Pemilik barang harus berani tolak kutipan jaminan kontainer

Kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok menyatakan Kementerian Perhubungan sudah membuat regulasi sangat tegas yakni tidak memperkenankan adanya kutipan uang jaminan kontainer impor di seluruh pelabuhan Indonesia dengan alasan apapun, oleh karenanya pemilik barang seharusnya menolak jika ada kutipan itu.

JAKARTA (alfijak): Kepala Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Hermanta, mengungkapkan oleh karenanya pebisnis ataupun pemilik barang impor agar tidak mengikuti kemauan sepihak perusahaan pelayaran asing ataupun agennya di Indonesia yang masih mengutip uang jaminan kontainer impor.

“Pelaku usaha atau pemilik barangnya juga harusnya ambil sikap tegas, jangan mau dong dikutip uang jaminan kontainer itu meskipun alasan supply and demand atau lainnya. Jadi, aturannya sudah sangat tegas, bahkan pengusaha/pemilik barang yang dirugikan atas kutipan uang jaminan kontainer itu bisa melaporkannya ke pihak kepolisian,” ujarnya kepada Bisnis pada Senin (27/8/2018).

Hermanta menegaskan hal itu menanggapi keluhan Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta, yang mengungkapkan bahwa hingga saat ini praktik kutipan uang jaminan kontainer impor oleh pelayaran asing di pelabuhan Priok masih terjadi.

Dia mengatakan Kantor OP Tanjung Priok juga sudah menerima pengaduan dari ALFI DKI Jakarta itu dan sudah memanggil pihak-pihak yang berkaitan dengan permasalahan tersebut.

“Intinya kita semuanya termasuk pengusaha dan pemilik barang juga harus bersama-sama dalam menghilangkan adanya praktik kutipan uang jaminan kontainer impor itu. Aturannya sudah jelas dan tegas kok, gak ada lagi uang jaminan kontainer, jadi janganlah menyudutkan Kemenhub dan instansi yang bertugas di pelabuhan,” paparnya.

Widijanto, Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta, mengatakan Kemenhub perlu membuat regulasi soal sanksi terhadap pelanggar jaminan kontainer karena dalam paket kebijakan ekonomi ke XV, Pemerintah RI telah mengamanatkan untuk menghapuskan kutipan uang jaminan kontainer impor.

“Tetapi sayangnya gak ada sanksi nya bagi yang melanggar, makanya sampai saat ini kutipan uang jaminan kontainer masih terjadi bahkan bisa dimanfaatkan oleh non-vessel operating common carrier atau NVOCC,” ujarnya.

Sesuaikan aturan

Kementerian Perhubungan siap menyesuaikan kebijakan uang jaminan kontainer sesuai masukan dari pelaku usaha.

Pelaksana Tugas Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Kemenhub Wisnu Handoko mengatakan aturan jaminan kontainer yang tertuang dalam Surat Edaran Dirjen Perhubungan Laut No UM.003/40/II/DJPL-17 bisa berubah sewaktu-waktu mengikuti usulan di lapangan.

“Sekiranya ada dinamika di lapangan yang diidentifikasi tidak sesuai dengan perkembangan, Kemenhub siap mengkaji kembali,” katanya, Kamis (30/8/2018).

Berbagai usulan mengemuka menyusul keluhan dari Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) soal praktik kutipan uang jaminan kontainer impor oleh pelayaran asing atau agennya di Pelabuhan Tanjung Priok kendati Kemenhub telah melarang pungutan itu sejak 19 Mei 2017 lewat SE 003.

Larangan hanya dikecualikan bagi barang yang berpotensi merusak kontainer atau penerima barang yang baru menggunakan jasa perusahaan pelayaran.

ALFI DKI Jakarta meminta pemerintah menetapkan sanksi bagi pelanggar jaminan kontainer.

Sementara itu, pelaku usaha pelayaran niaga yang tergabung dalam Indonesian National Shipowners Association (INSA) mengusulkan mekanisme bank garansi sebagai ganti jaminan uang.

Adapun Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) menyarankan lebih baik kontainer yang keluar dari terminal peti kemas Priok diasuransikan untuk menutup klaim kerusakan oleh pelayaran sewaktu-waktu.

“Yang melanggar mestinya diberi sanksi. Dan kontainer jika takut hilang atau rusak sebaiknya ya ada garansi atau asuransi,” kata Wisnu menanggapi ketiga usulan itu.

Kemenhub membuka kemungkinan untuk meregulasi usulan-usulan tersebut.

“Mari kita lihat. Saya tidak bisa bicara sekarang. Mungkin iya. Bergantung pada bagaimana publik mengangkat ini sebagai perhatian,” tuturnya.

