Arsip Tag: Prasetiadi

‘Stagnasi di terminal peti kemas tak boleh dibiarkan’

Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) mendesak Menteri BUMN Rini Sumarno untuk turun tangan membenahi pengelolaan terminal peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok yang  dikendalikan PT Pelabuhan Indonesia II/Indonesia Port Corporation (IPC) untuk menghindari ancaman stagnasi akibat kemacetan arus logistik.

JAKARTA (alfijak): Ketua Umum DPP Aptrindo Gemilang Tarigan mengungkapkan desakan itu menyusul kongesti di Pelabuhan Priok yang diduga akibat adanya persaingan bisnis antarterminal peti kemas ekspor impor di pelabuhan tersibuk di Indonesia itu semenjak sebulan terakhir.

Gemilang mengatakan kemacetan yang berpotensi stagnasi itu dipicu tidak seimbangnya fasilitas dan peralatan bongkar muat di New Priok Container Terminal-One (NPCT-1) dengan volume muatan dan jumlah kapal kontainer yang dilayani di terminal itu.

“Jangan paksakan kalau NPCT-1 tak mampu menangani kapal dan muatan, sebaiknya dialihkan ke terminal lainnya saja karena semua pihak sudah mengeluh dengan kondisi NPCT-1 itu. Dalam hal ini, PT Pelindo II mesti bertanggung jawab,” ujarnya kepada Bisnispada Senin (28/5/2018).

Gemilang menambahkan Menteri BUMN semeatinya dapat segera mengintruksikan kepada Pelindo II selaku pengelola terminal peti kemas di Priok agar tidak saling berebut pasar kontainer yang tidak sehat yang pada akhirmya mengorbankan kepentingan kelancaran logistik dan masyarakat.

Di Pelabuhan Priok terdapat lima fasilitas terminal peti kemas ekspor impor yakni Jakarta International Container Terminal (JICT), TPK Koja, Terminal Mustika Alam Lestari (MAL), NPCT-1, dan Terminal 3 Priok.

Gemilang menyebutkan berdasarkan data yang diperoleh Aptrindo, NPCT -1 tidak memiliki post gate parking area dan pre gate parking area seperti yang dimiliki terminal lainnya di Priok.

Selain itu, adanya peningkatan bongkar kontainer sebesar 20% atau mencapai 25.000 twenty foot equivalent units (TEUs) per pekan. Bahkan pada Mei 2018 saja NPCT-1 telah meng-handle 106.000 TEUs.

Gemilang menyebutkan kapasitas ideal per hari di NPCT-1 hanya bisa menampung sekitar 1.000-an trucking, tetapi kini lebih dari 3.000-an truk per hari.

“Stagnasi dan kondisi seperti ini tidak boleh dibiarkan. Pelindo II mesti mengalihkan layanan kapal di NPCT-1 ke terminal lain di Priok. Semua terminal itu kan sahamnya dimiliki juga Pelindo II, istilahnya cuma memindahkan kantong kiri ke kantong kanan saja,” papar Gemilang.

Kantor  Syahbandar Pelabuhan Tanjung Priok juga telah menggelar rapat kordinasi pada Minggu,27 Mei 2018 yang dihadiri seluruh manajemen terminal peti kemas dan asosiasi pelaku usaha terkait di pelabuhan itu.

Dalam dokumen yang diperoleh Bisnis, dalam pertemuan itu, Syahbandar Pelabuhan Tanjung Priok mengusulkan agar gate NPCT-1 di pindah ke dalam lagi sehingga dapat menambah kapasitas daya tampung truck yang melayani terminal itu.

Kemudian, perlunya pengawasan di putaran Bogasari yang di sering menjadi salah satu titik kemacetan dan perlu diurai, serta perlunya dibuat buffer area dan jalan layang untuk visi jangka panjang.

