DKI jadi sampel studi logistik perkotaan ALFI-UGM

Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) dan Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada (Pustral-UGM) bekerja sama untuk meninjau penerapan konsep logistik perkotaan di Indonesia.

JAKARTA (alfijak): Ketua DPP ALFI/ILFA Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan ada lima kota terpilih sebagai objek penelitiannya yaitu Medan, Jakarta, Yogyakarta, Denpasar, dan Makassar. Lokasi dipilih berdasarkan kompleksitas logistik dan geografis.

“Melalui kemitraan ini, kami berharap dapat mensinergikan peran industri, perguruan tinggi dan pemerintah dalam membangun logistik perkotaan yang tidak hanya efektif dan efisien, tapi juga ramah lingkungan dan berkelanjutan. Sementara kami fokus di lima kota,” kata Yukki di Jakarta, Senin (13/11) seperti dikutip dari Beritasatu.com.

Yukki mengatakan bahwa industri logistik dalam negeri saat ini menghadapi berbagai masalah mendesak untuk dipecahkan. Seperti, daerah perkotaan terbatas sebagai daerah aktivitas, kemacetan, persaingan ruang antara transportasi penumpang dan barang, dan fasilitas terbatas untuk konsolidasi dan dekonsolidasi barang.

“Tantangan masa depan logistik perkotaan adalah bagaimana kerjasama pemerintah, akademisi dan industri bekerja sama dalam merancang dan mengelola pengiriman dan penerimaan barang dari kota-kota yang mampu menyesuaikan permintaan konsumen,” tambah Yukki yang kini juga Ketua Federasi ASEAN Asosiasi Forwarder (AFFA).

Hadir pada kesempatan yang sama, Direktur Institut ALFI Iman Gandi menjelaskan beberapa tantangan yang dihadapi oleh industri logistik saat ini karena masalah kemacetan dimana truk transportasi logistik menyumbang kemacetan 25-30%.

Selain itu, zona parkir dan bongkar muat akan memotong bodi jalan sehingga bisa menimbulkan kemacetan yang berlebihan.

Tantangan selanjutnya, lanjut Iman, ada kenaikan kelas menengah ke bawah ke kelas menengah ke atas hampir 60%.

“Dengan meningkatnya kelas menengah di Indonesia dan meningkatnya popularitas perangkat mobile, menjadikan Indonesia sebagai pasar tercepat dan terbesar di ASEAN. Peringkat Pasar EC Indonesia mencapai 1.682 USD dengan rating CAGR mencapai 44,4% yang meningkat menjadi 37,0% pada tahun 2016,” dia menambahkan. (infologistic.id/ac)

Kargo ekspor ke AS melonjak 200%, CMA-CGM keluhkan pengurusan dokumen pabean di Priok

Perusahaan pelayaran asal Prancis, Compagnie Maritime d’Affretement – Compagnie Generali Maritime (CMA-CGM) mengeluhkan lambatnya proses pengurusan dokumen di Pelabuhan Tanjung Priok.

JAKARTA (alfijak); Presiden Direktur CMA-CGM Indonesia Farid Belbouab menuturkan, saat ini pengiriman kargo ke Amerika Serikat dari Tanjung Priok tumbuh 200%.

Namun, pihaknya menilai proses pengurusan dokumen di Tanjung Priok, khususnya dari kapal utama (mother vessel) ke kapal kecil (feeder) terlalu lama.

“Terlalu lama proses dari dan ke mother vessel dari feeder. Contohnya barang dari Makassar bisa sampai 1,5 hari karena terlalu banyak dokumen yang diurus,” katanya di Jakarta, Selasa (14/11/2017).

Dia berharap pemerintah Indonesia bisa segera membenahi regulasi dan prosedur customs (pabean) agar proses pengurusan dokumen bisa lebih cepat.

CMA-CGM merupakan perusahaan angkutan peti kemas terbesar ketiga di dunia.

CMA-CGM dan PT Jakarta International Container Terminal (JICT) bekerja sama membuka layanan baru, yakni dengan nama Java South East Asia Express Services/ Java SEA Express Services/ JAX Services, sepekan sekali dengan kapal berukuran sekitar 8.500 TEUs, sepekan sekali.

