BC: relokasi barang longstay tekan dwelling time Priok

Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok menyatakan kegiatan relokasi/perpindahan peti kemas impor yang sudah clearance kepabeanan dari kawasan lini satu pelabuhan ke buffer area bakal efektif menekan dwelling time khususnya pada tahapan post custom clearance.

JAKARTA (alfijakarta): Kepala KPU Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok Fajar Doni mengatakan instansinya sangat mendukung adanya buffer area untuk menampung peti kemas impor yang sudah clearance atau mengantongi surat perserutujuan pengeluaran barang (SPPB) dari Bea dan Cukai namun belum diambil pemiliknya lebih dari 3 hari.

“Buffer area digunakan untuk menampung peti kemas impor yang sudah diberikan SPPB oleh Bea Cukai tetapi belum dikeluarkan dari TPS asal atau terminal peti kemas sehingga dapat mempengaruhi Dwelling Time khususnya pada tahap post customs clearance,” ujarnya kepada Bisnis pada Rabu (19/7/2017).

Dia mengatakan agar tidak membebani biaya logistik, sebaiknya lokasi buffer area peti kemas impor SPPB tidak terlalu jauh dengan pelabuhan Tanjung Priok.

Fajar menyampaikan hal itu menanggapi adanya aturan dari Menteri Perhubungan dan Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok, yang mengamanatkan peti kemas impor yang sudah SPPB dan menumpuk lebih dari 3 hari di pelabuhan (longstay) wajib dikeluarkan pemiliknya/direlokasi ke fasilitas non-TPS (tempat penimbunan sementara) di luar pelabuhan.

Direktur Operasi dan Sistem Informasi Tehnologi PT Pelindo II Prasetiadi mengatakan pihaknya akan mendukung dan mematuhi regulasi yang dikeluarkan Kemenhub dan OP Tanjung Priok soal perpindahan barang longstay tersebut.

“Tentunya kami dukung dan akan patuhi aturan itu,” ujarnya dikonfirmasi Bisnis.

Kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok telah mewajibkan supaya barang impor yang sudah mengantongi SPPB dan menumpuk lebih 3 hari dipindahkan ke buffer area atau lini 2 pelabuhan.

Hal itu diatur melalui Peraturan Menteri Perhubungan No:25/2017 tentang Perubahan atas Permenhub No:116/2016 tentang Pemindahan Barang yang melewati batas waktu penumpukan (longstay) di Pelabuhan Tanjung Priok, Belawan, Tanjung Perak, dan Makassar.

Beleid itu juga diperkuat dengan sudah adanya peraturan Ka OP Tanjung Priok No: UM.008/31/7/OP.TPK-16 tentang Tata Cara atau Standar Operasional Prosedur (SOP) Pemindahan Barang longstay di Pelabuhan Tanjung Priok.

Sekretaris Perusahaan Terminal Peti Kemas Koja Nuryono Arif mengatakan TPK Koja dan semua pihak mesti menaati regulasi yang ada sepanjang dalam koridor untuk membuat efisiensi biaya logistik di pelabuhan. (bisnis.com/ac)

Impor merosot karena daya beli domestik rendah?

Pemerintah diminta waspada atas kinerja ekspor-impor Indonesia pada Juni 2017 yang angka impornya menurun lebih tajam dibanding ekpsornya. Meski surplus perdagangan tetap terjadi, namun penurunan impor memberikan sinyal rendahnya daya beli di dalam negeri.

JAKARTA (alfijakarta): Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) M Faisal menilai kinerja perdagangan pada Juni 2017 terbilang tidak sehat lantaran penurunan nilai impor jauh lebih tajam.

Sebelumnya kalangan ekonom sempat memperkirakan penurunan impor lebih karena penurunan permintaan barang konsumsi lantaran pola tahunan di mana pascalebaran memang biasanya konsumsi menurun.

“Tetapi ternyata penurunan impor yang terbesar bukan pada barang konsumsi, tapi dari bahan baku/penolong dan barang modal. Ini kurang sehat karena berarti industri di dalam negeri sedang menahan aktivitasnya, bukan melakukan ekspansi,” jelas Faisal, Senin (17/7).

