KA logistik tak laku karena mahal

Dewan Pakar Masyarakat Perkeretaapian Indonesia (Maska), Achmad Kemal Hidayat menyebut, transportasi kereta barang masih kurang diminati oleh pengusaha dalam pengiriman.

Di antara empat transportasi, kereta api menunjukkan peran yang masih minim dalam mendukung pengangkutan logistik.

“Empat (angkutan) itu adalah pesawat udara, kapal laut, kontainer, dan kereta api hanya beberapa. Itu menunjukkan bahwa peran kereta api mendukung sistem logistik belum menonjol, perannya sangat kecil,” ungkapnya di Stasiun Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (28/2).

Menurut Achmad, peran moda transportasi kereta api sangat dibutuhkan dalam penyaluran logistik di Indonesia.

Kereta api barang seharusnya dapat menjangkau daerah lokal dan terintegrasi dengan transportasi lainnya.

“Intinya sistem logistik itu terintegrasi secara lokal yaitu bagaimana peran antar moda sangat menentukan kita sebagai negara kepulauan,” jelasnya.

Dengan penggunaan angkutan kereta barang, maka akan memberikan keuntungan yang lebih baik kepada produsen maupun konsumen.

Salah satu keuntungannya adalah biaya logistik dapat ditekan sehingga harga penjualan akan lebih murah.

“Ada beberapa tujuan yang akan dicapai, yaitu, menurunkan biaya dan memperlancar arus barang. Serta meningkatkan pelayanan logistik sehingga meningkatkan daya saing produk nasional di pasar global dan pasar domestik,” tuturnya.

Kereta api masih dianggap kurang diminati oleh para pengguna jasa angkutan barang atau logistik. Sedangkan, Truk dinilai masih jadi pilihan karena lebih murah biayanya.

Sementara itu, di tempat terpisah, Direktur Komersial dan IT PT Kereta Api Indonesia (PT KAI), Kuncoro Wibowo, mengakui bahwa penggunaan kereta api sebagai opsi pengangkutan logistik hanya berkisar di angka satu persen, dari jumlah keseluruhan yang ada.

“Hampir 90 persen angkutan barang masih memakai trucking (angkutan darat). Sementara kereta api hanya satu persen. Ini miris sekali kalau kita lihat. Padahal kereta api ini kan untuk lebih mendorong go green eficiency,” kata Kuncoro dalam sebuah diskusi di Stasiun Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa 28 Februari 2017.

Namun, Kuncoro juga mengakui jika hal ini disebabkan faktor biaya yang lebih besar, apabila pengangkutan logistik dilakukan dengan menggunakan moda kereta api dibanding dengan angkutan darat seperti truk.

“Detilnya, kalau tarif trucking itu bisa Rp4,2 juta, maka di kami tarif luar biasa saja masih banyak yang Rp6,36 juta. Makanya mereka lebih suka naik trucking,” ujarnya.

Ketika ditanya faktor apa yang membuat tarif angkutan logistik dengan kereta api kalah saing dengan angkutan trucking, Kuncoro menjelaskan bahwa dengan adanya pengenaan tarif pajak dari pemerintah, membuat tarif pengangkutan menggunakan kereta api menjadi lebih tinggi.

“Biaya terbesar itu di TAC (tax access charge), hampir 32 persen. PPn itu diambil dari sini, karena tracking diurus oleh PUPR,” kata Kuncoro.

Selain masalah tarif, Kuncoro juga menjelaskan sejumlah hal lain yang menjadikan para pelaku jasa angkutan logistik, lebih memilih menggunakan moda angkutan darat lainnya dibandingkan kereta api.

Dia menyebut, aspek keterjangkauan serta bentuk pelayanan lain yang dimiliki moda angkutan darat seperti jasa trucking itu, dianggap masih lebih unggul daripada pelayanan yang mampu diberikan moda kereta api untuk mengangkut logistik.