Pada April lalu Kapal CMA-CGM Otello mulai berlayar dari terminal JICT ke West Coast (Los Angeles & Oakland) Amerika Serikat selama 23 hari.

Direct US Service ini adalah bagian dari service Ocean Alliance yang anggotanya adalah CMA CGM, COSCO, OOCL dan Evergreen, dalam servis ini semua kapal di-deploy oleh CMA-CGM.

CMA-CGM telah menyiapkan 17 kapal raksasa berkapasitas masing-masing pada kisaran 8.500 TEUs untuk melayari Jakarta – Los Angeles.

Ke depan dijanjikan akan mendatangkan kapal lebih besar lagi apabila tingkat keterisian semakin besar. (bisnis.com/ac)

Harga barang impor mahal karena ongkos logistik tinggi

Biaya logistik yang sangat mahal untuk impor melalui kapal laut tetap menjadi sorotan para pengurus Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (Ginsi).

JAKARTA (infolog): Karena sampai kini, ongkos logistik di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan negara lain seperti Singapura dan Malaysia.

Di Indonesia, importir harus mengeluarkan ongkos logistik antara 30 persen hingga 36 persen dari total nilai barang, sedangkan di Singapura hanya 16 persen dan Malaysia 17 persen.

Dengan ongkos logistik yang masih tinggi itu, membuat harga barang impor di Indonesia sangat mahal.

Karena, importir memasukkan seluruh biaya logistik itu termasuk pengeluaran yang dibebankan kepada harga jual.

“Sekecil apapun pengeluaran logistik akan kami catat sebagai pengeluaran. Jelas, itu akan membuat harga barang akan menjadi mahal,” ujar Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Ginsi, Anton Sihombing di Surabaya, Senin(13/11).

Kedatangan Anton Sihombing dan pengurus BPP Ginsi untuk melantik Ketua BPD Ginsi Jatim, Romzi Abdullah Abdat yang akan digelar hari ini, Selasa (14/11) di Hotel Shangri-la Surabaya.

Dikatakannya, masalah ongkos logistik di pelabuhan terutama sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan di mana, pengelola pelabuhan dalam menentukan tarif harus melibatkan asosiasi importir, karena yang terlibat itu di antara mereka.

Namun kedua belah pihak tidak boleh saling ngotot untuk mempertahankan ego, namun saling berkoordinasi agar keduanya sama-sama diuntungkan.

Ditambahkan Ketua BPD Ginsi DKI Jakarta, Subandi, sebenarnya ongkos logistik di Indonesia untuk impor itu bukan hanya yang resmi ditetapkan pemerintah dan pengelola jasa kepelabuhanan.

Namun ada ongkos-ongkos lain di luar itu yang terkadang memberatkan importir. Bahkan, ada perusahaan pelayaran yang menerapkan sistem adanya uang jaminan.

Uang jaminan ini terkadang dikembalikan dengan tidak utuh kepada importir dengan alasan harus menanggung biaya kerusakan kontainer yang sudah disewa importir.

“Bahkan terkadang kita harus nambah uang lagi karena uang jaminan itu habis untuk membayar kerugian ini itu. Dan apapun pengeluaran itu, jelas akan kami masukkan pada pengeluaran ongkos logistik. Dan jelas ini akan berpengaruh pada harga jual nantinya karena jatuhnya harga produk impor sangat mahal akibat ongkos logistik yang mahal,” jelas Subandi.

Sehingga ke depan, Ginsi akan menghadap pemerintah untuk mengkritisi masalah ini.

Para pakar-pakar yang ada di Ginsi nantinya akan memberikan solusi bagaimana seharusnya ongkos logistik ini bisa ditekan namun tetap menguntungkan pengelola pelabuhan dan importir.

“Karena akibat hal ini, banyak importir yang gulung tikar. Bahkan importir produsen banyak yang tiarap dulu, mereka berhenti impor bahan baku misalnya karena mahalnya logistik. Tidak mengherankan banyak importir produsen yang beralih menjadi importir umum, mengimpor bahan jadi,” jelas Subandi.

Ketua BPD Ginsi Jatim, Romzi Abdullah Abdat pun nantinya akan meminta para anggota Ginsi di Jatim yang berjumlah 3 ribu orang itu agar bisa menekan ongkos logistik yang cukup mahal itu.

