Rencana pemerintah memperketat impor perlu dilakukan secara hati-hati mengingat belum semua komoditas impor tersedia produk substitusinya di dalam negeri. Pengendalian impor menjadi fokus pemerintah yang dihadapkan pada dilema untuk mengejar pertumbuhan ekonomi di atas 5% dan mencegah defisit neraca transaksi berjalan terus melebar.
JAKARTA (alfijak); Presiden Joko Widodo, dalam rapat terbatas mengenai strategi kebijakan memperkuat cadangan devisa di Kantor Presiden, Selasa (14/8/2018) kembali menagih jajaran tim ekonominya untuk memperkuat neraca pembayaran.
“Memperkuat cadangan devisa merupakan hal yang sangat penting yang harus kita lakukan agar ketahanan ekonomi kita semakin kuat terutama dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global termasuk dampak yang terakhir terjadi perekonomian di Turki,” katanya.
Berdasarkan data Bank Indonesia, defisit transaksi berjalan pada kuartal II/2018 tercatat US$8 miliar atau sebesar 3% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Angka tersebut melebar dibandingkan dengan kuartal II/2017 sebesar 1,96%. Defisit ini juga lebih besar dibandingkan dengan kuartal I/2018 sebesar 2,2% atau sekitar US$5,5 miliar.
Tekanan terhadap rupiah akibat melebarnya defisit kini ditambah oleh sentimen krisis di Turki. Akibatnya, pada perdagangan awal pekan, nilai tukar rupiah tersengat ke level Rp14.600 per dolar AS.
Namun, pada Selasa (14/8), mata uang Garuda terapresiasi ke posisi Rp14.580 per dolar AS, menguat 28 poin atau 0,19% dari penutupan sesi sebelumnya. Secara year-to-date (ytd) rupiah tercatat melemah 7,03% di hadapan dolar AS.
Presiden mengingatkan soal kewajiban penggunaan biodiesel sebagai campuran bahan bakar (B20) sampai dengan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), terutama bagi badan usaha milik negara (BUMN) skala besar yang dituding banyak menggunakan komponen impor.
“Kemudian juga di Kemendag dan Bea dan Cukai, pengendalian impor, saya kira betul-betul kita cermati secara detail dan cepat sehingga impor barang yang memang sangat penting dan sangat tidak penting bisa kita ketahui,” katanya.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal meminta agar pemerintah berhatihati dalam melakukan pembatasan impor.
“Pemerintah jangan gegabah dalam menentukan pembatasan produk impor. Pemerintah harus pastikan tersedianya produk substitusi dari komoditas yang dibatasi impornya. Jangan sampai malah menjadi bumerang,” katanya.
Untuk barang konsumsi, katanya, kepastian adanya produk substitusi akan meredam potensi terjadinya inflasi di dalam negeri, akibat dibatasinya produk yang selama ini dipasok dari impor.
Sementara itu, untuk barang modal dan penolong, ketersediaan komoditsa pengganti akan menjaga industri dalam negeri tidak kolaps.
“Kenaikan biaya produksi [akibat pembatasan impor barang modal] sangat mungkin terjadi. Tetapi, setidaknya dengan adanya produk substitusi industri terkait masih bisa bernafas,” lanjutnya.
Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto menjelaskan upaya mengekang impor dapat menekan pelebaran defisit transaksi berjalan. Namun, ada konsekuensi yang harus diterima yaitu perlambatan pertumbuhan ekonomi.
“Itu pilihan pahit yang harus diambil. Pengurangan impor barang modal dan konsumsi khususnya akan membuat pertumbuhan ekonomi melambat. Pasalnya, ketergantungan konsumsi rumah tangga dan kebutuhan impor barang modal Indonesia cukup tinggi,” jelasnya, kemarin Selasa (14/8/2018).
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Anton Sihombing mengatakan pembatasan impor harusnya dilakukan lebih hati-hati dan mengundang para pemangku kepentingan.
“Kita ini jangan dikesampingkan, yakni pemangku kepentingan, asosiasi-asosiasi terkait. Kalau bisa kita meninjau permasalahan ini sama-sama, duduk sama-sama, sehingga keputusan dapat diambil dengan valid dan solid,” katanya, Selasa (14/8/2018).
Menurutnya, dengan prinsip ekonomi global, yang saling terhubungnya satu negara dengan lainnya, rencana pengendalian impor tersebut sangat tidak efektif.
Komoditas
Menindaklanjuti instruksi Presiden, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan segera mengenakan pajak penghasilan (PPh) impor 7,5% untuk barang-barang yang berhubungan dengan barang konsumsi maupun bahan baku.
Menurutnya, pemerintah akan mengendalikan barang yang permintaannya melonjak tinggi, tetapi tidak betul-betul strategis dan dibutuhkan dalam perekonomian.
“Ini kita suspect termasuk berbagai macam belanja online yang berasal dari luar negeri yang memang mengkontribusikan impor barang konsumsi yang sangat tinggi. Kita akan melakukan langkah yang cukup drastis dan tegas untuk mengendalikan,” katanya.
Adapun, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto berjanji akan memperkuat ekspor, meningkatkan investasi serta melakukan substitusi bahan baku dan bahan penolong impor yang mencakup 500 komoditas.
Airlangga menyebutkan, untuk meningkatkan substitusi impor, pihaknya akan terus mendorong pemenuhan aturan tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
“Kami push terus untuk TKDN. Ini mendorong penyerapan produksi dalam negeri. Regulasi [TKDN] sudah ada tinggal Perpres tim [pengawasa pemenuhan] nya yang kita tunggu [ditetapkan Presiden Joko Widodo],” katanya.
Ada pun, PT Pertamina (Persero) mengkaji kemungkinan menyerap 200.000 barel per hari minyak mentah, yang selama ini diekspor sebagai langkah memangkas defisit neraca perdagangan migas.
Plt Dirut PT Pertamina Nicke Widyawati mengatakan mekanisme ini dapat dilakukan, dengan menjadikan kebutuhan itu sebagai prioritas.
Nicke mengatakan selama ini Pertamina sudah mengikuti tender, dengan mekanisme hak prioritas dalam tender, pihaknya dapat menyerap minyak mentah tersebut. (bisnis.com/ac)