Arsip Tag: Sri Mulyani Indrawati

Barang konsumsi & bahan baku dikenai PPh impor 7,5 persen

Rencana pemerintah memperketat impor perlu dilakukan secara hati-hati mengingat belum semua komoditas impor tersedia produk substitusinya di dalam negeri. Pengendalian impor menjadi fokus pemerintah yang dihadapkan pada dilema untuk mengejar pertumbuhan ekonomi di atas 5% dan mencegah defisit neraca transaksi berjalan terus melebar.

JAKARTA (alfijak); Presiden Joko Widodo, dalam rapat terbatas mengenai strategi kebijakan memperkuat cadangan devisa di Kantor Presiden, Selasa (14/8/2018) kembali menagih jajaran tim ekonominya untuk memperkuat neraca pembayaran.

“Memperkuat cadangan devisa merupakan hal yang sangat penting yang harus kita lakukan agar ketahanan ekonomi kita semakin kuat terutama dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global termasuk dampak yang terakhir terjadi perekonomian di Turki,” katanya.

Berdasarkan data Bank Indonesia, defisit transaksi berjalan pada kuartal II/2018 tercatat US$8 miliar atau sebesar 3% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Angka tersebut melebar dibandingkan dengan kuartal II/2017 sebesar 1,96%. Defisit ini juga lebih besar dibandingkan dengan kuartal I/2018 sebesar 2,2% atau sekitar US$5,5 miliar.

Tekanan terhadap rupiah akibat melebarnya defisit kini ditambah oleh sentimen krisis di Turki. Akibatnya, pada perdagangan awal pekan, nilai tukar rupiah tersengat ke level Rp14.600 per dolar AS.

Namun, pada Selasa (14/8), mata uang Garuda terapresiasi ke posisi Rp14.580 per dolar AS, menguat 28 poin atau 0,19% dari penutupan sesi sebelumnya. Secara year-to-date (ytd) rupiah tercatat melemah 7,03% di hadapan dolar AS.

Presiden mengingatkan soal kewajiban penggunaan biodiesel sebagai campuran bahan bakar (B20) sampai dengan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), terutama bagi badan usaha milik negara (BUMN) skala besar yang dituding banyak menggunakan komponen impor.

“Kemudian juga di Kemendag dan Bea dan Cukai, pengendalian impor, saya kira betul-betul kita cermati secara detail dan cepat sehingga impor barang yang memang sangat penting dan sangat tidak penting bisa kita ketahui,” katanya.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal meminta agar pemerintah berhatihati dalam melakukan pembatasan impor.

“Pemerintah jangan gegabah dalam menentukan pembatasan produk impor. Pemerintah harus pastikan tersedianya produk substitusi dari komoditas yang dibatasi impornya. Jangan sampai malah menjadi bumerang,” katanya.

Untuk barang konsumsi, katanya, kepastian adanya produk substitusi akan meredam potensi terjadinya inflasi di dalam negeri, akibat dibatasinya produk yang selama ini dipasok dari impor.

Sementara itu, untuk barang modal dan penolong, ketersediaan komoditsa pengganti akan menjaga industri dalam negeri tidak kolaps.

“Kenaikan biaya produksi [akibat pembatasan impor barang modal] sangat mungkin terjadi. Tetapi, setidaknya dengan adanya produk substitusi industri terkait masih bisa bernafas,” lanjutnya.

Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto menjelaskan upaya mengekang impor dapat menekan pelebaran defisit transaksi berjalan. Namun, ada konsekuensi yang harus diterima yaitu perlambatan pertumbuhan ekonomi.

“Itu pilihan pahit yang harus diambil. Pengurangan impor barang modal dan konsumsi khususnya akan membuat pertumbuhan ekonomi melambat. Pasalnya, ketergantungan konsumsi rumah tangga dan kebutuhan impor barang modal Indonesia cukup tinggi,” jelasnya, kemarin Selasa (14/8/2018).

Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Anton Sihombing mengatakan pembatasan impor harusnya dilakukan lebih hati-hati dan mengundang para pemangku kepentingan.

“Kita ini jangan dikesampingkan, yakni pemangku kepentingan, asosiasi-asosiasi terkait. Kalau bisa kita meninjau permasalahan ini sama-sama, duduk sama-sama, sehingga keputusan dapat diambil dengan valid dan solid,” katanya, Selasa (14/8/2018).

