Importir hindari overbrengen karena lebih mahal?

Kebijakan pergeseran pemeriksaan barang impor yang masuk kategori larangan terbatas dari border ke post border diharapkan mampu menurunkan waktu bongkar muat (dwelling time). Dengan demikian, pada akhirnya kebijakan ini juga akan menghemat biaya logistik yang dikeluarkan importir.

JAKARTA (alfijak); Direktur Teknis Kepabeanan dan Cukai Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) R Fadjar Donny mencontohkan, mengatakan sebelum dilakukan pergeseran, importir banyak menimbun barang di pelabuhan menunggu proses pemeriksaan.

Otomatis, importir akan mengeluarkan biaya yang cukup besar, terutama biaya yang terkait dengan sewa gedung dan penumpukan.

“Nantinya dengan pola pergeseran ini pasti akan ada biaya yang dihemat, minimal terkait dengan sewa gedung dan biaya penumpukan itu,” kata Fadjar, Selasa (30/1).

Ia mencontohkan, di Pelabuhan Tanjung Priok misalnya, tahap pertama tidak dikenakan biaya.

Namun, tahap kedua dikenakan tarif 300% dan tahap ketiga dikenakan tarif 600%.

Dengan menerapkan tarif progresif ini saja, dwelling time masih sulit ditekan.

Padahal, “Tarif progresif sebenarnya ditujukan agar mendorong importir untuk menyelesaikan kewajiban kepabeanan terkait dengan fiskal dan lartasnya (persyaratan impor),” tambahnya.

Sayangnya, Fadjar enggan memproyeksi seberapa besar efisiensi biaya yang bisa dilakukan dari kebijakan pergeseran pemeriksaan tersebut.

Yang jelas lanjut Fadjar, penurunannya signifikan.

Direktur Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai Kemenkeu Heru Pambudi sebelumnya mengatakan bahwa dwelling time rata-rata saat ini masih sekitar tiga hari.

Pemerintah menargetkan, dengan kebijakan ini dwelling time hingga akhir 2018 bisa ditekan hingga dua hari.

Bukan cerminan?

Direktur Operasional & Komersial Pelindo III Muhammad Iqbal mengatakan kontribusi operator pelabuhan dalam perhitungan dwelling time terbilang minim.

Dia menggambarkan, kontribusi Pelindo III terhadap perhitungan dwelling time hanya 6% terhadap total dwelling time selama 5,4 hari per 25 Januari 2018 lalu.

“Dwelling time ini istilah untuk melihat berapa lama kontainer menginap di pelabuhan dan mengukur kapasitas pelabuhan, bukan tolok ukur biaya logistik menjadi lebih murah,” jelasnya saat berkunjung ke redaksi Bisnis Indonesia, Selasa (30/1/2018).

Penghitungan dwelling time selama ini diukur berdasarkan indikator pre clearance, custom clearance, dan post clearance.

Ketiga proses ini melibatkan koordinasi banyak instansi baik kementerian dan lembaga dari sisi pemerintah dan pihak swasta sebagai pemilik barang.

Sebagai gambaran, di Terminal Peti Kemas Semarang, proses stevodering atau proses bongkar barang dari kapal ke dermaga hanya berlangsung 0,01 hari.

Sementara itu, kontainer harus menginap 9,09 hari karena harus dilakukan proses pemeriksaan barang dan dokumen barang. Walhasil, total rata-rata dwelling time di Pelabuhan Tanjung Emas per 29 Januari 2018 mencapai 6,98 hari.

Adapun, total rata-rata dwelling time di tiga terminal yang dikelola Pelindo III mencapai 5,33 hari.

Iqbal mengungkapkan, pemilik barang berpotensi menambah ongkos logistik bila kontainer miliknya lekas dikeluarkan dari area pelabuhan.

Biaya tersebut berasal dari biaya angkut, biaya penanganan kontainer (lift on lift off), hingga biaya penyimpanan.

Tarif di luar pelabuhan untuk biaya-biaya tersebut menurut Iqbal lebih mahal dibandingkan di dalam area pelabuhan sehingga justru membebani pemilik barang.

Senada, PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) atau Indonesia Port Corporation (IPC) juga menilai kontribusi operator terhadap perhitungan dwelling time terbilang minim.

Prasetyadi, Direktur Operasi & Sistem Informasi IPC mengatakan rata-rata dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok mencapai 4,76 hari pada 29 Januari 2018.

“Meski volume kami sangat besar, kami menangani lebih efisien,” ujarnya kepada Bisnis.com.