Diurai

Layanan lima kapal kontainer ekspor impor di New Priok Container Terminal-One (NPCT-1) dialihkan ke fasilitas dua terminal peti kemas lainnya di pelabuhan tersibuk di Indonesia itu.

Direktur Operasi NPCT-1, Rino Wisnu Putro mengatakan, pengalihan kelima kapal kontainer itu akan dilakukan pada pekan ini juga untuk mengurai kepadatan di NPCT-1 dan kemacetan akses di jalur logistik pelabuhan Tanjung yang terjadi akhir-akhir ini.

“Kami baru saja selesai rapat dan sudah komunikasikan dengan semua pengelola terminal peti kemas di Priok untuk segera mengalihkan layanan lima kapal dari NPCT-1 ke terminal lainnya di Priok.Tetapi saya tidak hafal nama kapalnya apa saja,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (28/5/2018).

Rino mengatakan, kepadatan di NPCT-1 dan kemacetan di jalur logistik Priok saat ini telah menjadi permasalahan bersama pengelola terminal peti kemas di pelabuhan Priok sehingga diperlukan solusi yang saling membantu antar terminal.

Informasi yang diperoleh Bisnis, lima kapal yang akan dialihkan pelayanannya dari NPCT-1 itu antara lain sebanyak tiga kapal dialihkan ke JICT yakni; MV. TIX Evergreen (1 Juni 2018), MV. IA1 Maersk (1 Juni), dan MV. CIT Evergreen (2 Juni).

Sedangkan kapal yang dialihkan ke TPK Koja yakni; MV.Evergreen JPIA pada 30 Juni dan MV. MSC Capricon pada 31 Juni.

Pengelolaan JICT dan TPK Koja yang dikendalikan oleh Hutchison Port Holding (HPH) dan PT.Pelindo II/IPC telah memiliki sispro layanan standar internasional, fasilitas gate terintegrasi dengan inspeksi dan billing secara online.

Dikonfirmasi Bisnis, Direktur Operasi dan sistem Informasi Tehnologi PT.Pelindo II/IPC, Prasetiadi mengatakan, penyelesaian kepadatan di NPCT-1 dilakukan pada pekan ini juga dengan mengalihkan sejumlah layanan kapal ke terminal lain di Priok.

Saat ini, di Pelabuhan Priok terdapat lima fasilitas terminal ekspor impor yakni; JICT, TPK Koja, NPCT-1, Mustika Alam Lestari (MAL), dan Terminal 3 Priok.

“Semua pengelola terminal harus sinergi mencari solusi masalah kepadatan di jalur logistik Priok itu,” ujarnya.

Sekjen BPP Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Erwin Taufan mengungkapkan, dampak kepadatan di NPCT-1 dalam satu bulan terakhir ini menyebabkan biaya penumpukan peti kemas impor membengkak.

“Kami dapat aduan anggota importir yang kena biaya storage hingga ratusan juta akibat barang impor lambat keluar dari NPCT-1,” ujarnya. (halloindo.com/bisnis.com/ac)

MTI & Agung Raya jadi CFS, Barata bangun crane, Koja perkuat digital

Dua perusahaan penyedia layanan logistik di pelabuhan Tanjung Priok yakni PT. Multi Terminal Indonesia (IPC Logistic Services) dan PT.Agung Raya, menjadi operator fasilitas pusat konsolidasi kargo ekspor impor atau container freight station (CFS) center di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta.

JAKARTA (alfijak); PT. MTI merupakan salah satu anak usaha PT. Pelabuhan Indonesia II/ IPC, sedangkan PT. Agung Raya merupakan perusahaan swasta yang berkecimpung pada layanan logistik, pergudangan dan pengelola tempat penimbunan sementara (TPS) di wilayah pabean pelabuhan Priok.

Direktur Operasi dan Sistem Informasi Tehnologi Pelindo II, Prasetiadi mengatakan kedua perusahaan itu hanya berperan sebagai operator, sedangkan manajemen pengelolaan fasilitas CFS center dinaungi langsung oleh PT. Pelindo II cabang Tanjung Priok.

