ALFIJAK- Pelaku usaha logistik yang tergabung dalam Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Jakarta mengusulkan agar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Jasa dikeluarkan dari kategori barang mewah, agar tidak memperparah defisit neraca transaksi berjalan (current account) perdagangan internasional di sektor jasa.
Ketua Umum DPW ALFI Jakarta, Adil Karim mengemukakan ALFI maupun perusahaan anggota asosiasi itu pada dasarnya mendukung PPN 12% hanya untuk barang mewah. Namun dalam kegiatan bisnis di bidang jasa tidak ada istilah jasa mewah, sehingga perusahaan jasa yang menangani barang mewah jangan sampai dikenakan PPN 12%.
“Kami berharap pengenaan PPN hanya terhadap barang mewah sebesar 12% yang diimpor (Pasal 2 dan 3 Permenkeu 131/2024). Namun perusahaan jasa pengiriman dan distribusinya tidak dikenakan 12%. Sebab, bisa jadinya nanti dobel PPN-nya. Imbasnya, hal ini akan memperparah defisit transaksi berjalan perdagangan jasa internasional,” ujar Adil Karim, pada Kamis (9/1/2025).
Mengutip data yang dirilis Bank Indonesia, imbuh Adil, bahwa pada kuartal III tahun 2024 defisit neraca transaksi berjalan mencapai U$ 2,2 miliar atau 0,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
“Bila sektor jasa yang menangani barang ekspor/impor juga terkena PPN 12% sudah dapat dipastikan akan memperburuk defisit neraca transaksi berjalan,” ucapnya.
Adil menegaskan, ALFI Jakarta perlu menyampaikan hal itu terkait kebijakan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 131 Tahun 2024 tentang Perlakukan Pajak Pertambahan Nilai Atas Impor Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pebean, dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean.
Kebijakan baru tersebut, kata Adil, masih membuat bingung pelaku usaha logistik, termasuk perusahaan anggota ALFI Jakarta mengingat adanya perbedaan segementasi usaha, seperti ada anggota yang fokus sebagai freight forwarding/NVOCC, khusus sebagai Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK). Bahkan, ada yang hanya menggarap bisnis pergudangan dan ada yang fokus sebagai perusahaan angkutan barang (trucking).
Adil menambahkan, setelah dipelajari lebih jauh Permenkeu No. 131 Tahun 2024 tersebut dapat disimpulkan bawah pengenaan PPN perusahaan jasa pengurusan transportasi (JPT) atau freight forwarding dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 52291, masih dapat menggunakan PMK 171 Tahun 2022.
Dia mengemukakan bahwa untuk Perusahaan JPT yang bertindak sebagai freigt forwarding atau NVOCC (Non-Vessel Operating Common Carrier) PPN-nya tetap 12% X10%x DPP atau lebih dikenal dengan PPN nilai lain yaitu sebesar 1,2% .
Sedangkan untuk jasa, tidak terdapat jasa Transportasi didalamnya atau bukan kategori PPN nilai lain dikecualikan, dengan mengacu ke Permenkeu No.131/2024, maka PPN-nya menjadi 11% atau (11/12×100% x nilai transaksi) digunakan Perusahaan jasa yang melaksanakan kegiatan hanya handling dokumen dan pergudangan.
“Ini perlu kami sampaikan mengingat Menkeu telah menegaskan bahwa PPN 12% hanya untuk barang mewah dan ada kemungkinan direvisi kebijakan tersebut. Karenanya, ALFI berencana akan menghadap ke Dirjen Pajak untuk menyampaikan berbagai permasalahan perpajakan di sektor logistik, saat ini” ucap Adil Karim.[*]