Arsip Tag: Oke Nurwan

Perusahaan asing andalkan bahan baku dari negaranya, RI makin bergantung impor

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, tingginya impor pada Juli lalu dikarenakan sektor infrastruktur dan manufaktur semakin bergantung pada produksi luar negeri. Di antaranya komponen seperti baja dan besi yang merupakan komoditas utama untuk pembangunan.

JAKARTA (alfijak): Menurut Faisal, ketergantungan dua sektor ini sudah tinggi sejak tahun lalu. Hanya saja, kata dia, pada tahun lalu ekspor tumbuh lebih cepat.

Sementara itu, pada tahun ini, pertumbuhan impor lebih cepat di saat manufaktur terus melambat.

“Ketergantungan impor dari tahun ke tahun memang tinggi. Tapi tahun ini pertumbuhan impornya lebih tinggi dibandingkan ekspor,” tuturnya ketika dihubungi Republika, Jumat (17/8).

Selain itu, perusahaan industri manufaktur besar di dalam negeri merupakan hasil investasi asing. Kondisi ini kerap kali diikuti dengan kebutuhan akan bahan baku yang tidak diserap dari produksi dalan negeri, melainkan negara lain.

Faisal menjelaskan, industri manufaktur otomotif di Indonesia dikuasai 90 persen oleh Jepang. Begitu juga ketika Cina membangun industri manufaktur di Indonesia, bahan baku didatangkan dari sana.

“Kesalahannya, investasi yang masuk itu tidak sering diarahkan untuk menyerap produksi dalam negeri. Alasannya banyak, misal tidak sesuai spesifikasi produksi kita dengan standar internasional,” ujar Faisal.

Padahal, menurut Faisal, permasalahan tersebut dapat diarahkan dengan kebijakan-kebijakan. Misal, investasi yang masuk harus diarahkan secara berangsur-angsur untuk melatih sumber daya manusia (SDM) setempat.

Tujuannya, agar sumber daya alam lokal dapat dimanfaatkan untuk diolah dan dijadikan sebagai input.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis bahwa nilai impor pada Juli lebih besar dibanding Juni hingga 62,17 persen, yakni dari 11,26 miliar dolar AS menjadi 18,27 miliar dolar AS. Apabila dibanding Juli tahun lalu juga terjadi peningkatan 31,56 persen dari 13,88 miliar dolar AS.

Menurut golongan penggunaan barang ekonomi, diketahui bahwa selama Juli 2018, golongan bahan baku/penolong memberikan peranan terbesar yaitu 74,84 persen dengan nilai 13,67 dolar AS.

Ini diikuti oleh impor barang modal 15,75 persen (2,8 miliar dolar AS) dan barang konsumsi 9,41 persen (1,7 miliar dolar AS).

Hak keberatan impor

Pemerintah Indonesia telah mengirim perwakilannya ke Jenewa untuk mengikuti sidang World Trade Organization (WTO) yang membahas tuntutan retaliasi Amerika Serikat (AS).

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan RI, Oke Nurwan mengatakan utusan Indonesia itu merupakan Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI).

Mereka ditugaskan untuk menyampaikan keberatan dari Pemerintah Indonesia atas tuntutan retaliasi AS.

“Prinsipnya, Indonesia sudah menyampaikan keberatan atas retaliasi dan besaran 350 juta dolar AS kepada Amerika melalui DSB (Dispute Settlement Body) Chair dari WTO,” ujar Oke, Kamis (16/8).

Anggota Komisi IV DPR RI, Ono Surono menilai peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah itu sebenarnya sudah tepat karena untuk melindungi produksi di dalam negeri dengan membatasi keberadaan barang impor.

“Negara mana pun bisa mengatakan tidak impor. Pemerintah Indonesia berhak keberatan impor agar produk asing enggak mudah masuk, produk impor dapat masuk dengan catatan […], dan untuk menstabilkan harga di dalam negeri yang kurang produksi,” ujar Ono.

Apalagi, menurut dia, Indonesia memiliki sumber daya pertanian dan peternakan besar yang masih dapat terus dikembangkan.

“Kalau produk impor berlebih, [bisa] mempengaruhi pendapatan pertanian, akan merusak tata niaga produk lokal,” ujar Ono.

Retaliasi menuntut Indonesia membayar 350 juta dolar AS, atau sekitar Rp5 triliun, sebagai ganti atas kerugian industri AS akibat peraturan impor holtikultura, hewan dan produk hewani.

Peraturan impor itu semula diterbitkan pemerintah RI pada 2012. AS dan Selandia Baru kemudian menilainya sebagai kebijakan pembatasan dan pelarangan impor sehingga membawa masalah ini ke WTO.

Pada Februari 2017, WTO mengabulkan gugatan AS dan Selandia Baru sehingga Indonesia harus mencabut peraturan impor itu. RI sudah berupaya melaksanakan putusan WTO, tapi AS menilai sebaliknya.

Pada Agustus 2018, pemerintahan Donald Trump resmi menuntut Indonesia membayar ganti rugi Rp5 triliun.

Meski sudah menyampaikan keberatan, persoalan belum selesai.

Menurut Oke, Indonesia masih harus menunggu hasil penilaian WTO terlebih dahulu terhadap keabsahan keberatan tersebut, tanpa diketahui pasti tenggat waktunya. (republika.co.id/gesuri.id/ac)

Ditemukan pelanggaran, efektifitas postborder mulai disoal

Para pelaku bisnis dalam negeri, meminta agar evaluasi dilakukan oleh pemerintah dalam hal pelaksanaan aturan post border, yang telah berjalan selama 6 bulan terakhir.

