Pengusaha bongkar muat peti kemas yang tergabung dalam Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) meminta kepada Kementerian Perhubungan untuk memperpanjang pengalihan bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok yang sebelumnya hanya dilakukan di Jakarta International Countainer Terminal (JICT).
JAKARTA (alfijakarta): Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki Nugrahawan Hanafi mengungkapkan semenjak pekerja JICT mogok kerja beberapa waktu lalu pengalihan aktivitas bongkar muat peti kemas berjalan lancar.
“Kami juga terus memonitor kondisi dan memberikan masukan, baik di pelabuhan maupun di sekitarnya, misalnya kondisi kemacetan jalan di luar pelabuhan, bagaimana solusinya,” ucap Yukki dalam keterangannya, Selasa (12/9/2017).
Dia berharap perpanjangan pengalihan itu dilakukan demi kelancaran arus bongkar muat di terminal petikemas mengingat traffic akan meningkat menjelang akhir tahun.
Dijelaskan Yukki, traffic arus bongkar muat di terminal petikemas akan meningkat seiring kenaikan permintaan ekspor terutama di akhir tahun.
“Sebagai ilustrasi, pada akhir tahun biasanya terjadi kenaikan ekspor ke Eropa dan Amerika terutama untuk baju hangat dan produk lainnya. Ini siklus tahunan, biasanya akhir tahun justru terjadi kenaikan arus barang ekspor,” paparnya.
Sebelumnya, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi memerintahkan Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok dan Kantor Syahbandar Pelabuhan Utama Tanjung Priok untuk menyelesaikan kemelut JICT, serta menyiapkan tiga opsi sebagai antisipasi bersama seluruh stakeholder, terkait aksi mogok para pekerja JICT pada 3-10 Agustus 2017 lalu.
“Layanan di pelabuhan tidak boleh terganggu, karena itu mesti ada langkah konkret untuk menjaminnya (contigency plan),” kata Budi, beberapa waktu lalu.
Berdasarkan instruksi tersebut, Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok menunjuk sejumlah terminal petikemas untuk pengalihan layanan dari JICT, antara lain TPK Koja, NPCT 1, dan Pelabuhan Jakarta.
TPK Koja diminta untuk menangani dan memastikan atas kegiataan arus barang berjalan dengan lancar di Pelabuhan Tanjung Priok berdasarkan Surat OP no: UM.002/17/18/OP.TPK/17.
Upah per boks
Pemberlakuan sistem pembayaran jasa Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) di sejumlah terminal peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, yang kini menggunakan hitungan tarif per boks kontainer, diminta ditinjau ulang.
Peninjauan ini dimaksudkan agar pola kemitraan yang dibangun antara Koperasi Karya Sejahtera TKBM (KSTKBM) dengan pihak terminal peti kemas terjalin hubungan yang saling menguntungkan sehingga tidak merugikan buruh bongkar muat.
“Kami sudah evaluasi menyeluruh terhadap penerapan sistem tarif per boks kontainer. Karena itu kami mendesak agar Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) antara koperasi dengan pihak terminal peti kemas khususnya JICT dan TPK Koja ditinjau ulang,” ujar Usup Karim, Sekjen Serikat Tenaga Kerja Bongkar Muat (STKBM) kepada Bisnis.com, Selasa (13/9/2017), di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta.
Evaluasi dimaksud, menurut Usup, menyangkut rendahnya produktivitas terminal peti kemas selama dua bulan terakhir, membuat pendapatan koperasi menurun drastis.
Apalagi saat terjadi mogok kerja di Jakarta International Container Terminal (JICT) yang membuat aktivitas bongkar muat lumpuh. Begitu pun di TPK Koja yang pada saat kebanjiran limpahan kapal dari JICT menyebabkan turunnya produktivitas kegiatan bongkar-muat.
Padahal, meski produktivitas terminal peti kemas turun, koperasi harus tetap membayar upah TKBM dalam jumlah yang sama. Kondisi inilah yang memicu tersendatnya pembayaran upah kepada TKBM.
Usup menjelaskan, STKBM mengusulkan tiga perbaikan dalam KKB yang ditandatangani antara pihak koperasi dan manajemen terminal peti kemas.
Pertama, adanya ketentuan produktivitas minimal terminal peti kemas. Jika produktivitas di bawah standar, pembayaran upah TKBM dibebankan kepada terminal peti kemas berdasarkan upah harian. Sistem pembayaran bisa kembali kepada perhitungan boks kontainer jika produktivitas mencapai standar minimal 27 boks kontainer per jam.
Kedua, merevisi besaran tarif jasa bongkar muat yang dibayarkan kepada TKBM. Tarif yang disepakati berdasarkan produktivitas ketika masih diberlakukan upah harian.
Usup mencontohkan, jika saat diberlakukan upah harian, terminal peti kemas mengeluarkan biaya sebesar x rupiah untuk sekian ribu boks kontainer per bulan, berarti tinggal membagi biaya x tersebut dengan jumlah box kontainer dalam satu bulan. Angka yang muncul ini ditambah biaya-biaya lainnya kemudian dijadikan acuan penetapan tarif.
“Perubahan sistem pembayaran seharusnya tidak dimaksudkan mengurangi kesejahteraan pekerja TKBM. Selama ini dengan sistem pembayaran per box kontainer mengesankan pihak terminal peti kemas memangkas pengeluaran biaya TKBM,” paparnya.
Ketiga, meski perubahan hitungan per box kontainer bersifat business to business (b to b) antara koperasi dengan pihak terminal peti kemas, hendaknya tetap melibatkan serikat pekerja dalam melakukan pembahasan tarif. Hal ini agar tetap sejalan dengan KM 35/2007 mengenai penggunaan tenaga kerja bongkar muat di pelabuhan.
“Prinsipnya, sistem apapun yang diberlakukan, STKBM akan mendukung sepanjang tidak merugikan kesejahteraan TKBM,” ujar dia. (liputan6.com/bisnis.com/ac)