“Kalau trucking kan bisa langsung ke tempat tujuan, tapi kalau pakai kereta api memang harus ada beberapa proses penanganan. Ini salah satu hal yang menjadi kendala, dan kerap dikeluhkan oleh para pengusaha,” kata Kuncoro.

“Seperti misalnya di Sei Mangkei itu, kalau dengan trucking mereka bisa langsung masukkan (logistik) ke industri tekstil. Sementara dengan kereta api, ini adalah suatu hal yang terbebenani lagi. Bahkan, kalau dikomparasi, biayanya bisa tiga kali lipat jika menggunakan kereta api,” ujarnya.

Sumber: merdeka.com/viva.co.id


 

Sentralisasi kargo impor LCL di sentra CFS disoal

Pengusaha forwarder dan pergudangan di pelabuhan Tanjung Priok menolak pemusatan layanan konsolidasi kargo impor berstatus less than container load (LCL) pada fasilitas CDC Banda MTI yang juga sebagai lokasi sementara container freight station/CFS centre.

Wakil Ketua Bidang Hukum Kelembagaan dan Humas Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yusril Yusup, mengatakan pemusatan layanan ini selain berpotensi praktik monopoli, juga menambah kepadatan pelabuhan Priok semakin krodit.

Model bisnis seperti ini, imbuhnya, juga bertentangan dengan upaya pemerintahan Joko Widodo yang sedang gencar menumbuh kembangkan iklim berusaha di tanah air.

Lagi pula, ujar dia, stakeholders dan pelaku usaha forwarder belum pernah di ajak bicara mengenai rencana Pelindo II yang akan menyiapkan CFS centre di fasilitas depo dan pergudangan CDC Banda yang kini di operasikan oleh PT Multi Terminal Indonesia (MTI) cabang Jakarta, di pelabuhan Priok itu.

“Kami belum pernah diajak bicara masalah ini. Padahal kalau mau bicara CFS center sebaiknya ALFI sebagai cargo owner diajak bicara,karena kargo LCL/CFS ini pelakunya langsung adalah perusahaan forwarder dan logistik anggota ALFI,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (26-2-2017).

Dia mengatakan, kargo impor berstatus less than container load ( LCL) adalah kargo yang dimuat dalam satu kontener dan dimiliki lebih dari satu pemilik barang atau consigne.

Adapun proses bisnis kargo berstatus LCL, karena ada kesepakatan antara importir dengan freight forwarder, bukan saja soal harga tetapi juga layanan percepatan keluarnya barang dan delivery ke tujuan.

“Jadi CFS center bukanlah satu satunya solusi dalam mengatasi biaya tinggi,karena masih banyak hal yang menyebabkan biaya tinggi di pelabuhan Priok, Jangan jadikan CFS center untuk alasan menyelesaikan biaya tinggi di pelabuhan,” paparnya.

Yusril juga menghimbau pihak-pihak yang belum memahami proses bisnis LCL kargo untuk tidak memperkeruh kondisi ini dengan memberikan pernyataan yang ngawur.

Sebab, hampir 80% kargo impor berstatus LCL itu merupakan bahan baku akan dipergunakan untuk komponen ekspor,dimana diperlukan ketepatan waktu untuk delivery-nya.

“Kami perlu sampaikan supaya lebih transparan dan siap berdialog, sebab prinsipnya kami mendukung langkah perbaikan tanpa ada kepentingan yang ingin memanfaatkan situasi ini,”tuturnya.

Yusril mengungkapkan, tidak mudah untuk mendapatkan dan menjalankan bisnis LCL ini yang bersifat business to business ini.

Karena itu ALFI tidak ingin ada pihak yang hanya menunggu bola dengan hanya menyiapkan fasilitas tanpa memikirkan bagaimana perjuangan dan usaha pemain bisnis LCL kargo yang sudah digeluti selama ini.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Tempat Penimbunan Sementara Indonesia (Aptesindo) Reza Darmawan mengatakan, pemusatan kargo impor LCL di CFS centre atau hanya di satu fasilitas gudang saja tidak sehat secara bisnis, karena tidak ada kompetisi dari sisi pelayanan.