JAKARTA (alfijak): Sekretaris Jenderal Asosiasi Mainan Indonesia (AMI) Eko Wibowo Utomo mengakui, aturan yang dirilis 1 Februari 2018 tersebut membuat biaya operasional importir mainan tereduksi hingga 20%.

Pasalnya, pelaku usaha tidak perlu mengeluarkan uang tambahan karena barang impor menginap terlalu lama di gudang bea cukai. Tidak heran jika impor mainan anak dan komponen mengalami kenaikan 116, 05% secara year on year (yoy) pada Januari-April 2018.

“Tetapi yang perlu dicermati adalah pengawasannya di Kementerian Perdagangan. Kami melihat aturan ini cepat dieksekusi, tetapi infrasruktur penunjangnya belum siap, seperti dalam hal pengawasan,” katanya, Rabu (1/8/2018).

Selain itu, di lapangan, dia mengaku menemukan beberapa importir yang menggunakan nomor pendaftaran barang (NPB) yang telah kadaluwarsa. Strategi tersebut, lanjutnya, dilakukan importir nakal untuk meloloskan produk wajib SNI.

Di sisi lain, dia juga menemukan cukup banyak produk mainan wajib SNI yang memiliki kode harmonized system (HS) sama dengan produk tidak wajib SNI. Hal itu, membuat cukup banyak produk yang dialihkan ke pos non-SNI.

“Ada pula, ketika barang sudah lewat di bea cukai karena post border, ketika masuk gudang dicari-cari kesalahannya oleh sejumlah pihak. Ujung-ujungnya pungli,” paparnya.

Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ban Indonesia (APBI) Azis Pane mengaku, cukup banyak importir nakal yang memanfaatkan celah kebijakan post border.

Hal itu terbukti dari penurunan pendapatan ban domestik yang mencapai 15%, pascapergeseran pemeriksaaan produk ban dari border ke post border diterapkan melalui Permendag No. 06 Tahun 2018.

Kendati tidak masuk dalam lima besar produk impor dengan kenaikan terbesar dalam daftar post border .

Dia menilai kebijakan tersebut akan membuat pangsa pasar ban impor akan mencapai 50% di dalam negeri.

Keluhan serupa muncul dari Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat. Dia mengklaim, tidak diajak komunikasi oleh pemerintah terkait penerapan post border.

Kendati produk tekstil dan produk tekstil (TPT) masuk dalam daftar komoditas larangan terbatas (lartas) border, dia menemukan sejumlah produk barang jadi tekstil yang masuk melalui post border.

Dalam hal ini dia merujuk pada produk pakaian dalam wanita dari bahan tekstil yang impornya naik 192,41% secara yoy selama Januari-April 2018.

“Sejak awal saya minta post border ini diperketat untuk produk barang jadi, terutama tekstil. Bagaimana caranya melindung produk dalam negeri kalau impor barang jadi masih dipermudah,” katanya.

Temuan pelanggaran pengunaan HS code agar mendapat fasilitas post border juga dikemukakan oleh Direktur Eksekutif The Indonesian Iron And Steel Industry Association (IISIA) Hidayat Triseputro. Dia mengklaim cukup banyak importir baja mentah yang menggunakan kode HS besi atau baja, baja paduan dan produk turunannya.

Seperti diketahui, produk tersebut mendapatkan kemudahan impor melalui Permendag No. 22 Tahun 2018, salah satunya pengalihan pemeriksaan dari border ke post border.

“Sudah kami sampaikan ke Kemenperin, dan regulasi untuk revisi aturan itu sedang disiapkan,” jelasnya.

Pelanggaran

Kementerian Perdagangan berjanji akan tetap mengawasi secara ketat seluruh proses impor barang, kendati telah muncul kebijakan baru berupa pemeriksaaan di luar kepabeanan atau post border.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Oke Nurwan mengatakan, sejak kebijakan post border diberlakukan pada Februari 2018, Kemendag telah menemukan sejumlah dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh importir.

Menurutnya, pelanggaran tersebut dilakukan dengan memanfaatkan celah pemeriksaan dalam kebijakan post border. Hanya saja Oke enggan menyebutkan dugaan pelanggaran tersebut, lantaran masih diperiksa secara lebih lanjut.

“Kami akan awasi terus. Meskipun barang boleh masuk dahulu sebelum izin impornya muncul, pengawasan akan selalu dilakukan. Dokumen harus lengkap,” ujar Oke, Selasa (31/7/2018).

Untuk itu dia menghimbau kepada para importir untuk memanfaatkan dengan baik kebijakan yang diberikan oleh pemerintah tersebut.

Dia menegaskan, kebijakan itu diharapkan dapat mempercepat arus pergerakan barang, karena memindahkan proses pemeriksaan dari kepabeanan.

Adapun, berdasarkan catatan yang dimilikinya, terdapat kenaikan aktivitas impor dengan menggunakan post border.

Salah satu kenaikan tersebut terjadi pada impor produk baja yang naik 700% pascadiberlakukannya aturan impor post border.