Sementara itu, Ekonom SKHA Institute for Global Competitiveness Eric Sugandi menambahkan bahwa penurunan nilai ekspor pada Juni 2017 lebih karena faktor penurunan harga komoditas yang belum pulih sepenuhnya. Hanya saja, menurutnya, penurunan impor bahan baku dan barang modal perlu diwaspadai.

Eric menilai bahwa penurunan impor bisa saja terjadi karena selama periode Ramadhan, ada kecenderungan industri mengerem pembelian mesin dan peralatan mekanik, serta pembayaran listrik. Pembelian mesin produksi biasanya sudah dilakukan di bulan-bulan sebelumnya. Hal ini membuat aktivitas produksi di peiode Ramadhan hingga Lebaran biasanya lebih rendah dibandingkan bulan-bulan lain karena faktor musiman.

“Tapi kita mesti cermati juga apakah penurunan impor ini akan berlanjut pada bulan-bulan selanjutnya. Kalau iya ini bisa jadi indikasi perlambatan produksi dan investasi. Tapi kalau ini hanya sementara, berarti memang karena tren musiman,” kata Eric.

Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya merilis, kinerja perdagangan (ekspor-impor) Indonesia pada Juni 2017 kembali mencatatkan surplus, melanjutnya tren surplus neraca dagang yang sudah terjadi sejak akhir 2016 lalu. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, surplus perdagangan pada Juni 2017 tercatat sebesar 1,63 miliar dolar AS.

Kepala BPS Suhariyanto menyebutkan bahwa capaian positif kinerja perdagangan ini bisa berlanjut hingga akhir tahun 2017, melihat tren perbaikan yang terus terjadi. Sementara itu, secara kumulatif sejak Januari hingga Juni 2017, nilai surplus perdagangan Indonesia tercatat 7,63 miliar dolar AS.

Suhariyanto menyebutkan, angka ini merupakan yang tertinggi sejak 2012 lalu di mana nilai surplus sempat tembus 15 dolar AS.

Lebih rinci lagi, kinerja surplus bisa dicapai dengan nilai ekspor Indonesia pada Juni lalu sebesar 11,64 miliar dolar AS dan impornya sebesar 10,01 miliar dolar AS.

Raihan kinerja ekspor dan impor pada Juni 2017 sebetulnya mengalami penurunan dibanding capaiannya pada Mei 2017 atau bahkan bila dibandingkan Juni tahun lalu.

Nilai ekspor Juni 2017 mengalami penurunan 18,82 persen dibanding Mei 2017 dan turun 11,82 persen bila dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara nilai impornya juga menurun sebesar 27,27 persen dibanding Mei 2017 dan turun 17,21 persen dibanding Juni 2017.

sumber: republika.co.id

Indef: impor hasil industri perlu diatur

Kalangan ekonom menilai pemerintah harus mengatur impor hasil industri sehingga banjirnya barang masuk tidak akan menekan kinerja manufaktur di dalam negeri. Saat ini, impor produk industri cenderung bebas.

Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Eko Listyanto mengungkapkan sejumlah sektor industri sulit bersaing dengan produk-produk impor negeri tetangga yang diproduksi dengan lebih efisien.

“Karena industri kita itu banyak sekali bebannya, termasuk harga energi. Harga gas kita mahal, infrastruktur juga terbatas. Ini sebetulnya harus kita lihat dari sisi fiskalnya dengan lebih serius,” ungkap Eko di Jakarta, Minggu (16/7).

Eko mengungkapkan tanpa insentif fiskal, kinerja industri dalam negeri akan terus terpukul. Apalagi, industri berbasis konsumsi masyarakat tengah mengalami kelesuan akibat belanja domestik yang lemah.

Hal tersebut terindikasi dari penjualan sektor ritel yang pada bulan puasa dan lebaran biasanya melonjak hingga 30%—40%, namun data Nielsen menunjukkan penjualan ritel justru melemah hingga 20% pada periode Januari—Mei 2017 dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.