Salah satunya adalah melengkapi dokumen-dokumen impor ketika hendak mendatangkan barang dari luar negeri.

Sehingga, ketika barang itu tiba di pelabuhan, dokumen bisa langsung diserahkan dan barang bisa keluar dengan cepat tanpa harus menginap lama di pelabuhan.

“Karena menginap lama di pelabuhan bisa menambah beban biaya logistik,” tukasnya. (duta.co/id)

Bappenas: belanja online picu kenaikan importasi barang konsumsi

Importasi barang konsumsi ikut berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi di kuartal III 2017. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menengarai hal ini ada hubungannya dengan maraknya masyarakat yang berbelanja secara online.

JAKARTA (alfijak); Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional ( Bappenas) Bambang Brodjonegoro  menyebut, indikasi itu nampak karena tidak sedikit barang-barang yang dibeli secara online berasal dari luar negeri yang didapat dengan cara impor.

” Impor kan ada banyak, salah satunya impor barang konsumsi. Mungkin kenaikan impor barang konsumsi karena kegiatan e-commerce, belanja online makin tinggi,” kata Bambang dalam konferensi pers di kantor Bappenas, Jakarta Pusat, Senin (13/11/2017).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pertumbuhan impor barang dan jasa kuartal III 2017 sebesar 15,09 persen, meningkat jauh dari kuartal III 2016 yang hanya 3,67 persen.

Peningkatan pertumbuhan impor juga dinilai paling tinggi untuk tahun ini, terlebih data pada kuartal II 2017 menunjukkan tingkat pertumbuhan impor hanya terpaut 0,22 persen.

Ada berbagai komponen pada poin tingkat pertumbuhan impor barang dan jasa. Khusus untuk komponen barang, dibagi ke tiga jenis yaitu impor barang konsumsi, impor barang modal, dan impor bahan baku.

Jika dibandingkan dengan data pada periode yang sama tahun lalu, jumlah impor barang konsumsi meningkat jadi 17,7 persen di kuartal III 2017.

Adapun jumlah impor barang konsumsi kuartal III 2016 hanya 11,2 persen.

Bambang meyakini, dari sekian banyak orang yang mengimpor barang untuk konsumsi, pasti ada yang dijual lagi.

Berdasarkan data tersebut, Bambang memperkirakan maraknya orang belanja online sebagai pendorong tingginya tingkat impor barang konsumsi.

“Kalau diperhatikan, yang sering belanja online, banyak barang yang dibeli adalah barang impor. Itu akan meningkatkan impor barang konsumsi,” tutur Bambang. (kompas.com/ac)

INSW belum terintegrasi baik, Inaportnet tak optimal

Kamar Dagang dan Industri Indonesia meminta agar optimalisasi pelayanan di pelabuhan dapat diterapkan dengan efektif dan efisien di lapangan, jangan sampai kontraproduktif dengan kelancaran di pelabuhan.

JAKARTA (alfijak): Carmelita Hartoto, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perhubungan, menjelaskan optimalisasi layanan di pelabuhan petikemas memang perlu dilakukan untuk meningkatkan daya saing nasional menghadapi persaingan global.

 “Kami mengapreasiasi setiap langkah pemerintah, khususnya Kementerian Perhubungan, dalam upaya mendorong optimalisasi dan kelancaran pelayanan di pelabuhan,” katanya kepada wartawan seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Minggu 12 November 2017.

Menurut dia, upaya Kementerian Perhubungan ini harus bisa dilaksanakan sepenuhnya oleh pelaksana di lapangan.

Ada beberapa sorotan dalam pelayanan terhadap petikemas pada pengiriman ekspor impor.
|
Terutama, pada penerapan INSW yang perlu terkoordinir dengan baik, atau tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh kementerian dan lembaga.

 Sejauh ini, kata Carmelita, INSW dirasa belum benar-benar terintegrasi, sehingga sering saling menyalahkan sistem siapa yang belum benar-benar berjalan baik.

Di sisi lain, penerapan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) perlu dijamin untuk memastikan kelancaran perizinan berjalan baik, untuk menghindari kesimpangsiuran perizinan di pelabuhan.

