Semua artikel oleh alec

Ali 'Mr Alec' Cestar is the webmaster & editor, the one who manages the entire aspect of ALFI Jakarta's website, mailing list and social media. Available at Whatsapp only, no SMS! 0821-55315751

ALFI Dorong RI Siapkan Sistem Suplychain Digital

JAKARTA: Asosiasi logistik dan forwarder Indonesia (ALFI) menyatakan, Indonesia perlu membangun sistem rantai pasok berbasis digital guna meningkatkan daya saing agar dapat menuju sistem perdagangan domestik dan internasional yang kompetitif, dinamis dan inovatif.

Ketua Umum DPP ALFI, Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan, kemajuan sistem perdagangan dalam kerangka logistik saat ini sangat bergantung pada perkembangan teknologi yang ada sekarang yakni bagaimana semua stakeholders dapat merasakan manfaat teknologi tersebut.

“Marilah kita melihat beberapa perkembangan teknologi yang merubah bisnis, perilaku dan birokrasi. Begitupun Indonesia, kita sedang berusaha berubah menjadi lebih digital dan terintegrasi,” ujar Yukki di Jakarta,kemarin.

Dia mengatakan, seiring dengan perkembangan industri yang memasuki era 4.0, digitalisasi dan logistik menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena cepat atau lambat digitalisasi telah merambah ke semua lini dan salah satunya adalah sektor logistik.

Menghadapi era itu, imbuhnya, ALFI telah melakukan pengembangan digitalisas smart logistics yang dibangun dalam platform khusus (ilfa.or.id) dan pengembangan tersebut telah dilakukan secara bertahap.

“Melalui portal itu, saat ini modul yang siap adalah modul impor, ekspor, track and trace, yang telah mencakup lebih dari 150 negara, selanjutnya pengembangan rantai pasok sampai dengan ke last mile delivery,” paparnya.

Menurutnya, pada saat ini industri logistik berada di perjalanan atau menuju pada Industri 4.0 dimana pertumbuhan berada pada kecepatan atau dari economy of scale ke economy of speed dan mempengaruhi hampir di semua Industri termasuk di bidang mata rantai pasok (supplychain) maupun e-logistics.

Yukki mengatakan, transformasi digital dari revolusi industri ketig menuju Industri 4.0 adalah gabungan  operasional dengan industri digital. Penggabungan akselerator dalam inovasi itu, salah satunya dengan implementasi IOT (internet of things), dimana ALFI telah memfasilitasi anggotanya untuk menggunakan platform tersebut.

“ALFI akan terus melakukan sosialisasi secara intensive agar platform tersebut dalam dirasakan manfaatnya oleh seluruh anggotanya,” ucapnya.

Dalam konteks platfrom digital di sektor logistik ini, kata dia, bisnis yang tumbuh harus mencari sesuatu yang berbeda bukan sekedar menjadi lebih baik namun diperlukan inovasi dan kesamaan presepsi dari semua stakeholder dan pemerintah selaku regulator.(ari)

Sri andalkan panas bumi pengganti BBM

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mendukung pemanfaatan geothermal atau energi panas bumi sebagai pilihan sumber energi untuk listrik.

“Kami mendukung geothermal, kita akan bisa melihat geothermal mendapat porsi yang signifikan di Indonesia,” kata dia dalam sambutannya di sabutannya di IIGCE 2018, Kamis, 6 September 2018.

Sri Mulyani menuturkan, Indonesia masih mengandalkan minyak sebagai sumber energi. Padahal, cadangan minyak Indonesia tidak banyak, sehingga mengimpor untuk memenuhi stok energi.

Energi yang berasal dari minyak lebih murah, namun tidak ramah lingkungan. Akan tetapi Sri Mulyani memprediksi energi panas bumi mempunyai sangat memiliki prospek ekonomi di masa depan.

Namun proyek panas bumi memiliki kendala di lapangan. Misalnya perizinan yang kompleks dan masalah pembiayaan. Namun, dia yakin hal tersebut sudah dipikirkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal (Ditjen) Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Ida Nuryatin Finahari, menargetkan investasi untuk proyek pengerjaan panas bumi mencapai US$ 1,2 miliar.