Menurutnya, dengan prinsip ekonomi global, yang saling terhubungnya satu negara dengan lainnya, rencana pengendalian impor tersebut sangat tidak efektif.

Komoditas

Menindaklanjuti instruksi Presiden, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan segera mengenakan pajak penghasilan (PPh) impor 7,5% untuk barang-barang yang berhubungan dengan barang konsumsi maupun bahan baku.

Menurutnya, pemerintah akan mengendalikan barang yang permintaannya melonjak tinggi, tetapi tidak betul-betul strategis dan dibutuhkan dalam perekonomian.

“Ini kita suspect termasuk berbagai macam belanja online yang berasal dari luar negeri yang memang mengkontribusikan impor barang konsumsi yang sangat tinggi. Kita akan melakukan langkah yang cukup drastis dan tegas untuk mengendalikan,” katanya.

Adapun, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto berjanji akan memperkuat ekspor, meningkatkan investasi serta melakukan substitusi bahan baku dan bahan penolong impor yang mencakup 500 komoditas.

Airlangga menyebutkan, untuk meningkatkan substitusi impor, pihaknya akan terus mendorong pemenuhan aturan tingkat komponen dalam negeri (TKDN).

“Kami push terus untuk TKDN. Ini mendorong penyerapan produksi dalam negeri. Regulasi [TKDN] sudah ada tinggal Perpres tim [pengawasa pemenuhan] nya yang kita tunggu [ditetapkan Presiden Joko Widodo],” katanya.

Ada pun, PT Pertamina (Persero) mengkaji kemungkinan menyerap 200.000 barel per hari minyak mentah, yang selama ini diekspor sebagai langkah memangkas defisit neraca perdagangan migas.

Plt Dirut PT Pertamina Nicke Widyawati mengatakan mekanisme ini dapat dilakukan, dengan menjadikan kebutuhan itu sebagai prioritas.

Nicke mengatakan selama ini Pertamina sudah mengikuti tender, dengan mekanisme hak prioritas dalam tender, pihaknya dapat menyerap minyak mentah tersebut. (bisnis.com/ac)

RI kurangi ketergantungan impor bertahap

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan pemerintah berupaya mengurangi ketergantungan impor secara bertahap. Hal ini dilakukan dengan mengindentifikasi kebutuhan industri yang dilakukan oleh Kementerian Perindustrian. Sehingga Kementerian Keuangan bisa melakukan penyesuaian dengan berbagai kebijakan fiskal.

JAKARTA (alfijak): “Apa yang disampaikan adalah profil dan tantangan dari masing-masing industri. Industri makanan minuman, karet, tekstil, industri yang berhubungan dengan barang elektronik. Masing-masing kan memiliki persoalan yang berbeda-beda,” katanya di Kantor Direktorat Jendral Pajak, Jakarta, Rabu (11/7/2018).

Dengan demikian, artinya masing-masing industri juga memerlukan kebutuhan berbeda dari sisi pajak hingga bea dan cukai.

“Ada yang sifatnya masih raw material, mau membuat hilirisasi, maka membutuhkan respons kebijakan yang berbeda, dengan yang selama ini mengimpor bahan baku untuk tujuan ekspornya,” katanya.

 Pihaknya pun berkomitmen akan merumuskan kebijakan fiskal yang bisa mendorong pertumbuhan industri.

Hal ini untuk menekan ketergantungan impor yang selama ini lebih tinggi dari kinerja ekspor.

“Kami bersama Pajak, Bea Cukai, serta Badan Kebijakan Fiskal (BKF) melakukan perumusan terhadap kebutuhan masing-masing industri. Tujuannya tentu saja dalam jangka menengah panjang, kami bisa mengurangi ketergantungan impor dan mendukung kenaikan ekspor,” kata dia.

Selain itu, Bendahara Negara ini mengatakan, pihaknya juga akan bekerja sama dengan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank. Hal ini untuk mendukung pendanaan terhadap para eksportir.

“Termasuk kami menggunakan LPEI untuk turut serta membantu pendanaan, dari sisi jaminan maupun berbagai hal teknis bagi para eksportir,” pungkasnya.

Kredit impor tetap tumbuh

Pelemahan nilai tukar mata rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) rupanya tak mampu membendung minat bank menyalurkan kredit impor.

Di sepanjang tahun ini, bank tetap getol mengucurkan dananya ke segmen kredit bermata uang valuta asing (valas).