“Sistem online pada pelabuhan-pelabuhan utama kami dukung. Misalnya, penerapan Inapornet yang perlu terus dioptimalkan. Jangan sampai sistem mengalami gangguan dan menghambat operasional kapal,” katanya.

Seperti diketahui, Kemenhub berupaya untuk mengoptimalkan aktifitas bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok terutama di sejumlah pelabuhan petikemas yakni PT Jakarta International Container Terminal (JICT), New Priok Container Terminal One (NPCT1), Terminal Peti Kemas (TPK) Koja, Terminal 3 Pelabuhan Tanjung Priok, dan Terminal Mustika Alam Lestari (MAL).

Sebagai hasil optimalisasi pelabuhan, Terminal Peti Kemas (TPK) Koja menargetkan di penghujung 2017 throughout menyentuh 1 juta TEUs (Twenty Foot Equivalent Unit’s).

Hal ini tidak berlebihan bila mengacu pada throughput selama Januari sampai Agustus 2017 yang telah mencapai 654.677 TEUs.

TPK Koja yang melakukan kerjasama operasi (KSO) bersama PT Pelabuhan Indonesia II dan Hutchison Port Indonesia diharapkan mampu meraih produktivitas sebesar 1 juta TEUs dalam kinerja operasional setahun.

“Empat bulan ke depan, dengan rata-rata throughput TPK Koja sebesar 74.000 TEUs per bulan ditambah kegiatan dermaga utara 300 meter yang fluktuatif, katakanlah 27.000 TEUs per bulan, maka angka 1 juta TEUs kemungkinan besar bisa saja terjadi,” jelas Sekretaris Perusahaan TPK Koja, Nuryono Arief.  (viva.co.id/ac)

Ginsi tegaskan Permenhub 25 efektif tekan dwelling time & kecam Depalindo

Gabungan Importir nasional seluruh Indonesia (Ginsi) DKI Jakarta, mendukung  sikap dari Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) bahwa Peraturan Menteri (PM) Perhubungan Nomor  25/2017 efektif menekan angka dwelling time di pelabuhan.

JAKARTA (infolog); Karena itu, kedua organisasi tersebut mengecam usulan Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo)  yang meminta Permenhub 25/2017 dicabut, atau setidaknya direvisi agar pemindahan petikemas mengacu Yard Occupancy Ratio (YOR) terminal 65 persen.

“Posisinya sebagai apa  Toto Dirgantoro  mengomentari soal pelabuhan. Kalo sebagai Ketua Umum Depalindo sebaiknya dia keluar dulu dari komisaris MTI. Karena argumentasi dan analisanya pasti tidak objektif.  Karena dipengaruhi conflict of interest. Mengingat beliau juga selaku komisaris di salah satu anak perusahaanya Pelindo yaitu MTI,” ujar Ketua Ginsi DKI Capt Subandi, kepada Indopos.co.id, Jumat (10/11).

Dia pun mempertanyakan analisa Depalindo bahwa permenhub Nomor 25 tahun 2017 membuat biaya logistik menjadi lebih mahal.

“Sadar nggak dia bahwa biaya storage di terminal sudah naik menjadi 900 persen dari tarif dasar per harinya,” ujar Capt Subandi.

“Kalaupun dia memiliki sense of crisis soal biaya logistik, sebaiknya  mengkritisi soal biaya-biaya di pelabuhan yang tinggi. Termasuk biaya penumpukan. Seharusnya dia mengusulkan dulu agar tarif storage hanya 200 persen dari tarif dasar per hari. Dan free time storagenya tetap 3 hari,” pungkasnya.

Sementara itu,  Ketua Umum DPW ALFI DKI Widijanto, dalam keterangan pressnya Kamis (9/11) meminta Depalindo jangan membuat  gaduh. Yakni ingin kembali menjadikan menjadikan Yard Occupancy Ratio (YOR) 65 persen sebagai parameter pemindahan petikemas dari lini satu pelabuhan keluar terminal.

“PM 25 Tahun 2017 pada intinya membatasi masa inap kontainer yang sudah mendapat clearance kepabeanan di lini I paling lama 3 hari. Setelah itu harus keluar dari pelabuhan untuk menjamin kelancaran arus barang,” ujar Widijanto.