“Saat ini sudah 59 persen realisasinya, yaitu US$ 643 juta,” ucap dia.

Ida menjelaskan proyek panas bumi pertumbuhannya tidak cepat, dikarenakan untuk eksplorasi dibutuhkan waktu yang lama. Sekitar 3-5 tahun.

Waktu tersebut lebih lama jika dibandingkan dengan pengerjaan sumber energi yang berasal dari batu bara, yang hanya membutuhkan waktu 2 tahun.
Sri Mulyani menuturkan, pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan sumber energi Indonesia.

“Kami mendukung geothermal, selain untuk lingkungan ini juga bermanfaat untuk perekonomian,” tutur dia. (tempo.co/ac)

Kewajiban B20 rugikan pengusaha logistik

Kewajiban menggunakan bahan bakar biodiesel sebesar 20 persen (B20) dinilai akan merugikan perusahaan transportasi.

JAKARTA (alfijak):Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Kyatmaja Lookman kepada Republika.co.id.

“Pertama tambah boros, kedua perawatan butuh lebih sering,” katanya, Senin (3/9).

Performa bahan bakar ini juga tidak lebih baik dari solar. Jika melihat Cetane Number (CN) atau angka setana biodiesel B20 memang lebih baik dari solar. Namun nilai kalornya tidak lebih baik dari solar.

Dengan begitu tenaga akhir yang dihasilkan kendaraan dengan B20 jauh lebih rendah. Bahkan diakui Kyatmaja, ada truk yang mogok di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Timur, setelah menggunakan biodiesel.

Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) sebelumnya menegaskan jika kendaraan yang menggunakan biodiesel B20 tidak mengalami gangguan.

Pernyataan Aprobi tersebut menurut Kyatmaja tidak relevan karena bahan bakar yang digunakan bukanlah B20 melainkan B5 dan B10.

Pemerintah telah mewajibkan penggunaan biodiesel kepada pelaku usaha. Hal itu tertuang dalam Perpres Nomor 66 Tahun 2018 tentang Revisi Kedua Perpres Nomor 61 Tahun 2015 tentang Program Mandatory B20.

Berbagai masalah yang berpotensi muncul karena penggunaan B20 ini diakui Kyatmaja telah disampaikan. Kewajiban pun mau tidak mau akan tetap dijalankan sesuai dengan kebijakan pemerintah.

Untuk itu, pihaknya harus mengeluarkan biaya tambahan dan memikirkan solusi lain demi menjaga performa kendaraan.

“Ya harus ada tambahan komponen,” ujar Kyatmaja. (republika.co.id/ac)

3 Komoditas keberatan dengan aturan ODOL

Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) menyatakan masih ada tiga pelaku usaha komoditas barang yang masih merasa keberatan terkait aturan pemberian sanksi terhadap truk kelebihan muatan dan dimensi.

JAKARTA (alfijak): “Ada tiga yang keberatan, yakni pelaku usaha komoditas gula, minyak goreng, dan pupuk, komoditas lain tidak ada masalah,” kata Wakil Ketua Aptrindo Kyatmaja Lookman di Jakarta, Senin, 13 Agustus 2018.

Kyatmaja mengatakan, hal itu dikarenakan muatan ketiga komoditas tersebut kelebihan 200 persen. “Muatan mereka selama ini kelebihan berat 200 persen,” katanya.

Padahal, lanjut Kyatmaja, biaya transportasi hanya tiga persen dibandingkan dengan kelebihan 200 persen yang sangat membahayakan keselamatan.

“Harusnya dampak kenaikan transportasi tidak separah itu, maksimal tiga persen saja. Silakan yang lain buka-buka ongkos transportasinya saja dibanding dengan harga barang,” katanya.

Untuk itu, Kyatmaja menyarankan agar pengusaha komoditas gula, minyak goreng, dan pupuk untuk menggunakan moda angkutan yang lebih besar karena lebih aman.

“Kita ini sukanya truk yang lebih kecil dimuat berlebih, seperti pengusaha beras pakai truk kecil dimuat dua kali lipat, jika pakai satu truk besar kan lebih aman,” katanya.

