Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, tingginya impor pada Juli lalu dikarenakan sektor infrastruktur dan manufaktur semakin bergantung pada produksi luar negeri. Di antaranya komponen seperti baja dan besi yang merupakan komoditas utama untuk pembangunan.
JAKARTA (alfijak): Menurut Faisal, ketergantungan dua sektor ini sudah tinggi sejak tahun lalu. Hanya saja, kata dia, pada tahun lalu ekspor tumbuh lebih cepat.
Sementara itu, pada tahun ini, pertumbuhan impor lebih cepat di saat manufaktur terus melambat.
“Ketergantungan impor dari tahun ke tahun memang tinggi. Tapi tahun ini pertumbuhan impornya lebih tinggi dibandingkan ekspor,” tuturnya ketika dihubungi Republika, Jumat (17/8).
Selain itu, perusahaan industri manufaktur besar di dalam negeri merupakan hasil investasi asing. Kondisi ini kerap kali diikuti dengan kebutuhan akan bahan baku yang tidak diserap dari produksi dalan negeri, melainkan negara lain.
Faisal menjelaskan, industri manufaktur otomotif di Indonesia dikuasai 90 persen oleh Jepang. Begitu juga ketika Cina membangun industri manufaktur di Indonesia, bahan baku didatangkan dari sana.
“Kesalahannya, investasi yang masuk itu tidak sering diarahkan untuk menyerap produksi dalam negeri. Alasannya banyak, misal tidak sesuai spesifikasi produksi kita dengan standar internasional,” ujar Faisal.
Padahal, menurut Faisal, permasalahan tersebut dapat diarahkan dengan kebijakan-kebijakan. Misal, investasi yang masuk harus diarahkan secara berangsur-angsur untuk melatih sumber daya manusia (SDM) setempat.
Tujuannya, agar sumber daya alam lokal dapat dimanfaatkan untuk diolah dan dijadikan sebagai input.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis bahwa nilai impor pada Juli lebih besar dibanding Juni hingga 62,17 persen, yakni dari 11,26 miliar dolar AS menjadi 18,27 miliar dolar AS. Apabila dibanding Juli tahun lalu juga terjadi peningkatan 31,56 persen dari 13,88 miliar dolar AS.
Menurut golongan penggunaan barang ekonomi, diketahui bahwa selama Juli 2018, golongan bahan baku/penolong memberikan peranan terbesar yaitu 74,84 persen dengan nilai 13,67 dolar AS.
Ini diikuti oleh impor barang modal 15,75 persen (2,8 miliar dolar AS) dan barang konsumsi 9,41 persen (1,7 miliar dolar AS).
Hak keberatan impor
Pemerintah Indonesia telah mengirim perwakilannya ke Jenewa untuk mengikuti sidang World Trade Organization (WTO) yang membahas tuntutan retaliasi Amerika Serikat (AS).
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan RI, Oke Nurwan mengatakan utusan Indonesia itu merupakan Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI).
Mereka ditugaskan untuk menyampaikan keberatan dari Pemerintah Indonesia atas tuntutan retaliasi AS.
“Prinsipnya, Indonesia sudah menyampaikan keberatan atas retaliasi dan besaran 350 juta dolar AS kepada Amerika melalui DSB (Dispute Settlement Body) Chair dari WTO,” ujar Oke, Kamis (16/8).
Anggota Komisi IV DPR RI, Ono Surono menilai peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah itu sebenarnya sudah tepat karena untuk melindungi produksi di dalam negeri dengan membatasi keberadaan barang impor.
“Negara mana pun bisa mengatakan tidak impor. Pemerintah Indonesia berhak keberatan impor agar produk asing enggak mudah masuk, produk impor dapat masuk dengan catatan […], dan untuk menstabilkan harga di dalam negeri yang kurang produksi,” ujar Ono.
Apalagi, menurut dia, Indonesia memiliki sumber daya pertanian dan peternakan besar yang masih dapat terus dikembangkan.
“Kalau produk impor berlebih, [bisa] mempengaruhi pendapatan pertanian, akan merusak tata niaga produk lokal,” ujar Ono.
Retaliasi menuntut Indonesia membayar 350 juta dolar AS, atau sekitar Rp5 triliun, sebagai ganti atas kerugian industri AS akibat peraturan impor holtikultura, hewan dan produk hewani.
Peraturan impor itu semula diterbitkan pemerintah RI pada 2012. AS dan Selandia Baru kemudian menilainya sebagai kebijakan pembatasan dan pelarangan impor sehingga membawa masalah ini ke WTO.
Pada Februari 2017, WTO mengabulkan gugatan AS dan Selandia Baru sehingga Indonesia harus mencabut peraturan impor itu. RI sudah berupaya melaksanakan putusan WTO, tapi AS menilai sebaliknya.
Pada Agustus 2018, pemerintahan Donald Trump resmi menuntut Indonesia membayar ganti rugi Rp5 triliun.
Meski sudah menyampaikan keberatan, persoalan belum selesai.
Menurut Oke, Indonesia masih harus menunggu hasil penilaian WTO terlebih dahulu terhadap keabsahan keberatan tersebut, tanpa diketahui pasti tenggat waktunya. (republika.co.id/gesuri.id/ac)