Fordeki siap tampung limpahan peti kemas Priok

130703_pelabuhan-tanjung-priok-1

Pengusaha depo kontener yang tergabung dalam Forum Pengusaha Depo Kontener Indonesia (Fordeki) Pelabuhan Tanjung Priok menyiapkan buffer area seluas 30 Ha di luar pelabuhan Priok yang berlokasi di kawasan Cilincing Jakut untuk menampung barang yang sudah clearance kepabeanan namun tidak segera dikeluarkan oleh pemiliknya dari terminal peti kemas lini satu pelabuhan.

Ketua Fordeki Tanjung Priok, Syamsul Hadi mengatakan kesiapan lahan tersebut sudah disampaikan pada saat pertemuan kordinasi pengurus Fordeki dengan Kepala Kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok, I Nyoman Gde Saputera, di kantor OP Priok, Rabu (30-11-2016).

“Selain soal kesiapan lahan yang sudah dipersiapkan anggota kami, dalam pertemuan itu juga kami sampaikan empat usulan kepada OP Priok sebagai acuan implementasi relokasi barang impor yang sudah mengantongi surat perintah pengeluaran barang (SPPB) atau clearance pabean itu,”ujarnya kepada Bisnis, Rabu (30/11).

Usulan itu, kata dia, pertama, tarif storage di buffer area tidak dikenakan tarif progresif sebagaimana yang berlaku di kawasan lini satu pelabuhan Priok.

Kedua, supaya dibuatkan solusi permanen kegiatan relokasi barang impor yang sudah SPPB ke buffer area dengan berpedoman kepada penurunan biaya logistik maupun kelancaran arus barang.

Usulan ketiga, kegiatan relokasi kargo impor tersebut harus jelas yakni menggunakan satu parameter saja apakah berdasarkan yard occupancy ratio (YOR) 65% atau masa timbun di lini satu maksimal 3 hari

“Pasalnya, realitas dilapangan selama ini terminal peti kemas menggunakan parameter yang maksimal 3 hari masa timbum sehingga kontainer yang belum SPPB justru dimohonkan oleh terminal ke Bea Cukai untuk dipindahkan ke lini 2 tetapi untuk kontainer yang sdh SPPB walaupun lebih 3 hari tetap ditimbun didalam pelabuhan,” ujar Syamsul.

Keempat, Fordeki juga mengusulkan kepada OP Tanjung Priok mengundang asosiasi pengguna dan penyedia jasa berikut pengelola terminal peti kemas serta Bea dan Cukai Pelabuhan Priok untuk memperdalam implementasi Permenhub No:116/2016 tentang batas waktu penumpukan maksimal tiga hari pelabuhan.

“Sehingga bisa secara utuh dan mengatur secara teknis tentang mekanisme relokasi barang impor yang sudah SPPB tersebut,”ujar dia.

Sudah tak cocok

Pengusaha logistik meminta agar pengembangan Pelabuhan Tanjung Priok diselesaikan sampai tahap I saja. Mereka yang tergabung dalam Asosiasi Logistik Indonesia memandang, Pelabuhan Priok sudah tidak cocok lagi untuk dikembangkan melebihi pengembangan tahap I.

Zaldi Masita, ketua asosiasi tersebut mengatakan, saat ini akses keluar masuk Priok sudah tidak memadai. Selain itu, pelabuhan juga jauh dari kawasan industri.

Hal itu membuat biaya transportasi tinggi. “Dari sisi tarif bongkar muat juga tinggi, intinya, sudah tidak ideal lagi dikembangkan menjadi pelabuhan internasional, cukup nasional saja,” katanya kepada KONTAN pekan lalu.

Zaldi mengatakan, lebih baik pemerintah segera mempervepat pembangunan Pelabuhan Patimban, dari pada mengembangkan Pelabuhan Priok. Daya saing Pelabuhan Tanjung Priok masih buruk. Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi mengatakan, kondisi tersebut bisa dilihat dari proses bongkar muat barang atau peti kemas dari kapal ke area penumpukan yang masih kurang tertata.

Selain proses bongkar muat yang masih kurang tertata, tarif bongkar muat pun mahal. Saat ini, Budi mengatakan, tarif bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok masih US$ 80 dolar.

Ketiga, Pelabuhan Tanjung Priok sampai saat ini juga masih terbebani oleh waktu tunggu kapal di pelabuhan yang sampai saat ini masih 12 jam. Budi mengatakan, untuk mengatasi permasalahan tersebut agar daya saing Pelabuhan Tanjung Priok membaik, dia telah meminta kepada Syahbandar, Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok dan Pelindo II untuk segera memperbaiki diri.

Dia meminta kepada ke tiga pihak tersebut untuk segera mengadopsi sistem tercanggih di negara lain untuk diterapkan di Tanjung Priok. Sementara itu, untuk tarif bongkar muat peti kemas, Budi meminta agar bisa diturunkan dari US$ 80 menjadi US$ 35.

Untuk waktu tunggu kapal, pihaknya akan mencari tahu apa yang menjadi faktor penyebab, supaya cepat bisa diatasi.

Pelindo siapkan IBS

Empat badan usaha milik negara pengelola pelabuhan, Pelindo I-IV, bekerjasama dengan enam bank menggarap sistem pembayaran terpadu untuk layanan peti kemas. Kerja sama itu diharapkan mampu menekan sistem pembayaran tunai yang selama ini masih mendominasi bisnis pelabuhan.

“Sekarang sudah single billing system. Kami ingin bikin sistem teknologi informasi pelabuhan agar semua pelabuhan terkoneksi penuh. Sedang kami pelajari untuk diterapkan tahun depan,” kata Menteri BUMN Rini Soemarno usai menyaksikan penandatanga nota kesepahaman kerja sama itu di kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Selasa, 29 November 2016.

Penandatanganan nota kesepahaman melibatkan PT Pelindo I, Pelindo II, Pelindo III, dan Pelindo IV, dengan Bank Mandiri, BNI, BRI, BCA, CIMB NIAGA, dan Bukopin. Enam bank akan menggarap penyediaan dan pemanfaatan layanan cash management untuk mendukung penerapan integrated billing system (IBS).