Terkait moda alternatif lain, seperti kereta api logistik, Kyatmaja menilai kelemahannya tidak bisa langsung dari pintu ke pintu (door to door) dan harus menggunakan truk lagi.

Namun, Kyatmaja pun tidak setuju apabila penerapan peraturan pemberian sanksi terhadap truk kelebihan muatan dan dimensi ditunda karena akan mengorbankan aspek keselamatan.

“Nanti ditunda masih minta ditunda lagi, kalau saya lihatnya lebih ke aspek keselamatannya. Ketika truk sudah melebihi spesifikasi teknisnya sudah enggak aman. 31 ribu orang meninggal setiap tahunnya,” katanya.

Kebijakan peraturan pemberian sanksi terhadap truk kelebihan muatan dan dimensi ini baru diterapkan di tiga jembatan timbang, yaitu Balonggandu Karawang, Losarang Indramayu, dan Widang Tuban mulai 1 Agustus 2018. (tempo.co/republika.co.id/ac)

ALFI: anggota yang terkena notul agar ajukan banding

Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) merasa yakin akan memenangkan banding di pengadilan pajak menyoal Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) No. 229/PMK.04/2017 yang hingga kini belum direvisi.

JAKARTA (alfijak): Padahal, sebelumnya ALFI telah melayangkan surat keberatan mengenai beleid tersebut kepada Presiden Joko Widodo ditambah laporan Nota Pembetulan (notul) sebanyak satu karung. Namun, sampai diajukannya keberatan, regulasi tersebut tetap tak direvisi.

“Banding yang dilakukan ke pengadilan pajak dimulai pada bulan Juni hingga Juli. Surat [keberatan] yang disampaikan ke Presiden juga masih belum ada kelanjutan perubahan PMK 229 yang kami usulkan,” ujar Sekretaris Umum ALFI DKI Jakarta Adil Karim, akhir pekan lalu.

Dia mengatakan pihaknya memang mendorong anggotanya yang terkena notul akibat keterlambatan menyerahkan Surat keterangan Asal (SKA)/COO (certificate of origin) untuk mengajukan banding. “Kami arahkan untuk banding jika keberatan mereka ditolak,” katanya.

Adapun PMK 229/2017 mengatur tentang tata cara pengenaan tarif bea masuk atas barang impor berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional.

Masalah yang dihadapi saat ini adalah waktu yang diberikan, yang mengatur batas waktu penyerahan SKA untuk barang yang masuk jalur merah atau kuning hanya diberikan waktu satu hari atau sampai pukul 12.00 WIB hari berikutnya sejak Pemberitahuan Impor Barang (PIB) mendapatkan penetapan jalur.

Sementara itu, apabila melewati batas waktu tersebut maka SKA dianggap tidak berlaku lagi. Padahal, SKA berlaku satu tahun berdasarkan kesepakatan perdagangan internasional.

Akibat penerarapan SKA yang terlalu singkat, Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) dikenakan denda atau notul dan membayar bea masuk yang sangat tinggi hingga miliaran rupiah.

“Salah satu poin bandingnya jangan hanya jam dan waktu yang ditentukan di PMK 229 menggugurkan FTA (Free Trade Agreement) yang notabene FTA itu merupakan fasilitas yang diterima importir akibat ada perjanjian antarnegara di mana jika barang yang di impor merupakan bahan baku untuk industri kita,” papar Adil.

Selain itu, kata dia, apabila FTA gugur tentunya hal ini berbanding terbalik dengan semangat pemerintah yang menggalakan industri dalam negeri dan menurunkan biaya logistik.

Adil mengatakan pihaknya pun sudah siap mengantisipasi apabila kalah banding di pengadilan pajak untuk selanjutnya menempuh proses banding ke Mahkamah Agung (MA).

“Tapi kita mau lihat dulu kekuatan dan kelengkapan data kita dan saya yakin kita menang di pengadilan pajak,” ungkapnya.

Hal tersebut menurutnya dilakukan untuk kepentingan nasional agar industri nasional bisa bersaing di pasar internasional karena ada fasilitas FTA tersebut.