“[Impor melalui post border] Produk baja naik 700%. Tetapi catatan ini akan kami teliti lagi, apakah memang karena kebutuhan dalam negeri yang meningkat atau karena menyalah gunakan post border,”katanya. (bisnis.com/ac)

Buntut impor bawang bombay, 5 ijin importir bakal dicabut

Pemerintah bertindak cepat memutus peredaran bawang bombay mini yang dijual sebagai bawang merah. Kementerian Pertanian (Ke­mentan) bahkan sudah me­masukkan lima perusahaan ke dalam daftar hitam (blacklist) importir yang mengimpor bawang bombay tidak sesuai ketentuan.

JAKARTA (alfiijak): Lima perusahaan dengan inisial PT TAU, PT SMA, PT KAS, PT FMP dan PT JS memasukkan bawang bombay dengan ukuran kecil tersebut dan menyebabkan kerugian negara.

Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan mengatakan, Ke­mendag melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kemendag (PKTN) sudah menerima daftar perusahaan yang di blacklist Kementan.

“Dari data yang didapat, PKTN melakukan pengecekan pelanggaran yang dilakukan perusahaan. Nanti mereka juga akan menyiapkan lang­kah hukum bagi perusahaan yang melanggar aturan dan juga memberikan rekomendasi kepada Ditjen Perdagangan Luar Negeri,” kata Oke ke­pada Rakyat Merdeka, belum lama ini.

Dari hasil rekomendasi tersebut, perusahaan yang sudah di blacklist akan di­lakukan penindakan. Salah satunya mencabut izin Persetujuan Impor (PI) yang mereka kantongi. Pencabutan izin PI ini menjadi kewenangan Ditjen Perdagangan Luar Negeri.

“Dalam penerbitan izin impor kan sudah jelas ada aturannya, barang yang diimpor sesuai dengan ketentuan. Ka­lau bawang bombay, ukuran­nya tidak boleh di bawah 5 cm. Yang dijual importir nakal ini di bawah 3 cm dan dijual sebagai bawang merah, inikan pelanggaran,” ujarnya.

Oke menambahkan, pen­cabutan PI tersebut juga akan dilakukan berdasarkan reko­mendasi dari Kementan yang menyatakan bahwa importir yang dimaksud memang me­langgar ketentuan.

“Tapi kan saya butuh do­kumen formal dia memang melanggar. Kalau rekomendasi dari Kementan betul, masukan ke kita dan bisa segera saya bekukan,” tegasnya.

Dia mengatakan, kebijakan yang diambil pemerintah ini bertujuan untuk melindungi pedagang bawang merah da­lam negeri agar tak dirugikan dengan masuknya bawang bombay mini.

Untuk mencegah kasus seperti ini kembali terulang, Kemendag melalui PKTN juga memperketat pengawasan barang masuk dari luar negeri, khususnya barang pangan impor. Kemendag, bekerjasama dengan Bea dan Cukai serta Kementan.

“Kita perketat masuknya barang impor di pelabuhan dengan diperiksa berkali-kali oleh bea cukai. PKPN juga mendata kapal masuk dan ba­rang apa saja yang dibawa ke Indonesia,” ujarnya.

Daftar hitam

Polisi memastikan, pencantuman catatan hitam (black list) juga pencabutan izin impor terhadap perusahaan yang diduga terlibat penyelundupan bawang bombai yang menyerupai bawang merah, tidak menghentikan proses pengusutan pidana.

Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri memastikan, pengusutan tetap dilakukan ke semua pihak yang ditengarai terlibat penyelundupan 670 ton bawang bombai mini asal India.

Polri juga memastikan, tidak pernah merekomendasikan kepada pihak manapun, untuk pencabutan izin impor perusahaan yang tengah diselidiki, maupun sudah disidik.

Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Mabes Polri Komisaris Besar Polisi Daniel T. Monang Silitonga di Jakarta, Jumat (29/6), menegaskannya.

“Urusan black list itu administratif, urusan pidana adalah pidana,” tegas Daniel .

Tim gabungan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa Kemendag RI sebelumnya mengungkap adanya penyelundupan 670 ton bawang bombai mini asal India di Gudang Hamparan Perak Medan Sumatera Utara.

Daniel menguraikan, penyidik Bareskrim Mabes Polri menangani banyak perusahaan yang terindikasi terlibat penipuan izin impor bawang bombai mini itu.

Penyidik memiliki kewenangan sendiri untuk menyelidiki terhadap dugaan penyelundupan impor bawang bombai mini itu, dan tidak menginformasikan hasil kepada lembaga lain.

“Banyak yang kita selidiki tapi kita tidak pernah infokan ke siapapun itu kan rahasia,” tutur kepolisian perwira menengah itu.

Tindak tegas

Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jenderal (Purn) Moeldoko mendukung langkah tegas aparat hukum menindak mafia pangan.

Pasalnya ulah mereka, seperti importir nakal yang menyalahgunakan dokumen impor dan penyelundup, sangat merugikan petani.

“Mafia pangan harus ditindak. Menurut saya orang-orang seperti itu harus diberi pelajaran. HKTI akan senantiasa mendukung dan bekerja sama dengan pemerintah, agar praktik mafia pangan ini dapat diatasi,” ujar Moeldoko, ditemui di acara ASAFF 2018, Sabtu (30/6).

Menurutnya, pemerintah saat ini juga sudah bekerja keras menindak mafia pangan. Misalnya Dengan adanya satgas pangan. Pihaknya juga mengapresiasi kepolisian yang mengusut kasus importir nakal.