Eko menyampaikan dalam jangka pendek, pemerintah juga perlu berupaya memperbesar penerimaan masyarakat dan mengurangi kebijakan-kebijakan yang dapat membuat individu menahan belanja seperti sentimen kenaikan harga listrik.

Menurutnya, selama ini gaung pemerintah untuk mendukung pertumbuhan industri cenderung hanya wacana. Padahal, dari sisi penerimaan pajak dan perekrutan tenaga kerja, sektor riil berperan besar menopang pertumbuhan ekonomi negara.

Adapun, sektor manufaktur nasional kerap mengalami persoalan serupa yaitu produksi dalam negeri yang kurang terserap. Produk komponen otomotif dan komponen transportasi misalnya, kurang bertumbuh karena pabrikan kendaraan membeli produk impor.

sumber: bisnis.com

Tonny: dwelling time kedodoran karena antrean

Keseriusan pemerintah untuk menurunkan biaya logistik sebagai langkah menekan melambungnya harga barang dengan menekan angka dwelling time atau waktu inap peti kemas belum berbuah manis.

Jika di tahun 2016, dwelling time sempat turun di angka 2,9 hari, pada semester I-2017 dwelling time kembali naik di kisaran 3,5 hari.

Direktur Jenderal Perhubungan Laut Antonius Tonny Budiono mengatakan kenaikan angka dwelling time pada semester I-2017 karena kenaikan arus barang.

Dia menuturkan, dengan melambungnya kebutuhan masyarakat jelang Hari Raya Idul Fitri, hal itu berdampak pada meningkatnya barang yang datang.

Ia menyebut, peralatan untuk mengakomodir arus barang terbilang kurang. Hal ini menyebabkan waktu tunggu penyelesaian dwelling time menjadi bertambah.

“Ada antrean karena kebutuhan barang. Ini otomatis berdampak pada bertambahnya dwell time,” kata Tonny, Jumat (14/7/2017).

Untuk itu, pihaknya masih akan kembali mengevaluasi ihwal permasalahan pada implementasi di lapangan untuk kembali menekan angka dwell time hingga mencapai target yang ditetapkan.

Tonny berjanji, jika ada permasalahan pada proses bongkar muat, maka akan segera diperbaiki. Jika permasalahannya pada proses administrasi, pihaknya akan memberi sanksi pihak yang terbukti bersalah.

Untuk semester II 2017, dia menjanjikan angka dwell time akan kembali menurun ketimbang semester I 2017.

“Kami akan rapat koordinasi dulu,” jelasnya.

sumber: kompas.com

Berat peti kemas agar sesuai ketentuan IMO

Direktur Perkapalan dan dan Kepelautan (Dirkapel) Capt. Rudiana meninjau Terminal Peti Kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jumat (14/7) untuk memastikan sejauhmana penerapan verifikasi berat peti kemas yang akan diangkut dengan kapal laut.

Capt. Rudiana meninjau gate New Priok Container Terminal 1 (NPCT1) dan gate Jakarta Internasional Container Terminal (JICT) serta Terminal Peti Kemas Koja.

Dalam tinjauannya, dia menyaksikan langsung operasional penimbangan kendaraan yang masuk ke dua area pelabuhan tersebut.

“Secara keseluruhan pelayanan di terminal peti kemas tersebut sudah baik,” tutur Rudiana.

Menurutnya, International Maritime Organization (IMO) telah mengamandemen Safety of Life at Sea (SOLAS) 1972 Bab VI, Pasal 2 tentang Verified Gross Mass Of Container (VGM).

Kewajiban VGM atau verifikasi berat kotor peti kemas yang diangkut di kapal diberlakukan mulai 1 Juli 2016 secara internasional dan untuk dalam negeri telah diberlakukan sejak 1 Januari 2017 melalui Peraturan Dirjen Hubla Nomor HK 103/2/4/DJPL-16 per 1 Juni 2016 tentang Berat Kotor Peti Kemas Terverifikasi Yang Diangkut di Kapal.