Sebelumnya, DPP ALFI memberikan sejumlah usul agar persoalan regulasi ini tidak berdampak negatif terhadap perekonomian nasional.

Pertama, ALFI mengusulkan agar sanksi terhadap keterlambatan penyerahan SKA tidak berbentuk Nota Pembetulan (Notul), tetapi sanksi pemblokiran sementara dengan batas waktu lima hari kerja. Hal ini mengingat mendapatkan tarif preferensi adalah hak importir sesuai dengan kesepakatan internasional.

Kedua, revisi beleid itu diharapkan juga dapat mengatur mekanisme keberatan terhadap pengenaan Notul agar Indonesia tidak dikenakan oleh negara-negara mitra dagang terhadap komoditi ekspor.

Ketiga, diusulkan agar revisi juga dimaksudkan agar dalam penetapan Notul wajib disebutkan alasannya seperti dalam proses verifikasi keabsahan terbukti palsu, terlambat, atau alasan lainnya.

Keempat, submit Dokumen Impor serta SKA saat ini dilakukan melalui INSW tentunya tidak perlu lagi menyampaikan lembar SKA original beserta Dokumen Impor ke Kantor Pelayanan Bea dan Cukai (untuk menghindari tatap muka antara pelaku usaha dan petugas).  (bisnis.com/ac)

Meski indeks naik, logistik masih bekerja terpisah & berjalan masing-masing

Asosiasi Pertekstilan Indonesia meminta pemerintah tidak cepat berpuas diri dengan perbaikan peringkat logistik yang dikeluarkan oleh Bank Dunia.

JAKARTA (alfijak): Ernovian G. Ismy, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), menuturkan dukungan logistik bagi industri manufaktur memiliki peranan penting untuk meningkatkan daya saing. Logistik mendukung bisnis sejak pengadaan bahan baku, kelancaran proses produksi, hingga penjualan akhir.

“Dukungan logistik yang dimaksud mencakup moda transportasi yang meliputi angkutan darat, laut, dan udara, serta dukungan gudang,” ungkapnya di Jakarta pada Rabu (25/7/2018).

Di Indonesia, menurut dia, sistem logistik bekerja dan berjalan terpisah-pisah, masing-masing entitas berusaha mementingkan kepentingan bisnisnya.

“Akibatnya, biaya logistik di Indonesia selain mahal juga lead time-nya masih lama. Akhirnya percepatan lalu lintas arus barang impor dan ekspor tidak terukur. Beban ini akhirnya harus ditanggung industri manufaktur nasional [sebagai komponen harga],” paparnya.

Untuk mempercepat perbaikan bisnis manufaktur nasional dari sisi logistik, dia berpendapat perlu ditetapkan sentral koordinasi sehingga masala logistik terurai.

Pemerintah juga harus menetapkan fokus utama apakah berkutat pada kecepatan dengan membenahi kinerja operator atau berfokus pada biaya dan waktu tunggu yang menuntut perbaikan menyeluruh dalam sistem logistik nasional.

Jangan puas diri

Indonesia belum boleh berpuas diri atas kenaikan peringkat indeks kinerja logistik karena masih kalah dari sejumlah negara Asean.

Berdasarkan Logistic Performance Index (LPI) 2018 yang baru saja dirilis World Bank, Indonesia berada di peringkat 46 dengan skor 3,15 atau naik dari posisi 2016 yang ada di rangking 63 dengan skor 2,98.

Peningkatan tersebut merupakan capaian signifikan meskipun belum dibarengi dengan penurunan ongkos logistik Indonesia yang masih terbilang tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain.

Lembaga riset dan pendidikan Supply Chain Indonesia (SCI) menyatakan walaupun secara keseluruhan peringkat LPI Indonesia membaik, tapi di sisi lain posisi Indonesia di antara negara-negara Asean lainnya justru turun dari peringkat 4 menjadi peringkat 5.

“Indonesia tidak bisa berpuas diri atas peningkatan LPI-nya pada 2018. Perbaikan LPI negara-negara Asean lainnya yang lebih baik menunjukkan peningkatan dukungan logistik yang lebih tinggi terhadap daya saing produk dan komoditasnya,” kata Chairman SCI Setijadi kepada Bisnis.com, Rabu (25/7/2018).

