RUU Cipta Kerja Belum Akomodir Sektor Logistik

ALFIJAK – Ketua Umum DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI), Yukki Nugrahawan Hanafi menyayangkan Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja yang sedang digodok Pemerintah saat ini belum mengakomodir kebutuhan pengusaha di sektor logistik.

Padahal, kata dia, cantolan aturan yang sudah mencakupi berbagai jenis usaha di sektor logistik dapat dilihat dari peraturan menteri perhubungan (PM) No. 49/2017 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Jasa Pengurusan Transportasi (PPJPT).

“PM 49 itu sudah lengkap mencerminkan kegiatan logistik nasional dan internasional, yang terdapat 21 jenis usaha. Malah aturan ini tidak masuk sebagai landasan dari RUU Cipta Kerja itu” ujar Yukki melalui keterangan pers-nya.

Menurut dia, yang dijadikan landasan dalam penyusunan RUU Cipta Kerja itu adalah justru beleid yang berkaitan dengan aktivitas angkutan multimoda.

Padahal, RUU Cipta Kerja tersebut bertujuan memudahkan investor dalam aspek perizinan usaha di dalam negeri.

“Sangat kami sayangkan karena ketika dari sisi logistik yang dijadikan landasan hukum RUU itu malah aturan yang tidak lengkap. Padahal, kebijakan yang menyangkut angkutan multimoda tersebut belum mengatur jenis usaha yang lebih holistik di bidang logistik,” tuturnya.

Yukki menilai jika cantolan utama RUU itu adalah aturan multimoda, maka sebagaimana tertuang pada PP maupun Perpres-nya menyebutkan bahwa aturan multimoda itu justru belum bisa memberikan secara lengkap logistik end to end.

Padahal, kata dia, kegiatan logistik end to end itu tidak hanya berkaitan dengan moda transportasinya. Sehingga kemudahan dengan satu izin usaha dalam RUU itu masih berpeluang terjadi pihak yang berkegiatan end to end mesti menggunakan beberapa izin.

Izin pun masih harus melalui beberapa Kementerian seperti Kementerian Perhubungan (Kemenhub), dan Kementerian Perdagangan (Kemendag).

Oleh karenanya, imbuh Yukki, pelaku usaha logistik, berharap RUU Cipta Kerja mengakomodir seluruh proses bisnis/jasa logistik dari awal hingga akhir atau end to end.(#).

Adapun saat ini ketika menggunakan landasan aturan angkutan multimoda baru mencakupi izin-izin yang terbatas. Padahal ruang lingkup logistik mestinya harus standar internasional.

“Kami sampaikan ini ke Kemenko Perekonomian dan Kemenhub, kalau cantolannya multimoda malah akan menghambat karena pada akhirnya tidak menyederhanakan izin. Padahal, ada permenhub baik darat laut udara kereta yang sudah standar tingkat internasional dari berbagai macam, misal liability insurance, standard trading sudah internasional,” tegasnya.

Selain itu, Ketua Asosiasi Forwarder Asean ini pun mengaku kaget karena selain omnibus law pemerintah tengah menggodok UU tentang pos dan logistik.

Dia menyayangkan hal tersebut, UU baru malah akan membuat aturan turunan baru yang berujung pada perizinan baru. Artinya, setelah RUU Cipta Kerja akan ada perizinan-perizinan baru yang mesti disesuaikan.

Pria asal Jawa Barat ini mengungkapkan kalau pemerintah ingin investasi masuk melalui omnibus law tersebut, seharusnya tidak melihat logistik dari sisi moda transportasi saja tetapi harus menyeluruh.

Selain itu, terangnya, dalam perspektif logistik RUU tersebut belum memberikan kemudahan berusaha. Padahal, pihaknya sudah turut memberikan masukan.

“Saya berharap RUU Cipta Kerja di tingkat implementasinya tidak melempem, ini sudah baik common practice mesti nasional dan internasional, kami kaget juga usulannya kami tidak sesuai dengan hasilnya,” ujarnya.(ri)