Jika tidak ada kendala berarti, imbuhnya, fasilitas CFS center di pelabuhan Priok bakal resmi dioperasikan pada pekan ini juga mengingat seluruh infrastruktur dan peralatannya sudah siap.

“Fasilitas CFS center di Priok sudah siap 100%.Pelindo II yang investasi termasuk menyediakan racking system, dan sistem IT terintegrasi untuk operasional maupun billing layanan termasuk SDM untuk melayani CFS itu,” ujarnya kepada Bisnis.com, Senin (20/11/2017).

Prasetiadi menjelaskan, fasilitas CFS centre di pelabuhan Priok berlokasi dekat dengan gate utama Pos 9 Pelabuhan Priok yang terletak di gudang eks Masaji Kargo Tama (MKT) dan gudang Agung Raya.

Dia juga mengatakan terkait dengan tarif layanan di CFS centre pelabuhan Priok akan mengikuti tarif yang berlaku saat ini sesuai dengan kesepakatan penyedia dan pengguna jasa pelabuhan melalui asosiasi terkait.

“Soal tarif itu domainnya penyedia dan pengguna jasa, kami hanya penyedia fasilitas CFS center tersebut,” paparnya.

Penyediaan fasilitas CFS centre di Pelabuhan Priok dimaksudkan untuk menertibkan layanan kargo impor berstatus less than container load (LCL) yang selama ini dikeluhkan pemilik barang impor di pelabuhan itu lantaran besaran tarif layanannya tidak bisa dikontrol bahkan cenderung liar.

Layanan kargo impor berstatus LCL itu selama ini tersebar di sejumlah fasilitas TPS lini dua yang masih berada diwilayah pabean pelabuhan Tanjung Prio.

Bangun crane

PT Barata Indonesia (Persero)  dan PT Pelabuhan Indonesia III sepakat untuk membangun fasilitas peralatan pelabuhan, crane di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Direktur Utama Barata Indonesia Silmy Karim mengungkapkan bahwa kesepakatan antara kedua perusahaan tersebut merupakan realisasi dari MOU yang telah ditantangani sebelumnya, pada bulan Maret lalu dimana Pelindo III sepakat untuk meningkatkan local content dengan melakukan sinergi dengan perusahaan sesama BUMN.

Menurutnya, kerja sama ini merupakan suatu bisnis model  yang diterapkan  antara Barata dan Pelindo III dalam rangka mengoptimalkan sinergi BUMN dan meningkatkan semangat lokal konten dalam mewujudkan  kemandirian Indonesia dalam produksi crane pelabuhan.

”Selain itu  proyek pembangunan crane untuk pelabuhan ini juga merupakan salah satu dukungan dari Barata Indonesia untuk progam konvektivitas khususnya peralatan pelabuhan,” ujar Silmy melalui siaran pers, Senin (20/11).

Dalam paket kerjasama ini, Barata Indonesia akan memproduksi 4 (empat)  buah Rubber Tyred Gantry Crane (RTGC) yang akan disewa oleh Pelindo III untuk digunakan di pelabuhan Tanjung Perak.

Barata Indonesia juga akan memberikan pelayanan maintenance terhadap crane yang diproduksi tersebut.

Silmy mengatakan, pembangunan crane bukanlah hal baru bagi perusahaan itu. Sebelumnya, Barata Indonesia juga pernah memproduksi RTGC untuk Pelabuhan Teluk Bayur serta Rail Mounted Harbour Crane (RMHC) untuk Pelabuhan Bontang.

Selain dengan Pelindo III, Barata Indonesia juga telah menjajaki kerjasama dengan Pelindo I, Pelindo II serta Pelindo IV.

Layanan digital TPK

Terminal Peti Kemas (TPK) Koja berupaya untuk meningkatkan efisiensi dan kepuasan pelanggan dengan menerapkan standar sistem manajemen mutu ISO 9001:2015.