“Berdasarkan peraturan tersebut, ketentuan verifikasi berat kotor peti kemas yang diangkut di kapal VGM dimasudkan untuk mencegah perbedaan antara berat peti kemas yang dideklarasikan dan berat peti kemas aktual yang bisa mengakibatkan kesalahan penempatan di kapal, sehingga berdampak pada keselamatan kapal, awak kapal di laut dan pekerja di pelabuhan serta potensi kerugian,” urai Rudiana.

Adapun proses mulai alur penimbangan hingga penumpukan yang diterima memerlukan waktu 45 menit. Waktu tersebut sudah termasuk penimbangan, penumpukan peti kemas, hingga truk pengangkut keluar dari terminal.

“Pemantauan ini bertujuan untuk keselamatan pelayaran, memastikan bahwa seluruh peti kemas yang akan diangkut sesuai beratnya antara rill dan pencatatannya,” tandas Rudiana.

sumber: jpnn.com

ALFI gelar kursus FIATA Diploma mulai 21 Juli

Kabar gembira bagi Anda yang ingin menambah keahlian dan kompetensi di bidang logistik. Terhitung mulai 21 Juli tahun ini, ALFI membuka kelas baru untuk pendidikan “FIATA Diploma” di bidang freight forwarding dengan standar pendidikan internasional FIATA.

JAKARTA (alfijakarta): Khusus untuk anggota ALFI, peningkatan kompetensi disesuiakan dengan standar ALFI STC yang merupakan salah satu materi yang diajarkan dalam silabus pendidikan tersebut.

Menurut Sekretaris Eksekutif DPP ALFI, Budi Wiyono, peserta yang berhak mengikuti kursus diploma FIATA angkatan ke-23 ini harus terlebih dulu Freight Forwarding Course standar UNESCAP dan untuk pendidikan ini dikenakan biaya Rp11 juta per peserta (lihat gambar).

“Kursus digelar satu kali sepekan setiap hari Jumat pukul 13.15 sampai 18.00 WIB,” kata Budi kepada AlfiJakarta di sini kemarin.

Untuk keterangan lebih lanjut, calon peserta bisa menghubungi:

DPP ALFI
Perkantoran Yos Sudarso Megah Blok A no 8 Jl Yos Sudarso no 1 Tanjung Priok, JKT 14320
Tel: 021-43900573, 43900574, Fax: 021-4373951
E-mail: mail@infologistic.com, infainstitute@infa.or.id

Meski terbuka untuk eksekutif perusahaan logistik se Asia Tenggara, kursus itu lebih ditekankan pada peningkatan mutu SDM lokal. (ac)

Sri ancam pecat pejabat Bea Cukai yang penakut

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengancam mencopot pejabat dan karyawan Bea Cukai yang tidak berani menindak importir nakal karena takut adanya oknum Polri dan TNI membekingi pengusaha.

“Saya tidak mau lagi mendengar ada pejabat Direktorat Jenderal Bea Cukai tak bisa bekerja menindak importir nakal lantaran dibekingi oknum TNI atau Polri,” tegas Sri Mulyani digedung Beacukai.

Bila ada pejabat Beacukai kalau ditanya dan jawabnya au au au, dirinya tidak akan segan-segan langsung mencopot pejabat bea cukai yang menjadikan ketakutannya adanya beking dibalik importir nakal dan hal itu sebagai alasan tidak bisa bekerja secara optimal.

Bahkan Menkeu berjanji pejabat tersebut akan di bawa ke tengah lapangan. “Nanti kita sorakin rame-rame sebelum kita pecat,” janji Sri Mulyani.

Sri Mulyani mengumpulkan pimpinan lembaga mulai dari TNI, Polri, Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Kejaksaan, PPATK, hingga KPK di Kantor Pusat Ditjen Bea Cukai.