Berdasarkan data INSW, Per 29 Januari 2018, lima terminal petikemas yang dikelola IPC menangani 63,47% total peti kemas impor sedangkan 28,47% ditangani Pelindo III.

Sementara itu, Pelindo I dan Pelindo IV masing-masing menangnai 7,84% dan 0,22% kontainer impor.

Prasetyadi menerangkan angka dwelling time bisa bertambah karena pemilik barang atau impor tidak mengeluarkan kontainer mereka kendati sudah mengantongi surat perintah pengeluaran barang atai SPPB.

Secara umum, hal itu dilakukan importir untuk menghindari penambahan biaya karena tarif penanganan dan penyimpanan kontainer di luar pelabuhan lebih mahal.

Menurut Prasetyadi, operator pelabuhan tidak mempermasalahkan penumpukan peti kemas oleh importir sepanjang rasio penggunaan lapangan atau yard occupancy ratio (YOR) tidak melampaui rasio 65% sebagaimana diatur oleh Kementerian Perhubungan.

Saat ini, IPC mencatat YOR di kisaran 40% sehingga kapasitas lapangan penumpukan masih cukup renggang. (kontan.co.id/bisnis.com/ac)

Dwelling time Priok melonjak, pengawasan longgar

Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok sedang mendalami dan memverifikasi penyebab naiknya angka dwelling time di pelabuhan tersebut.

JAKARTA (alfijak): Dwelling time merupakan masa inap barang/peti kemas impor yang dihitung berdasarkan tiga indikator yakni pre-clearance,custom clearance, dan post clearance.

Kepala KPU Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok Dwi Teguh Wibowo mengatakan penyebab naiknya rata-rata dwelling time harus dilihat secara detial dan konprehensif melalui tiga indikator tersebut.

Di Pelabuhan Priok, ungkapnya, karekteristik importasi didominasi jalur hijau/prioritas atau MITA (mitra utama) sebanyak 80% dan sisanya jalur kuning 7% dan jalur merah kurang dari 10%.

“Melihat dwelling time itu mesti konprehensif dalam mencari solusinya, jangan sampai ada percepatan waktu namun tidak seiring dengan penurunan cost logistik,” ujarnya kepada Bisnis.com pada Senin (29/1/2018).

Menurut dia, dari kegiatan jalur importasi yang 80% itu masih perlu dianalisa apakah berkontribusi pada penaikan dweling time.

“Jangan sampai kita terjebak, masak sih yang 80% itu tadi tidak memperhitungkan cost logistik sementara importasinya sudah bisa clearance dokumen saat submit,” paparnya.

Sedangkan untuk pemeriksaan fisik peti kemas jalur merah, Bea dan Cukai sudah menyiapkan lebih banyak SDM pemeriksa, bahkan bisa dilakukan pemeriksaan malam hari.

Dwi Teguh mengungkapkan pada Senin siang (29/1/2018) KPU Bea Cukai Tanjung Priok juga menerima kunjungan dari Komisi XI DPRRI dan Staf Khusus Kepresidenan serta Ditjen Bea dan Cukai, untuk mengetahui kondisi dwelling time di Priok.

Kepala Kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok Arif Toha Tjahjagama mengatakan instansinya akan berkordinasi dengan KPU Bea dan Cukai Tanjung Priok dalam upaya menekan angka dwelling time di pelabuhan.

“Kita koordinasi dengan Bea Cukai terhadap hal ini.”

Longgar

Longgarnya pengawasan dari instansi terkait ditengarai menjadi penyebab melambungnya rerata masa inap barang dan peti kemas atau dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok yang lebih dari 4 hari.

Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Gemilang Tarigan mengatakan instansi yang terkait dengan kegiatan ekspor impor termasuk kementerian dan lembaga (K/L) di pelabuhan mesti terus memantau pergerakan dwelling time tersebut.

“Jangan menunggu Presiden Joko Widodo kembali turun mengurusi dwelling time seperti yang terjadi beberapa tahun lalu. Otoritas pelabuhan dan K/L terkait mestinya konsisten mengawal dwelling time itu,” ujarnya kepada Bisnis pada Senin (29/1/2018).

Menurut Tarigan, saat ini angka dwelling time di setiap pelabuhan bisa diakses secara terbuka oleh masyarakat melaui dashboard online INSW (Indonesia National Single Window], dan seharusnya menjadi perhatian kementerian dan instansi yang berwenang.

Data online dashboard dwelling time INSW, per 29 Januari 2018, menyebutkan masa inap barang dan kontener di Pelabuhan Priok atau dwelling time rata-rata masih 4,75 hari.

