ALFI: Biaya Pelabuhan Mesti Efisien Sesuai Komoditi Yang Ditanganinya

ALFIJAK : Ketua Umum DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki Nugrahawan Hanafi, menegaskan biaya-biaya pelabuhan di Indonesia harus lebih efisien sesuai dengan komoditi yang ditanganinya.

Pelabuhan juga harus menjadi pintu gerbang perekonomian yang lebih efektif serta menambah nilai daya saing terhadap barang-barang yang dikirim via pelabuhan.

“Kalau ada yang menyebut biaya pelabuhan harus murah, saya lebih suka bilang bahwa biaya pelabuhan harus lebih efisien sesuai komoditinya. Sebab, kedepan pemilik barang akan terus menuntut biaya yang lebih efisien dan pelayanan pelabuhan yang lebih baik,” ujar Yukki saat menjadi nara sumber dalam Webinar Nasional bertema ‘Peran Pelabuhan Sebagai Katalisator Pemulihan Perekonomian Setelah Pandemi Covid 19’, yang digelar secara virtual pada Sabtu (20/2/2021).

Webinar yang bertepatan dengan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) <span;>Asosiasi Badan Usaha Pelabuhan Indonesia (ABUPI) dan dibuka secara virtual oleh Menhub Budi Karya Sumadi itu juga merupakan rangkaian kegiatan HUT ke 6 ABUPI.

Narasumber lainnya pada Webinar itu antara lain; Ketua Umum ABUPI, Febri Aulia Fatwa,Ketua Umum DPP Indonesia National Shippowners Association (INSA) Carmelita Hartoto  yang juga merupakan Wakil Ketua Umum Kadin bidang Perhubungan, Wakil Ketua Umum DPP Indonesia Shipping Agency Asaociation (ISAA) Reinhard LB Tobing, Sahat Simatupang dari Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI), Pasoroan Herman Harianja (INAMPA), serta Pengurus HKI.

Pada kesempatan itu, Yukki juga mengingatkan supaya pengembangan pelabuhan-pelabuhan di Indonesia sudah semestinya mengarah pada green port.

“Kita harus sudah masuk pada green port, bukan sekedar urban logistic centre di pelabuhan utuk situasi dan kondisi yang lebih baik lagi,” ucapnya.

Yukki yang menjabat Chairman Asean Federation of Forwarders Association (AFFA) itu juga mengingatkan bahwa kata kunci pertumbuhan dari sisi kaca mata logistik itu bisa dilihat jika<span;> pertumbuhan tersebut penyebaran merata secara ekonomi diseluruh wilayah RI.

Sebab, imbuhnya, pertumbuhan atau produk domestik bruto (GDP) berdasarkan pada dua aspek yakni investasi dan konsumsi.

“Kita sering mengalami imbas gejolak krisis global tersebut. Sebut saja pada tahun 2018 dimana krisis ekonomi global akibat perdagangan dan energi yang nyata dilihat dari tekanan suply dan demand-nya,” ujarnya.

Kemudian di tahun 2019, RI juga mengalami imbas krisis global akibat perang dagang Amerika dan China. Sedangkan pada 2020 krisis global terjadi akibat Pandemi Covid 19 yang bersumber pada krisis kesehatan dan pada akhirnya menekan perekonomian dunia.

“Situasi dan kondisi ini mengagetkan serta menekan kondisi perekonomian kita. Hal ini karena dunia belum berpengalaman menangani krisis global yang disebabkan masalah kesehatan yang menyebabkan Pandemi tersebut, sehingga harus memberikan kreativitas bagi kita semua supaya bisa tetap bertahan kedepan,” paparnya.

Peluang

Kondisi Pandemi saat ini, kata Yukki, juga memaksa kita semua untuk melakukan sesuatu yang baru ataupun sesuatu yang sedang berjalan dipercepat termasuk dari sisi digitalisasi maupun big data.

“Makanya menghadapi Pandemi ini saya mau mengatakan bukan hanya w<span;>elcome to the new normal, tetapi juga welcome to the new opportunity,” sergahnya.