TPK Koja menjadi terminal peti kemas yang pertama menerapkan ISO 9001:2015 di antara perusahaan-perusahaan sejenis lainnya di Tanjung Priok.

Manajer Quality Assurance & SMO TPK Koja Imam Sumedi menjelaskan, pada tahun ini perusahaan telah memulai migrasi dari ISO 9001:2008 ke ISO 9001:2015, ditandai dengan diterimanya sertifikat ISO 9001:2015 pada April 2017.

Pada akhir Oktober 2017, TPK Koja dinyatakan tetap layak menyandang sertifikat ISO 9001:2015 setelah dilakukan audit independen.

“Dalam kerangka saya, setidaknya TPK Koja menjadi yang pertama (penerapan ISO 9001:2015). Dan kami juga sudah berhasil meraih peringkat tertinggi score GCG dua tahun berturut-turut di antara seluruh anak perusahaan di bawah Pelindo II. Ke depan, kompetisi di terminal peti kemas akan bergerak ke arah persaingan mutu, kualitas, dan efisiensi,” kata di dalam rilisnya, Jakarta, Senin (20/11/2017).

Menurutnya, perbaikan utama yang dituntut dalam penerapan standar ISO 9001:2015 antara lain proses bisnis yang lebih terorganisasi (organizing process) dan efisiensi di setiap proses bisnis serta melakukan peningkatan berkelanjutan (continual improvement).

“Mewujudkan ke tiga hal di atas, ISO versi 2015 mensyaratkan pada kemampuan perusahaan mendengar suara pelanggan dan antisipasi risiko bisnis,” ujar dia.

Dia menerangkan, pelanggan sebagai salah satu kunci utama dari pemangku kepentingan (stakeholders) memiliki arti penting dalam pengembangan proses bisnis.

Pelanggan di sini bisa diartikan shipping line dan cargo owner serta tentu saja para freight forwarder.

“Perbedaan yang berarti dari ISO 2008 dan ISO 2015, kami harus menyerap suara pelanggan, apakah mereka puas dengan kinerja dan pelayanan perusahaan. Kami tidak punya pilihan lain kecuali bicara tentang efisiensi, risiko, dan mendengar suara pelanggan. Ini mesti mengubah paradigma. Tanpa itu kami tidak akan survive,” tuturnya.

Sementara terkait efisiensi, penerapan ISO 9001:2015 menuntut perusahaan untuk memperbaiki efisiensi di setiap proses bisnis yang dijalani.

Dengan proses bisnis yang makin efisien, tentu kinerja akan meningkat yang pada akhirnya bisa menarik lebih banyak pelanggan.

“Contoh, kapal dengan 2.000 boks peti kemas mungkin biasa kita handle 36 jam. Kalau bisa kami selesaikan dalam 24 jam, maka akan ada space waktu yang tercipta. Ulangi itu untuk beberapa kapal berikutnya, maka tercipta akumulasi space yang bisa menarik satu kapal lagi,” imbuh dia.

Dengan demikian, efisiensi dapat membuat semua pihak menjadi sustainable dan lebih mengukur kinerja serta mengendalikan aneka sumber daya, sehingga pelanggan merasa puas.

Salah satu manfaat penerapan ISO 9001:2015 antara lain, peningkatan rasio bongkar muat peti kemas dari kapal atau Box Crane per Hour (BCH).

Imam menjelaskan, rata-rata BCH TPK Koja per September 2017 sudah mencapai 23 boks per jam, meningkat dari periode sama tahun lalu yang mencapai 20.

Selain itu, throughput TPK Koja di pengujung 2017 diprediksi bakal mencapai 1 juta TEUs (Twenty-footer Equivalent Unit) bila mengacu pada throughput Januari-Agustus 2017 yang telah mencapai 654.677 TEUs.