Lihat saja data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sampai April 2018, nilai kredit impor perbankan telah mencapai Rp 59,92 triliun.

Angka ini lebih tinggi dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar Rp 51,54 triliun.

Data SPI OJK berbanding lurus dengan penyaluran kredit impor yang dicatat sejumlah bank. Contohnya PT Bank Central Asia Tbk (BCA).

Menurut Jan Hendra, Sekretaris Perusahaan BCA, bisnis memerlukan barang modal dan bahan baku, yang sebagian besar dipasok dari impor.

Sebut saja kebutuhan barang untuk infrastruktur yang sebagian masih impor.

Pada kuartal I-2018, portofolio kredit impor bank yang terafiliasi dengan Grup Djarum ini sebesar Rp 4 triliun.

Catatan kredit impor itu meningkat sebesar 63% secara tahunan alias year on year (yoy).

Sebagian besar dari kredit impor BCA itu disalurkan pada debitur yang bergerak di bisnis bahan bangunan, besi konstruksi, serta bahan kimia dan plastik.

“Sebagian besar kredit impor BCA berasal dari sektor industri tersebut,” kata Jan.

Selain BCA, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) juga mencatat kenaikan kredit impor.

Menurut Mohammad Irfan, Direktur Manajemen Risiko BRI, kredit impor perusahaan tumbuh sekitar 3%-4% dibandingkan Desember 2017. Sayang, Irfan enggan membeberkan nilai kredit impor yang disalurkan BRI.

Dia hanya bilang, kredit impor yang disalurkan bisa dalam bentuk kredit investasi untuk tambahan biaya permodalan seperti pembelian mesin.

Kredit impor juga diberikan dalam bentuk modal kerja, misalnya pembelian bahan baku industri.

Berbeda dengan BCA, lanjut Irfan, kredit impor yang disalurkan BRI justru lebih banyak mengalir ke sektor industri manufaktur, seperti gula, tekstil, dan farmasi.Dampak suku bunga.

Tingkatkan ekspor

Institute for Devolepment Economics & Finance (INDEF) menegur pemerintah untuk mengurangi impor dan meningkatkan ekspor.

Hal itu menjadi salah satu solusi jangka menengah untuk menguatkan atau menstabilkan nilai tukar rupiah.

Ekonom Senior Institute for Devolepment Economics & Finance (INDEF), Faisal Basri mengatakan solusi Bank Indonesia untuk menaikkan suku bunga cukup benar, tetapi itu hanya menjadi solusi jangka pendek.

Adapun solusi yang tepat adalah mengurangi impor dan meningkatkan ekspor.

“Sayangnya Menteri Perdagangan kita gemar memberikan izin impor daripada ekspornya. Seharusnya pemerintah bisa mengevaluasi kinerja atau memecat Mendag ini. Mereka suka dengan keuntungan hitung-hitungan kecil dalam melakukan impor,” terangnya dalam diskusi ekonomi “Stabilitas Kurs Ganggu Pertumbuhan Ekonomi” di Hotel Millenium Sirih, Jakarta Pusat, Rabu, (11/07/2018).

Ia mempertanyakan apabila solusinya adalah meningkatkan ekspor, masih punyakah kapasitas Indonesia untuk meningkatkan ekspor.

Mulai dari hal kecil, mengapa sekelas kebutuhan garam dan sugar gula saja kita sampai harus impor. Padahal kita bisa memproduksinya dan justru menjadi pengekspornya.

“Saya melihat prospek bisnis di Indonesia cukup bagus, tetapi hanya sebatas di dalam negeri. Adapun keuntungannya banyak dibawa ke luar negeri oleh pengusaha asing. Kita akui pemasukan melalui penanaman modal investasi asing Indonesia cukup besar, tetapi kita juga jangan terus bergantung pada hal itu saja,” ungkapnya.

Sehingga hal ini menjadi persoalan bersama dan tak bisa diserahkan kepada Bank Indonesia saja.

Apabila hanya BI yang mengatasi ini maka solusinya akan terus dinaikkannya suku bunga atau menggunakan cadangan defisa. Pastinya hal itu akan banyak berdampak pada neraca perdagangan dan kredit.