IBS ini dianggap sebagai salah satu solusi bagi pengguna jasa kepelabuhanan. “Untuk menuju pelabuhan modern, tidak akan ada lagi transaksi tunai. Transaksi harus nontunai agar bisa dilacak dan dipertanggungjawabkan,” kata Direktur Utama Pelindo II Elvyn Masassya.

sumber: bisnis.com/kontan.co.id/tempo.co

 

 

ALFI tak persoalkan sentra CFS & buffer area asal tarif liar LCL ditertibkan

 

widijanto2

Asosiasi logistik dan forwarder Indonesia (ALFI) tidak keberatan dengan adanya fasilitas konsolidasi kargo ekspor impor atau container freigh station (CFS) centre dan fasilitas buffer untuk peti kemas impor yang sudah clearance kepabeanan di pelabuhan Tanjung Priok.

Ketua ALFI DKI Jakarta, Widijanto mengatakan penyiapan kedua fasilitas penopang kelancaran logistik di pelabuhan itu perlu juga di dukung oleh kepastian tarif layanannya melalui persetujuan penyedia dan pengguna jasa di pelabuhan.

“Buat kami gak masalah soal dimana fasilitas CFS centre dan buffer peti kemas impor tersebut. Tetapi soal mekanisme dan komponen tarif layanannya mesti di atur dulu oleh Otoritas Pelabuhan Priok. Sebab sekarang ini terjadi tarif liar pada layanan kargo impor berstatus less than container load di Priok,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (29-11-2016).

Widijanto mengatakan, panduan komponen dan tarif layanan peti kemas impor berstatus less than container load (LCL) di Priok sudah kedaluarsa sejak 2010.

“Karena itu Kemenhub melalui OP Tanjung Priok harus segera memperbaharui panduan tarif layanan itu,”ujarnya.

Menurut Widijanto, OP Tanjung Priok bisa mengambil tindakan tegas jika sudah ada aturan pedoman tarif layanan peti kemas impor LCL di Priok yang terbaru, hingga sanksi pencabutan izin terhadap forwarder yang melanggar ketentuan itu.

Sementara itu, Ketua Forum Pengusaha Depo Kontener Indonesia (Fordeki) Pelabuhan Tanjung Priok, Syamsul Hadi mengatakan, fasilitas buffer peti kemas impor yang sudah mengantongi surat perintah pengeluaran barang (SPPB) atau sudah clearance kepabeanaan namun melewati batas maksimum penumpukan di lini satu pelabuhan hendaknya berada di kawasan lini dua pelabuhan Priok.

“Kalau fasilitas buffer peti kemas impor yang sudah SPPB itu ada di dalam pelabuhan atau lini satu justru tidak akan memperbaiki dwelling time. Seharusnya yang namanya buffer itu adanya diluar pelabuhan,”ujarnya kepada Bisnis, Selasa (29-11-2016).

Melalui suratnya Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta kepada Direksi Pelindo II tanggal 28 Nopember 2016, OP Tanjung Priok menyutujui usulan Pelindo II untuk menyediakan fasilitas konsolidasi barang ekspor impor atau container freigh station (CFS) centre dan buffer area peti kemas impor yang sudah clearance kepabeanan dalam rangka pengawasan satu atap layanan logistik di Pelabuhan Priok.

Kepala Kantor Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Priok, I Nyoman Gede Saputera mengatakan, surat itu sekaligus merupakan dukungan OP Tanjung Priok untuk penyiapan kedua fasilitas tersebut dalam rangka mendorong Pelindo II mensukseskan program menurunkan biaya logistik dan efisiensi jasa kepelabuhanan di Priok.

“Sekarang bolanya ada di Pelindo II untuk menjalankannya di pelabuhan Priok karena disitu juga terkait soal investasi yang mesti dipersiapkan,”paparnya.

Nyoman mengungkapkan, persetujuan OP Priok terkait pengembangan dan penyiapan fasilitas CFS centre dan buffer area peti kemas impor di Priok itu setelah melewati kajian komprehensif dan analisa tim bersama oleh OP Priok, Pelindo II dan masukkan dari pengguna jasa di pelabuhan

Tolak pindah

Pebisnis di Pelabuhan Tanjung Priok menolak rencana pemindahan peti kemas impor dari Tanjung Priok ke Cikarang Dry Port (CDP) karena dugaan tingginya dwelling time peti kemas Priok menyusul masih panjangnya birokrasi perizinan di beberapa kementrian dan lembaga.

Sekjen Dewan Pelabuhan Tanjung Priok Subandi mengatakan pemerintah harus serius dan sungguh-sungguh mengawasi dan mengevaluasi proses perizinan dokumen barang ex impor di 18 kementrian dan lembaga bukan memindahkan petikemas ex impor ke Cikarang Dry Port ( CDP.

Hal itu karena upaya tersebut berpotensi menimbulkan biaya tinggi dan tentu tidak sesuai dengan upaya menurunkan dwelling time utuk tujuan menekan biaya logistik di Pelabuhan Priok.

Dia mengatakan jika masih ada peti kemas ex Import yang mengendap di pelabuhan mestinya dipindahkan ke back up area ataupun buffer area yang dipersiapkan untuk menampung peti kemas yang sudah mengendap tiga hari atau lebih.

Pemindahan tersebut dinilainya sangat lazim dilakukan di pelabuhan seluruh dunia. “Jangan sampai ribut soal dwelling time ternyata bukan untuk mengatasi persoalan tingginya biaya logistik di pelabuhan tetapi ada tujuan lain,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (28/11/2016).

Subandi yang juga menjabat Ketua Bidang Kepelabuhanan dan kepabeanan Badan Pengurus Pusat Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (BPP GINSI) itu juga prihatin karena beredar kabar saat ini pemerintah akan mengeluarkan peraturan agar seluruh peti kemas yang dibongkar di Tanjung Priok dipindahkan ke Cikarang Dry Port (CDP).

Kebijakan itu dikecualikan untuk peti kemas jalur merah yang jumlahnya kurang lebih 8% dari total peti kemas ex Impor di Pelabuhan Tanjung Priok.