“Kami mendukung kepolisian untuk mengusut tuntas kasus tersebut,” pungkasnya.

Adanya penyelundupan bawang bombai mini tersebut, membuat penjualan bawang merah produksi petani lokal terpuruk. (rmol.co/kontan.co.id/indopos.coid/ac)

 

Kemendag buka pelabuhan Indah Kiat kurangi beban Priok

Kementerian Perdagangan (Kemendag) membuka Pelabuhan Indah Kiat Merak Mas di Kelurahan Tamansari, Kecamatan Pulomerak, Kota Cilegon sebagai tempat untuk bongkar muat barang impor. Hal ini dilakukan untuk mengurangi waktu bongkar muat barang (dwell time) di Tanjung Priok.

Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Oke Nurwan pelabuhan Merak Mas telah dibuka pada bulan ini. Para importir pun sudah bisa menggunakan pelabuhan tersebut.

“Sudah dibuka, sejak kapan itu kalau nggak salah awal bulan ini,” katanya dikutip dari detik.com, Minggu (15/4/2018).

Lebih lanjut, Oke menjelaskan pembukaan pelabuhan tersebut dilakukan untuk memberi kemudahan kepada para importir. Pasalnya selama ini para importir perlu memakan waktu di Tanjung Priok.

“Bukan dialihkan jadi kita menghindari, memberikan kesempatan kepada pelaku usaha untuk tidak berpadat ria di Tanjung Priok,” jelasnya.

Sebab, kata Oke, dari pelabuhan yang tersedia Pelabuhan Tanjung Priok lah yang paling padat. Dengan begitu ia berharap akan ada pemerataan pengiriman barang.

“Kan sudah tahu dwelling time berapa banyak (di Tanjung Priok). Ya kalau kita buka kesempatan ke yg lain ya bagus lah,” pungkasnya.

Sebagai informasi, saat ini dwell time di Pelabuhan Tanjung Priok rata-rata tiga hari. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah mengeluh lamanya waktu dwell time yang mana mencapai 6-7 hari. (bantennews.co.id/ac)

RI setop impor ikan Norwegia, sarden China ditarik

Upaya menjegal produk sawit terjadi di Eropa. Salah satunya Norwegia yang mulai menghentikan pengadaan biofuel berbasis sawit. Sementara BPOM memerintahkan produk sarden Farmer Jack yang diimpor dari China ditarik dari peredaran karena mengandung cacing.

JAKARTA (alfijak): Pemerintah tak menutup kemungkinan menggugat kebijakan itu ke World Trade Organization (WTO). Bukan itu saja, pemerintah juga berencana menghentikan impor ikan dari Norwegia.

“Pak Menteri (Menteri Perdagangan) menyatakan di Norwegia sudah ada kebijakan untuk menghentikan pengadaan biofuel berbasis palm oil dan itu sudah jelas secara legal dan itu mendiskriminasikan. Tinggal itu kita menyikapi seperti apa, bisa kita gugat, bisa ke la la la. Itu salah satu alternatif bisa saja kita lihat impor dari Norwegia apa,” tutur Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), Oke Nurwan, di Kementerian Perdagangan, Selasa (20/3/2018).

Salah satu komoditas impor dari Norwegia adalah ikan salmon. Jika rencana penghentian impor salmon dari Norwegia dilakukan, maka Indonesia perlu mencari negara penggantinya.

“Kita carinya kan begini yang kami kaji salah satunya. Kalau kita berhenti impor ikan dari sana, alternatifnya dari mana. Kita sudah ketemu kalau salmon kan dari Chile,” tutur Oke.

Terkait dengan ancaman Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menghentikan impor pesawat terbang dari Eropa lantaran kampanye hitam sawit Indonesia di benua itu, Oke mengatakan Kemendag mempelajari semua kemungkinan menjawab diskriminasi terhadap produk sawit di Eropa.

“Kita pelajari semua,” kata Oke.

Ditarik

Sementara itu BBPOM dilaporkan telah memerintahkan penarikan seluruh produk ikan kaleng merek Farmer Jack Mackerel dari pasaran.

Temuan serupa juga dikabarkan terdapat di Kempas (Indragiri Hilir) dan Sungai Pakning, Kecamatan Bukit Batu, Bengkalis.

Abun, sub distributor sarden merek Farmer Jack yang memiliki gudang di Jalan Pangaram Selatpanjang, saat disidak petugas menyatakan pihaknya siap menarik kembali semua produk bermasalah tersebut.

Seorang warga Selatpanjang, Ucu (54),menyambut baik upaya yang dilakukan oleh BBPOM. Menurutnya, informasi cacing di dalam kaleng sarden ini sudah sangat meresahkan masyarakat.

“Kalau gini kan jelas, yang ditemukan itu benar cacing bukan usus kecil seperti klaim mereka (penjual). Jadi tidak usah dibeli lagi sarden dengan merek itu,” kata dia.

Kepala Bidang Perdagangan Dinas Perindustrian dan Dagang (Disperindag) Kepulauan Meranti, Hariadi, meminta masyarakat untuk teliti dan jeli dalam membeli produk-produk makanan kemasan. Khususnya sarden Farmer Jack yang telah dinyatakan mengandung cacing gilig oleh BBPOM.

“Kita imbau masyarakat untuk hati-hati. Teliti lagi sebelum membeli,” ujarnya.

Produk impor asal China tersebut dinilai berbahaya bagi kesehatan manusia, karena terbukti mengandung cacing.