“Selama ini penanganan kargo LCL impor sudah berjalan lancar di tujuh fasilitas pergudangan yang ada di wilayah pabean pelabuhan Priok. Jadi mengapa kini harus dipusatkan digudang yakni CFS centre yang dikelola oleh Pelindo II melalui anak usahanya PT.MTI?,” ujar Reza.

Dia juga mengatakan dengan hanya memusatkan kegiatan LCL impor melalui CFS centre di fasilitas CDC Banda MTI tidak akan menjamin kelancaran arus logistic dan efisien dari sisi biaya.

Senior Vice President Bidang Pengembangan Bisnis Pelindo II, Guna Mulyana mengatakan, lokasi CFS centre di CDC Banda MTI itu bersifat sementara sambil menunggu lahan penyiapan di eks lahan pacific paint atau Inggom rampung.

Sumber: bisnis.com

 

DP dukung pengembangan CFS di Priok

Dewan Pelabuhan Tanjung Priok mendukung rencana modernisasi pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Menurut Sungkono Ali, anggota Dewan Pelabuhan Tanjung Priok, salah satu aspek yang akan dimodernisasi adalah container freight station (CFS) atau tempat bongkar muat kontainer yang saat ini tersebar di sekitar 15 lokasi di Tanjung Priok.

Dewan Pelabuhan Tanjung Priok adalah wadah komunikasi dan konsultasi antara penyelenggara pelabuhan, para penyedia dan pengguna jasa pelabuhan terkait kegiatan pelayanan di Pelabuhan Tanjung Priok.

“CFS hanyalah salah satu aspek modernisasi pelabuhan yang dibahas dalam meeting kemaren. Layanan CFS yang terintegrasi dengan menggunakan IT akan banyak memberikan manfaat positif,” ujar dia, Minggu (26/2).

Menurut dia, layanan CFS dengan IT akan dapat membuat tenaga kerja yang dibutuhkan berbagai pihak salah satunya Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menjadi lebih efisien.

Jika selama ini di setiap CFS butuh sekitar dua orang tenaga, 15 CFS yang saat ini beroperasi dibutuhkan minimal 30 orang. Melalui sistem yang terintegrasi dengan IT, jumlahnya bisa dikurangi.

“Manfaatnya sangat besar dengan konsolidasi tata kelola pelabuhan, lebih mudah mengontrol pendapatan negara Bea Cukai,” lanjut dia.

Ke depan, integrasi CFS tidak hanya dalam aspek IT, tetapi juga konsolidasi lokasi, sehingga akan ada satu lokasi khusus CFS untuk less than container load (LCL).

Rencananya, ada lokasi khusus yang disiapkan untuk menjadi lokasi konsolidator CFS.

“Jika nanti ada lokasi khusus, kami siap mendukung tetapi dengan syarat para pelaku (CFS) yang sudah lama tidak digusur. Jadi seandainya disiapkan di satu lokasi khusus, 15 lokasi CFS yang saat ini tidak langsung ditutup,” kata dia.

Sungkono lebih lanjut menjelaskan, di lokasi baru pun sebaiknya PT Pelindo II sebagai otorita pengelola pelabuhan tidak ikut berbisnis. Pelindo II cukup menyediakan tempat sedangkan pengelolanya bisa pengelola CFS yang selama ini berjalan.

“Nanti bisa diatur untuk profit sharing dengan Pelindo. Modernisasi pelabuhan Tanjung Priok harus mendengarkan masukan dari para pelaku (CFS) yang saat ini sudah beroperasi,” ujar dia.

