Rencana Aksi Mogok Kerja yang akan dilakukan oleh Serikat Pekerja PT Jakarta International Container Terminal (SP JICT) pada 3-10 Agustus, menuai kecaman dari banyak pihak.
JAKARTA (alfijakarta): Pasalnya, ancaman mogok yang disuarakan oleh para buruh JICT tersebut lebih didorong oleh keinginan para buruh agar Direksi JICT memberikan kenaikan bonus kerja kepada mereka.
Sementara, pendapatan buruh JICT sendiri merupakan paling besar dibandingkan perusahaan perusahaan pelabuhan lain di Indonesia, bahkan di kawasan Asia.
Menurut dokumen gaji pekerja JICT yang saat ini tengah beredar luas di kalangan media, disebutkan bahwa gaji pekerja JICT selama 4 tahun belakangan ini terus naik rata-rata 20-25 persen setahun, lima kali lipat lebih tinggi daripada inflasi selama periode 2012-2016.
Selanjutnya dokumen tersebut juga menyebutkan secara detail, penghasilan buruh dan karyawan JICT yang dibagi menjadi 4 level, mulai dari level 4 (junior staf) hingga level 9 (senior manager).
Seorang pekerja dengan level senior manager bahkan bisa menikmati penghasilan bersih Rp 1,6 miliar atau lebih dari Rp 133 juta per bulannya.
Sementara untuk level terendah, yaitu junior staff, JICT memberikan penghasilan (gaji, tunjangan dan bonus) hingga Rp 405 juta setahun atau lebih dari Rp 33,74 juta per bulan sebulan.
Seluruh pajak penghasilan pekerja JICT tersebut juga sudah dibayarkan oleh perusahaan. Terkait aksi mogok tersebut, SP JICT meminta direksi agar membayarkan bonus tambahan untuk kinerja 2016.
Padahal pada 10 Mei 2017 lalu, direksi telah membayarkan bonus sebesar Rp 47 miliar kepada pekerja JICT. Penghasilan pekerja pun di tahun 2017 ini naik 4-5 lipat daripada inflasi 2016.
Akibat sikap SP JICT yang terkesan tidak puas dengan penghasilannya tersebut, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sularsi angkat bicara dengan menilai sikap SP JICT tersebut sangat berlebihan.
Menurutnya, ditengah kondisi ekonomi yang sedang melambat saat ini, aksi mogok yang dilakukan pekerja justru akan semakin memperburuk situasi.
Apalagi tuntutan bonus yang disuarakan pekerja sejatinya sudah dibayarkan oleh perusahaan.
Direktur National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi meminta Serikat Pekerja Jakarta International Container Terminal (SP JICT) untuk tidak menyandera terminal Tanjung Priok.
Kekhawatiran ini menyusul rencana aksi mogok SP JICT di terminal tersebut.
“Pelabuhan itu milik publik, bukan miliknya SP JICT. Jangan sandera terminal dengan ancaman mogok terus-menerus,” kata Siswanto.
Siswanto menilai ancaman mogok sudah menjadi senjata SP JICT dalam memaksakan kehendak mereka.
“Mereka telah menyandera terminal peti kemas sebagai alat bargaining. Karenanya, pada derajat tertentu, SP JICT sudah melakukan abuse of power dari hak yang diberikan oleh UU kepada mereka,” kata Siswanto dalam keterangan tertulisnya, Minggu (30/7).
Ditambahkannya, aksi mogok yang akan dilakukan oleh SP JICT kehilangan semua alasan pembenar.
“Semua orang tahu pendapatan pekerja JICT paling tinggi se-Indonesia. Sehingga, keinginan mereka yang meminta perbaikan kesejahteraan melalui bonus terasa menampar harga diri pekerja lain yang masih berkutat memperjuangkan hak normatif mereka. Jadi, tolong, SP JICT berhenti membodohi publik dengan aksi mereka yang selalu dibungkus nasionalisme itu. Jangan sampai publik muak dengan mereka,” katanya.
Dia berharap SP JICT mengurungkan niat menggelar aksi mogok dan fokus bekerja demi kelancaran proses bongkar-muat peti kemas di Tanjung Priok.
“Dengan bekerja benar para pekerja JICT akan dinilai publik sebagai manusia yang bersyukur atas kesejahteraan yang telah dinikmati selama ini, pungkasnya.
Sebelumnya Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) menilai rencana para karyawan Jakarta International Container Terminal mogok kerja pada 3-10 Agustus 2017 dapat mengganggu iklim investasi Indonesia. Hal itu tak sejalan dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan investasi di Tanah Air.
“Mogok di pelabuhan dapat mengganggu iklim investasi di Indonesia. Mogok memang hak pekerja tetapi sebaiknya pelayanan tetap jalan,” ujar Ketua ALFI Yukki Nugrahawan Hanafi di Jakarta, Rabu (26/7).
Menurutnya, apabila pelayanan tetap jalan shippingline dapat tetap masuk dan bongkar muat di JICT. Hal tersebut akan membuat para pelaku industri menjadi lebih tenang dan yakin terhadap kondisi di Indonesia.
Pekerja pelabuhan yang mogok tidak hanya berdampak pada operator semata. Tetapi, juga diperlukan koordinasi dari berbagai shipping line untuk mengalihkan pelayanan selama masa mogok. (kini.co.id/infologistic.id/ac).