Pada kesempatan itu, Yukki <span;>juga mengajak semua pihak untuk menghapuskan ego sektoral guna mewujudkan National Logistik Ekosistem (NLE) sebagai platform besar bersama dalam mengefisiensikan logistik nasional.

“Sebab rasanya ego sektoral bukan hanya di pemerintah tetapi juga ada di kita sebagai pelaku usaha, oleh karenanya kita mesti berkolaborasi,” tuturnya.

Tak ketinggalan, Yukki juga kembali mengingatkan bahwa pada 2025, RI akan masuk pada Asean Conectivity, dan oleh sebab itu perlu menyiapkan segala sesuatuya. “Kita masih punya waktu menyiapkan segala sesuatunya untuk menuju Asean Conectivity 2025,” ujar Yukki.(*)

ALFI Dukung Integrasi Pelabuhan Kontainer & Pelabuhan Perikanan di KTI

ALFIJAK – Asosisasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) mendukung program Pemerintah dalam menyiapkan sarana dan prasarana guna memacu perekonomian di Indonesia Timur dengan mendorong pengembangan industri pengolahan ikan dan pembangunan pelabuhan terpadu di kawasan itu.

Ketua Umum DPP ALFI Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan, ALFI siap mendukung konsep pelabuhan kontainer dan pelabuhan perikanan yang terintegrasi termasuk didalamnya ada kawasan industri dan logistik di kawasan tersebut.

Menurutnya, potensi sumber daya alam dikawasan Timur Indonesia sangat banyak dan beragam, salah satunya sumberdaya perikanan yang bisa diandalkan untuk pemenuhan kebutuhan nasional maupun ekspor.

“Untuk mendukung hal itu diperlukan sarana dan prasaran yang memadai. Sehingga yang berkaitan dengan layanan logistik maupun distribusinya bisa semakin lancar dan efisien. Selain itu komoditi dari industri perikanan tersebut juga bisa lebih berdaya saing global,” ujar Yukki pada Selasa (16/2/2021).

Dia mengatakan, ALFI juga mengapresiasi program Pemerintah berkaitan dengan penyiapan infrastruktur pelabuhan terpadu di KTI itu guna membangun ekosistem dan sumber ekonomi baru di kawasan tersebut.

“Oleh sebab itu, ALFI sangat mendukung konsep pelabuhan kontainer dan pelabuhan perikanan yang terintegrasi termasuk didalamnya ada kawasan industri dan logistik di wilayah tersebut,” ucapnya.

Yukki yang merupakan Chairman Asean Federation of  Forwarders Association (AFFA) itu menilai  target Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk mendirikan fasilitas pengolahan ikan di KTI, cukup realistis.

KKP menargetkan setidaknya akan berdiri sebanyak 55 industri pengolahan ikan dalam rencana pembangunan pelabuhan terpadu guna mendukung program Lumbung Ikan Nasional (LIN) di KTI.

Pembangunan pelabuhan sendiri akan dilakukan oleh Kementerian Perhubungan bersama dengan KKP.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono dalam siaran persnya (14/2), menyebutkan bahwa tujuan pembangunan pelabuhan terpadu ini memang untuk mengintegrasikan proses yang ada dari hulu dengan hilir.

“Kemudian 4 industri galangan kapal diharapkan bisa tumbuh disana. Penyerapan tenaga meliputi 20.000 nelayan atau ABK, 500 petugas pelabuhan perikanan, 2.000 pedagang ikan, 11.000 pekerja industri perikanan,” jelasnya.

Dia mengemukakan pemerintah terus memantapkan pengembangan program LIN di Maluku antara lain melalui rapat koordinasi lintas sektor bersama kementerian dan lembaga selalu dilakukan guna membahas rencana pembangunan pelabuhan terpadu.

Dia menjelaskan potensi perikanan tangkap di tiga Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) Maluku dinilai sangat banyak.