Alasan pengumpulan pimpinan lembaga tersebut kata Sri Mulyani untuk memberikan pesan kepada jajaran intansi lembaga tersebut dan jajaran Beacukai untuk tidak lagi mencari alasan tidak bisa bekerja karena ada pihak lain yang membekingi.

Menkeu mengaku dirinya sering menerima laporan Sri Mulyani, ia kerap menerima laporan adanya beking dari aparat keamanan yang melindungi importir nakal dan menakut-nakuti pegawai Beacukai akibatnya pejabat dan bawahannya ketakutan.

Dengan ketakutannya para pejabat beacukai bekerja di lapangan menyebabkan pegawai Ditjen BC tidak optimal bekerja akibatnya target penerimaan bea dan cukai jadi tidak tercapai, padahal penerimaan negara begitu penting untuk membiayai pembangunan.

Bentuk satgas

Untuk membersihkan oknum pejabat di lingkungan pemerintah dan aparat penegak hukum yang terlibat kolusi Menkeu membentuk satuan tugas (satgas).

Satgas dibentuk kerja sama antara Kementerian Keuangan, TNI, Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) , Kejaksaan Agung, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK.

“Ini sinyal keras bagi para petugas Bea dan Cukai atau penegak hukum lainnya yang mencoba berkongsi dengan para importir nakal.”Kita harapkan satgas ini untuk meminimalkan berbagai praktik yang bisa menggerus penerimaan negara tersebut.” papar menkeu.

Pemerintah juga akan memperketat pengawasan di sejumlah pintu masuk barang ke Indonesia. Sejumlah pelabuhan utama misalya Tanjung Priok, Cikarang, hingga Belawan akan menjadi fokus pemerintah untuk menjaga supaya praktik penyelundupan dan penyalahgunaan dokumen kepabeanan dilakukan oleh para importir nakal.

Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo dan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mendukung upaya yang dilakukan jajaran Kementerian Keuangan.

sumber: poskotanew.com

Roro Priok-Gresik kurangi beban jalan raya oleh truk

Layanan perdana angkutan barang menggunakan kapal jenis roll-roll off (Ro-ro) rute Pelabuhan Tanjung Priok-Gresik Jawa Timur dilakukan melalui dermaga Indonesia Kendaraan Terminal (IKT) pada hari ini, Kamis (13/7/2017) pukul 01.00 WIB.

JAKARTA (infologistic): Kepala Otoritas Pabuhan Tanjung Priok, I Nyoman Gede Saputera dan Presdir PT.Arpeni, Oentoro Surya turut hadir saat dimulainya service yang dilayani KM.Roro Sawitri eks MV Calista itu.

Nyoman mengatakan, layanan tersebut menandakan komitmen perusahaan pelayaran dan pemilik truk/pemilik barang dalam mengurangi tingkat kemacetan dan beban jalan raya.

“Yang penting layanan ini berjalan dahulu.Layanan ini sudah sesuai dengan program pemerintah untuk menekan cost logistik sekaligus mengurangi beban jalan raya,” ujarnya kepada Bisnis.com, Kamis (13/7/2017).

Dia mengatakan, angkutan barang menggunakan kapal ro-ro tersebut diharapkan bisa lebih efisien ketimbang menggunakan moda darat.

“Kami harapkan layanan ini mendapat dukungan dari semua pihak agar harapan biaya logistik turun bisa dicapai,” paparnya.

Berdasarkan data Kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok, angkutan ro-ro Priok-Gresik itu dilayani KM.Roro Sawitri yang merupakan eks MV.Calista.

Kapal tersebut sudah tiba/sandar di Pelabuhan Priok pada 7 Juli 2017 pukul : 05:40 WIB, dari pelabuhan asal Hong Kong.

Dalam layanan perdana KM Sawitri di dermaga IKT Pelabuhan Priok tujuan Gresik itu mengangkut (muat) 13 unit kendaraan, sedangkan kegiatan bongkarnya nihil.

sumber: bisnis.com

‘INSW lebih mendesak ketimbang satgas penertiban impor’

Rencana Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kemenkeu membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Impor Berisiko Tinggi (PIBT) ditentang a.l. dengan alasan bahwa selain memboroskan anggaran, satgas ini tak dibutuhkan karena optimalisasi fungsi dan koordinasi Bea dan Cukai yang seharusnya dikedepankan.