Menurut Sungkono, masih akan ada beberapa pertemuan lanjutan untuk membahas mengenai CFS dan strategi modernisasi Pelabuhan Tanjung Priok.

Integrasi layanan CFS nantinya dapat membantu mempercepat menurunkan dwelling time di Tanjung Priok.

Sumber: beritasatu.com

 

8 Komoditas dikenakan PNBP, bongkar muat keberatan

Kementerian Perhubungan menetapkan delapan komoditi yang terkena kewajiban PNBP terkait kegiatan pelaksanaan dan pengawasan bongkar muat barang di pelabuhan.

Kedelapan komoditi itu yakni yang tergolong barang khusus al; kayu gelondongan, barang curah yang tidak tidak menggunakan pipanisasi atau conveyor,rel, dan ternak.
Aktivitas bongkar muat petikemas di pelabuhanTanjung Priok, Jakarta. – JIBI/Nurul Hidayat

Kemudian, komoditi yang tergolong mengganggu al; besi dan baja, scrap/besi tua, alat berat, serta barang logam dan batangan.

Ketua Umum DPP Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) M.Fuadi mengatakan, pelaku usaha bongkar muat keberatan dengan adanya kewajiban PNPB sebesar 1% dari ongkos pelabuhan pemuatan/ongkos pelabuhan tujuan (OPP/OPT) itu.

“Perusahaan bongkar muat di pelabuhan sangat keberatan dengan PNBP itu, karena itu nantinya akan dibebankan kepada pemilik barang. Pasti akan menambah tinggi cost logistik,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (23-2-2017).

Fuadi mengatakan, APBMI sudah melakukan pembahasan dan kordinasi internal dengan seluruh perusahaan bongkar muat (PBM) di Indonesia yang merupakan anggota APBMI.

“Kami minta tidak perlu ada PNBP bongkar muat sebab selama ini PBM sudah memenuhi semua kewajiban yang berasal dari pajak kepada negara.Ini kan jadi tumpang tindih,” tuturnya.

Pengenaan kewajiban membayar PNBP terhadap bongkar muat komoditi khusus dan dianggap mengganggu tersebut diatur melalui instruksi Dirjen Perhubungan Laut Kemenhub No:UM.008/3/12/DJPL.17 tentang Pelaksanaan Pengawasan Bongkar Muat Barang di Pelabuhan Terkait Dengan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Beleid itu ditandatangani Dirjen Hubla Kemenhub Tonny Budiono pada 11Januari 2017, yang sekaligus mengintruksikan pengawasannya dilaksanakan oleh Kepala Kantor Otoritas Pelabuhan Utama, Kepala Kantor Pelabuhan Batam, Kepala Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP), serta Kepala UPT Penyelengara Pelabuhan.

Dalam beleid itu disebutkan, pengawasan bongkar muat barang terkait pungutan PNBP itu berlaku di pelabuhan umum, terminal khusus (Tersus) dan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) yang melakukan kegiatan bongkar muat barang umum, dan tempat alih muat barang antarkapal atau ship to ship.

Ketua DPW APBMI DKI Jakarta, Juswandi Kristanto mengatakan, meminta kejelasan kewajiban PNPB tersebut dibebankan kepada siapa, sebab selama ini PNBP tidak pernah ada dalam komponen OPP/OPT atau tarif bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok.

Dikonfirmasi Bisnis, Direktur Lalu Lintas Angkutan Laut Kemenhub, Bay Mohamad Hasani mengatakan, pengenaan PNBP kegiatan pengawasan bongkar muat di pelabuhan itu sudah sesuai dengan aturan yang berlaku.

“Makanya instruksi Dirjen Hubla itu harus dijalankan,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Priok Jakarta, I Nyoman Gde Saputera mengatakan, sesuai dengan beleid itu barang dalam kontener atau peti kemas domestik maupun internasional yang dibongkar muat di Pelabuhan Priok tidak dikenai PNBP.

