Pengusaha dukung upaya BC tertibkan impor berisiko tinggi

Sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dengan kegiatan yang lebih fair dan taat hukum, sejak Desember 2016, Bea Cukai memulai program Penguatan Reformasi Kepabeanan dan Cukai (PRKC) sebagai satu upaya perbaikan berkelanjutan yang tidak hanya menyasar kinerja internal, namun juga para pengguna jasa Bea Cukai.

JAKARTA (alfijakarta): Untuk menyampaikan perkembangan program tersebut kepada para pengguna jasa, khususnya program penanganan importir berisiko tinggi, Bea Cukai menggelar acara Customs Talk yang bertajuk Sharing Session Program Penguatan Reformasi Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) kepada Pengguna Jasa Kepabeanan dan Cukai, yang berlangsung mulai Jumat (07/07) hingga Rabu (12/07).

Pada hari kedua pelaksanaan acara, Senin (10/07) Bea Cukai mengundang Asosiasi Industri Persepedaan Indonesia (AIPI), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), dan Asosiasi Elektronik Indonesia (Gabel), mengingat komoditi ketiga asosiasi tersebut memberikan pengaruh signifikan terhadap penerimaan negara.

“Bea Cukai berkomitmen untuk melakukan program perbaikan secara terus-menerus. Hampir 20 tahun berusaha mengambil inisiatif terdepan dalam perubahan, karena posisi Bea Cukai yang cukup strategis, bukan hanya dalam penerimaan negara, tapi juga pengaruhnya besar terhadap dunia usaha. Puncaknya adalah melalui program penguatan reformasi kepabeanan dan cukai ini, yang muatannya bukan hanya penguatan tapi juga dianggap sebagai momentum untuk transisi menuju babak baru yang semakin akuntabel dan amanah,” ujar Kasubdit Perencanaan Strategis dan Manajemen Transformasi, Ambang Priyonggo seperti dikutip Tempo.

Terkait penanganan impor berisiko tinggi, Ambang mengungkapkan bahwa salah satu strategi yang dilakukan Bea Cukai adalah dengan melaksanakan kegiatan taktis operasional melalui pengawasan kinerja internal, kerja sama dengan aparat penegak hukum dan Kementerian Lembaga, juga sinergi dengan asosiasi.

Menanggapi penanganan impor berisiko tinggi oleh Bea Cukai, perwakilan API, Nur Beni mengungkapkan bahwa pihaknya mendukung penuh program Bea Cukai ini dan telah memproyeksikan rencana untuk mengimplementasikan dukungan tersebut.

“Kami telah berkoordinasi dengan Bea Cukai dan satu minggu dari sekarang kami akan mengumpulkan anggota API dan membentuk tim untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada di lapangan,” tuturnya.

Senada dengan Nur Beni, dukungan atas program penanganan importir berisiko tinggi juga disampaikan oleh Ketua AIPI, Rudiono.

“Saya rasa ini program yang baik, dan kami siap mendukung penuh, serta mengawal pelaksanaan program ini. Langkah selanjutnya, kami akan menyosialisasikan program ini kepada para anggota AIPI, juga saya mengimbau kepada para anggota untuk selalu mematuhi aturan yang berlaku dan melupakan segala kegiatan-kegiatan yang telah lalu, yang tidak sesuai dengan aturan pemerintah,” tegas Rudiono.

Berbahaya

Dalam kesempatan terpisah, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) meminta pemerintah untuk memperbaiki iklim industri dan iklim bisnis agar tren kenaikan impor berbagai barang bisa ditekan.

Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia hanya surplus US$ 474 juta pada Mei 2017. Ini merupakan surplus terendah dalam setahun terakhir karena lonjakan impor, khususnya impor nonmigas.

Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan Badan Pengurus Pusat HIPMI, Anggawira, mengungkapkan, tren lonjakan impor dalam jangka panjang tentu tidak positif, karena ujungnya memukul industri dan merugikan pengusaha nasional.

“Indonesia saat ini terjebak dalam pluktokrasi dibarengi oleh pencari rente. Ditambah lagi ada fenomena kleptokrasi, tak heran fundamental ekonomi kita semakin lemah. Ini diperparah dengan sistem ekonomi politik yang sangat liberal dan tidak menciptakan meritokrasi,” ucap Anggawira dalam keterangan resminya kepada Jitunews.com, Senin (10/7).

Lebih lanjut, Anggawira mengatakan, problem kebijkan impor ini sebenarnya sudah sangat terasa dari masa pemerintahan SBY. Kenaikan impor, memberi pesan, bahwa pemerintah terkesan mau gampang saja.

Kalau pun impor, seharusnya, barang yang diimpor pun dicek terlebih dahulu apakah memang dibutuhkan dan juga apakah produknya sesuai dengan standar di Indonesia.

Di era pemerintah sekarang pun, impor selalu jadi pilihan ketimbang mendorong industri dalam negeri. Sebagai pengusaha, ia juga menilai ada situasi yang kurang pas. BUMN yang harusnya bersinergi dengan swasta, menjadi motor penggerak ekonomi, justru masuk ke wilayah yang dilakukan swasta.

Di sisi lain, ia mewanti-wanti, jika semua pintu impor dibuka, maka tentu saja ada dampak buruk yang tak terelakkan yakni industri dalam negeri tidak berkembang.

“Ibaratnya, jika impor makin besar, ibarat perahu yang sudah mau karam. Agar tak terjadi, harus benar-banar dipilih dan tentukan komoditas strategis nasional. Meski di sisi lain, tidak mungkin kita juga mau swasembada semua. Perlu konsistensi di pemerintah sendiri. Misal garam, sangat tidak logis jika harus impor terus. Masak BUMN jadi trader, nanti korup,” tegasnya.

Menurut Anggawira, perlu ada perbaikan dari sisi suplay chain atau rantai pasok agar berbagai produk di Indonesia, seperti komoditi pangan, bisa terdistribusi merata sehingga impor-impor pangan bisa dihindari.

Ia berharap BUMN bisa bekerjasama dengan swasta tidak hanya bersinergi sesama BUMN saja. Jangan ada kesan, di tengah situasi ekonomi masih sulit, justru swasta ditinggalkan.

“Problem utamanya bukan produksi tapi suplai chain, sudah ada best practice yang ada tinggal dimodifikasi. Benahi juga tata kelola distribusi barang. Tentu saja, konsistensi kebijakan juga diperlukan,” tegasnya. (tempo.co/jitunews.com/ac)

foto: jitunews.com/ist