JAKARTA (alfijakarta): Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai, Ditjen Bea dan Cukai tidak perlu membuat Satgas ini.

Pasalnya, yang diperlukan saat ini adalah mengoptimalkan Indonesia National Single Window (INSW). Enny menekankan, pembentukan Satgas juga akan memakan anggaran pemerintah.

“Menambah OB (Office Boy) saja butuh anggaran. Ini pasti ada. Sebatas euforia saja menurut saya. Jadi seolah-olah dengan adanya Satgas, seperti kemarin ada Satgas Pangan terus harga pangan stabil, padahal itu semua enggak menyelesaikan persoalan utamanya. Kayak pangan itu kan menjadikan fluktuasi pangan karena demand dan supply tidak balance,” kata Enny dalam keterangannya kepada media, Jakarta, Selasa (11/7/2017).

Selain itu, ia juga menegaskan pembentukan Satgas ini hanya memberatkan importir. Selain beban di sisi waktu, importir juga harus menanggung sisi biaya karena banyaknya hal yang dilewati sebelum memasukkan barang ke Tanah Air.

Untuk diketahui, INSW merupakan loket elektronik tunggal untuk penyelesaian perizinan impor ekspor serta pengurusan dokumen kepabeanan dan kepelabuhanan.

Konsep ini merupakan wujud reformasi birokrasi pelayanan publik. Dengan INSW, semuanya terpusat terkoordinasi dalam suatu pusat pengendali dan computerized.

“Satgas itu mestinya untuk memperkuat dan menggaransi aturan-aturan yang standar, bukan untuk menyelesaikan persoalan yang kacau balau ini. Jadi terbalik, mestinya instrumennya dulu diperkuat baru Satgas itu. Sementara itu single window ini kan baru wacana terus, pengaplikasiannya kan belum real di lapangan,” ujarnya.

Menurutnya, Ditjen Bea dan Cukai salah kaprah jika ingin membentuk Satgas ini. Sebab, fungsi Bea Cukai sebenarnya hanya untuk mengendalikan produk yang masuk ke Indonesia, bukan menentukan kriteria barang itu boleh masuk atau tidak.

“Tapi yang terjadi sekarang, Bea Cukai ini powerful sekali termasuk yang menentukan boleh tidaknya suatu barang melintasi kawasan kepabeanan. Ini kan tugas kementerian teknis. Sehingga sekarang kalau misalnya ada satu rencana Bea Cukai mau membuat suatu klasifikasi (penertiban impor berisko tinggi), itu sebenarnya yang berhak membuat itu bukan Bea Cukai, tapi kementerian teknis,” tuturnya.

Senada, Anggota Komisi XI DPR RI Sukiman mengatakan, Dtjen BC tidak perlu membentuk Satgas Penertiban Impor Beresiko Tinggi.

Menurutnya, pembentukan Satgas ini akan menunjukan pihak Ditjen Bea dan Cukai tidak dapat melakukan Tugas dan Fungsi Pokonya (Tupoksi) dengan baik.

“Namanya ada Satgas inikan kalau (Bea dan Cukai) sudah tidak jalan sama sekali‎,” kata Sukiman.

Sukiman meminta, pihak Bea dan Cukai memaksimalkan Tupoksinya serta mempertanggungjawabkannya. “Kita harus mempertimbangkan. Misalnya, Satgas pangan, jangan sampai ada Satgas dari Kepolisian akhirnya baru menertibkan,” katanya.

Di sisi lain, ia menegaskan, keberadaan Satgas tersebut akan memberikan beban anggaran tambahan bagi negara.

“Karena itu, Satgas ini tidak perlu, paling tidak meringankan beban dan biaya anggaran. Kecuali Bea dan Cukai sudah tidak mampu melaksanakan tugasnya,” tandasnya.