Tak layak

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengungkapkan sekitar 80 persen kontainer yang digunakan perusahaan pelayaran tidak layak pakai. Kontainer tersebut, selama ini digunakan untuk pengapalan ekspor impor dari dan ke Indonesia maupun untuk kegiatan antarpulau/domestik.

Kepala Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Hermanta mengatakan Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub pada periode telah mrlakukan survei pada tahun 2014-2015.

“Berdasarkan survei Ditjen Hubla itu, hanya 20 persen kontener yang lalu lalang di Indonesia yang laik pakai sedangkan 80 persen-nya kondisinya gak laik pakai karena rusak dan tidak standard,”ujarnya.

Hermanta mengatakan, kelaikan kontainer merupakan hal penting untuk menopang kegiatan logistik lantaran sangat erat kaitannya dengan faktor keamanan dan keselamatan.

“Kelaikan kontainer penting karena menopang daya saing, khususnya untuk ekspor. Sebab, barang yang dikirim menggunakan peti kemas atau kontainer tidak layak (rusak dan tidak steril) akan ditolak memasuki pasar negara tujuan,” paparnya.

Direktorat Jenderal Perhubungan Laut telah merumuskan peraturan mengenai pengaturan standarisasi yaitu Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 53 Tahun 2018 tentang Kelaikan Peti Kemas dan Berat Kotor Peti Kemas Terverifikasi.

Dalam aturan itu, standarisasi kontainer mengacu pada aturan International Convention for Safe Containers (CSC) yang dikeluarkan oleh International Maritime Organization (IMO). (bisnis.com/poskotanews.com/ac)

GINSI tolak uang jaminan kontainer, INSA bersikukuh tetap tagih

Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) tetap menolak kutipan uang jaminan kontainer eks-impor oleh pelayaran asing karena sangat membebani biaya logistik nasional.

JAKART (alfijak): Isu perlunya transparansi pun mengemuka, sementara di sisi lain muncul pula bahwa kutipan tersebut lazim terjadi di pelayaran internasional.

Sekjen BPP GINSI Erwin Taufan mengatakan jaminan kontainer sudah menjadi persoalan di seluruh pelabuhan Indonesia.

“Kami ingin segera ada solusi karena kutipan jaminan itu sangat membebani pemilik barang,” ujarnya dalam Forum Group Discussion (FGD) Uang Jaminan Kontainer Eks-Impor yang digelar BPD GINSI DKI Jakarta pada Rabu (29/8/2018).

FGD itu dihadiri ratusan perusahaan importir di DKI Jakarta, Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok, perwakilan manajemen PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II dan manajemen terminal peti kemas ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok, serta asosiasi terkait di Pelabuhan Priok.

Ketua BPD GINSI DKI Jakarta Subandi mendesak perlunya pihak independen yang menyurvei kerusakan kontainer saat hendak dikeluarkan dari terminal atau pelabuhan.

“Soalnya, alasan pelayaran mengutip uang jaminan kontainer itu kan karena alasan untuk meng-cover kerusakan dan kehilangan, tetapi praktiknya di lapangan kutipan ini cuma jadi bancakan saja karena kontainer tidak rusak juga dianggap rusak. Ini sudah tidak fair bagi iklim usaha,” ujarnya.

Oleh karena itu, lanjutnya, pelayaran asing dan pengelola depo peti kemas kosong eks-impor harus lebih transparan menyangkut terjadinya kerusakan kontainer pasca-importasi itu.

“Pemilik barang jangan diakal-akali, makanya kami mendesak tak perlu ada uang jaminan dan harus ada surveyor independen untuk menilai kerusakan kontainer. Jangan cuma sepihak,” paparnya.

Subandi mengungkapkan kutipan uang jaminan kontainer yang dipungut pelayaran asing kepada pemilik barang di Indonesia rata-rata Rp1 juta hingga Rp1,5 juta per boks.

Kepala Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok Hermanta mengatakan regulasi penghapusan uang jaminan kontainer eks-impor sudah sangat tegas yakni diatur lewat surat edaran Dirjen Perhubungan Laut Kemenhub No. UM.003/40/II/DJPL-17 tanggal 19 Mei 2017.

“Terhadap uang jaminan kontainer yang masih berjalan sampai saat ini masuk kategori pelanggaran hukum dan masuk ranah pidana dan perdata,” ujar Hermanta.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Depo Kontainer Indonesia (Asdeki) Muslan A. R. mengatakan penggunaan uang jaminan kontainer yakni untuk apabila kontainer itu hilang dan apabila terjadi kerusakan.

