Kemenhub desak JWC keluarkan RI dari daftar Risiko Perang

Kapal perang Cina sandar di terminal kontainer JICT, audit disoal

Kapal perang Angkatan Laut China Deng Jiaxian-874 tiba di Jakarta dan bersandar di Dermaga Jakarta International Container Terminal (JICT) II Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Minggu (23/7).

Kedatangan kapal perang jenis kapal survei dengan Komandan Kapal Commander Bao Yang dalam rangka technical port calling. Begitu tertulis dalam keterangan resmi yang diautentifikasi Kadispen Lantamal III Ign. M. Pundjung T.

Asops Danlantamal III Jakarta Kolonel Laut (P) Teddie Bernard Hernawan beserta perwira pendamping Lantamal III, Athan China dan pasukan jajaran kehormatan Lantamal III menyabut kapal sandar.

Penyambutan dimeriahkan dengan tari-tarian daerah Jawa Barat dan pengalungan rangkaian bunga melati kepada Komandan Kapal Deng Jiaxian.

Kemudian dilakukan penyerahan plakat dari Komandan Kapal kepada Asops Danlantamal III dan diakhiri dengan kunjungan ke atas kapal survei Deng Jiaxian-874 yang memiliki karakteristik panjang 129,35 meter, lebar 17 meter, draf 8,1 meter, berat 6.025 ton dan jumlah ABK 149 orang.

Kapal perang China itu sandar di Dermaga JICT II Pelabuhan Tanjung Priok hingga tanggal 26 Juli 2017 mendatang.

Ditinju ulang

Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK) pada 13 Juni 2017 lalu telah menyerahkan ke DPR hasil audit investigasi perpanjangan kontrak kerjasama pengelolaan PT Pelindo II dengan Hutchinson Port Holding pada PT Jakarta International Container Terminal (JICT) yang ditandatangani 5/8/2014 lalu.

Hasilnya, ditemukan indikasi kerugian keuangan negara minimal sebesar 306 juta dollar AS atau ekuivalen Rp 4,08 triliun (kurs Rp 13.337 per dollar AS 2017).

Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, BPK menyimpulkan adanya indikasi berbagai penyimpangan dalam proses perpanjangan perjanjian kerja sama pengoperasian tersebut.

Cara-cara untuk memperpanjang kontrak kerja sama tersebut terindikasi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hasil audit tersebut menuai tanggapan dari Koordinator Transparency Port of Indonesia (TPI) Dr. Mappa PB.

“Berdasarkan informasi yang luas beredar, kami menilai temuan BPK lebih banyak pada sisi fraud administratif atau ketaatan prosedural saja. Ini lebih pada memangkas proses birokrasi agar lebih ringkas,” kata Dr Mappa kepada wartawan, Senin (24/7/2017).

Mappa juga mengungkapkan adanya kelemahan dalam audit yang dikeluarkan BPK tersebut.

“Jika terkait angka dugaan 4,8 triliun rupiah, kami juga punya pandangan berbeda. Kami menilai ada dua kelemahan mendasar dari hasil audit tersebut. Pertama, BPK menggunakan Net Present Value (NPV) untuk menghitung indikasi kerugian negara sedangkan kita tahu bahwa NPV digunakan untuk analisa investasi dengan menggunakan asumsi-asumsi masa depan yang bersifat subyektif bukan berdasarkan fakta.

Kami tidak tahu berapa asumsi yg digunakan dalam menghitung pertumbuhan JICT itu. Apakah asumsi itu sudah memperhitungkan persaingan dengan pelabuhan lain seperti New Port Container Terminal (NPCT) 1 dan 2 dan pelabuhan Patimban yang akan dibangun dalam waktu dekat ini,” jelasnya.

Faktanya kata dia, sejak 2013 sampai sekarang keuntungan JICT bukannya tumbuh, malah semakin melorot. Dengan begitu, secara otomatis deviden yang dibayarkan juga semakin turun.

“Apakah itu sudah diperhitungkan oleh BPK. Lalu berapa asumsi bunga diskonto yang dipakai, apakah BPK bisa meramalkan bunga diskonto untuk 25 tahun ke depan, untuk meramalkan satu tahun ke depan saja sering meleset karena banyak faktor yang mempengaruhi,” ujarnya.

“Kedua, membandingkan hasil pengelolaan sendiri dengan kerjasama dengan investor itu tidak apple to apple. Seharusnya BPK membandingkan apabila JICT dikelola oleh Hutchison dengan operator lain seperti PSA atau Dubai Port. Atau bisa juga membandingkan hasil penerimaan Pelindo II dari perjanjian lama dengan perjanjian yang baru.”

Ia mengaku, menurut data yang ia peroleh, perjanjian baru ini membuat penerimaan Pelindo II menjadi 7 kali lipat jauh lebih besar dari sebelumnya yang hanya 2 kali lipat terutama karena adanya pembayaran tetap rental sebesar USD 85 juta setahun ke Pelindo II.

“Sedangkan pembayaran technical know how ke Hutchison malah dihapuskan. Jadi kami bingung dimana letak kerugian negaranya. Jadi hasil audit BPK ini perlu ditinjau ulang,” tutupnya.

Sebagai informasi, Hutchison adalah pengelola pelabuhan asal Hongkong, Cina, yang mengantongi ijin konsesi sejak 1999 bersama dengan PT Koja. Kontrak perpanjangan JICT kini tengah menjadi sorotan luas di dalam dan luar negeri.

sumber: eramuslim/sindonews.com