Perinciannya, rata-rata dwelling time di Jakarta International Container Terminal (JICT) 4,7 hari, TPK Koja 4,5 hari, New Priok Container Terminal-One (NPCT-1) 4,1 hari, Terminal Mustika Alam Lestari (MAL) 4,2 hari, dan Terminal 3 Priok 4,7 hari.

Wisnu Waskita, praktisi forwarder dan logistik di Pelabuhan Priok yang juga Komisaris PT Tata Waskita, menilai belum optimalnya fasilitas Container Freight Station (CFS) centre menjadi salah satu penyebab dwelling time untuk impor di Priok naik.

“Padahal fasilitas lapangan CFS centre yang juga bisa menjadi buffer area impor sudah tersedia di Priok dan sistem IT serta single billing-nya sudah didiimplemantasikan.inikan semestinya dioptimalkan oleh semua pelau impor di pelabuhan,” ujarnya.

Wisnu mengatakan fasilitas CFS Centre di Priok merupakan komitmen PT Pelabuhan Indonesia II/IPC dalam meningkatkan performance layanan dan tata kelola pelabuhan yang lebih modern agar biaya logistik semakin efisien.

“Maka itu, kami rasa aneh jika masih ada pihak-pihak yang menolak kehadiran fasilitas CFS Centre di Priok. Padahal dengan fasilitas itu, semua kargo impor LCL bisa terdeteksi dengan baik dan tentunya biayanya juga akan efisien,” paparnya.

Sejak akhir 2017, Pelindo II mengoperasian fasilitas CFS Centre di Priok yang berlokasi  di lapangan eks-gudang Masaji Kargo Tama (MKT) dan Gudang Agung Raya yang saat ini bersebelahan dengan akses masuk utama pos 9 Pelabuhan Tanjung Priok.

CFS Centre di Priok itu kini dioperasikan oleh dua perusahaan penyedia logistik yakni PT Multi Terminal Indonesia (IPC Logistic Services) yang juga merupakan anak usaha PT Pelindo II dan PT Agung Raya Warehouse.

Wisnu mengutarakan dengan pemusatan konsolidasi kargo impor less than container load (LCL) diharapkan layanan tidak semrawut dan pengeluaran/delivery barang lebih cepat sehingga dwelling time bisa lebih dikontrol.

“Selama ini layanan LCL kargo impor itu tersebar di banyak lokasi. Ini menyulitkan dari sisi pengawasan sehingga dwelling time-nya juga tidak bisa dikontrol. Sebagai pelaku usaha kami mendukung adanya penataan di pelabuhan terkait dengan layanan kargo impor LCL dipusatkan ke CFS Centre di Priok,” ujarnya.

Edukasi importir

Pemerintah perlu lebih gencar melakukan sosialisasi dan edukasi kepada pebisnis yang berkicimpung dalam kegiatan importasi di pelabuhan untuk menekan angka dwelling time guna mengefisiensikan biaya logistik nasional.

Sekjen Indonesia Maritime, Transportation, & Logistic Watch (Imlow) Achmad Ridwan Tento mengharapkan upaya itu dilakukan terus menerus supaya terjalin sinergi program pemerintah terkait dengan penurunan dwelling time dengan kepentingan pelaku usaha.

“Untuk mencapai angka dwelling time ideal di pelabuhan itu mesti dilihat komprehensif dari sisi pemerintah selaku regulator dan pelaku bisnis. Harus disinergikan,” ujarnya.

Ridwan menyampaikan hal tersebut sehubungan dengan naiknya rata-rata angka dwelling time di sejumlah terminal peti kemas ekspor impor yang dikelola PT Pelindo II/IPC dan PT Pelindo III.

Berdasarkan data dashboard dwelling time INSW (Indonesia National Single Window) per 25 Januari 2018, rerata dwelling time di Pelindo III mencapai 5,45 hari dengan perincian di Terminal Peti Kemas Semarang 7,05 hari dengan jumlah kontener menumpuk sebanyak 11.898 boks, TPS Surabaya 4,86 hari (28.230 boks) dan Terminal Teluk Lamong 5,08 hari (6.523 boks).

Sedangkan rerata dwelling time di Pelindo II, mencapai 4,9 hari dengan perincian di Jakarta International Container Terminal (JICT) 5,3 hari dan jumlah kontainer menumpuk sebanyak 42.744 boks, terminal peti kemas Koja 4,8 hari (23.797 boks), New Priok Container Terminal-One (NPCT-1) 4,1 hari (22.488 boks) dan untuk Terminal 3 Priok 5,3 hari (74.814 boks).

