
Asosiasi logistik dan forwarder Indonesia (ALFI) tidak keberatan dengan adanya fasilitas konsolidasi kargo ekspor impor atau container freigh station (CFS) centre dan fasilitas buffer untuk peti kemas impor yang sudah clearance kepabeanan di pelabuhan Tanjung Priok.
Ketua ALFI DKI Jakarta, Widijanto mengatakan penyiapan kedua fasilitas penopang kelancaran logistik di pelabuhan itu perlu juga di dukung oleh kepastian tarif layanannya melalui persetujuan penyedia dan pengguna jasa di pelabuhan.
“Buat kami gak masalah soal dimana fasilitas CFS centre dan buffer peti kemas impor tersebut. Tetapi soal mekanisme dan komponen tarif layanannya mesti di atur dulu oleh Otoritas Pelabuhan Priok. Sebab sekarang ini terjadi tarif liar pada layanan kargo impor berstatus less than container load di Priok,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (29-11-2016).
Widijanto mengatakan, panduan komponen dan tarif layanan peti kemas impor berstatus less than container load (LCL) di Priok sudah kedaluarsa sejak 2010.
“Karena itu Kemenhub melalui OP Tanjung Priok harus segera memperbaharui panduan tarif layanan itu,”ujarnya.
Menurut Widijanto, OP Tanjung Priok bisa mengambil tindakan tegas jika sudah ada aturan pedoman tarif layanan peti kemas impor LCL di Priok yang terbaru, hingga sanksi pencabutan izin terhadap forwarder yang melanggar ketentuan itu.
Sementara itu, Ketua Forum Pengusaha Depo Kontener Indonesia (Fordeki) Pelabuhan Tanjung Priok, Syamsul Hadi mengatakan, fasilitas buffer peti kemas impor yang sudah mengantongi surat perintah pengeluaran barang (SPPB) atau sudah clearance kepabeanaan namun melewati batas maksimum penumpukan di lini satu pelabuhan hendaknya berada di kawasan lini dua pelabuhan Priok.
“Kalau fasilitas buffer peti kemas impor yang sudah SPPB itu ada di dalam pelabuhan atau lini satu justru tidak akan memperbaiki dwelling time. Seharusnya yang namanya buffer itu adanya diluar pelabuhan,”ujarnya kepada Bisnis, Selasa (29-11-2016).
Melalui suratnya Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta kepada Direksi Pelindo II tanggal 28 Nopember 2016, OP Tanjung Priok menyutujui usulan Pelindo II untuk menyediakan fasilitas konsolidasi barang ekspor impor atau container freigh station (CFS) centre dan buffer area peti kemas impor yang sudah clearance kepabeanan dalam rangka pengawasan satu atap layanan logistik di Pelabuhan Priok.
Kepala Kantor Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Priok, I Nyoman Gede Saputera mengatakan, surat itu sekaligus merupakan dukungan OP Tanjung Priok untuk penyiapan kedua fasilitas tersebut dalam rangka mendorong Pelindo II mensukseskan program menurunkan biaya logistik dan efisiensi jasa kepelabuhanan di Priok.
“Sekarang bolanya ada di Pelindo II untuk menjalankannya di pelabuhan Priok karena disitu juga terkait soal investasi yang mesti dipersiapkan,”paparnya.
Nyoman mengungkapkan, persetujuan OP Priok terkait pengembangan dan penyiapan fasilitas CFS centre dan buffer area peti kemas impor di Priok itu setelah melewati kajian komprehensif dan analisa tim bersama oleh OP Priok, Pelindo II dan masukkan dari pengguna jasa di pelabuhan
Tolak pindah
Pebisnis di Pelabuhan Tanjung Priok menolak rencana pemindahan peti kemas impor dari Tanjung Priok ke Cikarang Dry Port (CDP) karena dugaan tingginya dwelling time peti kemas Priok menyusul masih panjangnya birokrasi perizinan di beberapa kementrian dan lembaga.
Sekjen Dewan Pelabuhan Tanjung Priok Subandi mengatakan pemerintah harus serius dan sungguh-sungguh mengawasi dan mengevaluasi proses perizinan dokumen barang ex impor di 18 kementrian dan lembaga bukan memindahkan petikemas ex impor ke Cikarang Dry Port ( CDP.
Hal itu karena upaya tersebut berpotensi menimbulkan biaya tinggi dan tentu tidak sesuai dengan upaya menurunkan dwelling time utuk tujuan menekan biaya logistik di Pelabuhan Priok.
Dia mengatakan jika masih ada peti kemas ex Import yang mengendap di pelabuhan mestinya dipindahkan ke back up area ataupun buffer area yang dipersiapkan untuk menampung peti kemas yang sudah mengendap tiga hari atau lebih.
Pemindahan tersebut dinilainya sangat lazim dilakukan di pelabuhan seluruh dunia. “Jangan sampai ribut soal dwelling time ternyata bukan untuk mengatasi persoalan tingginya biaya logistik di pelabuhan tetapi ada tujuan lain,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (28/11/2016).
Subandi yang juga menjabat Ketua Bidang Kepelabuhanan dan kepabeanan Badan Pengurus Pusat Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (BPP GINSI) itu juga prihatin karena beredar kabar saat ini pemerintah akan mengeluarkan peraturan agar seluruh peti kemas yang dibongkar di Tanjung Priok dipindahkan ke Cikarang Dry Port (CDP).
Kebijakan itu dikecualikan untuk peti kemas jalur merah yang jumlahnya kurang lebih 8% dari total peti kemas ex Impor di Pelabuhan Tanjung Priok.
“Jika pengalihan kontainer dari Priok ke CDP ini terjadi berarti sesungguhnya kebijakan presiden soal penurunan dwelling time untuk tujuan menekan biaya logistik ada yang menunggangi untuk kepentingan pihak tertentu ataupun koorporasi, karena yang terjadi justru biaya logistik akan semakin tinggi,” paparnya.
Menurut dia, GINSI menolak jika pemerintah tetap memaksakan untuk memindahkan peti kemas dari Tanjung Priok ke CDP dengan mencantumkan CDP sebagai pelabuhan bongkar, padahal selama ini pelabuhan bongkar (POD) yang tercantum di B/L adalah Tanjung Priok.
Menurut Subandi, jika pemindahan peti kemas Priok ke Cikarang Dry Port tetap dilaksanakan, ada indikasi praktek monopoli dan pemaksaan melalui regulasi, serta tidak ada yang mengontrol tarif yang berlaku di pelabuhan darat tersebut.
“Dampak lainnya, importir juga akan mengeluarkan biaya tambahan yang tinggi akibat barangnya dipindahkan ke CDP, baik biaya pemindahan maupun biaya transportasi ke lokasi pabrik. Ini karena tidak semua gudang pemilik barang berada di Cikarang tetapi juga tersebar di Tangerang, Balaraja, Cikande, Cilegon, Bogor,” tuturnya.
sumber: bisnis.com