Hal itu berdasarkan uji laboratorium terhadap dua sampel produk Farmer Jack yang diterima BBPOM Pekanbaru dari Dinas kesehatan Kabupaten Kepulauan Meranti.

“Dari sampel ikan kaleng yang dikirim ke BBPOM positif mengandung sejenis cacing akan tetapi bukan cacing pita, ” kata Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Pekanbaru Muhammad Kashuri di Pekanbaru, Selasa (20/3/2018).

Seperti dikatakan M Kashuri, cacing yang ditemukan dalam dua sampel itu bukan cacing pita. Sesuai uji laboratorium, cacing itu diketahui jenis Gilig yang merupakan parasit yang bisa berkembang biak dalam tubuh manusia.
Staf Bidang Pemeriksaan BBPOM Pekanbaru Rita Ariestya mengemukakan, pengujian sampel dilakukan awal pekan ini, Senin (19/3), di Laboratorium BBPOM Pekanbaru.

“Setelah dua sampel kami uji di lab, memang ada cacing Gilig dalam ikan kaleng merek Farmer Jack. Dua sampel tersebut memilki nomor bets yang berbeda,” ujar Rita di sela-sela meninjau peredaran produk ikan kaleng merek Farmer Jack di sejumlah swalayan di Selatpanjang, Meranti, Selasa.

Namun Rita mengaku belum mengetahui pasti bahaya cacing Gilig bagi manusia. Ia mengatakan, pihaknya masih menunggu keabsahan hasil uji lab dari BPOM RI.

“Dari jenisnya, cacing jenis Gilig ini merupakan salah satu parasit yang bisa berkembang dalam tubuh manusia. Namun, kami belum tahu dampaknya bagi kesehatan orang yang mengonsumsinya,” ujar Rita.

Setelah hasil uji laboratorium keluar, BBPOM segera menginstruksikan penarikan produk ikan kaleng atau sarden merek Farmer Jack. Instruksi itu terutama ditujukan kepada seluruh agen dan distributor.

Rita mengatakan, untuk menarik produk ikan kaleng merek tersebut dari pasaran, BBPOM berkoordinasi dengan Diskes dan Disperindagkop UKM Kabupaten Kepulauan Meranti.

“Kami juga sudah mendatangi seluruh agen distributor dan swalayan di Meranti untuk tidak lagi untuk tidak lagi menjual merek ikan kaleng produk asal China tersebut,” ujar Rita.

Ia mengatakan belum diketahui penyebab adanya cacing Gilig di dalam produk ikan kaleng merek Farmer Jack.

Sementara dua sampel yang diuji di Laboratorium BBPOM Pekanbaru merupakan produk yang belum kedaluarsa. Kemasannya juga masih dalam kondisi tersegel.

Menurut Rita, dari segi izin, produk ikan kaleng Farmer Jack terdaftar di BPOM RI dengan Nomor ML 543929007175.

Produk ikan sarden ini masuk ke Indonesia melalui perusahaan asal Batam, PT Prima Niaga Indomas. Sedangkan produsennya adalah perusahaan asal China, yakni Zhang Zou Tan, Co, Ltd.

“Dari segi izin, produk tersebut terdaftar dan tidak ada masalah izin,” ujar Rita.

Kabar adanya produk ikan kaleng mengandung cacing menghebohkan masyarakat Meranti dalam sepekan terakhir.

Temuan serupa juga dikabarkan terdapat di Kempas (Indragiri Hilir) dan Sungai Pakning, Kecamatan Bukit Batu, Bengkalis. (tribunnews.com/detik.com)

RI ubah sertifikat kendaraan untuk ekspor mobil ke Vietnam

Pemerintah Indonesia telah mengirimkan contoh Indonesia Vehicle Type Approval (VTA) untuk upaya penerimaan kembali ekspor mobil ke Vietnam yang sedang terhenti akibat dinilai belum memenuhi standar kendaraan di negara tersebut.

HANOI (alfijak): Direktur Jenderal (Dirjen) Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan mengatakan pengiriman contoh tersebut kepada otoritas Vietnam dilakukan guna memperoleh konfirmasi atas keberterimaan VTA sesuai ketentuan PM Decree 116 dan Circular 03.

Indonesia, katanya, akan mengubah sertifikat Vehicle Type Approval (VTA) kendaraan bermotor tipe completely build up (CBU) demi memenuhi ketentuan impor yang disyaratkan Vietnam. Hal ini dilakukan agar Indonesia tetap bisa melanjutkan ekspor ke negara tersebut.

“Diharapkan ekspor otomotif nasional ke Vietnam dapat direalisasikan dalam waktu dekat, kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Oke Nurwan, yang memimpin delegasi Indonesia dalam konsultasi teknis dengan pemerintah Vietnam, Kamis (1/3).

Menurut Oke, pihaknya juga telah mengirim contoh VTA kepada otoritas Vietnam agar segera mendapat konfirmasi bahwa sertifikat tersebut sudah memenuhi ketentuan impor mereka. Direktur Pengamanan Perdagangan Pradnyawati menambahkan, hasil konsultasi teknis ini akan segera ditindaklanjuti agar ekspor produk otomotif Indonesia ke Vietnam dapat segera dilakukan.