Ridwan yang menjabat Ketua Bidang Kemaritiman Asosiasi Profesor Doktor Hukum Indonesia (APDHI) itu menjelaskan merujuk pada Bank Dunia, dwelling time dihitung berdasarkan indikator pre-clearance, custom clearance, dan post-clearance.

Selama ini, menurut dia, operator pelabuhan (PT Pelindo) sudah berupaya memperbaiki kinerja operasionalnya agar masa inap barang dan peti kemas atau dwelling time di sejumlah terminal peti kemas yang dikelola BUMN itu terus membaik sesuai dengan harapan Presiden Joko Widodo agar dwelling time rata-rata hanya 3 hari.

“Melihat persoalan dwelling time yang saat ini kembali naik, kita harus fair kelambatannya di mana apakah ada di kinerja kementerian dan lembaga (K/L) atau pada perilaku importir yang tidak mau berubah. Ini yang perlu perlu sama-sama diselidiki dan semua pihak duduk bersama,” paparnya.

Menurutnya, pemerintah sudah berupaya memperbaiki kinerja importasi dengan menerbitkan sejumlah regulasi termasuk menyiapkan suprastruktur atau sistem seperti INSW dan akan memberlakukan delivery order atau D/O online.

Namun, kata Ridwan, dari sisi pemberdayaan pelaku usahanya (importir) masih dirasa belum maksimal, padahal kegiatan importasi disejumlah pelabuhan utama seperti di Tanjung Priok Jakarta didominasi perusahaan besar manufaktur yang mengantongi jalur prioritas/MITA (mitra utama).

“Kalau jalur prioritas, itu memperoleh pelayanan berbeda, lantaran bisa pre-notification karena barang masih di kapal sudah bisa clearance dokumen kepabeanan, sehingga bisa langsung dikeluarkan dari pelabuhan,” tuturnya.

Ridwan mendesak untuk memberikan kepastian bisnis dalam rangka efisiensi kegiatan logistik, diperlukan pengaturan pengadaan barang dan jasa aktivitas logistik yang diselenggarakan perusahaan swasta.

“Selama ini tidak ada aturan tender terbuka aktivitas logistik swasta, sehingga tidak tercipta kompetisi dan keterbukaan bisnis yang sehat,” ujarnya. (bisnis.com/ac)

Yukki: tarif jasa labuh RI termahal ASEAN

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Logistik dan Forwarders Indonesia (DPP ALFI), Yukki Nugrahawan Hanafi mengungkapkan, tarif jasa labuh di Indonesia merupakan yang termahal di Asia Tenggara. Melalui pemangkasan tarif, kemungkinan besar produk Tanah Air akan lebih kompetitif.

JAKARTA  (alfijak); “Hal ini tentu akan menaikkan daya saing ke pelabuhanan kita. Jadi kalau kita ingin bersaing di tingkat regional hal ini harus dilakukan, di mana dan kita ketahui bersama dari data yang ada memang kita lebih tinggi dibanding pelabuhan lain di Asean,” kata Yukki di Jakarta, Kamis (25/1/2018).

Lebih lanjut Yukki menjelaskan, ada dua tarif pelabuhan, yaitu laut dan darat. Dari sisi laut tentu hubungannya dengan kapal. Sedangkan dari sisi darat, berhubungan erat dengan pelaku logistik.

 Yukki yang juga menjabat Ketua Umum AFFA, asosiasi forwarder ASEAN,  juga menjelaskan, rata-rata tarif pelabuhan di Indonesia lebih mahal 25-35 persen ketimbang pelabuhan di ASEAN.

Yukki juga mengingatkan, bahwa kegiatan utama di pelabuhan adalah bongkar muat, bukan sebagai tempat penyimpanan (storage).

Dirinya berharap, agar rencana ini segera direalisasikan karena berdampak signifikan pada biaya logistik nasional. Pekerjaan rumah selanjutnya bagi operator pelabuhan adalah meningkatkan level pelayanannya.

 Yukki juga mendukung Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 120 Tahun 2017 tentang Pelayanan Pengiriman Pesanan Secara Elektronik atau Delivery Order Online (DO Online) Barang Impor di Pelabuhan.

Menurutnya aturan ini mempercepat distribusi logistik.

Yukki: sinergi BUMN & swasta perlu kejar Konektivitas ASEAN 2025

“Kita sudah harus masuk dalam satu kesatuan sistem (one dashboard). Kecepatan proses, data visibility, dan integritas data yang accountable,” harapnya.