“Pernyataan Depalindo yang menyebut pelaksanaan PM 25 Tahun 2017 menimbulkan logistik biaya tinggi tidak meyakinkan. Dasarnya apa? Hitung-hitungannya mana. Jangan asal  ngomong tanpa dasar,” imbuhnya.

Lebih lanjut ia mengatakan, pihaknya menyayangkan sikap Ketua Umum Depalindo  memahami defenisi dwelling time, serta meminta Kemenhub merevisi PM25/2017 dan relokasi pertikemas mengacu pada Yard Occupancy Ratio (YOR) di atas 65 persen.

Hal itu dianggapnya, tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah mendorong kelancaran arus barang di pelabuhan.

“Kita sudah sepakat pelabuhan bukan tempat menimbun barang tapi tempat bongkar muat,” tegas Widijanto.

“Itu artinya lapangan penumpukan terminal petikemas lini satu  bukan tempat penimbunan barang. Tetapi sebagai area transit menunggu pengurusan dokumen kepabeanan. Kemudian ke luar pelabuhan jika sudah dapat SPPB melebihi tiga  hari,” pungkasnya.

Sebelumnya, Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo) mendesak agar kegiatan pindah lokasi penumpukan atau relokasi peti kemas impor dari lini satu pelabuhan/terminal peti kemas ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok mengacu pada utilisasi fasilitas dan jika YOR di terminal peti kemas mencapai 65%.

Ketua Umum Depalindo Toto Dirgantoro mengatakan sejak adanya Permenhub No. 25/2017 tentang Perubahan atas peraturan menhub No. 116/2016 tentang Pemindahan barang yang melewati batas waktu penumpukan atau longstay di pelabuhan utama Belawan Medan, Tanjung Priok, Tanjung Perak Surabaya, dan Pelabuhan Makassar, beban logistik yang ditanggung pemilik barang justru bertambah.

Pasalnya dalam beleid itu disebutkan penumpukan barang impor hanya dibatasi maksimal 3 hari di pelabuhan dan yang sudah clearance kepabeanan pun atau SPPB seperti diamanatkan dalam beleid itu  mesti keluar dari lini satu.

“Menurut saya, ini tidak menyelesaikan masalah dwelling time, justru berpotensi menambah biaya logistik. Makanya Depalindo minta Permenhub 25/2017 dicabut atau setidaknya direvisi agar pemindahan petikemas mengacu YOR terminal 65%,” ujar Toto. (indopos.co.id/ac)

BC & BKF ukur dampak ekonomis terhadap KITE & kawasan berikat

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sedang mengukur dampak pemberian fasilitas kepabeanan dan perpajakan terhadap perusahaan yang memperoleh kemudahan Impor Tujuan Ekspor atau KITE dan Kawasan Berikat (KB).

JAKARTA (infolog): Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi mengatakan langkah pengukuran itu dilakukan untuk mengukur efektivitas pemberian fasilitas tersebut. Hasilnya untuk mendukung pertumbuhan industri dalam negeri.

“Bea Cukai bersama Badan Kebijakan Fiskal [BKF] melakukan pengukuran dampak ekonomi terhadap seluruh perusahaan penerima fasilitas KITE dan Kawasan Berikat,” kata Heru Pambudi di Jakarta, Jumat (10/11/2017).

Pengukuran itu akan dilakukan kepada seluruh perusahaan penerima KITE dan KB di empat daerah yaitu Bogor, Pasuruan, Boyolali, dan Semarang dengan asistensi dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Namun demikian, untuk mendapatkan pengukuran yang lebih menyeluruh, pada pertengahan November 2017, Bea Cukai akan memperluas ruang lingkup pengukuran meliputi seluruh perusahaan penerima KITE dan KB di Indonesia.

Cek pabean di gudang importir hanya menambah beban birokrasi
Cek pabean di gudang importir hanya menambah beban birokrasi

“Hasil dari survei tersebut akan disampaikan ke Menteri Keuangan untuk menjadi bahan pertimbangan pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang benar-benar bermanfaat dan tepat sasaran,” lanjut Heru.

Otoritas kepabeanan mencatat, secara keseluruhan fasilitas KITE dan KB yang diberikan di empat daerah memberikan dampak positif. Perusahaan KITE dan KB berkontribusi rata-rata Rp61,2 triliun terhadap Pendapatan Domestrik Regional Bruto (PDRB). Angka tersebut mencapai 16% dari total PDRB setempat.