“Sampai hari ini di Priok tidak ada kendala soal kewajiban PNBP untuk pengawasan bongkar muat itu,”ujarnya.

Kendati begitu,ujar dia, proses administratif pembayaran PNBP bongkar muat di Priok belum terintegrasikan dengan sistem inaportnet.

“Kalau pembayaran uang jasa labuh di Priok saat ini sudah terintegrasi dengan inaportnet,”ujar dia.

Sumber: bisnis.com

 

Transhipment Priok mulai semester kedua tahun ini

PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) akan menjadikan Tanjung Priok sebagai transhipment port. Dengan bertambahnya fungsi Tanjung Priok sebagai transhipment port pemilik barang dapat menghemat biaya hingga Rp1 juta – Rp 1,5 juta.

“Buat pemilik barang itu bisa dapat cost saving sekitar Rp1 juta sampai 1,5 juta,” terang Direktur Utama IPC Elvyn G. Masassya saat berkunjung ke redaksi Okezone, Rabu (22/2/2017).

Pemangkasan bea tersebut adalah imbas dari efisiensi lalu lintas laut. Saat ini barang yang hendak diekspor ke Jepang harus melalui transhipment port di Singapura. Sehingga menambah beban biaya bagi pabean.

Jadi transhipment port artinya barang – barang yang hendak di ekspor dari Jawa dan Sumatera tidak perlu ke Singapura, tapi ke Tanjung Priok,” terangnya.

Pemangkasan biaya transhipment dibutuhkan agar pelayanan jasa peti kemas di Indonesia dapat bersaing dengan pelayanan jasa di luar negeri. Transhipment port Tanjung Priok ditargetkan berjalan di semester kedua tahun 2017.

Sumber: okezone.com

 

JICT minta terminal 3 untuk domestik

Manajemen PT Jakarta International Container Terminal (JICT) mendesak Pelindo II untuk merealisasikan pengoperasian terminal 3 Pelabuhan Tanjung Priok sebagai terminal peti kemas khusus untuk melayani kontener domestik.

Wakil Direktur Utama JICT, Riza Erivan mengatakan sesuai dengan peruntukkannya fasilitas terminal 3 Priok sangat dibutuhkan untuk kelancaran peti kemas antarpulau atau domestik.

“Terminal 3 Priok itu harusnya untuk domestik bukan ekspor impor,” ujarnya kepada Bisnis, disela-sela stakeholders coffee morning Pelindo II, Senin (20-2-2017).

Dia juga mengatakan, persaingan layanan peti kemas di Priok semakin ketat saat ini bahkan cenderung saling menarik market yang sudah ada mengingat minimnya market baru (shipping line) baru menyusul masih terjadinya pelemahan ekonomi global saat ini.

Bahkan, kata dia, semakin ketatnya persaiangan antar terminal itu sekarang sudah ada tiga shipping line global yang sebelumnya sandar di JICT kini berpindah layanan al; Maersk Line ke Terminal 3 Priok, serta NYK Line dan Evergreen ke New Priok Container Terminal One (NPCT-1).

Riza juga mengatakan, sedangkan fasilitas terminal 2 JICT saat ini sudah sepenuhnya diserahkan kepada Pelindo II kendati proses legalisasinya belum rampung.

“JICT akan fokus pada pengembangan fasilitas dan peralatan bongkar muat di terminal JICT-1,” paparnya.

Dia juga mengungkapkan, pada tahun ini JICT hanya menargetkan produktivitas bongkar muat peti kemas ekspor impor sebanyak 2,2 juta twentyfoot equivalent units (TEUs).

Sumber: bisnis.com

 

Pelindo siap garap tol Cibitung- Cilincing

PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II atau Indonesia Port Corporation (IPC) iap memulai pengerjaan proyek jalan tol Cibitung-Cilincing untuk mendukung operasional Pelabuhan Kalibaru.