Data LPI 2018 menunjukkan Thailand naik 13 peringkat menjadi rangking 32, Vietnam merangsek ke posisi 39 setelah naik 25 peringkat, Filipina berada di posisi 60 setelah naik 11 peringkat, dan Laos naik 70 peringkat ke posisi 82.

Sementara itu, Singapura turun 2 peringkat ke rangking 7, Malaysia turun 9 peringkat ke posisi 41, Kamboja berada di rangking 98 setelah turun 25 peringkat, dan Myanmar turun 24 peringkat ke posisi 137.

Adapun Brunei berada di rangking 80. Pada 2016, negara di utara Kalimantan ini tidak termasuk negara yang disurvei.

Setijadi menuturkan peningkatan skor Indonesia terutama didukung oleh pertumbuhan dimensi pengiriman internasional (international shipments) sebesar 0,33 poin atau 11,4%, infrastruktur 0,25 poin atau 9,4%, dan ketepatan waktu (timeliness) sebesar 0,21 poin atau 6,1%.

Selanjutnya, dimensi pencarian barang (tracking/tracing) sebesar 0,11 poin atau 3,4% serta kualitas dan kompetensi logistik sebesar 0,1 poin atau 3,3%.

“Sementara itu, dimensi kepabeanan mengalami penurunan 0,02 poin atau 0,7%,” sebutnya.

Menurut Setijadi, analisis per dimensi itu menunjukkan dampak positif di sektor logistik dari hasil pembangunan infrastruktur dan peningkatan konektivitas yang tengah gencar dilakukan pemerintah. Kendati demikian, perlu adanya sejumlah perbaikan agar kinerja logistik Indonesia bisa bersaing terutama dengan negara tetangga.

“Atas penurunan skor dimensi kepabeanan, perlu dilakukan analisis lebih lanjut sebagai tahap awal upaya perbaikannya,” tegasnya.

LPI 2018 menempatkan Jerman di peringkat pertama dengan skor 4,2. Swedia menyusul di posisi berikutnya dengan 4,05 poin, Belgia dengan 4,04 poin, serta Austria dan Jepang dengan 4,03 poin. (bisnis.com/ac)

RI minta bantuan importir AS soal GSP & kenaikan tarif

Mendag Enggartiasto Lukita minta bantuan importir AS menghadapi evaluasi Generalized System of Preferences (GSP) serta kenaikan tarif baja dan alumunium.

JAKARTA (alfijak): Pencabutan GSP dan penaikan tarif baja dan alumunium, tentunya berpengaruh terhadap industri di Amerika Serikat (AS). Ujung-ujungnya menggerus daya saing produk industri dari negeri Uncle Sam ini.

“Biaya produksi mereka akan meningkat, bahkan pasokan untuk proses produksi dapat terganggu,” ujar Enggar dalam siaran pers, Jakarta, Selasa (24/7/2018).

Produk baja Indonesia diakui memilik kualitas yang baik sehingga diminati oleh industri di AS. Namun, mahalnya bea masuk membuat harga produk baja Indonesia tidak lagi kompetitif.

Keputusan pengenaan tarif impor sebesar 25% untuk produk baja dan 10% untuk produk aluminium telah ditandatangani Presiden AS Donald Trump pada 18 Maret 2018.

Padahal, menurut Enggar, produk baja dan aluminium dari Indonesia tidak menjadi kompetitor secara langsung bagi industri dalam negeri AS.

Ekspor produk besi baja Indonesia ke AS pada 2017 tercatat US$112,7 juta. Angka itu hanya 0,3% pangsa pasar AS.

Nilai ini disebabkan oleh penerapan bea masuk antidumping dan countervailing duty yang berlangsung cukup lama.

Sementara, ekspor aluminium pada 2017 ke AS, tercatat US$212 juta dengan pangsa pasar 1,2%.

Pasar AS merupakan pasar yang penting bagi baja dan alumunium Indonesia. Nilai ekspor itu berkontribusi terhadap 50% ekspor aluminium Indonesia ke dunia.

