Arsip Tag: Bandara Soetta

Tarif Sewa Gudang di Soetta Akan Naik, Biaya Logistik Bakal Meroket

ALFIJAK – Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) mendesak manajemen PT Angkasa Pura 2 (AP2) untuk tidak menaikkan biaya sewa pergudangan di kawasan bandara Soekarno Hatta (Soetta), ditengah situasi sulit yang dialami pebisnis akibat Pandemi Covid-19.

Ketua Umum DPP ALFI Yukki Nugrahawan Hanafi mengemukakan, asosiasinya menerima keluhan dan laporan dari sejumlah perusahaan logistik prihal rencana penaikkan biaya sewa fasilitas pergudangan di kawasan tersebut.

Padahal, kata dia, disisi lain pelayanan kargo udara di bandara Soetta itu hingga saat ini masih sangat tertinggal dari sisi volume maupun kecepatan, atau dinilainya belum efisien.

“Layanan kargo udara pada awal nya hanya merupakan supportting di Soetta dan bisa terlihat dari fasilitas gudang-gudang eksisting sudah sangat tertinggal. Tetapi angkutan layanan kargo udara sekarang ini menjadi pendapatan utama karena dampak pandemi Covid 19,” ujarnya.

Dia mengatakan, turunnya jumlah penumpang pada angkutan udara juga memengaruhi pendapatan pengelola bandar udara termasuk di Soetta. Sehingga tidak tepat jika manajemen AP2 justru mencari jalan pintas dengan menaikkan tarif sewa pergudangan kargo udara akibat merosotnya jumlah penumpang pesawat.

Semestinya, imbuh Yukki, dimasa pandemi Covid 19 sekarang ini semua pihak menyadari bahwa mendorong digitalisasi, inovasi, kelancaran arus barang dan efisiensi merupakan kata kunci dalam kegiatan usaha agar bisa tetap berlangsung, bukan semata-mata menaikkan harga yang justru akan membebani masyarakat konsumen termasuk sekitar 298 perusahaan anggota ALFI yang berkegiatan di Soetta.

“Padahal selama ini, para pengelola/mitra kerja atau penyewa gudang kargo di Soetta sudah mengemukakan, jangankan mencari keuntungan. Bahkan untuk bertahan di tengah pandemi Covid-19 saja, perusahaan sudah megap-megap. Kok ditengah situasi seperti saat ini AP2 justru ingin menaikkan tarif sewa gudang ?,” ucap Yukki.

Yukki mengatakan, akibat tidak tepatnya kebijakan AP2 tersebut, pihaknya mendapat informasi bahwa para peserta tender pergudangan kargo yang diselenggarakan BUMN tersebut baru-baru ini justru lebih memilih mengundurkan diri lantaran tidak sanggup memenuhi persyaratan dalam tender, termasuk adanya kenaikan biaya sewa gudang hingga 80%.

“Menaikkan revenue sebagai korporasi memang itu wajar, tetapi dalam situasi dan kondisi seperti sekarang ini apakah langkah kebijakan seperti itu sudah tepat ?. Dan kita ini kalau ingin menjadi pemain di regional pola pikirnya bukan menaikkan sewa tapi ada adalah volume, sebab dengan naiknya volume dan kemudahan serta perbaikkan pelayanan pasti indikator lainnya ikut naik termasuk keuangan,” papar Yukki yang juga Chairman Asean Federation Forwarders Association (AFFA)

Perlu Dialog

ALFI juga mengingatkan,  peran AP2 sebagai landlord bukan berarti bisa berbuat sesukanya dalam hal menaikkan tarif sewa fasilitas pergudangan di Soetta tanpa adanya diskusi dan dialog terlebih dahulu dengan pengguna jasa maupun pelaku usaha.

“Diskusi dan dialog dalam hal ini sangat penting untuk membangun ekosistem logistik yang handal dan bisa bersaing,” tuturnya.

Namun, kata Yukki, akibat Pandemi Covid 19 saat ini, pendapatan AP2 diduga mengalami penurunan omzet sekitar 40% akibat merosotnya jumlah penumpang pesawat.

Sayangnya AP2 hanya melihat dari sisi pendapatan, tidak melihat volume trafik dan perbaikan pelayanan,” ujar Yukki.

Disisi lain, jelas Yukki, apabila ada operator atau peserta tender yang memenangi lelang, maka operator baru tersebut yang akan melakukan seluruh biaya investasi untuk level of service yang telah ditargetkan oleh AP2 yang kemungkinan nilainya bisa mencapai ratusan milyar, padahal masa kerjasama hanya berlangsung selama 4 tahun.

“Hal ini sulit bagi operator/mitra untuk menjustify investasi tersebut bila waktu kerjasama hanya 4 tahun dan tanpa jaminan perpanjangan,” tandas Yukki.