“Jika pengalihan kontainer dari Priok ke CDP ini terjadi berarti sesungguhnya kebijakan presiden soal penurunan dwelling time untuk tujuan menekan biaya logistik ada yang menunggangi untuk kepentingan pihak tertentu ataupun koorporasi, karena yang terjadi justru biaya logistik akan semakin tinggi,” paparnya.

Menurut dia, GINSI menolak jika pemerintah tetap memaksakan untuk memindahkan peti kemas dari Tanjung Priok ke CDP dengan mencantumkan CDP sebagai pelabuhan bongkar, padahal selama ini pelabuhan bongkar (POD) yang tercantum di B/L adalah Tanjung Priok.

Menurut Subandi, jika pemindahan peti kemas Priok ke Cikarang Dry Port tetap dilaksanakan, ada indikasi praktek monopoli dan pemaksaan melalui regulasi, serta tidak ada yang mengontrol tarif yang berlaku di pelabuhan darat tersebut.

“Dampak lainnya, importir juga akan mengeluarkan biaya tambahan yang tinggi akibat barangnya dipindahkan ke CDP, baik biaya pemindahan maupun biaya transportasi ke lokasi pabrik. Ini karena tidak semua gudang pemilik barang berada di Cikarang tetapi juga tersebar di Tangerang, Balaraja, Cikande, Cilegon, Bogor,” tuturnya.

sumber: bisnis.com

 

 

Sri bebaskan PPn barang mewah UKM berorientasi ekspor

Sri bebaskan PPn barang mewah UKM berorientasi ekspor
Sri bebaskan PPn barang mewah UKM berorientasi ekspor

Menteri Keuangan Sri Mulyani membebaskan pungutan bea masuk dan pajak pertambahan nilai atas barang mewah yang sengaja diimpor oleh industri kecil dan menengah berorientasi ekspor.

“Kebijakan tersebut dibuat bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, dan merealisasikan potensi ekspor produk industri kecil menengah serta mendorong berkembangnya industri kecil menengah,” ujar Sri Mulyani dikutip dari lembar peraturan, Minggu (27/11).

Sri juga mengatakan pembebasan bea impor dan PPn barang mewah diharapkan dapat mendukung daya saing industri nasional dan dapat memenuhi kebutuhan barang dalam negeri sebagai substitusi barang impor.

Fasilitas tersebut juga diperlukan untuk memperluas rantai pasok barang atau membuka saluran penjualan hasil produksi industri kecil dan menengah.

Fasilitas tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 177/PMK.04/2016 tentang Pembebasan Bea Masuk dan Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Impor Barang atau Bahan Mesin yang Dilakukan oleh Industri Kecil dan Menengah dengan Tujuan Ekspor.

Beleid tersebut diteken oleh Sri Mulyani dan telah diundangkan pada 21 November lalu.

Melalui Persyaratan

Kendati demikian, untuk memperoleh fasilitas tersebut sang pemohon harus melewati beberapa prosedur dan persyaratan yang telah ditetapkan oleh Kementerian Keuangan.

Di antaranya, industri kecil menengah tersebut harus merupakan usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri dan bukan merupakan anak perusahaan maupun cabang dari badan usaha besar.

Bagi industri kecil, industri tersebut harus memiliki kekayaan bersih atau nilai investasi dari Rp50 juta sampai dengan Rp500 juta dengan hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300 juta sampai dengan paling banyak Rp2,5 miliar.

Sementara bagi industri menengah harus memiliki nilai investasi mencapai Rp500 juta rupiah hingga Rp10 miliar dengan hasil penjualan tahunannya mencapai Rp2,5 miliar hingga Rp50 miliar.

Sementara itu, fasilitas pemberian fasilitas tidak akan diberikan bagi badan usaha atau perorangan yang pernah melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, kepabeanan maupun cukai.

Insentif tersebut juga tidak akan berlaku bagi perusahaan maupun badan usaha yang telah ditetapkan pailit oleh pengadilan untuk jangka waktu selama 10 tahun terhitung sejak selesai menjalani hukuman pidana maupun penetapan pailit.

Sedih & kecewa

Perasaan Menteri Keuangan Sri Mulyani bak dicabik-cabik oleh anak buahnya sendiri, lantaran Handang Sukarno selaku Kasubdit Bukti Permulaan ‎Direktorat Penegakan Hukum Ditjen Pajak terkena operasi tangkap tangan oleh KPK dan langsung ditetapkan tersangka. Kejadian ini membuat hati Sri Mulyani kecewa dan meluapkannya dengan menulis surat pakai tangan.

Handang langsung dihentikan sementara dari jabatannya sebagai Kasubdit Bukti Permulaan ‎Direktorat Penegakan Hukum usai ditetapkan tersangka.

Pasca-terungkapnya kasus dugaan suap di tubuh Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, sikap Menteri Keuangan Sri Mulyani pun seakan berubah. Bagaimana tidak, sejak duduk di kursi Menteri Keuangan, Sri Mulyani begitu semangat menumbuhkan kepercayaan publik akan Ditjen Pajak. Negeri ini patut berbangga akan kinerja Ditjen Pajak menyukseskan tax amnesty periode I. Namun seketika disuguhkan kenyataan pahit.

Kekecewaannya terlihat cukup jelas, ketika Sri Mulyani mengirimkan ‘surat cinta’ yang ditujukan kepada seluruh pegawai Ditjen Pajak melalui akun Facebook-nya. Kata-kata kekecewaannya juga tertuang jelas dalam surat yang dituliskannya sendiri dengan tinta berwarna hitam.

“Seluruh jajaran dan staf Kementerian Keuangan yang saya cintai dan banggakan. Hari ini kita semua telah dikecewakan dengan kejadian penangkapan seorang Kepala Subbit di Direktorat Pajak oleh KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Jakarta. Sebelumnya kita juga mendapat berita penangkapan aparat Bea Cukai oleh Kepolisan RI di Semarang,” kata Sri Mulyani dalam surat tersebut.

Namun, jika dilihat secara utuh, surat tersebut sebenarnya berisi ajakan untuk seluruh pegawai Ditjen Pajak agar memperbaiki dan menjaga citra Ditjen Pajak. Dirinya meminta agar kejadian OTT terkait penyuapan tersebut tidak menjatuhkan semangat para pegawai Ditjen Pajak.

