BC yakin INSW perbaiki rating RI untuk kemudahan berbisnis

130703_pelabuhan-tanjung-priok-1

 

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan menilai penerapan Indonesia National Single Window memperbaiki peringkat Indonesia dalam Ease on Doing Business 2017.

Direktur Kapabeanan Internasional dan Antar Lembaga Ditjen Bea dan Cukai Robert Leonard Marbun menyatakan menjelaskan Indonesian National Single Window (INSW) merupakan sistem elektronik yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan dan pengawasan kegiatan impor dan ekspor melalui pengintegrasian perizinan.

“Menindaklanjuti amanat paket kebijakan ekonomi dan ditujukan untuk melaksanakan kemudahan berusaha yang menjadi kriteria penilaian EoDB, khususnya terkait dengan dokumen ekspor impor dan kepabeanan, INSW saat ini telah menyediakan data realisasi impor untuk kepentingan post audit, khususnya terkait produk yang wajib Standar Nasional Indonesia,” ungkap Robert melalui siaran pers, Minggu (30/10/2016).

Robert menjelaskan INSW juga telah menjalankan amanat untuk mengintegrasikan sistem Inaportnet, menerapkan Indonesia Single Risk Management, dan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi INSW secara nasional.

INSW yang beroperasi sejak 2007 merupakan tindak lanjut dari deklarasi Bali Concord Tahun 2003. Saat itu para Pemimpin Negara-Negara ASEAN berkomitmen untuk membentuk ASEAN Single Window (ASW).

Kini INSW telah diterapkan secara mandatori pada 21 kantor pelayanan Bea Cukai dan melayani lebih dari 92 persen total transaksi ekspor dan impor nasional.

Sebagai informasi, Bank Dunia merilis peringkat kemudahan berusaha di seluruh negara, Easy of Doing Business (EoDB) di Washington DC, Amerika Serikat, Selasa (25/10/2016).

EoDB 2017 mencatat kenaikan peringkat Indonesia dalam hal kemudahan berusaha di peringkat 91 dunia, di mana posisi ini naik 15 peringkat dibandingkan pencapaian tahun lalu.

Kenaikan peringkat Indonesia tahun ini lantaran Bank Dunia memperhitungkan reformasi kebijakan yang dibuat pemerintah dalam satu tahun terakhir.

Dalam survei itu Bank Dunia pun menilai proses ekspor dan impor di Indonesia semakin mudah. Hal ini seiring dengan perbaikan layanan Bea Cukai serta penyerahan dokumen di bawah kebijakan satu atap dengan diterapkannya INSW.

Untuk menyusun peringkat EoDB, Bank Dunia menggunakan sepuluh indikator yakni kemudahan memulai usaha, kemudahan memperoleh sambungan listrik, pembayaran pajak, pemenuhan kontrak, penyelesaian kepailitan, pencatatan tanah dan bangunan, permasalahan izin pembangunan, kemudahan memperoleh kredit, perlindungan investor, dan perdagangan lintas negara.

Selain melalui layanan satu atap, Bea Cukai juga berperan dalam memperbaiki kualitas indikator Indonesia, yakni dengan bekerja sama dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dalam hal izin investasi tiga jam dan pembangunan Pusat Logistik Berikat (PLB) yang selain berfungsi dalam mengefesienkan biaya impor barang modal juga mempercepat arus logistik.

Sebelumnya, Ketua Umum DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki Nugrahawan Hanafi berpendapat dalam dua tahun terakhir harus diakui ada proses dan keinginan yang kuat dari pemerintah untuk menyederhanakan proses perizinan membuka usaha.

“Masalah perizinan ini sudah menjadi pembicaraan banyak pihak, dan pemerintah sekarang dan sejak awal bekerja sudah mulai melakikan izin yang lebih cepat dan memotong hari proses perizinan terutama yang berkaitan dengan izin yang berkaitan dengan investasi,” jelas Yukki kepada Bisnis, Rabu (26/10/2016).

Menurut Yukki sangat wajar jika Jakarta dan Surabaya mendapatkan apresiasi khusus sebagai dua kota terbaik yang menopang perbaikan peringkat Indonesia dalam survei EoDB 2017.