Langkah maju telah dicapai pada konsultasi teknis dengan Kementerian Transportasi Vietnam. “Hal tersebut akan ditindaklanjuti oleh Kementerian Perhubungan Indonesia selambat-lambatnya pekan kedua Maret 2018,” tutur Pradnyawati.

Sejak Januari 2018, Vietnam telah memberlakukan kebijakan proteksionisme baru yang membuat ekspor produk otomotif asal Indonesia terhenti.

Lewat Decree Nomor 116/2017/ND-CP, Vietnam mengatur sejumlah persyaratan untuk kelaikan kendaraan, termasuk emisi dan standar keselamatan.

Regulasi yang tersebut tidak mengakui Standar Nasional Indonesia (SNI) yang selama ini sudah diterapkan. Vietnam menganggap SNI tidak cukup memenuhi kriteria yang mereka inginkan.

Karenanya, untuk membuka kebuntuan ekspor itu, pemerintah mengutus delegasi untuk melakukan serangkaian konsultasi teknis dengan Pemerintah Vietnam dan asosiasi kendaraan bermotor Vietnam.

Delegasi Indonesia terdiri atas perwakilan Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, dan asosiasi industri kendaraan bermotor.

Deputy Minister Vietnam Le Dinh Tho menyebut VTA yang dimiliki Indonesia pada prinsipnya sudah dapat diterima. Hanya, ia menilai, ada beberapa penambahan informasi terkait elemen data yang harus dicantumkan, sebagaimana diatur dalam regulasi Vietnam.

Sementara itu, Chairman of Vietnam Automobile Manufacturers Association (VAMA) Toru Konishita berharap Indonesia dapat kembali melanjutkan ekspor produk kendaraan bermotornya ke Vietnam.

Sebab, ia juga menilai, produk Indonesia sudah memenuhi semua aspek kelaikan kendaraan yang disyaratkan.

Berdasarkan data statistik Pemerintah Vietnam, sepanjang tahun 2017, negara tersebut mengimpor mobil penumpang tipe CBU dari Indonesia sebanyak 38.832 unit dengan nilai 718 juta dolar AS.

Impor di tahun 2017 mencapai puncaknya pada bulan Januari dengan jumlah 6.345 unit atau senilai 123,4 juta dolar AS.

Namun, sejak diberlakukannya aturan baru, impor mobil penumpang tipe CBU dari Indonesia turun drastis menjadi hanya 592 unit dengan nilai 10,9 juta dolar AS pada November 2017. (bisnis.com/republika.co.id/ac)

Tim Delri coba urai hambatan ekspor mobil ke Vietnam

PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) menyiapkan strategi baru setelah Vietnam membatasi impor mobil. Toyota akan menggenjot ekspor ke negara lain untuk menggantikan volume pengapalan yang sudah tertunda.

JAKARTA (alfijak): Director Administration, Corporate, & External Affairs TMMIN Bob Azzam mengatakan akan menambah volume ekspor mobil utuh atau completely built up (CBU) negara di Asia Tenggara dan Afrika Utara.

“Mudah-mudahan bisa cover 50 persen. Mulai April,” katanya, Rabu, 28 Februari 2018.

Bob melanjutkan kasus Vietnam merupakan ujian bagi pabrikan otomotif di Indonesia. Proteksi terhadap investasi berorientasi ekspor melalui prinsip-prinsip perdagangan bebas dipertanyakan.

“Tapi kami tetap berharap Vietnam bisa segera dinormalisasi,” ujarnya.

Berdasarkan Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Vietnam menyumbang signifikan terhadap capaian ekspor Toyota.

Sepanjang 2017, Toyota mengapalkan sekitar 69.700 unit Fortuner ke sejumlah negara. Sekitar 17 persen di antaranya adalah sumbangsih Vietnam.

Selain Toyota, Suzuki dan Hino juga tercatat mengirimkan mobil utuh ke Vietnam.

Bagi Hino, Decree 116 sudah mengganggu capaian ekspor perusahaan.

Pemerintah saat ini berupaya mengakomodasi keresahan pabrikan otomotif tersebut.

Tim Delegasi Republik Indonesia (Delri) tengah berada di Vietnam guna membahas regulasi impor baru yang diterapkan negara tersebut.

Tim Delri terdiri atas Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, Gaikindo, Balai Uji, dan sejumlah perwakilan dari agen pemegang merek kendaraan penumpang dan niaga.

Lobi tingkat tinggi ini berlangsung pada 26-28 Februari 2018.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Oke Nurwan mengatakan regulasi impor mobil penumpang Vietnam menjadi kendala bagi Indonesia, terutama dengan adanya rincian persyaratan rumit yang ditetapkan.

Indonesia saat ini menjadi pemasok mobil ketiga terbesar di Vietnam setelah Thailand dan Cina. Produk otomotif asal Tanah Air menguasai pangsa pasar 13,12 persen. (tempo.co/ac)

Pasar bebas ASEAN dihantui hambatan non-tarif, Vietnam bermasalah

Hambatan nontarif sebagai cara negara anggota ASEAN melindungi pasarnya masih terjadi di tengah perdagangan bebas yang sudah disepakati.
JAKARTA (alfijak); “ASEAN harus menetapkan kawasan perdagangan bebas di ASEAN dengan memakai skema CEPT sebagai mekanisme utama dalam jangka waktu 15 tahun, mulai 1 januari 1993 dengan tarif efektif antara 0 persen sampai 5 persen.”