Tak hanya itu. Sri Mulyani lebih ‘pedas’ dalam berpidato. Hal itu terlihat ketika dirinya memberikan pidato di acara Indonesia Economic Outlook 2017 yang diadakan di Bursa Efek Indonesia kemarin.

Dalam pidatonya, Sri Mulyani kembali menyinggung kejadian OTT penyuapan di Ditjen Pajak. Bahkan, dirinya menyebut oknum tersebut sebagai pengkhianat negara. Sebab dengan kasus tersebut akan melunturkan semangat masyarakat dalam membayar pajak.

Bahkan, Sri Mulyani juga meminta kepada aparat penegak hukum untuk memberikan hukuman paling berat kepada oknum pegawai pajak tersebut. Hukumannya harus mampu memberikan efek jera kepada pegawai lainnya.

Hukuman yang berat harus dilakukan, sebab menurut Sri Mulyani kredibilitas pegawai Kementerian Keuangan tidak dapat dibeli oleh apapun.

Di depan direksi PT BEI, Sri Mulyani juga menyindir komisaris, direksi hingga pemegang saham perusahaan terbuka di pasar modal. Dia menyinggung minimnya keikutsertaan mereka dalam program pengampunan pajak alias tax amnesty, yang tercermin dari tarif tebusan yang dibayarkan masih sangat minim.

“Untuk komisaris bahkan paling rendah hanya Rp1 juta. Mungkin ini dia lupa punya tas atau sepatu yang dibeli di Prancis lalu ikut tax amnesty,” cetusnya.

Sri Mulyani juga blakblakan dengan membuka data-data dari perusahaan sekuritas yang belum ikut tax amnesty. Menurutnya, secara keseluruhan masih banyak perusahaan sekuritas yang belum ikut program tax amnesty.

“Di Sumatera dari 2 WP hanya ada 1 WP yang ikut tax amnesty, 50%. Jumlahnya Rp9,1 miliar. Lalu di Pulau Kalimantan ada 1 WP jumlahnya Rp221 juta. Lalu di Pulau Jawa ada 492 WP, ikut tax amnesty ada 284 WP dengan tebusan Rp633,1 miliar. Dan daerah Indonesia Timur masih nol Rupiah,” ungkapnya.

Para BUMN pun terkena imbas dari perubahan ‘mood’ Sri Mulyani. Dia menyindir bahwa selama ini negara telah banyak memberikan bantuan modal kepada berupa penyertaan modal negara kepada BUMN. Bahkan, sejak tahun 2015 lalu, jumlahnya pun mencapai Rp160 triliun.

Untuk itu, kata Sri Mulyani, diharapkan perusahaan BUMN dapat memberikan dampak yang besar bagi peningkatan penerimaan negara. Bahkan, Sri pun berekspektasi perusahaan BUMN dapat memberikan kontribusi sebesar 4 kali lipat yang diberikan oleh negara.

“Kalau ada Rp1 dalam belanja pemerintah untuk bayar gaji Rp1 ya Rp1. Tapi kalau saya pakai untuk PMN berbeda, berapa yang diberikan harus kembali hingga 3-4 kali,” tuturnya.

Presiden Joko Widodo memandang, adanya oknum dalam sebuah organisasi yang besar merupakan hal yang wajar, asalkan oknum tersebut benar-benar dapat diproses.

“Biasa dalam sebuah organisasi besar, seperti Direktorat Jenderal Pajak, di sana ada berapa ribu, satu yang seperti itu yang penting dibekuk,” tuturnya di JCC, Jakarta, Kamis 24 November 2016.

Akan tetapi, Jokowi berpesan kepada penegak hukum akan menindak oknum tersebut seberat mungkin. Hal itu agar menimbulkan efek jera dan tidak diikuti oleh pegawai Ditjen Pajak lainnya.

“Sudah, jangan ada yang main-main lagi. Kalau ada yang main lagi di gebuk lagi,” pungkasnya.

Bukan tax amnesty

Hingga 25 November 2016, jumlah uang tebusan yang masuk ke negara dari program amnesti pajak mencapai sebesar Rp 94,89 triliun.

Angka ini tentu sangat kecil dibandingkan dengan outlook penerimaan perpajakan hingga akhir tahun yang sebesar Rp 1.302,2 triliun.

“Jadi langsung bisa diketahui bahwa mayoritas penerimaan perpajakan bukan dari tax amnesty. Jadi, kalau mau menanyakan kebijakan apa setelah tax amnesty, ya fokusnya adalah meningkatkan penerimaan pajak,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (26/11/2016).

Untuk mencapai pertumbuhan penerimaan pajak sebesar 15 persen tahun depan, wanita yang akrab disapa Ani itu menegaskan pentingnya meningkatkan efektivitas dalam upaya pengumpulan pajak.

Langkah yang dinilai efektif itu termasuk menggunakan data-data yang sudah ada dari berbagai instansi, data tax amnesty, serta fokus pada sektor-sektor yang dianggap mudah untuk digali potensi pajaknya namun selama ini diabaikan.

“Saya sudah minta Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai, sekarang Anda berdua duduk sering-sering deh, mengakurkan data,” kata Ani.

Ani yakin, Ditjen Bea Cukai memiliki banyak data pelaku ekspor dan impor serta aktivitasnya. Selain itu, Ditjen Bea Cukai juga mempunyai data-data penegakkan hukum (enforcement) dalam aktivitas ekspor-impor.

“Tidak perlu harus Pak Heru (Dirjen Bea Cukai) dan Pak Ken (Dirjen Pajak) duduk secara fisik. Yang penting datanya duduk sama-sama. Staf dan karyawannya bisa saling akses,” ucap mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.

Koordinasi yang efektif antar-ditjen tersebut akan sangat membantu pengumpulan pajak. Apalagi jumlah aparat pajak yang bertambah tidak cukup siginifikan selama satu dasawarsa, dibandingkan pertumbuhan wajib pajak.