Direktur Teknik dan Manajemen Risiko PT Pelindo II/IPC mengatakan saat ini perseroan siap memulai pengerjaan konstruksi jalan tol Cibitung-Cilincing lantaran proses pembebasan lahan sudah mendekati persyaratan untuk dapat mulai digarap.

“Proyek jalan tol Cibitung-Cilincing harapannya tahun ini sudah bisa mulai konstruksinya,” ujarnya, Rabu (15/2/2017).

Dani menerangkan, bahwa proses pembebasan lahan, atas proyek yang digarap oleh anak usaha IPC, yakni PT Akses Pelabuhan Indonesia tersebut sudah mencapai 50%.

Pihaknya meyakini tahun ini progresnya akan semakin cepat dan dapat mencapai minimal 75%, sehingga telah memenuhi persyaratan untuk dapat dilakukan pengerjaan konstruksinya.

“Sekarang informasinya pembebasan lahan sudah 50% dan untuk dapat dilakukan konstruksi.”

Kepala Bidang Pengadaan Tanah II Jalan Bebas Hambatan Perkotaan dan Fasilitas Jalan Daerah Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum Sri Sadono mengatakan bahwa total pembebasan lahan untuk proyek jalan tol Cibitung-Cilincing terbagi dalam empat seksi mencapai 26,78%.

Menurutnya. saat ini proses pembebasan lahan untuk keempat seksi tersebut berbeda-beda persentasenya baik seksi satu hingga seksi empat.

“Saat ini progres keseluruhan pembebasan lahan untuk proyek jalan tol Cibitung-Cilincung sepanjang 34,72 kilometer (km) itu baru mencapai kisaran 26,78%,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (15/2/2017).

Proses pembebasan lahan untuk Seksi I dengan panjang jalan mencapai 3,7 km masih 0%. Lalu progres pembebasan lahan untuk Seksi II dengan jalan sepanjang 12,48 km mencapai 50,91%.

Kemudian, lanjut dia, untuk progres Seksi III dengan panjang jalan 13,98 km telah mencapai 22,86%, dan Seksi IV dengan panjang jalan mencapai 4,57 km juga masih 0%.

Namun demikian, meskipun secara total progres pembebasan lahan masih kisaran 26,78%, proses pengerjaan konstruksi tetap bisa dilakukan per seksi, dan tidak perlu menunggu keseluruhan selesai pembebasan lahannya.

Sumber: bisnis.com

 

Pelindo yakin trefik peti kemas Priok tahun ini naik

PT. Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II) menargetkan trafik peti kemas tahun ini naik 11,8%.

Perusahaan membidik trafik peti kemas sekitar 6,8 juta unit ekuivalen dua puluh kaki (TEUs).

Seperti diketahui, tahun 2016 Pelindo II menangani 6,08 juta TEUs peti kemas.

Tahun ini, perusahaan akan menambah fasilitas terminal peti kemas dan melanjutkan pengembangan pelabuhan seperti terminal Kalibaru/New Priok untuk container terminal I dan container terminal III.

Sebelumnya, container terminal I telah melaksanakan trial operation pada Januari dan Mei 2016, serta mulai beroperasi secara komersial penuh pada tahun lalu.

Terminal I dan III tersebut dibangun untuk produk-produk liquid seperti gas maupun minyak.

Selain itu, sejumlah proyek juga akan digarap perusahaan antara lain pelabuhan internasional di Kijing, Kalimantan Barat dan di Sorong, Papua.

Kedua pelabuhan itu akan dilengkapi dengan kawasan industri.

Nantinya, Pelindo II akan menggandeng mitra untuk pengembang kawasan industri.

Sedangkan Pelindo II akan menjadi pengelola kawasan tersebut.

Perusahaan juga akan membangun lnland Waterways atau kanal dari Tanjung Priok ke Bekasi.

Upaya ini dilakukan agar distribusi barang dari pelabuhan ke pabrik menjadi lebih cepat.