Petikan di atas merupakan perjanjian yang tertuang dalam Singapore Declaration of 1992, sekaligus menjadi tonggak awal berdirinya kawasan perdagangan bebas di Asia Tenggara atau biasa dikenal ASEAN Free Trade Area (AFTA).

Secara umum, ada tiga tujuan yang ingin dicapai dari AFTA itu. Pertama, menjadi kawasan ASEAN sebagai tempat produksi yang kompetitif, sehingga produk-produk ASEAN berdaya saing kuat di pasar global.

Kedua, menarik lebih banyak lagi investasi langsung asing (Foreign Direct Investment/FDI). Ketiga, meningkatkan perdagangan antaranggota ASEAN (intra-ASEAN Trade). Saat ini, anggota AFTA sudah mencapai 10 negara.

Pada awal dibentuk, anggota AFTA mencakup Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Lalu, Vietnam bergabung pada 1995, Laos, dan Myanmar pada 1997, dan Kamboja pada 1999.

Untuk mencapai tujuan itu, anggota AFTA menyepakati biaya atau tarif impor produk dapat diturunkan menjadi 0 persen sampai dengan 5 persen. Selain tarif, batasan atau kuota jumlah barang impor, dan hambatan-hambatan nontarif juga ditiadakan.

Tentunya, anggota AFTA membutuhkan waktu agar dapat menyesuaikan tarif impor dan kebijakan perdagangan luar negerinya. Targetnya pada 2008, atau 15 tahun sejak perjanjian AFTA diteken pada 1993. Namun, target itu molor menjadi 2015.

Saat, perjanjian sudah disepakati, hambatan arus barang dan perdagangan antarnegara ASEAN lainnya masih terjadi. Baru-baru ini, Vietnam mengeluarkan kebijakan terkait mobil impor, dan membuat ekspor mobil Indonesia terancam terhenti ke Negeri Paman Ho.

Peraturan baru yang dimaksud itu adalah Decree No. 116/2017/ND-CP tentang Requirements for Manufacturing, Assembly and Import Of Motor Vehicles and Trade in Motor Vehicle Warranty and Maintenance Services.

Pihak Kementerian Perdagangan Indonesia menganggap Vietnam mengatur sejumlah persyaratan untuk kelaikan kendaraan termasuk emisi dan keselamatan yang berlaku pada 1 Januari 2018.

Standar Nasional Indonesia (SNI) yang sudah diterapkan selama ini belum cukup sesuai dengan kriteria yang diinginkan Vietnam.

“Potensi ekspor yang hilang dari pemberlakuan Decree 116 itu, diprediksi mencapai $85 juta selama periode Desember 2017-Maret 2018,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan kepada Tirto.

Oke mengaku tak mengetahui secara jelas mengapa Vietnam menerbitkan kebijakan baru tersebut.

Padahal ketentuan standardisasi yang dikeluarkan pemerintah Indonesia terhadap mobil penumpang utuh untuk ekspor sudah mendukung dan lengkap.

Selain itu, sertifikasi yang dilakukan otoritas di Vietnam dan Indonesia menggunakan proses dan peralatan uji yang sama.

Jika melihat situasi itu, tentunya tidak menutup kemungkinan, Vietnam memang sengaja mengeluarkan hambatan nontarif.

Pemerintah Indonesia sangat keberatan dengan regulasi baru dari Vietnam tersebut. Rencananya, pemerintah akan melakukan pendekatan persuasif, dan melobi otoritas di Vietnam.

Pemerintah juga membentuk tim delegasi yang terdiri dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Luar Negeri, dan Gaikindo. Tim delegasi akan bertolak ke Vietnam pada 26 Februari 2018.

“Kami harap negosiasi oleh tim delegasi dapat membuka hambatan akses pasar ekspor mobil penumpang utuh Indonesia ke Vietnam,” kata Direktur Pengamanan Perdagangan Ditjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Pradnyawati kepada Tirto.

Vietnam menjadi pasar ekspor otomotif yang menjanjikan bagi Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ekspor mobil penumpang asal Indonesia ke Vietnam pada Januari–November 2017 tercatat US$241,2 juta.

Nilai itu meningkat 1.256,5 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya senilai US$18 juta. Adapun, Indonesia menempati peringkat ke-3 negara pengekspor mobil penumpang ke Vietnam, setelah Thailand, dan China dengan pangsa pasar 13 persen di Vietnam.

Di sisi lain, Vietnam punya ambisi yang cukup besar, sebagai negara yang dibanjiri mobil impor dari Jepang, Eropa, dan Amerika.

Di Vietnam, berdasarkan catatan Vietnam Automobile Manufacturers’ Association, Toyota menguasai pangsa pasar 23 persen disusul oleh Ford 12 persen.

Namun, Vietnam berusaha mengembangkan industri mobil. Dalam laporan Bloomberg yang berjudul, Vietnam Wants to Make Its Own Cars, sebuah perusahaan lokal Vietnam Vingroup JSC berinvestasi US$3,5 miliar untuk membangun pabrik dan pusat penelitian-pengembangan mobil sedan, SUV, dan mobil listrik.

“Kami ingin membuat sebuah mobil yang terjangkau dan berkualitas tinggi bagi orang-orang Vietnam,” kata Vingroup Vice Chairwoman, Le Thi Thu Thuy.

Namun, ini bukan pekerjaan mudah, tentu perlu campur tangan pemerintah Vietnam, jalan proteksi jadi keniscayaan bagi Vietnam.

