada barang impor yang meslipun sudah mengantongi SPPB namun masih mesti diawasi oleh Bea dan Cukai seperti barang impor dengan criteria BC.2.3 yang mesti direlokasi ke kawasan berikat.

Dwi Teguh juga mengungkapkan KPU Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok sedang menyiapkan jawaban atas surat Asosiasi Pengelola Terminal Peti Kemas Indonesia (APTPI) di Pelabuhan Priok terkait dengan relokasi barang impor sudah SPPB atau longstay tersebut.

Dia menyebutkan karekteristik barang impor yang menumpuk di Pelabuhan Tanjung Priok saat ini, terdapat sekitar 60% peti kemas impor yang belum diketahui apakah sudah SPPB/Clearance pabean atau belum SPPB namun sudah menumpuk satu hingga tiga hari di lini satu pelabuhan.

“Sedang saya susun untuk menjawab surat APTPI itu, pada prinsipnya Bea dan Cukai mendukung regulasi yang sudah dikeluarkan pemerintah. Jadi jangan sampai ada anggapan bahwa kami menghambat beleid itu,” tuturnya.

Dikonfirmasi Bisnis.com, Wakil Dirut PT.Jakarta International Container Terminal (JICT) Riza Erivan mengatakan pengelola terminal peti kemas di Pelabuhan Priok sudah menyampaikan surat kepada Bea dan Cukai Pelabuhan Priok melalui APTPI untuk meminta pendapat Bea dan Cukai terhadap pelaksanaan relokasi barang longstay di pelabuhan itu.

“Melalui APTPI kami sudah kirimkan surat ke Bea dan Cukai Priok. Kami masih menunggu responnya terkait hal itu,” ujarnya.

Tindak Tegas

Ketua Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) DKI Jakarta Subandi mengatakan harus ada tindakan tigas terhadap siapapun penghambat aturan yang sudah diterbitkan pemerintah.

Pasalnya, menurut dia, sudah sangat jelas disebutkan bahwa dalam PM 25/2017 ditegaskan peti kemas yang sudah mendapat Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB) dari Bea dan Cukai setelah 3 hari harus direlokasi ke luar pelabuhan.

'Tindak tegas penghambat beleid relokasi peti kemas'
‘Tindak tegas penghambat beleid relokasi peti kemas’

“Kalau aturan setingkat Permenhub tak bisa dijalankan, ada apa ini? Siapa yang menghambat perlu diberi tindakan. Jangan sampai ada konspirasi dan bila perlu tim saber pungli turun tangan ke pelabuhan Priok.

Sebab, menurut saya, penjelasan dan diskusi soal PM 25 /2017 dengan Terminal Petikemas di Priok sudah cukup dilakukan. Ini cuma soal ketidak taatan pada aturan,” tuturnya.

Subandi juga mengatakan terminal peti kemas di Priok saat ini sudah sangat menikmati pendapatan dari biaya storage atau sisi darat karena pendapatan sisi lautnya tidak bisa diandalkan lagi menyusul merosotnya arus kapal dan bongkar muat.

“Padahal bisnis inti terminal itu kan mestinya bongkar muat atau layanan kapal sisi laut, bukan dari storage yang saat ini berlaku progresif atau penalti.”

Saat ini di Tanjung Priok terdapat lima fasilitas terminal ekspor impor yakni Jakarta International Container Terminal (JICT), Terminal Peti Kemas Koja, New Priok Container Terminal, Terminal Mustika Alam Lestari (MAL) dan Terminal 3 Pelabuhan Priok.

Adapun relokasi peti kemas longstay yang sudah mengantongi SPPB atau sudah clearance sudah diatur melalui Permenhub No: 25 Tahun 2017 tentang perubahan atas peraturan menteri perhubungan nomor PM 116 tahun 2016 tentang pemindahan barang yang melewati batas waktu penumpukan (long stay) di pelabuhan utama belawan, pelabuhan utama Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Makassar.

Beleid itu juga diperkuat dengan adanya peraturan Kepala Kantor Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Priok No:UM.008/27/11/OP.TPK.2017 tanggal 9 Oktober 2017 tentang perubahan atas peraturan kepala kantor otoritas pelabuhan utama Tanjung Priok No:UM.008/31/7/OP.TPK.2016 tanggal 10 november 2016 tentang tata cara pemindahan barang yang melewati batas waktu penumpukan (long stay) di pelabuhan Tanjung Priok. (bisnis.com/ac)

Adil: relokasi peti kemas SPPB tak jalan, biaya logistik melambung

Pengguna jasa dan pemilik barang impor di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta mendesak pengelola terminal peti kemas ekspor impor segera merelokasi peti kemas impor yang sudah clearance kepabeanan atau sudah mengantongi surat perintah pengeluaran barang (SPPB) atau longstay untuk mengurangi beban biaya logistik.

JAKARTA (alfijak): Sekretaris DPW Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta Adil Karim mengatakan belum berjalannya kegiatan relokasi  peti kemas sudah SPPB atau longstay di pelabuhan itu mengakibatkan biaya logistik penanganan kargo impor di pelabuhan Priok terus meningkat.