Dia menegaskan, dengan alasan apapun saat ini sulit bagi pelaku usaha untuk menerima penaikkan tarif sewa gudang di Soetta itu yang notabene terkesan dipaksakan ditengah situasi Pandemi Covid 19 saat ini.

Padahal pelayanan di Soetta selama ini telah berstandar IATA dan Airline juga sudah memenuhinya.

“Kita sebagai pengusaha, tentu ada perhitungan bisnisnya sebelum melakukan investasi. Kami justru menilai kenaikan tarif sewa gudang kargo udara di Soetta oleh AP2 tanpa memberi nilai tambah kepada end-user (eksportir dan importir) yang ujungnya harus membayar biaya sewa gudang ini. Kondisi seperti ini justru berpotensi membuat biaya logistik melambung, bahkan multiflier efeknya bisa  memperburuk pertumbuhan perekonomian nasional akibat banyak pelaku bisnis yang gulung tikar,” ujar Yukki.(#)

ALFI Tampung Keluhan Pengusaha Logistik di Bandara Soetta

Widijanto, Ketua DPW ALFI DKI JAKARTA

JAKARTA: Sejumlah Freight Forwarding  yang menangani barang impor/ ekspor   via Bandara  Soekarno-Hatta atau sering  disebut Air Freight Forwarding melaporkan keluhannya ke DPW Asosiasi  Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta.

Pasalnya, mereka  sering menjerit akibat  terkena denda  sebagai dampak dari penerapan Peraturan Menteri Keuangan   No 158/PMK.04/2017, kata Ketua DPW ALFI DKI  Widijanto kemarin.

Peraturan Menkeu No 158/PMK.04/2017 mengatur tentang Tatalaksana Penyerahan Pemberitahuan  Kedatangan Sarana Pengangkut, Manifest Kedatangan Sarana Pengangkut dan Manifes Keberangkatan Sarana Pengangkut.

Widijanto mengatakan sesuai ketentuan PMK No 158/PMK . 04/2017 forwarding yang menangani impor /ekspor  melalui udara harus submit inward manifest ( impor ) dan outward manifest (ekspor) paling lambat saat pesawat landing menyentuh landasan untuk barang impor dan  pesawat lepas landas untuk barang ekspor.

“Kalau terlambat, tidak ada ampun forwarding dikenakan sanksi denda minimum Rp 10 juta dan maksimum Rp 100 juta. Selain itu kalau terjadi kesalahan  dalam hal jumlah kemasan juga didenda minimum Rp 25 juta dan maksimum Rp 250 juta, ” tegas Widijanto, dikutip dari indocargotimes.com (25/3)

Menindaklanjuti keluhan anggota, kata Widijanto, DPW ALFI DKI, 13 Maret 2019 menyurati Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi. “Kami antara lain  minta agar  forwarding  yang beroperasi di bandara (air freight forwardinng)  diberikan perlakuan khusus, mengingat cepatnya waktu lalulintas  (landing/take off) pesawat terbang”.

ALFI DKI  minta  batas waktu penyampaian inward manifest/outward manifest dapat diperlonggar  maksumum 1×24 jam agar forwarding punya waktu untuk berkoordinasi  dengan pihak Air Lines/ground handling di Bandara.

“Kita juga minta agar besaran denda kepada forwarding sebagai pengangkut kontraktual atau Non-Vessel Operating Common Carrier (NVOCC) tidak disamakan dengan Air Lines sebagai Real Carrier karena sebagian besar forwarding tergolong UKM.

Widijanto mengatakan keterlambatan forwarding menyampaikan inward manifest sering terjadi bukan akibat dari kesalahan mereka.

Misalnya forwarding di Singapura sudah beritahukan via email kepada agennya di Indonesia akan kirim barang melalui penerbangan SQ no X dengan perkiraan berangkat atau estimated time departure (ETD) pk17.00.

Forwarding di Indonesia tentu melakukan hitungan dengan jarak tempuh Singapura -Jakarta sekitar 2 jam, berarti  estimated time arrival (ETA) pk 19.00 WIB. Saat itulah paling lambat dia harus submit inward manifest.

Tapi di luar dugaan sebelum pesawat SQ X berangkat ada pesawat SQ no… lain ke Jakarta ETD pk 14.00. Karena  tempat kargo kosong barang tadi dibawa  dan tiba di Jakarta sekitar pk 16.00. Akibatnya Forwarding di Jakarta terlambat sampaikan inward manifest dan kena denda.

Widijanto mengatakan dulu sebelum Forwarding diakui sebagai NVOCC, beban denda –sesuai UU Pabean– menjadi tanggungjawab real perusahaan  pengangkut.

Namun sejak forwarding diakui sebagai pengangkut kontraktual (NVOCC), tambahnya, beban denda dialihkan ke forwarding. Ini sangat memberatkan bagi forwarding khusuanya yang beroperasi di bandara, tuturnya.(ri)