Pada April tahun lalu, sebelum aturan proteksi ekspor impor mobil diberlakukan Vietnam, Deputi Menteri Perdagangan dan Industri Vietnam Do Thang Hai menyiapkan proposal terkait upaya mendorong industri mobil di dalam negeri dan melindungi konsumen.

Kebijakan ini muncul karena Vietnam masih tertinggal dalam hal kandungan lokal dan biaya produksi mobil yang masih tinggi.

Pemerintah Vietnam, melalui Perdana Menteri Nguyen Xuan Phuc mendorong investor seperti Mitsubishi ekspansi membangun kendaraan ramah lingkungan seperti mobil listrik di negaranya.

Sinyal itu, nampak saat  Nguyen Xuan Phuc menerima kunjungan Osamu Masuko, Chief Executive Officer (CEO) Mitsubishi Motors Corp, di Hanoi Juli 2017 lalu.

Selain itu, perlu yang catatan di balik sikap Vietnam yang protektif soal ekspor mobil, mulai Januari 2018, tarif impor atau bea masuk mobil utuh (CBU) di negara-negara ASEAN turun dari 40 persen menjadi 30 persen.

Ini tentu membuat khawatir Vietnam, yang sedang gencar membangun industri mobilnya.

Mengapa Vietnam Ngotot Menghambat Ekspor Mobil Indonesia?


Perdagangan bebas di kawasan ASEAN berjalan cukup baik. Hambatan dari sisi tarif bisa dianggap hampir tidak ada. Hanya saja, kendala yang masih terjadi saat ini adalah dari sisi hambatan nontarif.

“Perdagangan bebas itu tidak berarti bebas juga. Setiap negara pasti punya hambatan nontarif demi melindungi kepentingannya,” katanya Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti kepada Tirto.

Demi melindungi kepentingan yang dimaksud itu juga harus memiliki alasan yang kuat. Misalnya, untuk keamanan nasional; untuk keselamatan atau kesehatan makhluk hidup; melestarikan objek-objek arkeologi dan lain sebagainya.

Mengenai kebijakan atau hambatan nontarif, IGJ menilai Indonesia merupakan negara yang tergolong longgar dalam melindungi kepentingan negaranya. Jumlah hambatan nontarif dari Indonesia kalah banyak ketimbang Malaysia dan Thailand.

Berdasarkan data Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) yang dirilis pada 30 November 2017, disebutkan jumlah hambatan nontarif Indonesia tercatat 272 poin. Sedangkan Malaysia dan Thailand masing-masing 313 poin dan 990 poin.

Di luar konteks ASEAN, produk ekspor Indonesia yang ditolak juga bukan kali ini terjadi. Produk ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) ke Eropa ditolak oleh Parlemen Uni Eropa karena isu lingkungan.

Indonesia juga pernah ‘menghambat’ produk impor yang datang dari luar negeri, yakni produk hortikultura, hewan dan produk hewan. Akibat hambatan nontarif tersebut, Indonesia digugat AS dan Selandia Baru.

Hambatan nontarif di setiap negara memang sulit untuk dihindari, terutama bagi negara yang ingin menjaga pasar domestik.

Kasus hambatan non tarif ekspor mobil ke Vietnam menjadi catatan bagi kedua negara, dan komitmen soal perdagangan bebas di ASEAN bahwa proteksi yang kuat itu masih ada, karena semuanya berpangkal soal kepentingan masing-masing negara.

Vietnam punya kepentingan dengan nasib industri mobilnya. (tirto.id/ac)

17 Permendag geser pengawasan lartas ke post border

Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) menggeser pengawasan terhadap barang impor, khususnya bahan baku industri yang masuk dalam kategori larangan terbatas (lartas). Kebijakan tersebut mulai berlaku pada 1 Februari 2018.

JAKARTA (alfijak); Sebelumnya, pengawasan barang-barang impor dilakukan di dalam wilayah kepabeanan (Border) Indonesia, seperti pelabuhan, bandara, dan lain-lain.

Namun, untuk sejumlah barang tertentu, pemerintah mengubah mekanisme pengawasan menjadi di luar wilayah kepabeanan (Post Border).

“Penerapan kebijakan ini sejalan dengan usaha pemerintah untuk memperbaiki peringkat kemudahan berusaha (Easy of Doing Business/EODB) dan sesuai dengan amanat Paket Kebijakan Ekonomi ke-15,” ujar DirekturJenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Oke Nurwan di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (25/1/2018).

Dia menjelaskan, Kemendag telah menerbitkan 17 Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) pergeseran larangan terbatas (lartas) dari Border ke Post Border antara lain untuk komoditas besi atau baja, baja paduan, dan produk turunannya, jagung, produk kehutanan, mutiara, ban, mesin multifungsi berwarna, mesin fotokopi berwarna, dan printer berwarna.

Kemudian bahan baku plastik, pelumas, kaca lembaran, keramik, produk tertentu, intan kasar, produk hortikultura, hewan dan produk hewan, alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya asal impor, barang modal tidak baru, dan barang berbasis sistem pendingin.

“Dari proses pergeseran pengawasan tersebut, terjadi pergeseran lartas dari 3.451 pos tariff (HS) yang semula diatur di Border, menjadi hanya 809 pos tariff (HS) yang pengawasannya masih dilakukan di Border atau presentase pergeserannya ke Post Border sebesar 76,5 persen,” kata dia. (liputan6.com/ac)