Untuk diketahui, Ditjen Bea dan Cukai berencana membentuk Satgas Penertiban Impor Berisiko Tinggi. Pembentukan Satgas ini nantinya akan tertuang dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) yang akan ditandatangani Presiden Joko Widodo.

Dalam draft Perpres, pembentukan Satgas diperlukan karena banyaknya praktik tidak sehat di pelabuhan dan perbatasan dan dapat merusak sendi perekonomian.

Dalam draft tersebut, tugas Satgas adalah melaksanakan penertiban impor berisiko tinggi di pelabuhan utama dan perbatasan wilayah Indonesia. Ketua Satgas dapat menetapkan pelabuhan lain dan atau perbatasan yang akan dilakukan penertiban.

Gandeng Kapolri

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengumpulkan sejumlah pejabat beberapa instansi dalam rangka menggelar rapat koordinasi penertiban impor berisiko tinggi di kantor pusat Bea dan Cukai, Rawamangun, Jakarta Timur, Rabu (12/7).

Pantauan merdeka.com, dalam rapat ini hadir Kepala Kepolisian RI Tito Karnavian, Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Gatot Nurmantyo, Jaksa Agung HM. Prasetyo, Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang, Kepala Pusat Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) Kiagus Ahmad Baddarudin, dan Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Heru Pambudi.

Rapat tersebut membahas penanganan impor berisiko tinggi. Salah satu strategi yang dilakukan Bea Cukai adalah dengan melaksanakan kegiatan taktis operasional melalui pengawasan kinerja internal, kerja sama dengan aparat penegak hukum dan Kementerian Lembaga, juga sinergi dengan asosiasi.

“Kami sengaja mengajak kerja sama beberapa instansi pemerintah untuk turut mengawasi tugas dari importir seperti ini. Kita harapkan dengan saling bersinergi seperti ini kita bisa optimal dalam menangani kasus importir tinggi yang selama ini merugikan negara kita,” ucap Menteri Keuangan, Sri Mulyani dalam konferensi persnya di lokasi.

Penanganan impor berisiko tinggi sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dengan kegiatan yang lebih adil dan taat hukum, sejak Desember 2016, Bea Cukai memulai program Penguatan Reformasi Kepabeanan dan Cukai (PRKC).

Untuk diketahui, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan berencana membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Impor Berisiko Tinggi.

Pembentukan Satgas ini nantinya akan tertuang dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres), namun belum ditandatangani Presiden Joko Widodo.

Dalam draft Perpres yang diterima merdeka.com, pembentukan Satgas diperlukan karena banyaknya praktik tidak sehat di pelabuhan dan perbatasan dan dapat merusak sendi perekonomian. Pelabuhan merupakan salah satu pintu masuk dan keluar suatu negara dalam lalu lintas barang serta memegang peranan penting sebagai sumber pendapatan negara.

“Satgas sebagaimana dimaksud berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden,” kutipan draft Perpres tersebut.

Sedangkan tugas Satgas adalah melaksanakan penertiban impor berisiko tinggi di pelabuhan utama dan perbatasan wilayah Indonesia. Ketua Satgas dapat menetapkan pelabuhan lain dan atau perbatasan yang akan dilakukan penertiban.

Wewenang Satgas nantinya adalah melakukan pengumpulan data dan informasi dengan menggunakan teknologi informasi dari kementerian/lembaga atau pihak lain. Membangun sistem pencegahan dan penertiban impor berisiko tinggi. Melakukan operasi tangkap tangan serta melakukan kegiatan evaluasi kegiatan penertiban impor berisiko tinggi.

Humas Ditjen Bea dan Cukai, David mengatakan, rencana pembentukan Satgas ini masih akan dibicarakan di tingkat menteri. Pihaknya akan mencari tahu apakah Satgas ini diperlukan atau tidak.

“Rencana pembentukan Satgas ini mau dibicarakan di tingkat menteri dulu, apakah diperlukan Bea Cukai. Akan diadakan pertemuan rapat dengan pihak terkait terlebih dahulu,” katanya saat dikonfirmasi merdeka.com.