“Peluang yang belum dimanfaatkan mencapai 2,315 juta ton pada tahun 2019, maka jika kita memanfaatkan 25 persen saja atau 579 ribu ton maka diperkirakan perputaran ekonomi per hari di sana dapat mencapai Rp31 miliar. Angka tersebut masih bersumber dari produksi perikanan tangkap, belum perikanan budidaya,” ucapnya.

Menteri Trenggono juga mengungkapkan keinginannya membangun pabrik tepung ikan di sana. Pembangunan ini penting untuk meminimalkan impor produk yang menjadi bahan baku pembuatan pakan ikan tersebut.

Sementara itu, Kepala BKPM Bahlil Lahadalia berharap pembangunan pelabuhan terpadu sebagai infrastruktur dasar program LIN dapat segera dilakukan.

Bahlil meyakini bahwa program tersebut bakal membangun sumber ekonomi baru di lautan dan daratan Maluku.

“Bapak Presiden ingin agar semua processing itu dilakukan di darat, dengan pemahaman bahwa pendapatan negara dan daerah itu dapat di kontrol, menciptakan kawasan pertumbuhan ekonomi baru, menciptakan lapangan kerja baru, dan membangun ekosistem ekonomi yang ada di darat,” ujar Bahlil.(*)

ALFI DKI ingin Jaminan Kontainer Impor pakai Asuransi

ALFIJAK – Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) mendukung agar pihak asuransi bisa mengcover pengganti uang jaminan kontainer untuk kegiatan impor.

Ketua Umum DPW ALFI DKI Jakarta, Adil Karim mengatakan, inisasi penggunaan dan pelibatan pihak asuransi dalam mencover kegiatan importasi tersebut telah dibahas sejak beberapa tahun lalu oleh stakeholders terkait dan regulator, namun sayangnya hingga kini belum ada tindak lanjutnya.

“Memang idealnya jaminan kontainer impor dicover oleh asuransi. Ini demi keseragaman dalam layanan dan memberikan kepastian bisnis bagi pelaku usaha,” ujar Adil, kepada wartawan pada Selasa (9/2/2021).

Dia mengatakan, ALFI  juga sudah pernah menyampaikan usulan kepada Kemenhub dalam pelibatan pihak asuransi untuk mencover uang jaminan kontainer impor.

Bahkan, kata dia, usulan tersebut pernah  masuk dalam paket deregulasi Kemenhub beberapa waktu lalu untuk menghapuskan istilah uang jaminan kontainer. “Tetapi memang tindak lanjutnya belum juga maksimal,” paparnya.

Adil mengatakan, pelibatan pihak asuransi dalam hal itu guna memberikan kepastian bisnis sekaligus menjamin jika ada kerusakan dan lainnya terhadap kontianer dengan kritetia tertentu.

“Sekarang kita mesti fokus bagaimana menurunkan biaya logistik dan tetap stabil. Sebab berdasarkan pengalaman dilapangan bahwa kerusakan kontainer didepo juga masih menjadi masalah tersendiri bagi pelaku usaha. Sebab, kita sulit memverifikasinya lantaran ALFI maupun importir dilapangan selama ini hanya menugaskan Sopir Truk utuk mencari atau memverifikasi kontainer yang rusak tersebut. Jika sudah dicover asuransi maka verifikasi kerusakan kontainer sebagai alat angkut juga akan menjadi tanggung jawab pihak asuransi,” ucap Adil.

Pelibatan pihak asuransi dalam mencover jaminan kontainer, imbuh Adil juga untuk mendorong layanan logistik yang efisien dan efektif serta tidak lagi konvensional.

Sebagaimana diketahui, pada awal 2019, ALFI  sudah mengusulkan agar dikeluarkan peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) supaya pelayaran diwajibkan menggunakan asuransi yang diakui otoritas jasa keuangan (OJK) untuk mengcover pengganti uang jamiman peti kemas.

Usulan itu sudah disampaikan ketika Direktur Lalu Lintas Angkutan Laut Ditjen Hubla Kemenhub, Wisnu Handoko.