“Saya rasa mengikuti jejam Mendag sebelum-sebelumnya untuk mengajak rakyat agar mencintai rupiah juga menjadi solusi. Tetali pemerintah saat ini belum ada upaya ke sana. Melihat banyak harta kekayaan pejabat negara pun justru menggunakan dolar, sama halnya koruptor juga melakukan korupsi dengan bertransaksi dolar,” pungkasnya. (kiblat.net/kontan.co.id/okezone.com)

Jaga nilai tukar rupiah, impor diperketat

Dalam beberapa bulan terakhir, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat mengalami pelemahan hingga tembus diatas Rp14 ribu dolar AS. Pemerintah sudah punya solusi agar rupiah tidak terus melemah.

JAKARTA (alfijak): Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan memilah impor. Pilahan itu di antaranya impor yang penting bagi perekonomian Indonesia.

“Kita mulai meneliti kebutuhan impor, apakah itu betul-betul dibutuhkan oleh perekonomian Indonesia. Dan kita segera selektif meneliti, apakah itu bahan baku atau barang modal, apakah itu strategis dalam menunjang perekonomian,” kata Ani di Jakarta, Selasa (3/7/2018).

Penyeleksian kebutuhan impor dilakukan dengan melihat barang-barang apa saja yang memang diperlukan oleh perekonomian Indonesia. Bisa dalam bentuk bahan baku atau barang modal atau hal-hal yang dinilai strategis untuk menunjang kebutuhan perekonomian dalam negeri.

 Dengan seleksi impor tersebut, kata Sri Mulyani akan menentukan perbaikan defisit transaksi berjalan yang menjadi sumber sentimen negatif.

“Kita juga perlu melakukan langkah-langkah untuk koreksi jangka pendek maupun pembangunan untuk jangka panjangnya. Seperti menunjang ekspor meningkatkan investasi yang bisa meningkatkan devisa dan juga mengurangi ketergantungan impor,” ujarnya.

Importasi tinggi

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyebutkan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap impor menjadi salah satu alasan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Peneliti Indef, Esa Suryaningrum, menyebutkan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap impor bisa memperparah depresiasi nilai tukar rupiah. Selain itu, angka impor yang tinggi juga ikut membayangi inflasi.

“Fenomena terkait dengan inflasi adalah ketergantungan atau dominasi impor. Jadi kita ini memang impor baik bahan konsumsi maupun bahan baku sangat besar,” kata Esa, Selasa (3/7/2018).

Esa mengungkapkan rasio impor terhadap ekspor di Indonesia cukup besar. Pada 2017 rasio mencapai 91,23 persen dan lebih besar lagi di 2018 ini.

Besarnya impor khususnya barang konsumsi tersebut berdampak pula kepada pelemahan rupiah.

“Nah karena rasio impornya terhadap ekspor relatif sangat tinggi karena lebih dari 90 persen, berakibat kepada nilai tukar rupiah terhadap dolar AS,” ujarnya.

Jika hal tersebut dibiarkan akan terasa pada kenaikan harga-harga barang konsumsi, makanan dan minuman, serta Bahan Bakar Minyak (BBM).

“Dampaknya, pasti harga-harga melonjak juga kemudian daya beli akan melemah.” tutrur dia. (suara.com/liputan6.com/ac)

Pemerintah dukung PLB dioptimalkan untuk e-commerce

Pemerintah menilai pemberian fasilitas Pusat Logistik Berikat (PLB) untuk mendongkrak percepatan arus logistik akan dapat mendorong ketersediaan dan kecepatan pengiriman barang di era perdagangan elektronik atau e-commerce saat ini.

JAKARTA (alfijakarta): Deputi Bidang Perniagaan dan Industri, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Edy Putra Irawady, mengatakan bahwa PLB dapat diberdayakan untuk mendukung geliat “e-commerce” di Indonesia.

“Diharapkan pemanfaatan PLB tidak hanya terbatas pada barang produksi tapi juga konsumsi. Saya rasa jika dikelola dengan baik, PLB dapat jadi ujung tombak perbaikan sistem logistik nasional,” ujar Edy melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Kamis (12/10/2017)

Setelah lebih dari satu tahun berjalan, PLB dinilai telah banyak menciptakan efisiensi. Namun, masih dirasa perlu bagi PLB untuk mengekspansi perannya dalam dunia perdagangan digital.

Sementara itu, Ketua Perkumpulan PLB Indonesia, Etty Puspitasari, mengungkapkan bahwa efisiensi dan percepatan proses bisnis sudah banyak dirasakan industri dengan hadirnya PLB, namun masih dirasa perlu untuk penyeragaman kemudahan perizinan antar kementerian dan lembaga.