Tak mematikan ekonomi

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menegaskan penertiban impor berisiko tinggi yang tengah serius dilakukan pemerintah, bukan untuk mematikan kegiatan ekonomi.

“Pada dasarnya, kita tidak ingin mematikan kegiatan ekonomi. Kita ingin ekonominya menjadi formal dan tercatat sehingga bisa menciptakan persaingan yang lebih adil dengan pelaku ekonomi lain,” ujarnya di Jakarta, Rabu (12/7/2017).

Hal tersebut disampaikan Menkeu usai rapat koordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kantor Staf Kepresidenan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, Kejaksaan Agung, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) soal penertiban impor berisiko tinggi.

Sri Mulyani menginginkan adanya praktik bisnis yang bersih, adil, dan transparan bagi para pelaku ekonomi khususnya para importir berisiko tinggi (very high risk importer/VHRI) yang berpotensi menyelundupkan barang-barang ilegal masuk ke Tanah Air.

Dia mendorong para importir berisiko tinggi yang selama ini bisa memasukkan barang-barang impor ilegal ke dalam negeri, untuk menaati prosedur dan aturan yang berlaku dalam kegiatan impor.

“Mereka yang selama ini lakukan impor tapi tidak bayar pajak atau tidak punya NPWP, kita sudah tutup. Kalau mereka bayar pajak tapi apa yang diisi dalam dokumen impor berbeda dengan bayar pajaknya, kita lakuan tindakan. Kalau mereka yang bisa masuk impor ilegal jadi legal, itu yang kita dorong sehingga ia bisa memberikan penerimaan negara yang lebih baik,” ujarnya.

Kendati demikian, Sri Mulyani tidak menyebutkan secara detil berapa potensi penerimaan negara yang bisa didapatkan melalui penertiban impor berisiko tinggi tersebut. Sejauh ini, Kementerian Keuangan telah menertibkan 679 importir yang tidak punya NPWP.

“Dari sisi nilai, kita ya tidak tahu berapa yang ia selundupkan, kan jenis barangnya bermacam-macam. Kalau borongan bisa tekstil, bisa barang elektronik atau konsumsi. Mereka biasanya dalam satu kontainer terdiri dari berbagai macam jenis barang sehingga kemudian ia perlu ditangani dalam bentuk pemeriksaan langsung,” ujarnya.

Impor berisiko tinggi memiliki peluang penyelewengan yang lebih besar sehingga dapat mengakibatkan beredarnya barang ilegal.

Peredaran barang ilegal mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat dan penerimaan negara yang tidak optimal.

Dengan ditertibkannya impor berisiko tinggi, volume peredaran barang ilegal dapat turun sehingga dapat terjadi ‘supply gap’ yang dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri sehingga penerimaan negara bisa optimal serta mendorong perekonomian dalam negeri.

Program penertiban impor berisiko tinggi merupakan salah satu dari serangkaian program penguatan reformasi yang telah dijalankan DJBC sejak Desember 2016.

Dalam jangka pendek, DJBC akan menjalankan kegiatan taktis operasional melalui pengawasan kinerja internal, kerja sama dengan aparat penegak hukum dan kementerian/lembaga, juga sinergi dengan asosiasi.

Untuk jangka panjang, DJBC akan membangun sistem kepatuhan pengguna jasa melalui revitalisasi manajemen risiko operasional.

Sri Mulyani pun menilai pentingya kerja sama dan koordinasi dengan aparat penegak hukum dan kementerian/lembaga, agar tercipta perbaikan kepatuhan pengguna jasa, percepatan dan penyederhanaan perizinan impor, serta pemberantasan penyelundupan, pelanggaran kepabeanan dan praktik perdagangan ilegal lainnya.

Kementerian Keuangan sendiri telah merancang satuan tugas (satgas) penertiban impor berisiko tinggi sebagai salah satu bentuk pelaksanaan kegiatan taktis operasional. (sindonews.com/merdeka.com/sinarharapan.com/ac)

gambar: merdeka.com