Dia menilai Jakarta dan Surabaya memang menjadi kota besar di Indonesia dengan pertumbuhan investasi tertinggi dalam dua tahun terakhir.

Dia menilai, peringkat ini tidak berkaitan dengan Logistic Performance Index yang sama-sama dikeluarkan Bank Dunia, dan peringkat kita memburuk.

Sebagai informasi, dalam rilis Logistic Performance Index (LPI) 2016 Indonesia menduduki peringkat 63, turun 10 peringkat dari posisi sebelumnya peringkat 53 pada 2014.

sumber: bisnis.com

 

 

GINSI keluhkan tarif liar importasi LCL di Priok

Sekjen Badan Pengurus Pusat Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (BPP GINSI) Achmad Ridwan Tento mendesak Kementerian Perhubungan turun tangan tangani tarif liar cargo impor berstatus less than container load (LCL) di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta.

Ridwan mendesak formulasi, komponen dan tarif layanan kargo impor harus dievaluasi hingga tercapai kesepakatan tarif baru antar penyedia dan pengguna jasa guna menghilangkan praktik kutipan liar di pelabuhan tersibuk di Indonesia itu.

“Sesuai perintah Presiden Jokowi, pungutan liar (pungli) harus diberangus. Nah ini kesempatan untuk menertibkan praktek kutipan liar yang tidak memiliki dasar hukumnya di Pelabuhan Priok,” ujar Ridwan.

Menurutnya, instansi terkait sulit mengawasi praktik yang masuk kategori pungutan liar (pungli) dalam layanan impor tersebut sebab tidak memilik acuan tariff, kalaupun ada jasa soal layanan impor LCL itu sudah kedaluarsa sejak 2010 namun tarif liar pada layanan kargo impor tersebut masih saja berlangsung sampai sekarang.

Akibat praktek pungli tersebut, kata Ridwan, yang paling dirugikan atas kondisi seperti ini adalah perusahaan importir yang melakukan pemasukan barang melalui pelabuhan Priok dengan status importasi LCL. “Kami pengurus GINSI sudah sering mengeluhkan pungli layanan importasi LCL di Priok itu tapi tidak ada perubahan hingga kini,” tuturnya.

Dikatakannya, seharusnya yang melakukan pengawasan tarif tersebut Otoritas Pelabuhan (OP). Tetapi bagaimana mau ngawasin kalau kesepakatan tarif nya sudah tidak berlaku lagi.

GINSI berharap agar tarifya menjadi single billing dan harus ada kesepakatan antara penyedia dan pengguna jasa di pelabuhan. Penyederhanaan sistem tarif atau melalui single billing layanan kargo impor LCL di Priok bisa diterapkan dengan mekanisme operator gudang langsung menagihkan kepada pemilik barang.

Selama ini dalam praktek pungli tersebut, sistem penagihan layanan LCL impor yakni operator gudang yang nagih ke perusahaan forwarder, kemudian forwarder menagih ke pengguna jasa.

Padahal sesuai dengan kesepakatan asosiasi penyedia dan pengguna jasa Pelabuhan Priok pada tahun 2010, komponen biaya LCL cargo impor yang sudah disepakati untuk forwarder charges a.l CFS charges, DO charges, agency charges, dan administrasi.

Adapun biaya local charges untuk layanan LCL kargo impor hanya diberlakukan komponen tarif a.l delivery, mekanis, cargo shifting, surveyor, penumpukan, administrasi, behandle dan surcharges.

Namun, di luar komponen tersebut masih ada pemilik barang impor yang dikutip komponen biaya tambahan seperti devaning atau pecah pos yang mencapai Rp2,13 juta/cbm, biaya lain-lain Rp2,8 juta/dokumen, serta administrasi delivery order (DO) Rp1,45 juta.

Kian liarnya kutipan biaya penanganan kargo impor berstatus LCL di Pelabuhan Tanjung Priok saat ini, diduga lemahnya pengawasan operator dan instansi terkait akibat tidak adanya fasilitas terpadu dalam penanganan layanan jenis kargo impor tersebut.