ALFI sangat berharap pembayaran uang jaminan kontainer impor dengan asuransi dapat terlaksana lantaran hal ini juga untuk meringankan beban Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) sebagai wakil pemilik barang atau importir.(red)

Usaha Keagenan Kapal Pemegang SIUPKK, Perkuat Transportasi Laut Nasional

ALFIJAK – Usaha keagenan kapal asing di Indonesia cukup berperan dalam mendukung kelancaran pelayanan kapal dan barang di pelabuhan.

Oleh sebab itu, Pemerintah RI telah menerbitkan regulasi bahwa usaha keagenan kapal wajib mengantongi Surat Izin Usaha Perusahaan Keagenan Kapal (SIUPKK).

“Bahwa SIUPKK adalah perintah UU dan telah diatur melalui PP nya berdasarkan kajian yang matang. Karenanya sebagai bagian dari pelaku bisnis tersebut harus menjalankan UU itu,” ujar Ketua Umum DPP Indonesia Shipping Agency Association (ISAA) Juswandi Kristanto, melalui keterangan pers-nya pada Jumat (5/2/2021).

Juswandi menegaskan, bahwa peran keagenen kapal anggota ISAA yang mengantongi SIUPKK justru untuk memperkuat sinergi dan keberadaan perusahaan pelayaran yang bernaung di Indonesia National Shippowners Association (INSA).

Menurutnya, ada beberapa alasan agar usaha keagenen kapal anggota ISAA harus mengantongi SIUPKK.

Pertama,  supaya perusahaan pelayaran anggota INSA yang mengantongi SIUPAL (Surat Izin Usaha Perusahaan Angkutan Laut) dapat lebih fokus pada bisnis intinya sebagai pengangkut agar mampu bukan hanya berjaya di dalam negeri tetapi juga di luar negeri.

“Sehingga pelayaran anggota INSA tidak perlu risau dengan keberadaan SIUPKK Justru mereka harus meningkatkan market sharenya keluar negeri,” ucap Juswandi.

Kedua, sebagai pengguna jasa punya opsi dengan adanya usaha keagenan kapal asing pemegang SIUPKK. Disisi lain pemegang SIUPAL bisa melakukan kegiatan keagenan kapal asing dan hal ini bisa menjadi opsi bagi pengguna jasa keagenan kapal.

Ketiga, langkah joint venture usaha pelayaran nasional dengan asing seharusnya bisa memajukan dan mendorong pertumbuhan pelayaran nasional serta menambah/memperkuat armada nasional.

Keempat, mencari muatan adalah tugas pokok dari usaha pelayaran untuk kapal-kapalnya untuk memajukan usahanya.

Sebab, term perdagangan global tidak bisa ditentukan dari dalam negeri karena saat kita impor menggunakan term C&F (Cost and Freight) sedangkan ekspor menggunakan term free on board (FOB). Belum lagi, yang menyangkut soal pajak-pajak (tax).

Kelima, u<span;>paya meniadakan hadirnya usaha jasa terkait dimana salah satu didalamnya adalah jasa keagenan adalah langkah mundur karena itu diamanahkan dalam UU 17/2008 dan PP 20/2010 dengan tujuan agar SIUPAL lebih fokus ke bidang usaha inti pengangkut dan owner.

Juswandi mengatakan, akan menjadi tidak tercapai tujuan pemerintah dalam memperkuat armada nasional untuk menguasai angkutan ekpor kalau SIUPAL tidak serius mempertajam kompetensinya.

“Kompetensi yang kuat hanya bisa diraih dengan fokus dan profesional di bidangnya,” ujarnya.

Menyangkut soal permodalan, imbuhnya, pemegang SIUPKK telah mengacu pada PM 24 tahun 2017 sesuai dengan kebutuhan usahanya yakni menghandle keagenan kapal,” tegas Juswandi..