Menanggapai upaya ekspansi PLB dalam mengantisipasi pertumbuhan “e-commerce”, Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) tengah mengupayakan agar PLB dapat terus memberikan manfaat untuk kemajuan industri dalam negeri.

Tenaga Pengkaji Bidang Pengembangan Kapasitas dan Kinerja Organisasi DJBC, Ambang Priyonggo, menyatakan bahwa saat ini pihaknya tengah mengupayakan agar PLB dapat dimanfaatkan untuk mengakomodir pertumbuhan “e-commerce”.

“Kami akan kaji pemanfaatan fasilitas ini. Nantinya diharapkan dengan pemberian fasilitas PLB, dapat meningkatkan kepercayaan dan kerja sama antara pemerintah dan industri,” kata Ambang.

Ancamanperitel?

Akhir-akhir ini, era disruption atau perubahan bisnis menjadi perbincangan karena dikaitkan dengan isu pelemahan daya beli. Bisnis online atau e-commerce disebut-sebut menjadi ancaman karena menggerogoti pangsa pasar bisnis konvensional.

Ketua Komite Tetap ICT Logistik Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Elisa Lumbantoruan mengaku bahwa cukup banyak pengusaha yang berpendapat e-commerce sebagai ancaman ke depan.

“Ada yang menyebut ancaman. Tapi kita tidak bisa menghindari tren, karena e-commerce adalah tren bisnis ke depan. Kita jangan melawan tren, tapi justru harus beradaptasi dengan perubahan yang ada. Kalau sampai melawan, kita sendiri yang akan kalah,” tegasnya di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Kamis (12/10/2017).

Co Founder dan CFO Bukalapak, M. Fajrin Rasyid tak mau ambil pusing dengan pendapat orang lain mengenai e-commerce.

Alasannya saat ini bisnis disetir oleh konsumen dan tren e-commerce terus mengikuti perkembangan zaman dan permintaan pasar.

“Dulu orang pakai ponsel pintar ya Nokia, BlackBerry, tapi sekarang pakai Android. Kita pun begitu, harus terus menyesuaikan diri dengan konsumen. Kalau tidak, kita bisa tertinggal atau tergantikan pihak lain,” jelasnya.

Dia menerangkan, transaksi e-commerce sekarang ini baru 1 persen-2 persen dari total transaksi ritel di Indonesia.

Jumlah ini masih sangat kecil dibandingkan dengan transaksi ritel secara offline yang menguasai 98 persen.

“Jadi kalaupun transaksinya naik paling 2,5 persen-3 persen. Jadi kalau yang offline turun jadi 97 persen, berarti kan tidak terlalu signifikan. Peralihan dari konvensional ke online memang ada,” papar Fajrin.

Fajrin menargetkan Bukalapak dapat mencetak pertumbuhan penjualan tiga digit di tahun ini. Sayangnya, dia enggan menyebut persentase pertumbuhan maupun nilai transaksi.

“Kita targetkan tiga digit di 2017, atau di atas dua kali lipat dibanding tahun lalu,” tuturnya.

Sementara itu dari Jawa Timur juga dilaporkan bahwa ALFI setempat pakda 18 Oktober akan mengadakan seminar bertajuk “Peran dan Fungsi E-commerce Sebagai Media yang Mampu Menopang  Bisnis Forwarding / Logistik di Indonesia.”

Seminar yang akan digelar di hotel Shangri La, Surabaya tersebut menghadirkan sejumlah nara sumber terkemuka dari dunia logistik di Tanah Air, termasuk Ketua DPP ALFI, Yukki Nugrahawan Hanafi.

Lampaui target

Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan mencatat hingga saat ini telah ada 73 Pusat Logistik Berikat (PLB)  beroperasi saat ini. Angka ini lebih banyak dari yang ditargetkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat peluncuran PLB pertama kali, yakni 50 lokasi.

Walaupun tidak menyebut industri apa saja secara detail yang menaruh barang di puat logistik, namun Heru mengatakan paling tidak industri bisa mengakses fasilitas yang masuk dalam paket kebijakan ekonomi ini hingga Sorong.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai cmengatakan 73 PLB ini tersebar di sejumlah lokasi Tanah Air. Dia tidak menyebutkan secara rinci industri apa saja yang menaruh barangnya di PLB. Paling tidak industri bisa mengakses fasilitas yang disediakan lewat paket kebijakan ekonomi pemerintah.