Seperti yang diketahui, Kementerian Perhubungan berencana memangkas tarif jasa labuh sebesar 40%. Pemangkasan tarif ini merupakan bagian dari upaya untuk mengurangi biaya logistik.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan selain tarif jasa labuh, beberapa jenis tarif yang menjadi komponen penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga bakal dipangkas.

“Range penurunannya cukup banyak, mungkin bisa 40%,” ujar Budi Karya.

Budi Karya mengakui, pemangkasan tarif bakal menurunkan penerimaan PNBP di kementerian yang dia pimpin.

Oleh karena itu, Kemenhub bakal segera berkonsultasi dengan Kementerian Keuangan terkait dampak kebijakan penurunan tarif tersebut.

Yukki: KA barang masih lebih mahal dari truk

Dia memperkirakan, dalam jangka pendek, penerimaan dari pungutan PNBP bakal berdampak cukup signifikan bila tarif dipangkas.

Untuk diketahui, Kemenhub merupakan salah satu kementerian/lembaga yang menyumbang PNBP terbesar.

Pada 2017, kontribusi PNBP dari Kemenhub mencapai Rp 9,28 triliun atau nomor dua terbesar setelah Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Adapun, dalam rencana anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2018, jumlah PNBP Kemenhub mencapai Rp 7 triliun. (tribunnews.com/ac)

17 Permendag geser pengawasan lartas ke post border

Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) menggeser pengawasan terhadap barang impor, khususnya bahan baku industri yang masuk dalam kategori larangan terbatas (lartas). Kebijakan tersebut mulai berlaku pada 1 Februari 2018.

JAKARTA (alfijak); Sebelumnya, pengawasan barang-barang impor dilakukan di dalam wilayah kepabeanan (Border) Indonesia, seperti pelabuhan, bandara, dan lain-lain.

Namun, untuk sejumlah barang tertentu, pemerintah mengubah mekanisme pengawasan menjadi di luar wilayah kepabeanan (Post Border).

“Penerapan kebijakan ini sejalan dengan usaha pemerintah untuk memperbaiki peringkat kemudahan berusaha (Easy of Doing Business/EODB) dan sesuai dengan amanat Paket Kebijakan Ekonomi ke-15,” ujar DirekturJenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Oke Nurwan di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (25/1/2018).

Dia menjelaskan, Kemendag telah menerbitkan 17 Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) pergeseran larangan terbatas (lartas) dari Border ke Post Border antara lain untuk komoditas besi atau baja, baja paduan, dan produk turunannya, jagung, produk kehutanan, mutiara, ban, mesin multifungsi berwarna, mesin fotokopi berwarna, dan printer berwarna.

Kemudian bahan baku plastik, pelumas, kaca lembaran, keramik, produk tertentu, intan kasar, produk hortikultura, hewan dan produk hewan, alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya asal impor, barang modal tidak baru, dan barang berbasis sistem pendingin.

“Dari proses pergeseran pengawasan tersebut, terjadi pergeseran lartas dari 3.451 pos tariff (HS) yang semula diatur di Border, menjadi hanya 809 pos tariff (HS) yang pengawasannya masih dilakukan di Border atau presentase pergeserannya ke Post Border sebesar 76,5 persen,” kata dia. (liputan6.com/ac)

Depalindo minta Pelindo siapkan buffer area untuk overbrengen

Dewan pemakai jasa angkutan laut Indonesia (Depalindo) mendesak PT. Pelabuhan Indonesia II (IPC) menyiapkan area penyangga atau buffer di kawasan pelabuhan Tanjung Priok untuk menampung kegiatan relokasi peti kemas impor guna menjaga dwelling time dan mengefisiensikan biaya logistik.

JAKARTA (alfijak): Ketua Umum Depalindo Toto Dirgantoro, mengatakan buffer itu yakni fasilitas tempat penumpukan sementara (TPS) penampung over brengen peti kemas impor yang belum mengantongi surat perintah pengeluaran barang (SPBB) atau belum clearance kepabeanan, serta fasilitas lapangan umum untuk peti kemas impor yang sudah clearance pabean namun lebih tiga hari tidak dikeluarkan pemiliknya/longstay.

“Pengelola terminal peti kemas di Priok hendaknya berkordinasi dengan IPC/Pelindo II untuk segera menyiapkan fasilitas TPS over brengen maupun untuk peti kemas impor yang sudah clearance dokumen di Priok. Kalau yard occupancy ratio dari buffer yang disiapkan Pelindo II sudah penuh barulah peti kemas impor direlokasi keluar pelabuhan,” ujarnya kepada Bisnis.com, Kamis (25/1/2018).