Dari sisi pengelola depo penyimpanan, tuturnya, pelayaran juga belum meratifikasi aturan sesuai dengan standar internasional menyangkut kriteria kerusakan kontainer sehingga dokumen kerusakan kontainer yang diterbitkan oleh operator depo masih dianggap sebagai dokumen yang lemah.

“Hal ini karena memang pelayaran juga melarang agar dokumen inspeksi/pemeriksaan kontainer (EIR) jangan diberikan kepada forwarder maupun importir,” ujarnya.

Sebelumnya, Indonesia National Shipowners Association (INSA) menyatakan akan menjembatani dan menyepakati jaminan kontainer terhadap kegiatan impor agar tidak berupa uang, melainkan bank garansi mengingat jaminan kontainer merupakan domain business to business (b-to-b).

Ketua Umum DPP INSA Carmelita Hartoto mengatakan jaminan kontainer merupakan praktik yang biasa terjadi di pelayaran internasional dan hal itu bersifat b-to-b.

“Untuk anggota INSA, kami akan menjembatani agar bentuk jaminan kontainer itu tidak berupa uang, melainkan berupa bank garansi,” ujarnya.

Menurut dia, saat ini tidak semua perusahaan pelayaran asing mengutip uang jaminan kontainer kepada pemilik barang impor di Indonesia. (bisnis.com/ac)

Pelayaran asing abaikan aturan pemerintah

Menteri Perhubungan dinilai macan ompong, tidak tegas dalam hal penegakan peraturan terhadap kapal-kapal asing dan agennya di Indonesia.

JAKARTA (alfijak): Ketua Umum DPW Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Widijanto Senin (27/8/2018) mengatakan Menhub memiliki kewenangan dalam bertindak, namun menghadapi pelayaran dan agen kapal asing sepertinya tidur saja seperti macan ompong.

Salah satu contohnya kata Widijanto, kebijakan penghapusan uang jaminan kontainer impor yang diatur dalam Surat Edaran (SE) Dirjen Perhubungan Laut, Kemenhub No Um 003/40 /II /DJPL -17, tertanggal 19/5/2017 ternyata tidak jalan.

Padahal SE Dirjen Hubla ini sudah diadopsi dalam paket Kebijakan Ekonomi Pemerintah No XV tanggal 15 Juni 2017 tapi tidak diindahkan oleh pelayaran asing/agennya.

Widijanto mengungkapkan dalam regulasi disebutkan pemilik barang /importir (consignee) tidak perlu lagi membayar uang jaminan kontainer pada perusahaan pelayaran/ general agent.

Kecuali untuk barang berpotensi dapat merusak petikemas, atau penerima barang (consignee) yang baru menggunakan jasa perusahaan pelayaran.

Pelayaran asing dan agennya tidak menganggap surat edaeran Dirjen Hubla mengenai penghapusan uang jaminan container.

“Aturan itu dianggap angin lalu oleh mayoritas pelayaran asing,” tutur Widijanto.

Menhub Budi Karya Sekarang ini dimata pengusaha pelabuhan terkesan tidak berani bertindak.

“Beda dengan jaman Menhub dijabat Hatta Rajasa , kala itu dia secara tegas dia mengancam pelayaran asing yang tidak mau menurunkan THC (Terminal Handling Charges) tidak diberi Surat Izin Berlayar (SIB). Saat itu pelayaran asing tidak berani macam macam dan patuh,” cerita Widijanto.

Padahal pelayaran asing cari makan di Indonesia namun tidak mau patuhi aturan. Sudah seharusnya dikenakan sanksi.

Akibat ulah pelayaran asing dan agennya, sekarang ini pemilik barang /wakilnya makin menderita.

Bahkan yang terjadi tidak sedikit uang jaminan kontainer tersebut malah digelapkan oleh oknum pelayaran.

“Contohnya, kasus PT OLB dilaporkan oleh Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) Ahler Toeng Indonesia dan PT Kumaitu Cargo ke Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI karena diduga menggelapkan atau tidak bersedia mengembalikan uang jaminan container,” kata Ketum ALFI DKI.

Kasus ini tengah ditangani Kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok. (poskotanews.com/ac)

Menhub agar terapkan sanksi tegas terhadap pengutip uang jaminan kontainer impor

Menteri Perhubungan didesak tegas memberikan sanksi kepada perusahaan pelayaran asing maupun agennya yang beroperasi di Indonesia, tapi masih mengutip uang jaminan kontainer impor.