Dia menilai TPK Koja sebagai the second biggest market leader di Tanjung Priok harus mengutamakan mutu, kualitas, dan efisiensi untuk dapat bersaing di antara pelabuhan terminal peti kemas.

Selain itu, TPK Koja juga dalam proses mengembangkan teknologi digital untuk mendukung pertumbuhan ke depan.

“Digitalisasi dan otomatisasi adalah keniscayaan yang sedang terjadi di TPK Koja. Sebagai contoh para pelanggan telah melakukan billing secara elektronik. Customer membuat sendiri billing, dan memasukkan sendiri pembayaran secara cash-less atau elektronis, berbeda dengan salah satu kompetitor yang masih manual. Ini memang tuntutan dari pelanggan,” papar Imam. (sindonews.com/bisnis.com/ac)

 

BC: relokasi barang longstay tekan dwelling time Priok

Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok menyatakan kegiatan relokasi/perpindahan peti kemas impor yang sudah clearance kepabeanan dari kawasan lini satu pelabuhan ke buffer area bakal efektif menekan dwelling time khususnya pada tahapan post custom clearance.

JAKARTA (alfijakarta): Kepala KPU Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok Fajar Doni mengatakan instansinya sangat mendukung adanya buffer area untuk menampung peti kemas impor yang sudah clearance atau mengantongi surat perserutujuan pengeluaran barang (SPPB) dari Bea dan Cukai namun belum diambil pemiliknya lebih dari 3 hari.

“Buffer area digunakan untuk menampung peti kemas impor yang sudah diberikan SPPB oleh Bea Cukai tetapi belum dikeluarkan dari TPS asal atau terminal peti kemas sehingga dapat mempengaruhi Dwelling Time khususnya pada tahap post customs clearance,” ujarnya kepada Bisnis pada Rabu (19/7/2017).

Dia mengatakan agar tidak membebani biaya logistik, sebaiknya lokasi buffer area peti kemas impor SPPB tidak terlalu jauh dengan pelabuhan Tanjung Priok.

Fajar menyampaikan hal itu menanggapi adanya aturan dari Menteri Perhubungan dan Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok, yang mengamanatkan peti kemas impor yang sudah SPPB dan menumpuk lebih dari 3 hari di pelabuhan (longstay) wajib dikeluarkan pemiliknya/direlokasi ke fasilitas non-TPS (tempat penimbunan sementara) di luar pelabuhan.

Direktur Operasi dan Sistem Informasi Tehnologi PT Pelindo II Prasetiadi mengatakan pihaknya akan mendukung dan mematuhi regulasi yang dikeluarkan Kemenhub dan OP Tanjung Priok soal perpindahan barang longstay tersebut.

“Tentunya kami dukung dan akan patuhi aturan itu,” ujarnya dikonfirmasi Bisnis.

Kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok telah mewajibkan supaya barang impor yang sudah mengantongi SPPB dan menumpuk lebih 3 hari dipindahkan ke buffer area atau lini 2 pelabuhan.

Hal itu diatur melalui Peraturan Menteri Perhubungan No:25/2017 tentang Perubahan atas Permenhub No:116/2016 tentang Pemindahan Barang yang melewati batas waktu penumpukan (longstay) di Pelabuhan Tanjung Priok, Belawan, Tanjung Perak, dan Makassar.

Beleid itu juga diperkuat dengan sudah adanya peraturan Ka OP Tanjung Priok No: UM.008/31/7/OP.TPK-16 tentang Tata Cara atau Standar Operasional Prosedur (SOP) Pemindahan Barang longstay di Pelabuhan Tanjung Priok.

Sekretaris Perusahaan Terminal Peti Kemas Koja Nuryono Arif mengatakan TPK Koja dan semua pihak mesti menaati regulasi yang ada sepanjang dalam koridor untuk membuat efisiensi biaya logistik di pelabuhan. (bisnis.com/ac)