Tidak hanya pengenaan bea masuk yang tinggi, ketidakpastian GSP juga menjadi hambatan bagi importir AS.

Enggar bilang, GSP memberikan manfaat besar bagi ekspor Indonesia maupun industri dalam negeri AS.

“Tanpa skema GSP, maka harga produk akan naik dan daya saing akan terganggu,” terang Enggar.

Pada April 2017, Pemerintah AS meninjau ulang beberapa negara yang selama ini menjadi penerima skema GSP dari AS. Indonesia termasuk negara yang menerima hal tersebut.

GSP merupakan kebijakan AS berupa pembebasan tarif bea masuk terhadap impor barang tertentu dari negara berkembang.

Kebijakan itu dilakukan dengan batasan nominal penjualan sebesar US$1,9 miliar.

Produk Indonesia yang diekspor ke AS dan masuk ke dalam komoditas penerima GSP antara lain ban karet, perlengkapan perkabelan kendaraan, emas, asam lemak, perhiasan logam, aluminium, sarung tangan, alat-alat musik, pengeras suara, keyboard, dan baterai. (sumedang.info/kompas.com/ac)

‘Kanal CBL perlu kajian mendalam’

Konsep pembangunan proyek Cikarang Bekasi Laut (CBL), sebagai salah satu alternatif akses angkutan barang dan peti kemas dari dan ke Pelabuhan Tanjung Priok, perlu pengkajian lebih mendalam dengan melibatkan pelaku usaha dan pemangku kepentingan sektor logistik.

JAKARTA (alfijak): Sekretaris Umum DPW Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta, Adil Karim mengatakan kondisi saat ini jalur darat sebagai akses distribusi barang dari dan ke pelabuhan Tanjung Priok sudah padat seiring terus tumbuhnya pergerakan barang dan peti kemas melalui pelabuhan Tanjung Priok.

Oleh karena itu, CBL yang termasuk Proyek strategis Nasional (PSN) dengan nilai anggaran Rp3,4 triliun itu harus dikaji mendalam menyangkut manfaatnya bagi pebisnis dan pemilik barang agar penyiapan infrastruktur tersebut dan keberlangsungannya tidak mubazir.

“Tentunya CBL itu sebagai alternatif bagi pebisnis, namun juga mesti diperhatikan bagaimana dengan struktur tarif angkutannya dan kecepatan/efisiensinya seperti apa nantinya. Harusnya bisa lebih murah ketimbang angkutan menggunakan trucking agar menjadi pilihan pelaku logistik. Hal ini yang mesti dicermati betul agar tidak sia-sia,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (23/7/2018).

Adil mengungkapkan mengingat CBL menggunakan akses kanal/sungai, mesti dipastikan debit airnya di kanal tersebut supaya tongkang bisa melintas mengangkut barang, termasuk mengantisipasi risiko debit air di kanal tersebut menyusut saat musim kemarau.

“Faktor teknis itulah yang mesti kita perhatikan. Namun bagi pelaku usaha, CBL sebagai alternatif transportasi angkutan barang perlu didukung, dengan catatan ada kajian teknisnya yang mendalam termasuk soal rencana tarif angkutnya supaya bisa dimanfaatkan pebisnis logistik,” paparnya.

Tjetjep Zahrudin, Dirut PT.Tenders Marine Indonesia (TMI)-salah satu perusahaan jasa ekspor-impor dan logistik di pelabuhan Tanjung Priok mengatakan, dipilihnya moda trucking dalam kegiatan distribusi lantaran tarif angkut bisa dinegosiasikan dan tepat waktu.

“Kalau order trucking kan bisa kapan saja siap diangkut, sedangkan kalau moda lainnya seperti kereta api sudah ada jadwal pemberangkatannya. Jadi trucking kami nilai masih lebih efisien dalam memenuhi kebutuhan pelaku logistik di Priok,” ujarnya kepada kepada Bisnis.com, Senin (23/7/2018).

Ketua DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Gemilang Tarigan mengatakan, operator truk mendukung penyiapan CBL untuk mengurangi tingkat kepadatan lalu lintas di jalan raya akses distribusi dari dan ke Priok.