JAKARTA (alfijak): Widijanto, Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta, mengatakan Kemenhub perlu membuat regulasi soal sanksi terhadap pelanggar jaminan kontainer karena dalam paket kebijakan ekonomi ke XV,pemerintah RI telah mengamanatkan untuk menghapuskan kutipan uang jaminan kontainer impor.

“Tetapi sayangnya gak ada sanksi nya bagi yang melanggar, makanya sampai saat ini kutipan uang jaminan kontainer masih terjadi bahkan bisa dimanfaatkan oleh non vessel operating common carrier atau NVOCC,”ujarnya kepada Bisnis Senin (27/8/2018).

Menurut dia, seharusnya pengambilan dokumen delivery order (DO) di pelayaran diberikan kepada pihak yang diberikan kuasa oleh pemilik barang/importir bukan diserahkan kepada NVOCC.

Widijanto mengungkapkan hal itu menyusul adanya laporan dari sejumlah perusahaan anggota ALFI DKI Jakarta yang mewakili pemilik barang impor di pelabuhan Tanjung Priok dipungut biaya jaminan kontainer saat mengambil dokumen DO di perusahaan pelayaran.

“Kami tetap mendesak agar jaminan kontainer impor itu dihilangkan tetapi untuk berjalan optimal bagi pelanggarnya juga mesti dikenai sanksi tegas,” paparnya.

Widijanto mengatakan kasus bangkrutnya Hanjin Shipping beberapa waktu lalu merupakan pengalaman pahit bagi pebisnis/pemilik barang lantaran jutaan dollar uang jaminan kontainer yang sudah dikutip tidak bisa dikembalikan kepada pemilik barang di Indonesia.

Oleh karena itu, kata dia, Menhub harus menginstruksikan kepada seluruh jajarannya di pelabuhan seperti Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan untuk tidak memberikan penerbitan izin berlayar (SIB) bagi kapal asing yang terbukti masih mengutip uang jaminan kontainer .

“Jadi untuk menghilangkan praktik uang jaminan kontainer di seluruh pelabuhan itu mesti diatur sanksinya lebih tegas dan ini domainnya Menhub,”paparnya.

Widijanto mengungkapkan, kutipan uang jaminan kontainer impor merupakan akal-akalan dari pihak pelayaran asing, dan dikategorikan praktik rente yang membebani biaya logistik nasional.

“Kalau pemerintah tegas, akal-ajakan jaminan kontainer itu seharusnya gak ada lagi.Ini sangat membebani biaya logistik kita,”ujar dia. (bisnis.com/ac)

Pro kontra CFS Priok masih berlanjut

Pegiat logistik yakin keberadaan fasilitas pusat konsolidasi kargo atau Container Freight Station (CFS) Center di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta dapat menciptakan transparansi dan efisiensi biaya logistik penanganan barang impor berstatus less than container load (LCL).

JAKARTA (alfijak): Wisnu Wakita, praktisi logistik yang juga Komisaris PT Tata Waskita, mengemukakan meskipun fasilitas CFS Center di Priok belum termanfaatkan optimal oleh pelaku usaha, tetapi kehadirannya penting dalam upaya menata Pelabuhan Priok yang inovatif dan lebih baik.

“Kita tetap mendukung keberadaan CFS Center di Priok yang disiapkan PT Pelabuhan Indonesia II itu sebagai bagian program menurunkan biaya logistik, efisiensi pengawasan, dan transparansi layanan,” ujarnya di Jakarta kepada Bisnis pada Kamis (23/8/2018).

CFS Center Priok merupakan area pusat konsolidasi kargo untuk barang impor berstatus LCL yang dilayani melalui pelabuhan itu setelah kontainer dibongkar dari kapal dari terminal kontainer.

Wisnu menambahkan jika ada yang mengaggap pemanfaatan fasilitas itu belum optimal, hal itu mesti dijadikan dorongan bagi pengelolanya untuk lebih gencar melakukan ekspansi pemasaran layanan tersebut.

“Fasilitas CFS Centre di Priok sudah lama dinantikan pelaku usaha sebagai layanan satu atap dalam menangani kargo impor LCL yang selama ini dilayani di banyak lokasi gudang CFS di luar pelabuhan,” paparnya.

Dengan kehadiran fasilitas yang beroperasi sejak November 2017 itu, tuturnya, pemilik barang impor LCL bisa melakukan penerimaan dan pengeluaran barang selama 24/7 di area tersebut.

Wisnu mengatakan selama ini pebisnis merasakan sejumlah depo pergudangan di luar Pelabuhan Priok belum operasi 24/7. CFS Center menjadi pionir menerapkan 24/7 dengan sistem IT yang terintegrasi dengan pemilik barang serta menerapkan single billing.