“Kalau mereka (aparat pajak) dibantu data seperti itu kan tidak perlu mencari dari awal. Jadi efektivitas itu yang dilakukan. Dan itu masuk dalam agenda reformasi tim pajak yang akan kami buat, supaya momentum penerimaan pajak setelah tax amnesty tetap positif,” kata Ani.

sumber: kompas.com/okezone.com/cnnindonesia.com

 

Tata kelola Priok di bawah Teluk Lamong, properti masuk

Menanggapi sentilan dari pemerintah yang menyatakan Pelabuhan Priok masih tertinggal dari Teluk Lamong di Jawa Timur, manejemen PT.Pelindo II/IPC menyatakan tidak ingin berpolemik.

Direktur Pengembangan Usaha PT.Pelindo II/IPC, Saptono RI menyatakan, Priok juga akan memiliki pelabuhan modern seiring dengan program pengerukan kedalaman kolam yang dilaksanakan di New Priok Container Terminal (NPCT-1) atau pelabuhan Kalibaru.

Tata kelola Priok di bawah Teluk Lamong, properti Belanda masuk
Tata kelola Priok di bawah Teluk Lamong, properti Belanda masuk

Saat ini,kata dia, terminal peti kemas ekspor impor di Priok termasuk di NPCT-1 maupun JICT dan TPK Koja baru bisa disandari kapal ukuran maksimal 5000 TEUs.

Pada Juni 2017 baru bisa disandari kapal di atas 8000 twenty foot equivalents units (TEUs) setelah kedalaman kolamnya menjadi -18 mLWs dari saat ini -14 mLWs.

“Sudah dilakukan pengerukan di NPCT-1 sejak Agustus tahun ini dan diharapkan pada semester ke dua tahun depan sudah rampung,” ujarnya saat berbicara di hadapan peserta RUA Dewan Pelabuhan Tanjung Priok, di Jakarta, Rabu (23/11/2016).

Pada kesempatan itu juga, Kemenko Kemaritiman menyentil masih belum baiknya tata kelola pelabuhan Tanjung Priok Jakarta yang sampai saat ini masih tertinggal dengan pelabuhan Teluk Lamong di Jawa Timur.

Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Jasa Menko Kemaritiman, Agung Kuswandono, mengatakan konektivitas angkutan laut di Indonesia untuk mendukung poros maritim dunia sulit dicapai karena terlalu banyaknya pelabuhan yang mau dideklair sebagai Hub.

Misalnya, kata dia, di Pulau Jawa saja sudah ada New Priok Container Terminal (NPCT-1) dan Terminal Teluk Lamong, belum lagi akan ada Pelabuhan Patimban yang saat ini sudah pada feasibility study.

“Kalau mau jujur model bisnis dan IT di Pelabuhan Priok ini jauh tertinggal ketimbang di Teluk Lamong,”ujarnya saat membuka dan berbicara pada Rapat Umum Anggota (RUA) ke 3 & Seminar Nasional Kepelabuhanan-Dewan Pelabuhan Tanjung Priok, di Jakarta.

Hadir pada kesempatan itu, manajemen Pelindo II, dan seluruh manajemen terminal peti kemas di pelabuhan Priok, serta asosiasi pengguna jasa di Pelabuhan Priok.

Dikatakan, layanan kepelabuhan di Teluk Lamong sudah menggunakan tehnologi tercanggih sehingga tidak memerlukan banyak orang/SDM yang terlibat.

“Ini sejalan dengan ISPS code dimana layanan kepelabuhanan harus steril dari orang yang tidak berkepentingan,”ujarnya.

Agung mengatakan, konektivitas logistik nasional perlu didukung semuan pemangku kepentingan dan pelaku usaha terkait mengingat luas laut keseluruhan NKRI mencapai 6,3 juta KM2 dengan luas perairan wilayah pedalaman dan kepulauan mencapai 3,08 juta KM2.

Pada kesempatan itu, Agung juga mengatakan, akan mempertemukan pengurus dan anggota Dewan Pelabuhan Tanjung Priok dengan Menko Kemaritiman Luhut Panjaitan.

“Kita akan jadwalkan Dewan Pelabuhan Priok ini ketemu pak Menko Kemaritiman. Silakan sampaikan ada masalah apa di sektor maritim ini dan apa maunya,” paparnya.

Teken kesepakatan

PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II menandatangani nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) tentang kerja sama dalam pembangunan kawasan industri Pelabuhan Jakarta termasuk Pembangunan Pulau O, P, dan Q dengan PT Jakarta Propertindo (JAKPRO) dan Havenbedrijf Rotterdam N. V. (Port of Rotterdam).

Kesepakatan ini ditandatangani oleh Direktur Utama PT Pelindo II, Elvyn G Masassya, Direktur Utama PT Jakarta Propertindo Satya Heragandhi, dan CEO Port of Rotterdam (POR) Allard S Castelein, di Jakarta, Rabu (23/11).

Elvyn mengatakan, kesepakatan ini dilaksanakan dalam rangka pengembangan kawasan industri Pelabuhan Jakarta yang diusulkan meliputi pengembangan dan pembangunan Pulau O, P, dan Q dan daerah terkait. Kerja sama ini, kata dia, merupakan tindak lanjut dari kerja sama government to government (G to G) antara Pemerintah Belanda dengan Pemerintah Indonesia berupa hibah oleh Pemerintah Belanda dengan skema kerja sama bilateral dalam bentuk program Develop2Build.

“Ke depan, output dari kesepakatan ini diharapkan mampu mendorong dan mengembangkan konsep integrated port dalam pengembangan pelabuhan di Indonesia sekaligus membangun kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor pelabuhan dan sektor usaha terkait untuk memperkuat jati diri Indonesia sebagai negara maritim,” ungkap Elvyn dalam siaran persnya, Rabu (23/11).

Kesepakatan ini, lanjut Elvyn, merupakan hasil dari penjajakan peluang kerja sama antara Pelindo II dengan Pemda DKI Jakarta melalui Jakpro dan Port of Rotterdam dalam rencana pembangunan proyek Port of Jakarta. Nantinya, Port of Jakarta akan digunakan sebagai lokasi industri pendukung Pelabuhan Tanjung Priok.

