Darmin: hati-hati kelola laju impor bahan baku & penolong

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan pemerintah akan berhati-hati mengelola laju impor bahan baku dan bahan penolong. Hal ini dilakukan, menurutnya, agar tidak memengaruhi produksi industri manufaktur.

JAKARTA (alfijak): “Saya tidak mau bilang buru-buru yang mana (yang dibatasi). Kami masih mau cari mana yang bisa dikurangi, yang tidak memengaruhi produksi,” kata Darmin ditemui di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu (4/7) malam.

Mantan gubernur Bank Indonesia itu mengatakan upaya meneliti dan menyeleksi impor tersebut bertujuan untuk membenahi neraca perdagangan Indonesia yang defisit.

“Pertama-tama sebenarnya sebelum (berdampak pada) transaksi berjalan, neraca perdagangan dulu atau ekspor impor barang, yang memang kita enam bulan terakhir ini defisit,” kata Darmin.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2018 mengalami defisit hingga 1,52 miliar dolar AS yang dipicu oleh defisit sektor migas 1,24 miliar dolar AS dan nonmigas 0,28 miliar dolar AS.

Kinerja ekspor pada Mei 2018 meningkat, namun diketahui bahwa jumlah impor ternyata lebih besar. Neraca perdagangan Indonesia pada April 2018 juga tercatat defisit sebesar 1,63 miliar dolar AS.

Defisit pada April dan Mei 2018 tersebut lebih dalam dibandingkan defisit pada Desember 2017 hingga Februari 2018. Neraca perdagangan Indonesia pada Desember 2017 mengalami defisit sebesar 0,27 juta dolar AS, Januari 2018 juga tercatat defisit 0,68 miliar dolar AS, dan Februari 2018 neraca perdagangan Indonesia kembali defisit 0,12 miliar dolar AS.

Menurut data BPS, neraca perdagangan Indonesia hanya terjadi surplus pada Maret tahun ini, yaitu sebesar 1,09 miliar dolar AS.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pemerintah akan meneliti kebutuhan impor secara lebih selektif supaya benar-benar menjadi sesuatu yang mendukung perekonomian Indonesia.

“Kami secara selektif akan meneliti siapa-siapa yang membutuhkan. Apakah itu dalam bentuk bahan baku atau barang modal dan apakah mereka betul-betul strategis untuk menunjang kegiatan perekonomian dalam negeri,” kata Sri Mulyani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (3/7).

Langkah untuk meneliti impor tersebut merupakan upaya koreksi terhadap sentimen negatif yang menyebabkan tren pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Sri Mulyani mengatakan seleksi impor tersebut juga dapat melihat apakah impor bahan baku dan bahan penolong selama ini mampu digunakan untuk menunjang produksi.

“Kalau barang modal yang berhubungan dengan proyek-proyek besar, terutama yang berhubungan dengan proyek pemerintah, kami akan lihat kontennya apa dan apakah proyek-proyek ini adalah proyek yang harus diselesaikan dan harus mengimpor barang modal,” ujar Menkeu.

Belum overheating

Senior BI Mirza Adityaswara menyatakan, defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan Indonesia yang melebar hingga pertengahan kuartal II-2018 tidak menunjukkan ekonomi Indonesia yang sedang overheating atau bertumbuh melebihi kapasitasnya.

“Peningkatan impor pada Mei 2018 juga terjadi karena kebutuhan pembangunan untuk ekonomi jangka panjang,” ujar dia.

Mirza mengakui defisit neraca perdagangan Mei 2018 yang mencapai US$ 1,52 miliar dapat menambah defisit transaksi berjalan yang diperkirakan di atas 2,5% pada kuartal II-2018, tapi tidak akan melewati 3% dari produk domestik bruto (PDB).

Sepanjang Januari hingga Mei 2018, defisit neraca perdagangan Indonesia mencapai US$ 2,38 miliar, sedangkan defisit transaksi berjalan kuartal I-2018 tercatat sebesar 2,15% dari PDB.

Dalam impor Januari-Mei 2018 itu, kata Mirza, terdapat impor untuk kebutuhan ekonomi jangka panjang yang antara lain adalah impor untuk pembangunan infrastruktur sebesar US$ 4 miliar, impor pertahanan US$ 1,1 miliar, dan beras US$ 400 juta.

“Jadi sebenarnya neraca perdagangan Januari-Mei yang defisit, kalau dikeluarkan impor infrastruktur di mana untuk pembangunan jangka panjang, neraca perdagangan indonesia itu surplus,” tandas dia.

Menurut Mirza, dengan asumsi itulah, meskipun defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan meningkat, ekonomi Indonesia belum overheating. Selain itu, jika melihat indikator lain, seperti pertumbuhan kredit perbankan yang hanya naik 10,2% (yoy) per Mei 2018 dan 2,9- 3% (ytd), ekonomi Indonesia masih dalam berproses untuk pulih, bukan proses yang menunjukkan agresivitas pertumbuhan.

“Kondisi ini berbeda dengan semester I-2013. Saat itu impor tinggi, pertumbuhan kredit tinggi di atas 20%, harga properti juga tinggi. Jadi, situasi semester I-2013 mungkin ekonomi yang sedang overheat, tapi sekarang tidak,” tegas dia.

Bank sentral memproyeksikan ekonomi Indonesia tahun ini akan tumbuh 5,2% (yoy). (republika.co.id/beritasatu.com/ac)