Di sisi berseberangan, Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta mengungkapkan sejak awal mereka sudah mengingatkan bahwa lokasi fasilitas CFS Center di Priok itu keliru. ALFI DKI berpandangan fasilitas itu jangan disiapkan di dalam pelabuhan karena akan menyebabkan kemacetan traffic, tetapi disiapkan di luar pelabuhan.

“Kalau di dalam pelabuhan, tidak efisien. Sekarang saja kondisinya macet, apalagi kalau ada CFS Center. Jadi, kami rasa para pelaku usaha logistik di Priok juga mempertimbangkan faktor efisiensi itu sehingga tidak menggunakan fasilitas tersebut,” ujar Sekum ALFI DKI Jakarya Adil Karim.

Adil mengatakan, layanan kargo impor bestatus LCL saat ini sudah dilayani di sejumlah fasilitas pergudangan di luar pelabuhan yang masih masuk wilayah pabean dan cukai Pelabuhan Tanjung Priok.

“Pada praktiknya, layanan kargo impor LCL di luar pelabuhan saat ini tidak ada masalah mengingat layanan ini sifatnya business to business antara forwarder, pemilik gudang dan pemilik barang. Jadi, kalau mau dipusatkan di satu tempat saja, cukup sulit,” ujar Adil. (bisnis.com/ac)

Akses ke dry port Cikarang mulai dikenakan tarif

AVP Corporate Communication PT Jasa Marga (Persero) Tbk., Dwimawan Heru mengatakan Tarif Jalan Akses Dry Port Cikarang atau Pelabuhan Darat Cikarang resmi diberlakukan pada 28 Agustus 2018, sejak pukul 00.00 WIB.

JAKARTA (alfijak): Ia menyebut pemberlakuan tarif Jalan Akses Dry Port Cikarang ini tertuang dalam Keputusan Menteri (Kepmen) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 561/KPTS/M/2018 tentang Penetapan Golongan Jenis Kendaraan Bermotor dan Besaran Tarif Tol pada Jalan Akses Dry Port Cikarang Sebagai Bagian dari Jalan Tol Jakarta-Cikampek.

Kepmen ini sendiri telah ditetapkan oleh Menteri PUPR Basuki Hadimuljono di Jakarta, Senin (20/8) lalu.

Sesuai dengan Kepmen No. 561/KPTS/M/2018 golongan jenis kendaraan bermotor Jalan Akses Dry Port Cikarang pada Jalan Tol Jakarta-Cikampek sebagai berikut:

– Golongan I : Sedan, Jip,Pick Up/Truk Kecil, dan Bus
– Golongan II : Truk dengan 2 (dua) gandar
– Golongan III : Truk dengan 3 (tiga) gandar
– Golongan IV : Truk dengan 4 (empat) gandar
– Golongan V : Truk dengan 5 (lima) gandar

“Pengguna jalan tol yang menuju Cikarang Dry Port akan melakukan pembayaran di Gerbang Tol Cikarang Utara dengan besaran tarif masing-masing golongan adalah golongan I Rp 4.500, Golongan II dan III Rp 6.500 dan Golongan IV dan V Rp 9.000,” ujar Dwimawan, dalam keterangan tertulis, Kamis (23/8/2018).

Salah satu diktum dalam Kepmen tersebut juga menyatakan, PT Jasa Marga (Persero) Tbk sebagai pengelola Jalan Tol Jakarta-Cikampek, berhak menolak masuknya dan/atau mengeluarkan pengguna jalan tol yang tidak memenuhi ketentuan batas muatan sumbu terberat di Gerbang Tol (GT) terdekat jalan tol.

Pelaksanaan peraturan dan pengendalian pengawasan batasan muatan sumbu terberat dilakukan dengan bekerja sama dengan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Jalan Akses Dry Port memiliki panjang 3,06 km merupakan perpanjangan pintu gerbang Pelabuhan Internasional Tanjung Priok. Dengan adanya Jalan Akses Dry Port Cikarang, akan mengurangi kelebihan kapasitas Pelabuhan Tanjung Priok dan mengurai truk di Jalan Tol Jakarta-Cikampek. (tribunnews.com/okezone.com)

CFS Center agar di luar pelabuhan, jalur logistik siap akhir tahun

Layanan kargo impor berstatus less than container load (LCL) pada fasiltas container freight station (CFS center) pelabuhan Tanjung Priok, hingga kini tidak berjalan optimal alias mangkrak lantaran tidak mendapat dukungan maskimal dari pelaku usaha forwarder dan logistik di pelabuhan itu

JAKARTA (aflijak): Berdasarkan pantauan Bisnis, fasilitas pusat konsolidasi kargo atau container freight station /CFS centre di pelabuhan Priok yang berlokasi di gate 9 pelabuhan Priok itu hingga kini tidak ada aktivitas pemasukan dan pengeluaran kargo.