“Bagi trucking tidak masalah kalau mau disiapkan kanal CBL, karena bagi operator truk tidak ada dampaknya sebab di depan dan diujungnya (layanan ) itu juga pasti pakai truk,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (23/7/2018).

Kendati begitu, Gemilang mengakui hingga saat ini, asosiasinya belum pernah diajak bicara oleh pihak manapun berkaitan dengan kajian proyek CBL dan pengaruhnya bagi aktivitas logistik. “Semestinya pelaku usaha diajak ngomong dululah untuk memberikan masukan-masukan agar proyek CBL itu bisa tepat sasaran target penggunanya,” paparnya.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenhub mencatat, saat ini transportasi angkutan logistik di Indonesia masih didominasi angkutan jalan raya dengan capaian 90%, sementara kereta api, kapal, angkutan sungai dan angkutan udara hanya mengambil porsi 10%.

Rencana proyek CBL sebagai alternatif moda transportasi berbasis sungai/inland waterways diyakini dapat mengurangi kepadatan di jalan raya dari dan menuju Pelabuhan Tanjung Priok, seiring pertumbuhan arus peti kemas di pelabuhan tersibuk di Indonesia itu.

Berdasarkan data PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II/IPC, arus peti kemas ekspor impor dan domestik melalui Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta pada tahun 2017 mencapai 6.079.763 twentyfoot equivalent units (TEUs) atau meningkat sekitar dari tahun 2016 yang tercatat 5.514.694 TEUs. (bisnis.com/ac)

Importir agar segera cari alternatif dari dalam negeri

Penguatan dollar AS terhadap rupiah yang terus terjadi dinilai akan sangat berdampak pada pengusaha yang punya cost dollar AS namun pendapatannya dalam mata uang rupiah.

JAKARTA (alfijak): Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Rhenald Kasali mengatakan, pengusaha yang senang impor sedang dalam posisi yang kurang menguntungkan.

Oleh karena itu, mereka harus segera mencari alternatif dari dalam negeri.

“Mereka yang senang impor ini yang sedang celaka. Harus segera cari alternatif dari dalam negeri,” kata Rhenald saat peluncuran buku The Great Shifting di Rumah Perubahan, Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (21/7/2018).

Rhenald memberi contoh dalam hal jasa inspeksi barang yang sejak lama dilakukan oleh perusahaan asal Perancis bernama SGS.

Perusahaan tersebut dinilai paling banyak menikmati hasil dari jasa inspeksi dan sertifikasi barang, di mana pembayarannya dilakukan dalam dollar AS.

Dari kondisi tersebut, Rhenald menilai pelaku usaha bisa mulai memanfaatkan jasa dari perusahaan serupa yang berasal dari dalam negeri.

Dengan begitu, pengeluaran atau cost perusahaan dilakukan dalam mata uang rupiah dan tidak membengkak akibat tren pelemahan rupiah.

“Kita punya dua BUMN yang besar dan sejumlah perusahaan swasta yang bagus. Ada Surveyor Indonesia dan Sucofindo, bayarannya itu rupiah. Total nilai market-nya itu bisa 2 sampai 3 miliar dollar AS itu,” kata Rhenald.

Dari satu contoh tersebut, terlihat bahwa pelaku usaha telah bergantung pada perusahaan asing karena untuk jasa pun harus impor.

Maka dari itu, Rhenald menyebut sekarang saatnya bagi perusahaan dengan cost dollar AS untuk mencari alternatif kegiatan usaha yang mengandalkan dari dalam negeri.

Rhenald sekaligus mendorong para pengusaha untuk melihat kesempatan dari momentum pelemahan rupiah. Jika bisa memanfaatkan kesempatan tersebut, bukan tidak mungkin usahanya akan berbalik dari yang terancam rugi menjadi untung.

“(Perusahaan) yang cost-nya dollar AS mulai berpikir untuk mencari alternatif dari dalam negeri, karena dari dalam negeri ada. Ada opportunity-nya lah, ancaman itu bagi pengusaha ada opportunity-nya,” ujar Rhenald. (kompas.com/ac)