Selain berkontribusi terhadap PDRB daerah, perusahaan penerima KITE dan KB juga dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak. Per 2016, tercatat hampir 400.000 tenaga kerja terserap oleh perusahaan penerima KITE dan KB. (bisnis.com/ac)

Beleid peti kemas longstay terancam, ALFI minta Depalindo tak bikin gaduh

Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) menyatakan beleid relokasi kontainer impor yang melewati batas waktu penumpukan (longstay) dan sudah mengantongi dokumen surat perintah pengeluaran barang (SPPB) atau sudah clearance kepabeanan di empat pelabuhan utama, termasuk di Pelabuhan Tanjung Priok harus dijalankan oleh pengelola terminal peti kemas.

JAKARTA (alfijak):  Ketua ALFI DKI Jakarta Widijanto mengatakan adanya penolakan terhadap implementasi beleid itu justru sebagai upaya menggagalkan program pemerintah untuk menekan dwelling time dan menurunkan biaya logistik.

Presiden Joko Widodo, tambahnya, sudah sering menginstruksikan supaya dwelling time di pelabuhan Priok dapat diturunkan menjadi kurang dari 3 hari dari saat ini yang berdasarkan data kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok rata-rata masih mencapai lebih dari 3 hari.

Widijanto menyebutkan relokasi peti kemas impor sudah SPPB dan menumpuk lebih dari tiga hari di pelabuhan atau longstay telah diatur melalui Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No: 25/2017 tentang perubahan atas Permenhub No:116/2016 tentang pemindahan barang yang melewati batas waktu penumpukan atau longstay di pelabuhan utama Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Perak Surabaya, dan Makassar.

Dalam beleid itu ditegaskan bahwa barang impor yang sudah clearance pabean atau SPPB hanya boleh menumpuk maksimal tiga hari di pelabuhan. Dalam pasal 3 ayat (1) beleid itu disebutkan, setiap pemilik barang impor wajib memindahkan peti kemasnya yang sudah SPPB dan melewati batas waktu penumpukan dari lini satu ke lapangan penumpukan di luar pelabuhan dengan biaya ditanggung pemilik barang.

Kemudian pada pasal 3 ayat (2) dinyatakan apabila pemilik barang/kuasanya tidak memindahkan peti kemasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut, maka badan usaha pelabuhan (BUP)/operator terminal peti kemas wajib merelokasi barang impor itu dari lapangan penumpukan terminal peti kemas dengan biaya ditanggung pemilik barang.

Jadi, imbuhnya, sesuai beleid itu kalau peti kemas impor sudah SPPB wajib keluar pelabuhan, jangan lagi ditimbun dilini satu pelabuhan guna menjamin dwelling time tetap rendah.

“Namun kami kini justru melihat ada upaya untuk menggagalkan implementasi beleid itu di pelabuhan Priok. Padahal ALFI sudah mengkaji bahwa jika aturan tersebut diterapkan konsisten akan membuat dwelling time yang diharapkan pemerintah tercapai dan biaya logistik juga otomatis ikut turun signifikan,” ujarnya kepada Bisnis pada Kamis (9/11/2017).

Widijanto prihatin dengan tidak berjalannya Permenhub No. 25/2017 itu meskipun sudah ada sistem dan prosedur sebagai juklaknya yang tertuang dalam peraturan Kepala Kantor Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Priok No. UM.008/27/11/OP.TPK.2017 tanggal 9 Oktober 2017 tentang perubahan atas peraturan kepala kantor otoritas pelabuhan utama Tanjung Priok No. UM.008/31/7/OP.TPK.2016 tanggal 10 november 2016 tentang tata cara pemindahan barang yang melewati batas waktu penumpukan (long stay) di pelabuhan Tanjung Priok.

ALFI, kata dia, mengajak seluruh stakeholders di pelabuhan Priok turut mendukung program Pemerintah dalam menurunkan dwelling time dan memangkas biaya logsitik di pelabuhan Priok.

“Operator terminal peti kemas itu bisnis intinya bongkar muat bukan mengandalkan pendapatan dari storage. Sebaiknya semua stakeholders di Priok dapat duduk bersama supaya aturan yang sudah di terbitkan Kemenhub bisa berjalan,” paparnya.

Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok, Dwi Teguh Wibowo mengatakan, masih mengkonsep jawaban atas pertanyaan surat asosiasi pengelola terminal peti kemas Indonesia (APTPI) mengenai sikap instansi tersebut terhadap kegiatan relokasi peti kemas impor yang sudah SPPB atau longstay.

“Nanti saya update, Sekarang masih dikonsepkan oleh kepala bidang terkait .Insya Allah minggu ini sudah ada jawaban,” ujarnya dikonfirmasi Bisnis, Kamis (9/11/2017).

Pada 26 Oktober 2017, APTPI melalui suratnya No. 05/APTPI/OKT-SK/2017 yang ditandatangani Sekjen APTPI Yos Nugroho, mempertanyakan kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok prihal aturan relokasi peti kemas bestatus SPPB ke depo non TPS.

Dalam surat APTPI yang diperoleh Bisnis, asosiasi itu mempertanyakan antara lain; apakah Kantor Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok memberikan izin kepada terminal operator peti kemas dalam penyampaian data peti kemas yang berstatus SPPB dan melewati batas waktu penumpukan kepada pihak depo peti kemas non-TPS.

Sebagaimana diketahui, SPPB adalah dokumen kepabeanan untuk pengeluaran barang dari terminal peti kemas dan secara hukum memiliki risiko yang sangat tinggi dalam tanggung jawab bila terjadi penyalahgunaan data SPPB tersebut.

“Selama ini pihak terminal hanya mendapatkan data dari sistem tempat penimbunan sementara (TPS) online yang terkoneksi dengan sistem billing di terminal dan berfungsi dalam melakukan pencocokan dalam pengeluaran peti kemas,” kutip surat APTPI itu.

APTPI mendukung program pemerintah untuk menyederhanakan proses administrasi yang terukur dalam proses pengeluaran peti kemas dalam upaya menekan dwelling time , namun dalam koridor mekanisme yang efektif sehingga tidak menambah beban biaya logistik bagi pengguna jasa.

Surat APTPI itu diklaim mewakili lima operator terminal peti kemas ekspor impor di Indonesia yakni; Jakarta International Container Terminal (JICT), TPK Koja, Terminal Peti Kemas Surabaya, Terminal.Mustika Alam Lestari (MAL) dan New Priok Container Terminal One (NPCT-1).

Jangan bikin gaduh

Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) mengingatkan Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo) agar tidak membikin gaduh di pelabuhan dengan menyatakan Permenhub No 25/2017 menaikkan biaya logistik.

Peringatan itu disampaikan Ketum DPW Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Widijanto dalam keterangan pers DPW ALFI DKI Jakarta pada Kamis (9/11/2017).

Selain itu, kata Widijanto, Depalindo juga membuat gaduh karena ingin mengubah defenisi dwelling time yang selama ini mengacu pada Bank Dunia dan berlaku secara internasional.

Depalindo ingin kembali menjadikan yard occupancy ratio (YOR) 65% sebagai parameter pemindahan petikemas dari lini satu pelabuhan keluar terminal.

Padahal, kata Widijanto, PM 25 Tahun 2017 pada intinya membatasi masa inap kontainer yang sudah mendapat clearance kepabeanan di lini I paling lama 3 hari. Setelah itu, harus keluar dari pelabuhan untuk menjamin kelancaran arus barang.

“Pernyataan Depalindo yang menyebut pelaksanaan PM 25 Tahun 2017 menimbulkan logistik biaya tinggi tidak meyakinkan. Dasarnya apa, hitung-hitungannya mana kok asal njeplak ngomong tanpa dasar, ” ujar Widijanto.

Ketua DPW ALFI DKI itu juga menyayangkan Ketua Umum Depalindo Toto Dirgantoro yang dinilainya belum memahami definisi dwelling time, namun meminta Kemenhub merevisi PM 25/2017 dan relokasi petikemas mengacu pada YOR di atas 65%. “Itu namanya berpikir mundur,” ujar Widijanto.

Dia mengatakan pola pikir Toto yang juga komisaris salah satu anak perusahaan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo II) ini tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah mendorong kelancaran arus barang di pelabuhan.

