BC & BKF ukur dampak ekonomis terhadap KITE & kawasan berikat

Aturan jaminan uang kontainer dikaji

Kementerian Perhubungan menyatakan sedang melakukan kajian terkait kemungkinan mengeluarkan regulasi menyangkut persoalan pengenaan uang jaminan kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok.

Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Kementerian Perhubungan Bayi M. Hasani mengatakan saat ini pihaknya sedang menimbang segala kemungkinan penyelesaian persoalan pengenaan uang jaminan kontainer yang dikeluhkan oleh para pelaku usaha forwarder dan pemilik barang tersebut.

“Kami sedang menimbang dan mengkaji untuk mencari solusi penyelesaian terkait persoalan uang jaminan kontainer itu,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (16/3).

Pihaknya mengaku tidak ingin gegabah dengan mudah mengeluarkan regulasi yang serta merta melarang pengenaan uang jaminan kontainer yang dibebankan oleh agen pelayaran itu, lantaran saat ini kementerian juga telah menerima dua surat terkait persoalan uang jaminan kontainer itu, masing-masing dari ALFI DKI Jakarta dan INSA DKI Jakarta.

“Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI mengirim surat soal keberatan pemberlakuan itu, tapi Indonesian Nasional Shipowner Association (INSA) DKI juga bersurat yang menerangkan alasan dikenakannya uang jaminan kontainer itu. Jadi kami sedang pelajari dan cari yang terbaik, jangan sampai berat sebelah,” ujarnya.

Bay menerangkan, ALFI DKI keberatan dan menolak pengenaan uang jaminan kontainer karena merasa tidak ada landasan aturannya, apalagi hal semacam itu di luar negeri juga tidak diberlakukan.

Apalagi nilai uang jaminan yang harus dikeluarkan juga cukup besar, terutama bagi importir produsen yang dapat mencapai puluhan bahkan ratusan kontainer, sehingga memberatkan dan menimbulkan biaya logistik tinggi.

Sementara, lanjut dia, menurut INSA DKI yang mewakili perusahaan pelayaran menyatakan bahwa pengenaan uang jaminan itu sebagai garansi agar kontainer miliknya saat dipakai, dijaga dengan baik dan tidak rusak.

Pasalnya, mereka beralasan sering menemukan kontainernya rusak ketika sudah dikembalikan dalam keadaaan kosong. Oleh sebab itu, sebagai garansi, pelaku forwarder ditarik uang jaminan kontainer agar tidak menyebabkan kerugian akibat rusaknya kontainer.

“Kita juga sedang mempertimbangkan sampai di mana efektivitasnya, praktik uang jaminan kontainer itu dirasa lebih ke ranah bussiness to bussiness (b to b) antara agen pelayaran dengan forwarder, jadi tidak ada sentuhan dengan kita,” terangnya.

Menurutnya apabila hal itu b to b, maka forwarder semestinya dapat memilih agen yang tidak memberlakukan uang jaminan kontainer tersebut. Apalagi, diketahui tidak semua shippingline menetapkan uang jaminan kontainer.

“Tapi memang terkadang para pemilik barang / importir ini hanya menerima pemilihan kontainer dan shippingline dari si pengirim yang di luar negeri, dan di sini hanya menerima, terkadang seperti itu,” ujarnya.

Akan tetapi, lanjut dia, apabila si pemilik barang itu memiliki pilihan melalui perwakilan di negara pengirim itu, tentunya memilih agen pelayaran yang tidak mengenakan uang jaminan kontainer.

Pihaknya juga berencana mempertemukan kedua pihak tersebut dalam waktu dekat sebelum mengeluarkan regulasi apapun terkait hal tersebut.

Namun demikian, saat ini pihaknya memberikan himbauan dan meminta kepada agen pelayaran untuk dapat mempersingkat waktu pengembalian uang jaminan tersebut ketika kontainer kosongnya sudah dikembalikan ke depo.

“Ini kan balikin duitnya ke forwarder bisa sebulan hingga tiga bulan, kenapa tidak langsung seketika bersamaan saat kontainer kosongnya juga sudah dikembalikan ke depo. Nah, karena lama inilah, jadi disinyalir ada modus agar uang itu untuk diputar kembali,” terangnya.