Padahal, menurut dia, pelaksanaan relokasi peti kemas impor longstay itu sudah diatur melalui Permenhub No: 25 Tahun 2017 tentang perubahan atas peraturan menteri perhubungan nomor PM 116 tahun 2016 tentang pemindahan barang yang melewati batas waktu penumpukan (long stay) di pelabuhan utama belawan, pelabuhan utama Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Makassar.

Adil: relokasi peti kemas SPPB tak jalan, biaya logistik melambung

Beleid itu juga diperkuat dengan adanya peraturan Kepala Kantor Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Priok No:UM.008/27/11/OP.TPK.2017 tanggal 9 Oktober 2017 tentang perubahan atas peraturan kepala kantor otoritas pelabuhan utama Tanjung Priok No:UM.008/31/7/OP.TPK.2016 tanggal 10 november 2016 tentang tata cara pemindahan barang yang melewati batas waktu penumpukan (long stay) di pelabuhan Tanjung Priok.

“Kami sudah menghitungnya. Kalau barang yang sudah SPPB direlokasi keluar pelabuhan atau ke depo buffer, biayanya lebih murah ketimbang kami harus menanggung tarif penumpukan yang sifatnya progresif bahkan kena pinalti di lini satu pelabuhan. Ini bisa mengurangi biaya logistik bagi pemilik barang,” ujar Adil kepada Bisnis pada Selasa (24/10/2017).

Dia juga prihatin dengan kondisi aturan setingkat Permenhub dan Kepala OP Tanjung Priok tidak bisa segera berjalan di pelabuhan, lantaran pengelola terminal peti kemas takut kehilangan pendapatan dari biaya storage penumpukan yang bersifat progresif.

“Kami selaku pengguna jasa mendukung adanya beleid itu karena sudah  kami lakukan  kajian secara komprehensif bisa menekan biaya logistik secara nasional. Makanya ALFI dan GINSI bersedia menandatangani kesepakatan tarif  layanan  relokasi peti kemas SPPB itu,” papar Adil.

Ketua BPD Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) DKI Jakarta Subandi mengemukakan tidak ada alasan bagi pengelola terminal peti kemas di Pelabuhan Priok untuk tidak mematuhi beleid tersebut.

“Kita mesti bersikap demi kepentingan nasional yang lebih luas dalam upaya menekan biaya logistik di pelabuhan sebagaimana program  pemerintah saat ini,” ujarnya.

Survey lapangan

Dikonfirmasi Bisnis, Wakil Dirut PT.Jakarta International Container Terminal (JICT) Riza Erivan menyatakan akan menjalankan kegiatan relokasi peti kemas longstay sesuai beleid tersebut, namun pihaknya masih perlu waktu persiapan internal di manajemen terminalnya.

Dia juga mengatakan manajemen JICT sudah membentuk tim internal yang akan melakukan survey untuk kesiapan depo mana saja yang akan dijadikan buffer peti kemas impor yang sudah SPPB dan tidak segera diambil pemilik barangnya atau longstay itu.

“Kami sudah berkordinasi dengan Fordeki [Forum Pengusaha Depo Kontener Indonesia] pekan lalu. Dalam kesempatan itu disebutkan dari sembilan depo anggota Fordeki yang sudah siap sepenuhnya menjadi buffer, ada tiga depo. Tim kita akan survey lapangan depo itu. Semestinya pekan ini sudah dilakukan survey tersebut nanti saya cek lagi,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (24/10/2017).

Saat ini, di Pelabuhan Tanjung Priok terdapat lima pengelola terminal peti kemas ekspor impor yang wajib menjalankan relokasi barang longstay sesuai dengan amanat  Permenhub No: 25 Tahun 2017 dan peraturan Kepala Kantor Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Priok No:UM.008/27/11/OP.TPK.2017 tanggal 9 Oktober 2017.

Sebelumnya, Ketua Umum Fordeki Syamsul Hadi mengatakan untuk mendukung dwelling time di Priok tersebut, perusahaan/operator depo anggota Fordeki sudah menyiapkan depo back up area seluas kurang lebih 15 Ha di daerah Marunda dan Cakung Cilincing untuk menampung relokasi peti kemas yang sudah clearance pabean/SPPB atau longstay dari pelabuhan Priok.

Berdasarkan catatan Bisnis, pada 16 Agustus 2017 telah ditandatangani kesepakatan mekanisme dan tarif pelayanan relokasi peti kemas impor yang sudah clearance kepabeanan atau longstay antara Ketua Umum Fordeki Syamsul Hadi dengan Ketua ALFI DKI Jakarta Widijanto dan Ketua BPD GINSI DKI Jakarta Subandi, yang disaksikan Kepala Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok I Nyoman Gde Saputra.

Kesepakatan tersebut menyangkut tarif relokasi barang impor yang sudah SPBB dari terminal peti kemas ke depo anggota Fordeki untuk peti kemas ukuran 20 feet Rp1 juta per boks dengan perincian moving Rp750.000 per boks dan lift on-lift off (lo-lo) Rp.250.000 per boks.

Adapun untuk ukuran 40 feet dikenakan Rp1,4 juta per boks dengan perincian moving Rp.950.000 per boks dan lo-lo Rp.450.000 per boks. Untuk kedua layanan itu juga dikenai biaya administrasi Rp.100.000 per peti kemas. (bisnis.com/ac)