Toto yang juga menjabat Komisaris PT. IPC Logistics (MTI), anak usaha Pelindo II itu, mengusulkan tarif layanan penumpukan pada fasilitas buffer yang disiapkan Pelindo II tersebut agar tidak diberlakukan tarif progresif seperti yang berlaku di terminal peti kemas atau lini satu pelabuhan.

Justru sebaliknya, kata dia, jika buffer disiapkan sendiri oleh Pelindo II/IPC, maka harus ada diskon tarif relokas /moving yang selama ini dikenakan Rp900.000/boks menjadi Rp600.000/boks, dan tariff lift on-lift off (Lo-Lo) juga bisa didiskon hingga 10%.

“Upaya ini untuk mendorong agar consigne segera menarik keluar peti kemas impornya maksimum dalam waktu 3 x 24 jam,” paparnya.

Toto mengatakan kegiatan penumpukan peti kemas impor dengan batas waktu maksimal 3 hari diatur melalui Permenhub 25/2017, untuk menghindari terjadinya aktivitas penimbunan barang yang bisa mengganggu dwelling time di pelabuhan itu, seperti yang terjadi pada awal tahun ini.

“Tetapi mesti dipahami angka dwelling time naik 4,9 hari pada awal tahun ini , karena akumulasi adanya dampak hari libur saat natal dan tahun baru dimana truk tidak bisa operasi, disisi lain pabrik-pabrik juga libur sehingga terjadi perlambatan,” ujar dia.

Saat ini, terdapat 12 fasilitas TPS over brengen untuk menampung peti kemas impor yang belum clearance kepabeanan yakni; TPS Indonesia Air & Marine Supply, Transporindo Lima Perkasa, Agung Raya Warehouse, Multi Terminal Indonesia, Dharma Kartika Bhakti,Lautan Tirta Transportama, Berdikari Logistik, Buana,Primanata Jasa Persada, Wira Mitra Prima, Pesaka Loka Kirana, dan TPS Kodja Terramarin.

Sedangkan, kegiatan relokasi peti kemas impor yang sudah clearance kepabeanan dan melewati batas waktu penumpukan atau longstay di pelabuhan Priok, hingga sekarang belum dilaksanakan meskipun telah diamanatkan melalui Peraturan Menteri Perhubungan No:25/2017.

Beleid itu sebagai perubahan atas Permenhub No:116/2016 tentang pemindahan barang yang melewati batas waktu penumpukan atau longstay di pelabuhan utama Belawan Medan Sumut, Tanjung Priok Jakarta, Tanjung Perak Surabaya, dan Pelabuhan Makassar.

Adapun di pelabuhan Priok terdapat lima operator terminal peti kemas yang melayani ekspor impor yakni; Jakarta International Container Terminal (JICT), Terminal Peti Kemas Koja, Terminal 3 Pelabuhan Priok, Terminal Mustika Alam Lestari, dan New Priok Container Terminal-One (NPCT-1).  (bisnis.com/ac)

Consignee sengaja timbun peti kemas, Permenhub 25 tak jalan

Dwelling time (masa inap barang dan peti kemas impor) di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Selama Januari 2018 rata-rata lebih 4,9 hari. Angka itu naik dibandingkan rerata bulanan dwelling time 2017 yang hanya 3,3 hari.

JAKARTA (alfijak): Widijanto, Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta, mengatakan, melonjaknya angka rata-rata dwelling time di pelabuhan Priok dipicu pada awal tahun ini disinyalir banyaknya peti kemas yang sengaja dibiarkan consignee ditimbun atau longstay di lini satu pelabuhan atau terminal peti kemas.

Padahal, kata dia, peti kemas impor longstay dan sudah mengantongi surat perintah pengeluaran barang (SPPB) atau clearance kepabeanan seharusnya ditendang keluar (buffer) sesuai amanat Permenhub No:25/2017.

“Saya nilai Permenhub itu gak dijalankan di Priok, makanya barang longstay dibiarkan menumpuk dan ditimbun didalam pelabuhan,” ujarnya kepada Bisnis hari ini Rabu (24/1/2018).

Relokasi kontener longstay yang sudah mengantongi surat perintah pengeluaran barang (SPPB) dari Bea dan Cukai sudah diatur melalui Peraturan Menteri Perhubungan No:25/2017 sebagai perubahan atas Permenhub No:116/2016 tentang pemindahan barang yang melewati batas waktu penumpukan atau longstay di pelabuhan utama Belawan Medan Sumut, Tanjung Priok Jakarta, Tanjung Perak Surabaya, dan Pelabuhan Makassar.