Juswandi juga mengatakan, di era digitalisasi  saat ini pengembangan bidang keagenan kapal harus disertai pemanfaatan teknologi agar hasilnya menjadi lebih baik dan memiliki nilai competitiveness yang mampu bersaing di level Internasional.

UU Pelayaran

DPP ISAA, kata dia, juga terus berupaya mendorong anggotanya untuk memanfaatkan teknologi informasi dalam memberikan pelayanan kepada pengguna jasa sehingga memberikan kemudahan informasi dan layanan.

Sebagaimana diketahui, Pemerintah RI melalui Kemenhub telah menetapkan izin usaha keagenan kapal (SIUPKK) dalam perizinan operasional usaha keagenan kapal asing di Indonesia.

Adapun keberadaan ISAA disahkan oleh Kemenkumham pada 2017 dengan nomor AHU-0009909.AH.01.07. Tahun 2017. Selain itu Kemenhub menyatakan ISAA sebagai mitra pemerintah (Kemenhub) melalui KM Nomor KP 1038 Tahun 2017.

Sedangkan usaha keagenan ditetapkan dalam UU Pelayaran No.17/2008 Pasal 31 Untuk kelancaran kegiatan angkutan di perairan dapat diselenggarakan usaha jasa terkait antara lain pada point (J) Keagenan Kapal.

Kementerian Perhubungan juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 11 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Keagenan Kapal, dan diperbaharui menjadi PM 65 tahun 2019.(***)

Industri Cold Chain di Indonesia Tumbuh 12%

ALFIJAK – Chairman Supply Chain Indonesia (SCI) Setijadi menyatakan industri rantai dingin atau cold chain tumbuh pesat dalam beberapa tahun terakhir.

Pertumbuhan industri rantai dingin di Indonesia diperkirakan sebesar 12-16% yang terjadi terutama karena upaya industri mengurangi tingkat kerusakan komoditas maupun tuntutan jaminan mutu produk.

FAO, misalnya, menyebutkan food losses & waste secara global sebesar 20% pada komoditas daging, 45% pada buah dan sayuran, serta 35% pada ikan dan seafood.

SCI memperkirakan food losses & waste untuk buah dan sayuran di Indonesia pada tahapan pasca panen sekitar 10% dan distribusi sekitar 7,5%. Kerusakan sebesar itu mengurangi margin para pelaku usaha. Hal itu juga merugikan konsumen karena penurunan mutu dan kenaikan harga komoditas.

Penerapan rantai dingin sangat penting karena food losses & waste terjadi pada semua tahapan, baik produksi (pertanian, perikanan, dsb.), pasca panen, pengolahan, distribusi, dan konsumsi. Secara keseluruhan food losses & waste mencapai 50% yang sebagian besar terjadi pada tahap produksi dan pengolahan.

Setijadi menjelaskan, peluang industri rantai dingin di Indonesia bisa dilihat antara lain dari data perbandingan antara ketersediaan cold storage dan jumlah penduduk. Di Indonesia, kapasitas cold storage sebesar 0,05 m3 per penduduk, sementara di India sebesar 0,10 m3 dan Amerika Serikat sebesar 0,36 m3 per penduduk.

Kebutuhan penguasaan rantai dingin juga terjadi dalam pendistribusian vaksin Covid-19 di Indonesia. Penanganan dan pendistribusian 600 juta dosis vaksin itu menjadi peluang dan tantangan bagi penyedia jasa logistik dan distribusi farmasi.

Setijadi menyatakan perusahaan yang telah berada maupun akan memasuki industri ini harus mempunyai kemampuan dalam mengelola rantai dingin. SDM yang menguasai rantai dingin diperlukan untuk menghindari kerugian akibat kerusakan dan mutu bahan baku, komoditas, atau produk.

Kemampuan pengelolaan rantai dingin juga harus dimiliki perusahaan jasa logistik, pergudangan, dan transportasi semua moda. Perusahaan pengelola infrastruktur dan fasilitas logistik juga harus menguasainya, misalnya untuk penanganan reefer container di pelabuhan dan bandara.(red)