Yukki: penyempurnaan PDE manifes akan perbaiki LPI Indonesia

Rencana mogok pekerja JICT ancam investasi sektor logistik

Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) menilai rencana para karyawan Jakarta International Container Terminal mogok kerja pada 3-10 Agustus 2017 dapat mengganggu iklim investasi Indonesia. Hal ini tak sejalan dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan investasi di Tanah Air.

JAKARTA (alfijakarta): “Mogok di pelabuhan dapat mengganggu iklim investasi di Indonesia. Mogok memang hak pekerja tetapi sebaiknya pelayanan tetap jalan,” ujar Ketua ALFI Yukki Nugrahawan Hanafi di Jakarta, Rabu (26/7).

Menurutnya, apabila pelayanan tetap jalan shippingline dapat tetap masuk dan bongkar muat di JICT. Hal tersebut akan membuat para pelaku industri menjadi lebih tenang dan yakin terhadap kondisi di Indonesia.

Pekerja pelabuhan yang mogok tidak hanya berdampak pada operator semata. Tetapi, juga diperlukan koordinasi dari berbagai shipping line untuk mengalihkan pelayanan selama masa mogok.

Hal tersebut yang berpotensi menimbulkan nuansa ketidakpastian bagi shippingline dan pelaku logistik tidak hanya dari eskportir tetapi juga importir. Ujungnya mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional.

“Apabila mogok terjadi, sebenarnya JICT dan pekerja sendiri akan mengalami kerugian karena tidak melayani shippingline. Ada beberapa pelabuhan lain yang masih terus beroperasi di Priok sehingga tetap ada alternatif lain,” katanya.

Yukki juga menjelaskan masalah yang menjadi penyebab mogok bukanlah permasalahan lama dan sudah dipahami oleh banyak orang.

Bahkan, menurutnya, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Otoritas Pelabuhan juga sudah memberikan perhatian serius terhadap permasalahan mogok pekerja.

“Sebaiknya permasalahan ini dijauhkan dari kepentingan politik,” tegasnya.

Salah satu faktor penyebab mogok tersebut karena bonus yang diterima karyawan pada 2016 menurun sebesar 42,5 persen dibandingkan bonus pada 2015.

Penurunan tersebut terjadi karena PBT (Profit Before Tax) JICT menurun dari USD 66,3 juta pada 2015 menjadi USD 44,19 juta pada 2016.

Aksi mogok kerja karyawan JICT rencananya akan dilakukan pada 3-10 Agustus 2017.

Sebelumnya, aksi serupa juga pernah direncanakan tapi dibatalkan setelah ada kesepakatan antara Direksi dan Serikat Pekerja JICT.

INSA responsif

Carmelita Hartoto, Ketua Umum DPP INSA, mengatakan ada dampak yang diakibatkan bagi industri pelayaran dan logistik. Hal ini terutama karena aksi terjadi di salah satu terminal yang cukup besar melayani ekspor dan impor.

“Tentu saja, mogok kerja SP JICT akan membuat aktivitas arus barang sangat terganggu, dan mungkin saja akan memberikan dampak keterlambatan barang kebutuhan masyarakat,” jelas Carmelita kepada Bisnis di Jakarta pada Rabu (26/7/2017).

Dampak lainnya adalah kerugian materi yang dialami para pelaku usaha terkait di JICT, seperti pelaku usaha pelayaran, angkutan truk, dan para importir.

carmelita-hartoto-jibiphoto

Selain itu, jika mogok kerja di JICT benar terjadi tentunya akan memberikan penilaian buruk bagi dunia maritim Indonesia di mata dunia.

“Terlebih saat ini kita sedang menuju untuk menjadi poros maritim dunia,” jelasnya.

Untuk itu, rencana mogok kerja SP JICT, kata Carmelita, harus diantisipasi oleh para stakeholder di pelabuhan.

Antisipasi yang dilakukan misalnya dengan mengalihkan bongkar muat yang sebelumnya di terminal JICT dapat dialihkan sementara pada terminal lain hingga aktivitas berjalan normal.

“Namun tentunya kami mengharapkan mogok kerja dapat dihindari, mengingat pelabuhan yang merupakan objek vital nasional dan roda penggerak ekonomi nasional,” paparnya.

Sebaiknya, kata Carmelita, para pekerja besama manajemen perusahaan dapat duduk bersama dan mencari win-win solution.

Operasional tak terganggu

Direktur Komersial & Pengembangan Bisnis IPC, Saptono R. Irianto mengatakan rencana mogok yang dilakukan Serikat Pekerja JICT diharapkan tidak akan mengangggu operasional terminal.

Dia menyiratkan, IPC masih memiliki sejumlah termnal yang bisa difungsikan bila operasional terminal JICT mandek. “Istilahnya terserah apa, intinya masih banyak terminal yang bisa menghandle,” ujarnya.

Impor merosot karena daya beli domestik rendah?

Berdasarkan Laporan Tahunan IPC 2016, terminal JICT mampu melayani arus peti kemas hingga 3 juta TEUs per tahun.

Kapasitas itu didukung oleh lapangan penumpukan seluas 57,5 hektare dan panjang dermaga hingga 2.150 m.

JICT juga dilengkapi quay cranes sebanyak 19 unit dan tubber tyred gantry cranes sebanyak 74 unit.

Operasional terminal JICT juga disokong oleh prime movers and trailers sebanyak 142 unit dan 25 unit peralatan derek lainnya.

Di luar terminal JICT, IPC juga memiliki Terminal Petikemas Koja. Kapasita terminal tersebut telah mencapai 1 juta TEUs dengan dukungan perlatan tujuh unit container crane, 48 unit truk dengan 60 chassis, 25 unit RTG, tiga unit reacstacker.

IPC juga masih memiliki tiga terminal yang dikelola PT Pelabuhan Tanjung Priok dan Terminal Perikemas Kalibaru yang diresmikan pada September 2016. (merdeka.com/viva.co.id/bisnis.com/ac)