Dalam beleid itu ditegaskan, peti kemas impor yang melewati batas waktu penumpukan dan sudah mengantongi dokumen  SPPB  atau sudah clearance kepabeanan di empat pelabuhan utama itu hanya boleh menumpuk maksimal tiga hari di kawasan lini satu pelabuhan.

Untuk itu, kata dia, ALFI mendesak agar Menko Kemaritiman segera turun tangan untuk menyelesaikan masalah dwelling time di Priok itu. (bisnis.com/ac)

Pembatasan impor ban gairahkan industri domestik

Pembatasan impor ban oleh pemerintah berdampak positif bagi usaha ban dalam negeri termasuk vulkanisir, terlebih pemerintah juga sedang gencar melakukan pembangunan infrastruktur di berbagai daerah. 

JAKARTA (alfijak); Direktur Industri Kima Hilir Direktorat Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kementerian Perindustrian RI, Taufiek Bawazier mengemukakan, keluarnya permendag No 77 tahun 2016, tentang persyaratan teknis impor, efektif menggairahkan industri ban dalam negeri.

“Selama ini impor ban sangat besar. Pada 2016 saja tercatat sebanyak 24 juta buah. Tahun 2017 kemarin bisa ditekan sampai 40 persennya. Harapannya industri dalam negeri tumbuh, dan ternyata benar tumbuh, termasuk industri vulkanisir juga meningkat,” ujar dia, di sela-sela Rapat Tahunan Asosiasi Perusahaan Ban Vulkanisir Indonesia (Abvindo) di Hotel Grandhika Semarang, Selasa (23/1).

Dengan pembatasan impor tersebut, lanjut dia, diharapkan muncul investasi baru. Ia pun optiminis sepanjang 2018, khususnya untuk jenis vulkanisir akan tumbuh. Hal tersebut dilihat dari pergerakan penjualan karet mentah yang terpantau setiap tahunnya selalu meningkat.

“Ban vulkanisir merupakan industri penyerap karet alam kedua terbesar setelah industri ban, dengan serapan sebesar 89.550 ton pada 2016,” tambahnya.

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Ban Vulkanisir Indonesia (Abvindo), Jessica Kuesar mengungkapkan, industri ban vulkanisir merupakan bisnis yang cukup menarik dan tahan banting.

Ketika ekonomi melambat justru yang dicari adalah ban vulkanisir, sebab kualitasnya tidak kalah bagus dengan ban baru.

“Dengan harga yang lebih ekonomis, makanya pelaku industri logistik akan mencari bahan alternatif, dan itu ada pada ban vulkanisir. Jadi walau industri lagi turun atau pun naik maka bisnis ini akan terus tumbuh,” ujarnya.

Ia mengungkapkan, performance ban vulkanisir rata-rata berada diangka 70 persen dari ban baru. Harganya pun lebih ekonomis, atau sekitar 60-70 persen lebih murah daripada harga ban baru.

Oleh sebab itu, lanjut dia kini asosiasi ini akan melakukan pembinaan kepada anggota terkait rancangan Standard Nasional Indonesia (SNI) yang saat ini masih dalam tahap perumusaan Kementerian Perindustrian. Koordinasi terus dilakukan bersama pihak terkait agar mendorong pertumbuhan industri ini.

“SNI untuk ban vulkanisir belum diwajibkan dan belum jalan. Memang sudah ada standartnya sejak 2013 tapi itu tidak diaplikasikan sehingga kita semua belum ada yang memiliki lisensi SNI karena dari pemerintah belum menjalankan demikian,” ujarnya.

Sejak dibentuk setahun lalu, Abvindo kini memiliki jumlah anggota sebanyak 102 orang.

Melalui rapat tahunan ini juga akan ditunjuk perwakilan masing-masing regional. Tujuannya menjangkau lebih banyak lagi perusahaan vulkanisir yang ada di daerah-daerah. (suaramerdeka.com/ac)

Hubla & JICA garap PEDIE untuk Inaportnet

Pemerintah Jepang melalui Japan Internasional Cooperation Agency atau JICA bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan dalam mengembangkan sistem layanan kapal online Inaportnet.

JAKARTA (alfijak): JICA akan memberikan bantuan teknis selama dua tahun dalam proyek bertajuk Port Electronic Data Interchange Enhancement (PEDIE).

Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi mengatakan Inaportnet merupakan terobosan yang perlu dilakukan oleh pelabuhan di Indonesia agar lebih kompetitif.

“Ini soal mindset, mau door to door tanda tangan satu per satu atau ingin lompat dengan sistem baru yang menyelesaikan semua hal,” jelasnya di Jakarta, Rabu (24/1/2018).

Budi Karya menambahkan Inaportnet akan membuat layanan kapal lebih cepat dan lebih murah dibandingkan dengan sistem konvensional.

Selain itu, Inaportnet juga terhubung dengan sistem Indonesia Nasional Single Window (INSW). Walhasil, arus barang diharapkan bisa berjalan lebih cepat.

Menhub memastikan penerapan Inaportnet secara terpadu akan dimulai pada akhir Februari di Pelabuhan Tanjung Priok.

Seluruh pemangku kepentingan bakal diwajibkan menggunakan sistem ini, mulai dari otoritas pelabuhan, operator pelabuhan, Bea Cukai, dan pihak terkait lainnya. Adapun, saat ini Inaportnet sudah berjalan (go live) di 16 pelabuhan.

Sebagai gambaran, layanan kapal dengan sistem Inaportnet bisa dilakukan hanya 30 menit hingga 60 menit, mencakup seluruh layanan mulai dari kedatangan kapal hingga kapal keluar dari pelabuhan.

Inaportnet bisa melayani tujuh dokumen administrasi, mulai dari Surat Pemberitahuan Kedatangan Kapal (PKK), Surat Persetujuan Kapal Masuk (SPKM), dan Pemberitahuan Rencana Kegiatan Bongkar Muat (PRKBM).

Selain itu, Inaportnet juga bisa memproses dokumen Perencanaan dan Penetapan Penyandaran Kapal (PPPK), Laporan Pemberitahuan Pemasukan/Pengeluaran Barang (LAB), Pemberitahuan Kapal Keluar (LK3), dan Surat Persetujuan Berlayar (SPB).

Inaportnet juga menggabungkan beberapa layanan antara lain Sistem Informasi Lalu Lintas dan Angkutan Laut (SIMLALA),

Sistem Kapal Online, Aplikasi Sertifikasi Pelaut, Sistem Informasi Kepelabuhanan, dan Sistem yang ada pada Badan Usaha Pelabuhan (BUP). (bisnis.com/ac)


Fordeki: relokasi kontainer longstay pangkas 60% biaya logistik

Relokasi kontener impor yang telah melewati batas waktu penumpukan (longstay) dan sudah clearance dokumen kepabeanannya diyakini menghemat 60% biaya logistik yang ditanggung consigne di Pelabuhan Tanjung Priok.

JAKARTA (alfijak): Syamsul Hadi, Ketua Umum Forum Pengusaha Depo Kontener Indonesia (Fordeki), mencoba memamaparkan kalkulasinya.

Jika konteiner impor yang sudah clearance pabean dan lebih dari tiga hari tetap menumpuk di terminal peti kemas pelabuhan Priok di atas 7-10 hari, maka consigne harus menanggung biaya mencapai Rp9.094.100/bok.

“Rinciannya adalah  storage Rp3.916.800, penalty SPPB Rp4.896.000, dan biaya lift-on Rp281.300,” ujarnya kepada Bisnis hari ini Selasa (23/1/2018).

Sementara itu, jika direlokasi ke buffer area, tumpukan kontainer itu tidak terkena biaya penalty SPPB dan hanya dikenakan Rp3.047.200/bok.

Rinciannya adalah storage di pelabuhan Rp770.900,  lift-on  Rp281.300, storage di depo selama tujuh hari Rp595.000, lift on-lift off (Lo-Lo) Rp450.000, dan biaya  moving Rp950.000.

“Dengan simulasi itu, jika kontener impor longstay yang sudah SPPB atau clearance pabean  pada hari keempat langsung direlokasi ke depo buffer maka akan ada penghematan biaya Rp.6.046.900/bok-nya. Atau efisiensi lebih dari 60% dari sebelumnya,” lanjut Syamsudin.

Dia mengatakan, efisiensi  biaya yang diperoleh oleh consigne dalam simulasi itu akan berimbas pada penghematan  biaya produksi/pabrik  yang pada akhirnya menurunkan biaya logistik secara nasional.

Syamsudin menyayangkan hingga saat ini belum ada kontener impor longstay yang di relokasi sebagaimana amanat Permenhub 25/2017 untuk menurunkan dwelling time di pelabuhan Priok itu. (bisnis.com/ac)