Hanya terpampang loket layanan billing CFS centre pada fasilitas yang sudah di deklair beroperasi sejak akhir 2017 itu.

Adil Karim, Sekretaris Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta, mengungkapkan sejak awal asosiasinya sudah mengingatkan bahwa lokasi fasilitas CFS centre di Priok itu keliru, dan seharusnya kalau mau siapkan fasilitas semacam itu jangan di dalam pelabuhan karena akan menyebabkan kemacetan trafic, tetapi disiapkan di luar pelabuhan.

“Kalau didalam pelabuhan gak efisien karena sekarang saja kondisinya macet apalagi kalau ada CFS centre. Jadi kami rasa para pelaku usaha logistik di Priok juga mempertimbangkan faktor efisiensi itu sehingga gak menggunakan fasilitas CFS centre tersebut,” ujar Adil kepada Bisnis, Sabtu (19/8/2018).

Adil mengatakan, layanan kargo impor bestatus LCL saat ini sudah dilayani di sejumlah fasilitas pergudangan di luar pelabuhan yang masih masuk wilayah pabean dan cukai pelabuhan Tanjung Priok.

“Pada praktiknya, layanan kargo impor LCL yang ada di luar pelabuhan saat ini tidak ada masalah mengingat layanan ini kan sifatnya business to business antara forwarder, pemilik gudang dan pemilik barang. Jadi kalau mau dipusatkan hanya disatu tempat saja cukup sulit,”kata Adil.

Sejak Nopember 2017, PT.Pelabuhan Indonesia II/IPC meluncurkan fasilitas CFS centre di pelabuhan Tanjung Priok yang merupakan bagian program penataan pelabuhan guna mempercepat arus barang impor berstatus less than container load (LCL) dari dan ke pelabuhan tersibuk di Indonesia itu.

CFS center Priok merupakan area pusat konsolidasi kargo untuk barang impor berstatus LCL yang dilayani melalui pelabuhan tersebut setelah kontener dibongkar dari kapal dari terminal peti kemas.

Priok-Cikarang

PT Pelabuhan Indonesia atau
Pelindo II (Persero) berencana membangun proyek Cikarang Bekasi Laut (CBL) untuk mempermudah pengiriman logistik dari Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta ke Kawasan Industri Cikarang, Jawa Barat.

Menurut Direktur Teknik dan Manajemen Risiko Pelindo II, Dani Rusli, selama ini pengiriman logistik dari Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta menuju Kawasan Industri Cikarang hanya melalui Tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) dan kereta api.\

“CBL diperlukan karena tol dan kereta terbatas. CBL ini nanti melewati aliran laut-sungai,” ucapnya saat ditemui di Belitung, Jumat (16/8).

Menurut dia, CBL akan dibangun melalui 3 tahap dengan total kapasitas nantinya mencapai 1,5 TEUs peti kemas per tahun.

Pada tahap pertama, CBL akan dibangun dengan kapasitas 500 ribu TEUs peti kemas per tahun terlebih dulu.

“Kami targetkan bisa dibangun akhir tahun ini tahun ini. Investasi yang kami siapkan Rp 3 triliun untuk pembangunan CBL,” ujar Dani.

Adapun pembangunan CBL tengah dalam proses mengurus perizinan di Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cibitung, Kementerian PUPR. Menengok alur sungai yang akan dilalui kapal logistik, saat ini difungsikan sebagai pengendali banjir.

“Kami proses perizinan penggunaan lahan PUPR, AMDAL juga berjalan. Kami memang fokus bisa dieksekusi tahun ini,” tegasnya. (bisnis.com/kumparan.com/ac)

Perusahaan asing andalkan bahan baku dari negaranya, RI makin bergantung impor

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, tingginya impor pada Juli lalu dikarenakan sektor infrastruktur dan manufaktur semakin bergantung pada produksi luar negeri. Di antaranya komponen seperti baja dan besi yang merupakan komoditas utama untuk pembangunan.

JAKARTA (alfijak): Menurut Faisal, ketergantungan dua sektor ini sudah tinggi sejak tahun lalu. Hanya saja, kata dia, pada tahun lalu ekspor tumbuh lebih cepat.

Sementara itu, pada tahun ini, pertumbuhan impor lebih cepat di saat manufaktur terus melambat.