“MoU akan ditindaklanjuti dengan pembentukan tim bersama dalam penyusunan pre-feasibility study oleh konsultan di mana ketiga perusahaan dimaksud berperan sebagai counterpart,” tambah Elvyn.

sumber: bisnis.com/beritasatu.com

 

 

ALFI: pungli di Priok dibiarkan tambah parah

widijanto
widijanto

Pungutan liar di pelabuhan Tanjung Priok yang berasal dari penanganan kargo impor berstatus di bawah satu kontainer alias less than container load (LCL) terindikasi semakin parah bahkan terus terjadi dan hingga kini lantaran belum ada satu instansi terkait pun di pelabuhan tersebut mengatasinya.

Ketua DPW Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta Widijanto mengatakan asosiasinya sangat prihatin dengan pembiaran atas kondisi pungli yang berasal dari layanan kargo impor LCL di pelabuhan Priok itu.

“Sudah sering kali kami utarakan dan sampaikan soal pungli kargo impor LCL itu tetapi tidak ada respons dari instansi terkait. Seharusnya Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok lebih peka atas kondisi ini,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (21/11/2016).

Akibat tidak adanya respons serius dari instansi terkait dan manajemen Pelindo II Priok terhadap masalah ini, katanya, sampai sekarang ini ALFI DKI banyak menerima keluhan dan protes dari pemilik barang impor LCL yang merasa dikemplang oleh forwarder konsolidator di pelabuhan itu yang memungut tarif layanan kargo impor LCL di luar batas kewajaran.

“ALFI setuju ditertibkan saja, bila perlu jika ada anggota kami yang memungut tarif layanan kargo impor LCL di Priok yang tidak wajar silakan diberikan sanksi tegas oleh instansi berwenang,” tuturnya.

Widijanto menyampaikan hal tersebut sekaligus menegaskan komitmen ALFI dalam mendukung program pemerintah menekan biaya logistik serta memberantas pungutan liar di sektor jasa kepelabuhanan dan angkutan laut.

Dia mengatakan pemilik barang impor di Priok sering kali dikutip biaya-biaya tambahan seperti devaning atau pecah pos yang mencapai Rp2,13 juta/cbm, biaya lain-lain Rp2,8 juta per dokumen, serta administrasi delivery order (DO) Rp1,45 juta.

Selain itu, juga ada kutipan biaya overbrengen charges yang mencapai Rp300.000/m3, bahkan ada istilah biaya tuslah (toeslagh) yang mencapai Rp375.000 per dokumen, stiker Rp50.000, dan biaya surveyor berkisar Rp50.000/m3.

Padahal, komponen biaya LCL cargo impor yang sudah disepakati asosiasi penyedia dan pengguna jasa di pelabuba Priok pada 2010 untuk forwarder charges a.l. CFS charges, DO Charges, agency charges, dan administrasi.

Adapun biaya local charges untuk layanan LCL cargo impor hanya diberlakukan komponen tarif a.l: delivery, mekanis, cargo shifting, surveyor, penumpukan, administrasi, behandle dan surcharges.

“Ini [pungli] kan sudah enggak benar. Kalau mau usaha ya jangan begitu caranya. Ini namanya bikin biaya logistik tinggi dan masuk kategori pungli,” tandas Widijanto sambil menunjukkan bukti-bukti dokumen invoice layanan kargo impor LCL di Priok yang diadukan ke ALFI DKI Jakarta.

Dia mengatakan bahkan persoalan layanan kargo impor LCL tersebut sudah banyak yang dilaporkan langsung oleh pemilik barangnya ke Kementerian Perdagangan.

sumber: bisnis.com

 

Rakor KPK ungkap oknum BC bisa kondisikan barang

 

 

GINSI: oknum BC bisa kondisikan barang
GINSI: oknum BC bisa kondisikan barang

Gabungan importir nasional seluruh Indonesia (GINSI) mendukung upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperbaiki sistem dan pembenahan tata kelola importasi diantaranya menghilangkan sistem borongan yang diduga melibatkan oknum pejabat di instansi terkait.

Sekjen Badan Pengurus Pusat GINSI, Achmad Ridwan Tento mengungkapkan pihaknya selaku importir menilai dengan sistem borongan membuat persaingan dalam usaha menjadi tidak sehat dan merugikan keuangan negara dan disparitas harga di pasaran.

Sikap GINSI tersebut sejalan dengan kesimpulan rapat koordinasi dan supervise pencegahan korupsi di sektor kepabeanan dan cukai pada 10 Nopember 2016 lalu oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Menteri Keuangan, Dirjen Bea dan Cukai, Dirjen Pajak, Kabareskrim, Kejaksaan Agung dan para asosiasi importir maupun stake holder lainnya.

“Sikap GINSI praktik importasi borongan dan illegal itu sudah kami sampaikan secara resmi kepada Deputi Bidan Pencegahan KPK,” ujar Ridwan, Minggu (20/11/2016).

Dalam rapat kordinasi dan supervisi KPK dengan pelaku usaha terungkap beberapa masalah seperti adanya importir resiko tinggi yang melakukan intervensi petugas Bea dan Cukai melalui aparat penegak hukum maupun keamanan yang selama ini mem-backing-i mereka .

Diketahui bahwa importir resiko tinggi umumnya bukan pemilik barang, mereka dalam membuat manifest uraian jenis barang dalam pemberitahuan pabean bersifat umum sehingga petugas Bea Cukai kesulitan dalam memeriksa ketentuan barang lartas (larangan dan pembatasan) termasuk klasifikasi dan nilai pabeannya.

Pada umumnya importir resiko tinggi ini nilai pabean yang diberitahukan jauh lebih rendah dari nilai transaksi yang seharusnya atau sebenarnya dibayar sehingga bea masuk dan pajak dalam rangka impor yang dibayarkan ke negara lebih kecil dari yang seharusnya dibayarkan.

Selain itu menggunakan dokumen pelengkap pabean yang diragukan keasliannya (COA, COO, invoice dan dokumen perizinan dari instan lain) yang tidak benar, juga berkolusi dengan oknum pejabat, pegawai DJBC untuk mengatur mengkondisikan proses resitrasi kepabeanan, penimbunan, penjaluran, pemeriksaan dokumen, pemeriksaan fisik barang sampai dengan pengeluaran barang.