Sumber:poskotanews.com

 

tmp_18347-peti-kemas-priok463040400

 

 

New Priok perlu ekspansi pasar & umumkan tarif

Suasana aktivitas bongkar muat peti kemas di Terminal Peti Kemas Kalibaru Pelabuhan Utama Tanjung Priok di Jakarta, Selasa (13/9). Dengan beroperasinya Terminal Peti Kemas 1 Kalibaru tersebut telah menambah kapasitas terminal peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok menjadi sebesar tujuh juta TEUs per tahun dari yang semula hanya berkisar lima juta TEUs. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/aww/16.
Suasana aktivitas bongkar muat peti kemas di Terminal Peti Kemas Kalibaru Pelabuhan Utama Tanjung Priok di Jakarta, Selasa (13/9). Dengan beroperasinya Terminal Peti Kemas 1 Kalibaru tersebut telah menambah kapasitas terminal peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok menjadi sebesar tujuh juta TEUs per tahun dari yang semula hanya berkisar lima juta TEUs. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/aww/16.

Pebisnis mendesak manajemen terminal peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta dapat meningkatkan kualitas pelayanan dan menambah layanan direct call, bukan saling rebutan market pelayaran yang sudah ada.

Wakil Ketua Umum BPP GINSI, Erwin Taufan mengatakan, pengelola terminal peti kemas di Priok perlu memperluas jangkauan layanan pasarnya dengan menambah service baru.

“Sekarang kok yang terjadi justru saling rebutan market pelayaran. Semestinya terminal peti kemas mampu meraih pasar pelayaran baru,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (26-10-2016).

Erwin menyebutkan saat ini tingkat persaingan bisnis terminal peti kemas di Priok semakin ketat menyusul mulai beroperasinya New Priok Container Terminal-One (NPCT-1) yang sudah di resmikan Presiden Joko Widodo pada September lalu.

Sebelumnya,di Pelabuhan Priok sudah beroperasi 4 terminal peti kemas yang layani ekspor impor yakni Jakarta International Container Terminal (JICT), TPK Koja, Terminal Mustika Alam Lestari (MAL) dan Terminal 3 Pelabuhan Priok.

Sekretaris Perusahaan TPK Koja, Arif Nuryono mengatakan, untuk menghindari rebutan market antar terminal peti kemas ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Pelindo II mesti menugaskan NPCT1 harus mencari market baru bukan yamg eksisting.

“Untuk Terminal lain seperti JICT dan Koja juga harus melakukan perbaikan pelayanan dan juga kebijakan kommersial yang dapat memberikan kenyamanan pihak shiipping line,”ujarnya.

General Manager Terminal MAL, Paul Krisnadhi justru mengatakan kehadiran NPCT-1 tidak perlu dikhawatirkan.

“Saat ini kalau ada rebutan market wajar saja sebab volume barang tidak naik bahkan sama seperti tahun lalu. Yang terpenting terminal tetap harus tingkatkan kualitas layanan,”ujarnya.

Pelaku usaha logistik mengharapkan pengelola terminal peti kemas Kalibaru atau New Port Container Terminal One (NPC-1) bisa meraih market baru pelayaran global, bukan merebut market yang selama ini sudah di layani di terminal JICT, TPK Koja, Mustika Alam Lestari (MAL) maupun Terminal 3 Pelabuhan Priok.

Ketua DPW Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta, Widijanto mengatakan pasalnya sampai saat ini belum ada market baru shipping line global yang memanfaatkan terminal peti kemas yang memiliki draft -14 low water spring (LWs) dan sudah di resmikan Presiden Joko Widodo pada pertengahan September 2016.

“Kami prihatin atas kondisi ini, sebab yang terjadi justru saling rebutan pasar yang sudah eksisting di Priok. Mestinya hal ini tidak terjadi jika pengelola NPCT-1 mampu meraih market pelayaran global yang baru,” ujarnya.

Widijanto mengatakan, dengan fasilitas yang canggih dan mumpuni yang saat ini di operasikan oleh terminal Kalibaru, semestinya bisa mewujudkan terminal tersebut sebagai Hub, dan mengalihkan kapal-kapal besar kontener (mother vessel) yang selama ini transhipment di pelabuhan negara tetangga seperti Singapuru dan Malaysia.

Disisi lain, ujar dia, sebagai terminal baru, NPCT-1 juga belum pernah mengumumkan secara resmi tarif pelayanan bongkar muat peti kemas ekspor impor di terminal tersebut.

Sumber: bisnis.com