Selain itu, apabila terlalu lama uang jaminan itu dikembalikan ke forwarder, juga dapat mempengaruhi kondisi keuangan perusahaan bersangkutan.

Selain itu perlu kiranya diciptakan sistem untuk memantau pergerakan kontainer tersebut, mulai dari pertama diangkut hingga kembali.

Pasalnya pengangkutan kontainer itu tentu melibatkan banyak pihak, tidak hanya forwarder, mulai turun dari kapal, diangkut truk, hingga dikembalikan ke depo. Jadi apabila terdapat kerusakan kontainer, bisa saja terjadi diluar kendali forwarder.

Sebelumnya, Kementerian Perhubungan didorong untuk dapat segera mengeluarkan instruksi atau peraturan menteri yang melarang adanya praktek pengenaan uang jaminan kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok.

Hal itu disampaikan oleh Ketua Tim Koordinasi dan Supervisi Bidang Maritim Komisi Pemberantasan Korupsi, Dian Patria, yang juga Ketua Tim Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) itu kepada Bisnis, Rabu (15/3).

“Ya kita mendorong Kemenhub segera membuat instruksi / peraturan menteri terkait persoalan uang jaminan kontainer ini,” tegasnya.

Pasalnya, pihaknya telah beberapa kali mendapatkan keluhan terkait pengenaan uang jaminan kontainer yang justru mendorong tingginya ongkos logistik di Tanah Air.

Sementara, kata dia, saat ini Pemerintah Indonesia sedang gencar-gencarnya menyelesaikan pekerjaan rumah yang masih dihadapi bangsa ini di sektor maritim, seperti tingginya biaya logistik, dwelling time, waiting time dalam pelayanan pelabuhan, dan lainnyadengan Gerakan Nasional Mengembalikan Kejayaan Maritim Nusantara.

Menurutnya tujuan gerakan tersebut meningkatkan daya saing nasional dalam rangka mewujudkan poros maritim dunia, melalui perbaikan tata kelola pelabuhan dalam rangka mendorong layanan publik dan menekan biaya logistik, penyelesaian permasalahan lintas stakeholder, dan menutup celah korupsi dan kerugian yang negara.

“Persoalan uang jaminan kontainer ini harus segera diselesaikan, semakin cepat semakin bagus,” tegasnya.

Ketua DPW Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta Widijanto mengaku telah berulang kali mengeluhkan persoalan adanya uang jaminan kontainer dalam proses pengiriman barang dengan angkutan laut tersebut.

Bahkan, pihaknya juga telah bersurat kepada Presiden Joko Widodo untuk meminta agar mengeluarkan kebijakan untuk menghapus uang jaminan petikemas/kontainer itu. Pasalnya, keberadaan penarikan uang jaminan kontainer itu berdampak pada ekonomi biaya tinggi di sektor logistik.

Dia menerangkan bahwa selama ini dalam kegiatan pengiriman barang impor yang dilakukan perusahaan importir atau perusahaan freight forwarder untuk mengambil delivery order (D/O) di perusahaan pelayaran/agen kapal asing, saat ini dibebani biaya jaminan sekitar Rp1 juta untuk satu kontainer ukuran 20 feet dan Rp2 juta untuk ukuran 40 feet.

Menurutnya uang jaminan itu mungkin saja tidak akan menjadi persoalan bagi importir umum yang jumlah kontainernya tidak terlalu banyak. Tapi bagi importir produsen dengan jumlah petikemas antara 20 sampai 100 unit, uang jaminan yang harus di serahkan menjadi sangat besar.

Belum lagi, kata dia, pengembaliannya bisa tidak 100% karena dengan alasan ada beberapa kontainer rusak.

Pihaknya juga khawatir kasus seperti bangkrutnya Hanjin Shipping terulang, pasalnya uang jaminan dari forwarder yang disetorkan ke perusahaan yang mengageni pelayaran dunia itu hingga sekarang belum dikembalikan, padahal jumlahnya miliaran rupiah.

Sumber: bisnis.com