“Lokasi PLB ini luas dari ujung ke ujung Indonesia ada, hingga ke Sorong (Papua),” katanya saat ditemui di Jakarta, kemarin.

Sejak dibangun pada 10 maret 2016, PLB telah membuat biaya logistik menjadi lebih efisien hingga rata-rata 25%. Salah satunya karena pembayaran pajak bisa dibayar belakangan. Hasilnya, biaya timbun rata-rata di PLB lebih murah dibanding barang yang ditimbun di pelabuhan.

Pada awalnya ada 11 PLB yang dibangun pemerintah, yakni di Balikpapan, Cakung, Denpasar, Karawang dan Cikarang.

Selain PT Cipta Krida, perusahaan lain yang juga mengoperasikan pusat logistik adalah PT Petrosea Tbk., PT Pelabuhan Penajam, PT Kamadjaja Logistics, PT Toyota Manufacturing Indonesia, PT Dunia Express, PT Dahana (Persero), PT Khrisna Cargo, PT Gerbang Teknologi Cikarang, PT Vopak Terminal Merak dan PT Agility International.

Sepanjang tahun lalu Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai mencatat selama setahun berdiri, PLB telah menghasilkan penerimaan negara sebesar Rp 157,5 miliar.

Penerimaan negara itu berasal dari bea masuk senilai Rp 10,28 miliar, Pajak Penghasilan (PPh) impor Rp 27,13 miliar, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor Rp 120,09 miliar.

Meski begitu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menganggap nilai penerimaan tersebut masih sangat kecil.

“Angkanya masih ‘bayi’ menurut saya dan masih perlu dikembangkan untuk menjadi angka yang besar,” katanya.

Sri Mulyani mengungkapkan ada empat pekerjaan rumah (PR) yang harus dilakukan Ditjen Bea dan Cukai beserta Perhimpunan Pusat Logistik Berikat Indonesia (PPLBI). PR ini penting dilakukan agar PLB Indonesia bisa meningkatkan daya saingnya di kawasan Asia Pasifik.

Pertama, menetapkan definisi yang konkret mengenai hub logistik berikat lengkap dengan berbagai kriteria. Antara lain volume, model bisnis, kecepatan pelayanan, dan infrastrukturnya.

Hub logistik yang dapat menjadi acuan seperti Singapura, Hong Kong, atau Shenzhen di Tiongkok.

Kedua, ukuran kemajuan atau perkembangannya setiap tahun. Sri Mulyani menantang Ditjen Bea Cukai dan PPLBI bisa mengkaji data statistik ekspor-impor Indonesia, terutama dengan negara-negara yang menjadi hub logistik berikat.

Ketiga, pembangunan PLB oleh PPLBI saat ini hanya fokus ke wilayah timur Indonesia.

Sri Mulyani mendorong pembangunan PLB juga di wilayah Sumatera sehingga distribusi logistik menjadi lebih merata. Yang paling utama juga di daerah perbatasan Indonesia.

Keempat, mendorong pertumbuhan sektoral dengan menyesuaikan pembangunan PLB berdasarkan wilayah penghasil komoditas tertentu sebagai penggerak ekonominya.

Misalnya, pembangunan PLB untuk mendukung ketahanan pangan dan energi. Begitu juga dengan perdagangan secara elektronik (e-commerce), pariwisata, dan bidang lainnya (industry.co.id/liputan6.com/katadata.co.id/ac)

 

 

Sri: kriteria hub logistik Aspas perlu diperjelas

Jika dibandingkan dengan negara tetangga, industri logistik Indonesia dapat dikatakan kalah bersaing dan belum bisa menjadi hub logistik di kawasan Asia Pasifik. Menanggapi hal ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berharap hal tersebut bisa segera terwujud.

Oleh karena itu, ia meminta para pelaku usaha dan pengurus Pusat Logistik Berikat (PLB) untuk memberikan pekerjaan rumah (PR) bagi dirinya agar bisa mewujudkan mimpi tersebut. Yakni, mampu bersaing dengan pusat logistik negara tetangga.

“Saya ingin Anda kasih saya PR untuk lima tahun ke depan supaya mimpi ini terwujud. Saya ini ibarat murid yang minta ke gurunya supaya dikasih PR. Kalau gurunya malas kasih PR, saya malah minta PR,” katanya di kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu), Jakarta, Rabu (12/4).

