ALFIJAKARTA- PT Dewata Freightinternational Tbk (DEAL) – salah satu emiten logistik dan transportasi, sedang menyiapkan sistem e-logistic dengan sistem blockchain untuk memperkuat bisnisnya.
Sejak 2018, emiten berkode saham DEAL ini telah menggunakan sistem blockchain dan memberikan tingkat efisiensi hingga 15%.
Komisaris Dewata Freightinternational Rico Rustombi mengatakan dengan sistem blockchain ini bisa menghubungkan orang-orang yang memiliki gudang, logistik, dan pengemasan sehingga tergabung dalam satu sistem.
Pada prinsipnya, blockchain adalah sistem pencatatan transaksi di banyak database yang tersebar di banyak komputer yang memuat catatan yang identik.
“Tapi kami belum merumuskan sampai cryptocurrency-nya, ini enggak mudah dan butuh waktu. Jadi sekarang masih menggunakan konvensional pembayarannya,” kata Rico di Jakarta, dikutip dari CBNC, pada Senin (29/7).
Menurut Rico, selama ini tingginya biaya logistik di Indonesia karena tidak ada sistem yang terintegrasi. Apalagi dari sisi regulasi dan infrastruktur masih belum siap. Rico menilai masih ada pungutan dan clearancepanjang yang membebani biaya.
“Menurunkan biaya logistik itu bukan dengan membangun pelabuhan baru, tapi benahi sistemnya. Efisiensi dan utilisasi terhadap pelabuhan yang tersedia, dan masalah traffic sendiri di dalamnya,” ujar Rico yang juga Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Logistik dan Rantai Pasok.
Dengan sistem blockchain, katanya, maka semuanya bisa transparan, tidak ada pungutan liar, dan semua bisa terekam di setiap mata rantainya.
Menurut Rico, perseroan sebagai pelaku usaha bidang forwarder juga menggunakan banyak dokumentasi, dengan sistem blockchain maka perusahaan menjadi terhubung dengan perusahaan logistik global.
“Dengan sistem ini kami terkoneksi by sistem dengan shipping line seluruh dunia,” ujar Rico.
Sistem logistik yang ada saat ini menurutnya tidak efektif karena terlalu banyak lapisan di otoritas pelabuhan di dalamnya. Pembangunan kawasan ekonomi khusus (KEK) di beberapa tempat pun tidak efektif karena tidak jelas sistem logistik yang digunakan dan insentifnya.
“Layer dari pelabuhan saja, BUMN banyak anak perusahaannya, secara cost kita enggak akan competedengan Malaysia, Singapura, Fhilipina, dan Thailand, semua karena regulasi juga,” ujar Rico.(ri)