Pemerintah terus berupaya meningkatkan kelancaran arus barang dan menurunkan biaya logistik nasional yang mampu mendorong daya saing industri manufaktur dalam negeri. Hal ini terbukti melalui penerbitan paket kebijakan ekonomi XV pada tahun 2017 tentang jasa logistik nasional.
JAKARTA (alfijak); “Salah satu implementasi dari paket kebijakan tersebut adalah upaya untuk menyederhanakan tata niaga melalui pergeseran pengawasan ketentuan larangan dan/atau pembatasan (lartas) dari border ke post border,” kata Ngakan Timur Antara, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian di Jakarta, Kamis (8/2).
Menurut Ngakan, kebijakan pemeriksaan barang di luar kawasan kepabeanan atau post border mulai efektif diterapkan pada 1 Februari 2018 melalui sistem Indonesia National Single Window (INSW). Dia menambahkan, dari total 10.826 kode harmonized system (HS) atau uraian barang yang ada saat ini, sebanyak 5.229 kode HS atau 48,3% adalah lartas impor.
Sebagai perbandingan, rata-rata negara ASEAN menetapkan lartas di border berkisar sekitar 17% kode HS.
“Untuk itu, pemerintah menetapkan pengurangan lartas di border dengan target sebesar 2.256 Kode HS atau 20,8% yang tersisa,” lanjut dia.
Ngakan menjelaskan, pada prinsipnya pengawasan post border tersebut dilakukan untuk mempercepat arus pengeluaran barang dari pelabuhan.
Adapun pengawasan post border berlaku dengan ketentuan, antara lain untuk bahan baku, yang dilakukan sistem post audit terhadap industri pemakainya.
“Untuk barang konsumsi, dilakukan dengan sistem risk management atau persyaratan pra-edar seperti label makanan luar yang diterbitkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM),” tuturnya.
Sementara itu, dalam rangka pergeseran lartas ke post border, pemerintah juga mengubah regulasi dari tujuh Kementerian dan Lembaga, yaitu Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian ESDM, Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan BPOM.
Terkait dengan Kemperin, pengawasan post border terhadap produk-produk yang diberlakukan SNI secara wajib mencakup 249 kode HS, terdiri dari 17 kode HS produk industri agro, 113 produk industri kimia, tekstil dan aneka, serta 119 produk industri logam, mesin, alat transportasi dan elektronik.
“Dengan diberlakukannya pengawasan post border, Kemperin akan melakukan integrasi Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) dengan Portal INSW untuk sinkronisasi data importasi produk yang real time sehingga akan dapat meningkatkan pengawasan yang lebih efektif,” papar Ngakan.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyatakan, kebijakan penyederhanaan tata niaga impor melalui pergeseran pengawasan sejumlah barang yang terkena lartas dari kawasan pabean menjadi di luar kawasan pabean dapat memberikan dampak positif terhadap kinerja industri nasional.
Menurut Airlangga, langkah strategis ini dipastikan dapat mendorong pengembangan daya saing industri nasional sekaligus akan meningkatkan nilai investasi yang masuk ke dalam negeri.
“Tahun ini sudah ada industri yang menyatakan ingin ekspansi, di antaranya adalah Coca-Cola, Mattel, Cabot Corporation, dan Cargill. Tetapi syaratnya bahan bakunya tidak diregulasi, atau tidak kena lartas,” ungkap Airlangga.
Airlangga menambahkan, kebijakan terkait kemudahan mendapatkan bahan baku industri adalah hal biasa di negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam.
Dengan memberikan kemudahan bahan baku impor, bukan berarti perekonomian Indonesia akan menurun, malah sebaliknya.
Terlebih lagi, industri memberikan kontribusi terbesar pada nilai ekspor Indonesia. Karena sejatinya bahan baku itu untuk dijadikan produk-produk industri yang berorientasi ekspor seperti farmasi, makanan dan minuman, serta lain sebagainya.
“Kita tidak bisa menutup mata kalau ekspor kita 76% dari industri, dan investasi tertinggi itu juga datang dari sektor industri,” imbuh Airlangga.
Kalah di perjanjiaan dagang
Salah satu penghambat tersebut adalah sedikitnya perjanjian perdagangan yang telah disepakati Indonesia, dengan mitra-mitra dagangnya.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengungkapkan, perjanjian dagang yang sudah dimiliki Indonesia kurang dari 15. Padahal menurutnya, Vietnam saat ini sudah mempunyai 24 perjanjian perdagangan.
“Ini yang harus Indonesia kejar. Dalam 8 tahun terakhir cuma 1 perjanjian dagang yang kita selesaikan,” ungkap Airlangga di Hotel Raffless, Jakarta, Kamis (8/2).
Dia menambahkan, saat ini pihaknya bersama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sedang merumuskan langkah untuk mengejar ketertinggalan.
Dengan adanya perjanjian dagang antara dua negara atau dengan kawasan regional, maka hambatan ekspor-impor bisa diatasi. Misalkan dengan adanya kesepakatan soal tarif masuk yang rendah atau malah dibebaskan sama sekali.
Kelambatan Indonesia dalam menyepakati perjanjian dagang dengan mitra-mitra utamanya, sebelumnya dikeluhkan kalangan pengusaha. Salah satu kawasan yang merupakan pasar ekspor potensial Indonesia namun belum ada perjanjian dagang adalah Eropa.
Working Group Team Kadin-Apindo Anne Patricia mengungkapkan, Eropa adalah pasar ketiga terbesar di dunia, di bawah China dan Amerika Serikat (AS). Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Eropa juga cukup besar rata-rata mencapai USD 42.000 per kapita.
“Kita harus bisa tahun ini juga (menyepakati perjanjian dagang).
Multiplier effect-nya sangat luar biasa,” ujar dia dalam workshop mengenai Free Trade Agreement (FTA) yang diselenggarakan di Menara Kadin, Kuningan, Jakarta, Rabu (31/1).Sedangkan yang terjadi pada produk Indonesia, justru sebaliknya.
“Produk Indonesia tidak kalah dengan Vietnam. Tapi (tarif impor) bedanya sampai 20% mau apa?,” ucapnya.
Dengan kebijakan ini maka harga produk tekstil Indonesia di Eropa jauh lebih mahal dibandingkan Vietnam sehingga tidak berdaya saing.
Selain dijegal dengan tarif bea masuk tinggi sekitar 8-20% oleh Eropa, biaya produksi dan logistik tekstil di Indonesia juga cukup tinggi. (kontan.co.id/kumparan.com/ac)