“Ketergantungan impor dari tahun ke tahun memang tinggi. Tapi tahun ini pertumbuhan impornya lebih tinggi dibandingkan ekspor,” tuturnya ketika dihubungi Republika, Jumat (17/8).

Selain itu, perusahaan industri manufaktur besar di dalam negeri merupakan hasil investasi asing. Kondisi ini kerap kali diikuti dengan kebutuhan akan bahan baku yang tidak diserap dari produksi dalan negeri, melainkan negara lain.

Faisal menjelaskan, industri manufaktur otomotif di Indonesia dikuasai 90 persen oleh Jepang. Begitu juga ketika Cina membangun industri manufaktur di Indonesia, bahan baku didatangkan dari sana.

“Kesalahannya, investasi yang masuk itu tidak sering diarahkan untuk menyerap produksi dalam negeri. Alasannya banyak, misal tidak sesuai spesifikasi produksi kita dengan standar internasional,” ujar Faisal.

Padahal, menurut Faisal, permasalahan tersebut dapat diarahkan dengan kebijakan-kebijakan. Misal, investasi yang masuk harus diarahkan secara berangsur-angsur untuk melatih sumber daya manusia (SDM) setempat.

Tujuannya, agar sumber daya alam lokal dapat dimanfaatkan untuk diolah dan dijadikan sebagai input.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis bahwa nilai impor pada Juli lebih besar dibanding Juni hingga 62,17 persen, yakni dari 11,26 miliar dolar AS menjadi 18,27 miliar dolar AS. Apabila dibanding Juli tahun lalu juga terjadi peningkatan 31,56 persen dari 13,88 miliar dolar AS.

Menurut golongan penggunaan barang ekonomi, diketahui bahwa selama Juli 2018, golongan bahan baku/penolong memberikan peranan terbesar yaitu 74,84 persen dengan nilai 13,67 dolar AS.

Ini diikuti oleh impor barang modal 15,75 persen (2,8 miliar dolar AS) dan barang konsumsi 9,41 persen (1,7 miliar dolar AS).

Hak keberatan impor

Pemerintah Indonesia telah mengirim perwakilannya ke Jenewa untuk mengikuti sidang World Trade Organization (WTO) yang membahas tuntutan retaliasi Amerika Serikat (AS).

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan RI, Oke Nurwan mengatakan utusan Indonesia itu merupakan Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI).

Mereka ditugaskan untuk menyampaikan keberatan dari Pemerintah Indonesia atas tuntutan retaliasi AS.

“Prinsipnya, Indonesia sudah menyampaikan keberatan atas retaliasi dan besaran 350 juta dolar AS kepada Amerika melalui DSB (Dispute Settlement Body) Chair dari WTO,” ujar Oke, Kamis (16/8).

Anggota Komisi IV DPR RI, Ono Surono menilai peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah itu sebenarnya sudah tepat karena untuk melindungi produksi di dalam negeri dengan membatasi keberadaan barang impor.

“Negara mana pun bisa mengatakan tidak impor. Pemerintah Indonesia berhak keberatan impor agar produk asing enggak mudah masuk, produk impor dapat masuk dengan catatan […], dan untuk menstabilkan harga di dalam negeri yang kurang produksi,” ujar Ono.

Apalagi, menurut dia, Indonesia memiliki sumber daya pertanian dan peternakan besar yang masih dapat terus dikembangkan.

“Kalau produk impor berlebih, [bisa] mempengaruhi pendapatan pertanian, akan merusak tata niaga produk lokal,” ujar Ono.

Retaliasi menuntut Indonesia membayar 350 juta dolar AS, atau sekitar Rp5 triliun, sebagai ganti atas kerugian industri AS akibat peraturan impor holtikultura, hewan dan produk hewani.

Peraturan impor itu semula diterbitkan pemerintah RI pada 2012. AS dan Selandia Baru kemudian menilainya sebagai kebijakan pembatasan dan pelarangan impor sehingga membawa masalah ini ke WTO.

Pada Februari 2017, WTO mengabulkan gugatan AS dan Selandia Baru sehingga Indonesia harus mencabut peraturan impor itu. RI sudah berupaya melaksanakan putusan WTO, tapi AS menilai sebaliknya.

Pada Agustus 2018, pemerintahan Donald Trump resmi menuntut Indonesia membayar ganti rugi Rp5 triliun.

Meski sudah menyampaikan keberatan, persoalan belum selesai.

