JAKARTA (alfijak); Enggar mengungkapkan, salah satu pengusaha e-commerce mengakui mayoritas produk yang dijual e-commerce adalah barang impor.
Karena itu, dalam waktu dekat, pihaknya akan memanggil para pelaku usaha e-commerce agar menjual produk lokal
“Salah satu marketplace itu menyampaikan secara jujur bahwa dari 2,5 juta hanya 100 ribu domestiknya. Artinya itu di bawah 10 persen produk dalam negeri yang dijual melalui market place,” katanya di Jakarta.
Dia berharap, e-commerce mulai memperbanyak menjual produk-produk usaha kecil menengah (UKM). Minimal, produk dari UKM binaan yang memang sudah terseleksi secara kualitas. Kepala Dinas Provinsi harus menjamin produknya agar konsumen tidak kapok.
“Kita sesuai arahan Presiden, online ini atau e-commerce ini harus bisa kita manfaatkan untuk memasarkan produk kita keluar, bukan negara kita dijadikan pasar oleh produk luar,” terang dia.
Selain itu, kata dia, untuk e-commerce luar negeri yang mengirimkan barang ke Tanah Air rencananya akan dibuatkan aturan agar barang yang mereka kirimkan ke Indonesia harus dimasukkan terlebih dahulu ke Pusat Logistik Berikat (PLB). Selama ini mereka dengan mudah mengirimkan barang tanpa dikenakan pajak.
“Mereka tidak bayar pajak, apalagi tenaga kerja dan sebagainya. Ini bagian dari yang harus kita rumuskan,” jelasnya.
Ketua Asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) Aulia E Marinto mengungkapkan, beredarnya produk impor di online merupakan transformasi toko konvensional. Awalnya produk impor sudah ada di toko-toko konvensional, baik Usaha Kecil Menengah (UKM) maupun distributor. Setelah industri e-commerce merebak, barang tersebut dijual secara online.
“Barang impor e-commerce itu karena adanya barang offline. Jadi sebenarnya barang impor yang dijual di online itu barang offline. Jadi kalau mau ditanya kenapa banyak barang impor di online, ya karena banyak barang impor di offline,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka.
Dia hanya mencontohkan kategori populer di e-commerce adalah ponsel. Sedangkan di toko konvensional, ponsel juga produk yang populer. Sementara pada umumnya ponsel merupakan barang impor.
“Jadi ini perlu diluruskan. Betul barang impor banyak beredar, tapi itu karena sudah ada di offline, dan temen-temen itu membuka toko online karena dia sudah berjualan di offline,” tegasnya.
Menurut dia, era digital momentum yang tepat mendorong produk dalam negeri. Secara umum produk lokal dihasilkan oleh UKM, meskipun ada beberapa dari perusahaan besar seperti Wardah, Viva, atau Maspion untuk elektroniknya.
Namun, kata dia, konsumen Indonesia sendiri lebih mencari barang branded karena sudah terjamin kualitasnya. Dengan kondisi seperti ini, pemerintah diharapkan memberi edukasi kepada UKM.

“Ini harus paralel kalau kita ingin mendorong produk lokal. Karena dengan teknologi produk lokal bisa lebih cepat terjual,” katanya.
Dalam jangka pendek, Aulia mengimbau pemerintah segera menyusun langkah konkret guna membantu UKM. Sebagai penganut ekonomi kerakyatan, dan terbukti penopang ekonomi saat krisis, sudah seharusnya pemerintah memberdayakan UKM.
“Jangka panjangnya, pemerintah melakukan inisiatif dan itu terkait regulasi yang mendorong mereka. Yang belum ada saat ini adalah sinkronisasi antara semua pihak. Semuanya ngomongin UKM, tapi belum tersinkronisasi kalau saya lihat, perlu menyamakan langkah, kita harus cari terobosan,” cetusnya.
Memang dalam beberapa tahun terakhir, industri e-commerce meningkat signifikan. Sayangnya, hal tersebut tidak dibarengi peningkatan jumlah produk-produk buatan Indonesia yang dipasarkan di platform belanja daring. (rmol.co/ac)