“Selain merugikan pemasukan negara, timbulnya praktik semacam itu memanfaakan kesenjangan antara kebutuhan dengan pasokan barang,” papar Ridwan.

Dalam rapat koordinasi juga diketahui banyak titik rawan dalam sistem dan prosedur importasi barang yang memerlukan pembenahan sistem dan tata kelola secara komprehensif dan berkanjutan.

sumber: poskotanews.com

DPR minta PPATK usut aliran dana pejabat terkait impor ilegal di Merak

DPR minta PPATK usut aliran dana pejabat terkait impor ilegal di Merak
DPR minta PPATK usut aliran dana pejabat terkait impor ilegal di Merak

Anggota Komisi XI DPR RI Sukiman menyatakan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) harus mengusut aliran dana pejabat berwenang terkait penyelundupan 42 kontainer di Merak Cilegon Banten.

“PPATK harus melacak dan menyelesaikan penyelundupan itu agar pejabat yang diduga bermain bisa terungkap,” kata Sukiman di Jakarta Rabu.

Sukiman menuturkan pelabuhan di Indonesia memiliki permasalahan besar terutama terkait penyelundupan hingga permainan antara importir dengan oknum petugas. Diungkapkan Sukiman, importir kerap memilih memasukkan barang tanpa prosedur resmi sehingga terjadi transaksksional dengan oknum petugas untuk melancarkan pengiriman barang.

Guna menghindari itu, Sukiman mengatakan sinergisitas antarlembaga harus ditingkatkan guna mengantisipasi praktik ilegal yang dilakukan pengusaha dengan oknum petugas.

Sebagai fungsi pengawasan, Sukiman menyebutkan Komisi XI DPR RI akan bertemu pimpinan Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Bea Cukai guna membahas berbagai persoalan di pelabuhan.

“Kita usulkan rapat kerja dengan bea cukai dan Direktorat Jenderal Pajak,” ujar anggota Fraksi PAN itu.

“Koordinasi dan sinergitas antar lembaga sangatlah diperlukan dalam membongkar permasalahan yang sering terjadi ini,” jelasnya.

Memang, kata dia, sejauh ini pelabuhan memiliki masalah yang cukup besar, di mana kerap ditemukan pasokan-pasokan barang yang tidak legal.

“Ini yang harus dikurangi untuk meningkatkan pendapatan negara. Karena banyak yang menempuh jalur tidak resmi seperti ini,” jelasnya.

Ia mengungkapkan, pihaknya akan melakukan pembahasan mengenai permasalahan yang terjadi di pelabuhan bersama Ditjen Bea Cukai.

“Kan ini merupakan salah satu fungsi kita sebagai pengawas pemerintah. Jadi tidak menutup kemungkinan karena kewajiban, kita akan usulkan untuk melakukan rapat kerja dengan Ditjen Bea Cukai dan Ditjen Pajak untuk membahas permasalahan-permasalahan seperti ini,” ungkapnya.

Terpisah, Anggota Komisi XI lainnya dari Fraksi Gerindra Heri Gunawan mengapresiasi aparat penegak hukum yang menggagalkan penyelundupan tersebut.

Ia mengimbau kepada para importer dan eksportir untuk mematuhi aturan ketika melakukan kegiatan tersebut.

“Kami menghimbau kepada para pengusaha dan importir serta eksportir bekerjalah berdasarkan aturan yang berlangsung, jangan hanya mencari untung, sehingga mengabaikan peraturannya,” ucap Heri.

Menurutnya, permasalahan ini tidak berdiri sendiri. Karena itu, dibutuhkan sinergi antar kementerian dan lembaga supaya masalah ini tak terulang kembali.

“Pemerintah harus menjaga sinergitas antar lembaga dalam memerangi masalah-masalah seperti ini. Kalau bisa diimbangi dengan pertumbuhan industri, sehingga kita mampu bersaing agar disparitas harga tidak bermasalah dan tidak ada penyelundupan lagi,” tandasnya.

Seruan sama sebelumnya diutarakan pakar tindak pidana pencucian uang Yenti Ganarsih. “PPATK harus inisiatif melakukan penelusuran terhadap rekening pihak terkait,” kata Yenti menyoal dugaan penyelundupan 42 kontainer itu di Jakarta, Senin (14/11).

Sebelumnya, aparat Polda Banten mengungkap penyelundupan 42 kontainer berisi barang ilegal di Tempat Penimbunan Sementara PT IKPP Merak Mas Cilegon pada beberapa waktu lalu. Karena masuk wilayah kepabeanan, Polda Banten menyerahkan penanganan kasus penyelundupan kontainer itu kepada Kantor Wilayah Pelayanan Bea Cukai Banten.

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar menyatakan, pengungkapan penyelundupan kontainer ilegal itu berdasarkan informasi dari masyarakat yang diterima anggota Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Banten.

Polda Banten bersama Kantor Wilayah Pelayanan Bea Cukai setempat akan menelusuri pemilik maupun importir barang tersebut.

sumber: republika.co.id/indopos.co.id

 

 

Tarif Priok lebih mahal dari Singapura

Ongkos logistik Indonesia tergolong yang paling mahal di antara negara-negara ASEAN. Bahkan, biaya angkutan antar pulau di Indonesia yang jaraknya lebih dekat, masih jauh lebih mahal ketimbang mengirim barang ke luar negeri.

Menteri Perhubungan (Menhub), Budi Karya Sumadi mengatakan, salah satu penyebab mahalnya ongkos logistik di Indonesia terjadi karena tarif sandar yang dikenakan operator pelabuhan.

“Kalau kita lihat yang namanya dari (Tanjung) Priok ke Banjarmasin lebih mahal daripada ke China. Jadi satu inefisiensi terjadi,” kata dia dalam acara Rakornas Kadin Bidang Perhubungan di Graha CIMB, Jakarta, Rabu (16/11/2016).

“Sekarang kita berkeinginan membuat Priok lebih kompetitif, mampu menjadi pelabuhan transit. Nah setelah saya tanya berapa tarif di Priok, ternyata 2,5 kali lipat lebih mahal dari Singapura atau US$ 85,” ucapnya lagi.