Menurut Oke, Indonesia masih harus menunggu hasil penilaian WTO terlebih dahulu terhadap keabsahan keberatan tersebut, tanpa diketahui pasti tenggat waktunya. (republika.co.id/gesuri.id/ac)

Penindakan ODOL belum jangkau pemilik barang

Penertiban truk over dimensi dan overload (ODOL) menjadi perhatian serius sejumlah asosiasi dan pengusaha. Sebagai kalangan yang terkena langsung imbasnya, Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) menaruh perhatian khusus terhadap kebijakan ini.

JAKARTA (alfijak): Menurut Wakil Ketua DPP Aptrindo, Kyatmaja Lookman, pada prinsipnya, pengusaha truk yang tergabung dalam Aptrindo mendukung penertiban ODOL tersebut. Hal itu semakin dipertegas dalam pertemuan DPP Aptrindo dengan para perwakilan DPD Aptrindo, pada Senin (13/8).

“Namun, ada sejumlah catatan yang semestinya diperhatikan dan dilakukan pemerintah,” kata Kyatmaja kepada Kontan.co.id, pada Selasa (14/8).

Ia menyebut, setidaknya ada empat catatan yang dituliskan oleh Aptrindo. Yaitu mengenai aturan dan kualitas kelas jalan, daya angkut kendaraan, memfasilitasi harga angkut dengan pemilik barang, serta soal sasaran penindakan.

Mengenai kelas jalan, Kyatmaja menyebut bahwa harus ada upgrade soal kelas dan kualitas jalan.

Ia mencontohkan, apabila kekuatan truk mampu mengangkut 26 ton, sedangkan kualitas jalan hanya mampu menahan 21 ton, berarti ada selisih 5 ton.

“Kalau dari contoh itu kan kita kehilangan 5 ton. Jadi kami usulkan agar ada pemetaan dan perbaikan kualitas jalan dengan kajian yang komprehensif,” terangnya.

Soal daya dan harga angkut, Kyatmaja menyebut bahwa karakteristik barang dengan berat per-kilogram, menjadi yang paling terdampak. Sebabnya adalah soal perbandingan berat dan ruang truk yang tersedia.

“Untuk barang dengan karakteristik hitungan per kilogram, itu pasti terdampak sekali. Contohnya begini, barang yang masa jenisnya berat, tapi truknya belum penuh. Maka ketika harus dikurangi muatannya, truknya jadi nggak full, nggak optimal, truk sebesar itu, muatannya sedikit,” terang Kyatmaja.

Oleh sebab itu, masih ada sejumlah sektor usaha yang keberatan. Kyatmaja menyebutkan, kelompok usaha dari jenis sawit (minyak goreng), gula rafinasi, dan pupuk menjadi contoh tiga jenis usaha dari yang masih berkeberatan.

“Sawit-minyak goreng sebagai bahan pokok, gula rafinasi dan pupuk sebagai bahan penting. Toleransi 50% dinilai belum cukup. Namun sebaiknya, kita bedah dulu ongkos transpor ke harga barangnya seberapa signifikan,” ujarnya.

Sebagai informasi, pemerintah telah menerapkan kebijakan penurunan muatan bagi kendaraan barang yang melebihi 100% dari ketentuan atau ODOL ini pada 1 Agustus lalu.

Dalam catatan KONTAN, merujuk pada keterangan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Budi Setiyadi, saat ini pihaknya masih memberikan toleransi bagi kendaraan dengan muatan berlebih 40%-50% dari aturan yang ada. Misalnya, komoditi semen diberi toleransi 40%, dan logistik sembako 50%.

Kebijakan ODOL ini pun baru berlaku di tiga Unit Pelaksana Pengujian Kendaraan Bermotor (UPPKB) jembatan timbang yang menjadi pilot project. Yakni UPPKB Balonggandu Karawang, UPPKB Losarang Indramayu, dan UPPKB Widang Tuban.

“Jadi sebenarnya tidak perlu khawatir. Tapi temen-temen memang harus mempersiapkan diri,” imbuh Kytmaja.

Soal sasaran penindakan, para pengusaha truk ini mengajukan keluhan. Pasalnya, yang menjadi sasaran lebih ditekankan pada angkutan truk, dibandingkan dengan pengusaha pemilik barang.

“Maunya, penindakan angkutan jangan cuma di pengusaha truknya, tapi di pengusaha pemilik barangnya juga. Diawasi, jadi truknya nggak perlu melanggar. Kalau untuk overdimensi, kami masih galau. Kalau harus dilakukan pemotongan truk, itu memakan waktu dan biaya. Siapa yang akan tanggung? Sedangkan truknya kan kami beli sudah seperti itu barangnya,” tandas Kyatmaja. (kontan.co.id/ac)