Meski minta diberikan PR, ada beberapa gagasan yang dikemukakan Sri Mulyana soal mimpi tersebut. Pertama, menyatukan definisi mengenai hub logistik Asia Pasifik itu sendiri. Dengan definisi yang jelas, maka target ke depan akan lebih mudah untuk disusun.

“Saya ingin tahu kriterianya apa? Volume? Model bisnis? Kecapatan pelayanan? Infrastruktur? Coba kita bikin list untuk jadi hub Asia Pasifik. Untuk enam bulan ke depan, antara PLBI ini ada regular meeting, coba dipikirkan membuat kriteria yang jelas,” ujarnya.

Kedua, membuat ukuran kemajuan yang jelas, sehingga pada tahun berikutnya sudah bisa dilihat kemajuan yang dicapai oleh sektor logistik dan apa yang hendak dicapai.

Pasalnya, ia ingin mengkombinasikannya dengan sejumlah asumsi makro ekonomi yang telah dipetakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017, seperti pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan konsumsi masyarakat hingga laju investasi yang diharapkan.

Ketiga, ia ingin agar pembangunan PLB dapat dilakukan secara tersebar supaya tak hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa saja. Bahkan hingga mampu berkembang ke daerah perbatasan sesuai dengan keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Perbatasan itu the real front gate of Indonesia, bukan Jakarta dan Tanjung Priok saja. Saya ingin tahu ini mungkin tidak? Saya harus dengar dari real players,” ucapnya.

Keempat, ia ingin pembangunan PLB dilakukan berdasarkan pemetaan sektor industri yang dinilai sangat perlu dan penting memiliki PLB di dekat sumber produksi hingga pasar hasil produksi.

Menurut Sri Mulyani, pemerintah punya cerita besar soal PLBI, oleh karena itu kerjasama yang ada di dalamnya perlu semakin koheren, cepat, dan maju menjadi lebih baik lagi.

Tidak puas

Menteri Keuangan Sri Mulyani menantang Pusat Logistik Berikat (PLB) untuk membuat target pencapaian lima tahun mendatang. Pasalnya, nilai barang atau inventori yang tersimpan dalam PLB selama satu tahun terakhir baru mencapai Rp1,16 triliun.

“Tadi beberapa testimoni itu sangat membantu dan membuat kita berbesar hati tapi saya bukan pejabat yang mudah dipuaskan,” ujar Sri dalam acara satu tahun Pusat Logistik Berikat di ruang Merauke, Gedung DJBC, Rawamangun, Jakarta, Rabu 12 April 2017.

Menurutnya, harus ada target perluasan komoditas dalam PLB. Pelaku usaha harus bisa merujuk data statistik ekspor-impor Indonesia dengan negara yang menjadi hub barang yang diimpor.

“Kalau investasi kita tumbuh 6-10 persen per tahun berapa yang bisa kita pindah ke indonesia. Kalau konsumsi kita tumbuh 5-6 persen per tahun berpa yang bisa dipindah ke Indonesia. Jadi harus bikin roadmap lima tahun ke depan,” tuturnya.

Selain itu, PLB harus memetakan wilayah dan diharmonisasi dengan target Pemerintah mengurangi ketimpangan agar aktivitas ekonomi tidak menumpuk di pulau Jawa.

“Harus dipikirkan lokasi mana yang masih tertinggal. Jadi harus dikaitkan dengan program Presiden membangun daerah-daerah perbatasan. Jangan hanya Cengkareng atau Tanjung Priok saja tapi harusnya seluruh perbatasan itu jadi front gate. Itu harus dilihat feasibility dan possibilitynya,” tegas mantan Deputi Gubernur Bank Dunia ini.

Ketua Perhimpunan Pusat Logistik Berikat Indoesia (PPLBI) Eti Puspitasari mengatakan, animo pelaku usaha selama setahun PLB berdiri cukup tinggi. Menurutnya, beberapa perusahaan sudah menyampaikan pipelinenya untuk menambah kawasan PLB di KIT seperti Sulawesi dan Papua dengan luasan sekitar 7 hektar tahun ini.

“Kita perlu petunjuk teknis, meski sebenarnya sudah ada KMK, PMK terkait. Misalnya untuk transaksi oleh non-BUT di dalam PLB, apakah pencatatannya PPNnya ini nihil atau PPN tidak dipungut mengingat di situ kan tidak ada PPN local,” pungkas dia.

sumber: metrotvnews.com/kontan.co.id