Budi melanjutkan, salah satu yang jadi hambatan, yakni persaingan antar operator pelabuhan yang menginginkan menjadi pelabuhan direct call atau pelabuhan tempat kegiatan ekspor-impor langsung ke luar negeri.

“Pelabuhan kita itu teriak-teriak sendiri maunya jadi pelabuhan direct call, makanya kita selalu di bawah Singapura. Di Priok sendiri ternyata bisa kok US$ 35 (per sandar),” ujar mantan Dirut Angkasa Pura II ini.

Sumber: detik.com

7755723e-8ce7-477a-893a-01a2dcd0c27e_169

 

Timbun petikemas di pelabuhan, 5 pengelola terminal dipanggil

Timbun petikemas di pelabuhan, 5 pengelola terminal dipanggil
Timbun petikemas di pelabuhan, 5 pengelola terminal dipanggil

Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok menyatakan segera memanggil manajemen lima pengelola terminal petikemas ekspor impor di pelabuhan tersebut untuk mencari solusi penanganan barang impor yang sudah clearance kepabeanan namun tidak segera di keluarkan oleh pemiliknya atau mengendap terlalu lama di lini satu termimal peti kemas.

Kepala Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, I Nyoman Gede Saputera mengatakan, instansinya sudah menjadwalkan akan memanggil manajemen lima pengelola terminal peti kemas di Priok terkait hal itu pada Rabu, 16 Nopember 2016.

“Secepatnya, Rabu besok kita panggil semua pengelola terminal peti kemas itu,”ujarnya kepada Bisnis, Senin (14-11-2016).

Kelima pengelola terminal peti kemas itu yakni, Jakarta International Container Terminal (JICT), TPK Koja, Mustika Alam Lestari (MAL), Terminal 3 Priok , dan New Priok Container Terminal-One (NPCT-1).

Nyoman mengatakan, hari ini instansinya sudah mengkroscek langsung dan memanggil manajemen TPK Koja terkait beredarnya data yang di ungkap Fordeki terkait ribuan peti kemas impor yang sudah clearance atau mengantongi surat perintah pengeluaran barang (SPPB) namun mengendap hingga lebih dari 4 hari bahkan ada yang lebih dari 10 hari di terminal.

“Dalam pertemuan dengan manajemen TPK Koja, harus dicarikan solusinya dengan melibatkan seluruh stakeholders terkait.Yang jelas OP Priok tetap berpedoman pada Permenhub 116/2016 yang membatasi masa timbun maksimal di lini satu hanya tiga hari,”paparnya.

Nyoman juga menghimbau supaya pemilik barang impor yang sudah SPPB untuk segera mengeluarkan barangnya dari terminal peti kemas atau lini satu pelabuhan.

“Pelabuhan itu bukan tempat timbun agar dwelling time Priok tetap terjaga,”paparnya.

Ketua DPW Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta, Widijanto, mendukung upaya Kantor OP Priok menegakkan aturan dalam hal ini Permenhub 116/2016 tentang batas waktu penumpukan di pelabuhan utama yakni Tanjung Priok, Belawan, Makassar dan Tanjung Perak.

“Kalau sudah SPPB seharusnya barang impor disegerakan diambil pemiliknya. Jangan ditimbun terlalu lama,” ujarnya.

Dikonfirmasi Bisnis, Deputy General Manager TPK Koja, Achmad Saichu mengatakan, kendati masih adanya barang impor yang sudah SPPB di terminal namun tidak dikeluarkan pemiliknya namun belum mengganggu dwelling time di TPK Koja yang saat ini rata-rata 3,4 hari.

“Namun kami membuka diri untuk mengkomunikasikan masalah tersebut dengan stakeholders dan instansi terkait di Priok,” paparnya.

Kalangan dunia usaha di Priok menilai, upaya penurunan dwelling menjadi kurang dari tiga hari dari saat ini rata-rata masih 3,4 hari di Pelabuhan Priok sulit terwujud menyusul ribuan peti kemas impor yang sudah clearance atau mengantongi surat perintah pengeluaran barang (SPPB) dari Bea dan Cukai masih di biarkan mengendap lebih dari rata-rata empat hari di dalam terminal peti kemas atau lini satu pelabuhan.

Sebelumnya, Ketua Forum Pengusaha Depo Kontener Indonesia (Fordeki) Pelabuhan Tanjung Priok, Syamsul Hadi mengatakan, pembiaran terhadap peti kemas yang sudah SPPB itu menyebabkan dwelling time di Priok sulit untuk ditekan dibawah tiga hari.

Syamsul mengemukakan, berdasarkan data pengeluaran peti kemas TPK Koja tahun 2016 yang diperoleh Fordeki,rata-rata peti kemas impor dan sudah mengantongi SPPB yang menumpuk di TPK Koja lebih dari empat hari pada periode Januari 2016 sebanyak 1.337 bok.

Kemudian pada Februari 1.065 bok, Maret 1.476 bok, April 1.208 bok, Mei 1.331 bok, Juni 1.628 bok, Juli 1.062 bok, Agustus 1.507 bok, September 1.069 bok, dan pada Oktober (hingga 10 Oktober) 335 bok.

“Bahkan peti kemas yang mengendap padahal sudah mengantongi SPPB yang ditarik pemiliknya keluar pelabuhan pada hari ke 11 di TPK Koja lebih banyak kalgi jumlahnya yakni rata-rata mencapai 1.200-2.000-an bok setiap bulannya. Kalau kondisi begini bagaimana mau menekan dwelling time,”tuturnya.

Berdasarkan data tersebut, ujar dia, komitmen pengelola terminal peti kemas ekspor impor di Priok untuk menekan dwelling time masih minim sebab pengelola terminal peti kemas masih mencari pendapatan dari kegiatan penumpukan atau storage.

Padahal, ujar Syamsul Kemenhub sudah menerbitkan aturan Permenhub 116/2016 tentang relokasi barang yang melewati batas waktu penumpukan maksimal tiga hari untuk menekan dwelling time di pelabuhan.

sumber: bisnis.com