Dengan demikian akan menekan biaya logistik dan meningkatkan daya saing.

Tahun 2017, Pelindo II menargetkan pendapatan bisa naik menjadi Rp 10,5 triliun dibandingkan akhir 2016 yang sekitar Rp 9 triliun.

“Total aset tahun ini ditargetkan bisa berkisar Rp 52 triliun, dan belanja modal tanpa equity participation berkisar Rp 4,6 triliun,” ujar Elvyn G. Masassya, Direktur Utama Pelindo II, akhir pekan.

Elvyn mengklaim, perusahaan telah menetapkan corporate roadmap yang sejalan dengan visi baru untuk menjadi pengelola pelabuhan berkelas dunia.

Tahun ini, Pelindo II akan melanjutkan transformasi untuk memperkuat dan mengembangkan bisnis.

Sumber: kontan.co.id

 

 

 

Pemerintah perlu atur komponen tarif kargo LCL

Tarif layanan kargo impor berstatus less than container load (LCL), dikeluhkan importir di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Pasalnya, hal itu dianggap memicu biaya tinggi, serta membuat resah.

Adapun, importasi berstatus LCL kargo yakni kegiatan pemasukan barang impor melalui pelabuhan yang terdiri lebih dari satu pemilik barang yang dimuat dalam satu kontainer.

Bahkan bisa lebih dari lima pemilik barang. Para pengusaha yang tergabung dalam Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) mendesak Kemenhub melalui Kantor Otoritas Pelabuhan maupun KSOP segera menetapkan komponen tarif layanan kargo impor berstatus LCL.

”Importir di Pelabuhan Utama Indonesia termasuk di Pelabuhan Tanjung Priok harus menanggung beban biaya logistik yang tinggi. Karena tarif layanan importasi LCL masih tak terkendali bahkan liar hingga saat ini,” ujar Sekjen BPP GINSI, Achmad Ridwan Tento, Kamis (9/2).

Menurutnya, terkait tarif layanan itu, importir harusnya hanya membayar yang ada service-nya saja (no service no pay).

“Seperti cargo shifting, kan gak ada pekerjaannya, tetapi kok kami tetap ditagih biaya itu,” keluh Ridwan.

Karenanya ia berharap ada ketegasan dari pemerintah dalam hal itu. Yakni untuk segera mengatur komponen tarif layanan impor LCL.

“Pada prinsipnya kami, pengguna jasa, siap memberikan masukkan untuk mencari solusi penyelesaian masalah tersebut,” ujar Ridwan.

Menurutnya, akibat tidak adanya kepastian komponen layanan itu, beban biaya tinggi logistik di Pelabuhan Tanjung Priok yang berasal dari layanan LCL impor mencapai puluhan milliar rupiah setiap bulan.

“Dan ini sudah berlangsung cukup lama. Sebab aturan pedoman tarif sebelumnya sudah kedaluarsa,” jelas Ridwan.

Menurutnya, pada tahun 2010, tarif layanan kargo impor LCL di Pelabuhan Priok sudah di atur melalui SK Dirjen Perhubungan Laut No: 42/1/2/DJPL -10 tentang Pedoman Pengawasan dan Pengendalian Pemberlakuan Komponen dan Besaran Tarif Batas Atas kargo impor LCL.

Dalam beleid itu ditegaskan, tarif layanan impor LCL hanya meliputi antara lain, forwarding local charges dan pergudangan.

“Namun karena SK Dirjen Perhubungan Laut itu sudah kedaluarsa saat ini komponen tarif layanan kargo impor LCL semakin liar. Bahkan importir dipungut antara lain biaya administrasi, agency fee, container freight station (CFS) charges, CAF, devaning, delivery order (D/O), document fee, biaya handling atau cargo shifting dan pecah post umum atas layanan importasi LCL,” pungkasnya.

Sumber: indopos.co.id