Widijanto mengatakan para pemangku kepentingan sudah sepakat pelabuhan bukan tempat menimbun barang, tapi tempat bongkar muat.

“Ini artinya lapangan penumpukan terminal petikemas lini 1 bukan tempat penimbunan barang, tapi sebagai area transit menunggu pengurusan dokumen kepabeanan, kemudian keluar pelabuhan jika sudah dapat surat perintah pengeluaran barang (SPPB) melebihi 3 hari,” ujarnya.

Sebelumnya, Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo) mendesak agar kegiatan pindah lokasi penumpukan atau relokasi peti kemas impor dari lini satu pelabuhan/terminal peti kemas ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok mengacu pada utilisasi fasilitas dan jika YOR di terminal peti kemas mencapai 65%.

Ketua Umum Depalindo Toto Dirgantoro mengatakan sejak adanya Permenhub No. 25/2017 tentang Perubahan atas peraturan menhub No. 116/2016 tentang Pemindahan barang yang melewati batas waktu penumpukan atau longstay di pelabuhan utama Belawan Medan, Tanjung Priok, Tanjung Perak Surabaya, dan Pelabuhan Makassar, beban logistik yang ditanggung pemilik barang justru bertambah.

Pasalnya dalam beleid itu disebutkan penumpukan barang impor hanya dibatasi maksimal 3 hari di pelabuhan dan yang sudah clearance kepabeanan pun atau SPPB seperti diamanatkan dalam beleid itu  mesti keluar dari lini satu.

“Menurut saya, ini tidak menyelesaikan masalah dwelling time, justru berpotensi menambah biaya logistik. Makanya Depalindo minta Permenhub 25/2017 dicabut atau setidaknya direvisi agar pemindahan petikemas mengacu YOR terminal 65%,” ujar Toto. (bisnis.com/ac)

BPTJ: pembatasan truk di jalan tol berdampak positif

Uji coba pembatasan angkutan golongan IV dan V masuk di tol Cikampek-Jakarta pada pukul 06.00-09.00 yang diinisiasi Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ)  mampu mengurangi waktu tempuh perjalanan dan meningkatkan kecepatan perjalanan hingga 15 persen bahkan lebih.

JAKARTA (alfijak): “Ya, kalau sebelum uji coba kecepatan rata-rata hanya 30 km/ jam dengan pembatasan selama tiga jam ini berhasil meningkatkan kecepatan rata-rata menjadi 48 km/ jam,” jelas Kepala BPTJ Bambang Prihartono di Jakarta, Rabu (8/11/2017).

Saat dimulai pelaksanaan uji coba ruas tol Jakarta-Cikampek, kata Bambang Pri, juga terjadi kenaikan kecepatan yang signifikan, meski baru dilaksanakan satu pekan.

Kecepatan rata-rata meningkat dari uji coba minggu 1 ke uji coba minggu 2 yaitu 30-41 km/jam menjadi 48 km/jam dengan speed gun pada km 23. Sedangkan kecepatan rata-rata meningkat dari 56 menjadi 68 km/jam menggunakan RTMS Jasa Marga pada km 26 ruas tol Jakarta- Cikampek.

Namun BPTJ tak cepat puas. Bambang Pri menegaskan pihaknya saat ini tengah mengkaji pembatasan pada jam sama terhadap angkutan barang golongan II dan III.

Cara lainnya adalah melalui dari satu kawasan ke kawasan lainnya tanpa melalui jalan tol, tetapi melalu jalan non tol.

“Sekarang ini dilaporkan, jalan antarkawasan kebanyakan masih ditutup menggunakan portal dan dilarang dilalui. Kami bersepakat jalan tersebut nantinya bisa dilewati,” ungkapnya.

Bila sudah bisa dilalui, ditambahkan Bambang Pri, maka pengurangan jumlah truk dalam ruas tol akan berkurang sangat signifikan, sehingga peningkatan kecepatan juga bisa meningkat.

Untu itu, pihaknya juga meminta kepada pihak kawasan untuk mendukung melalui sosialisasi dengan media spanduk, penyebaran brosur, dan melalui media sosial, terkait rencana pengalihan truk angkutan golongan II dan III ke jalan non tol.

“Nantinya untuk bus premium transjabodebek dan semua bus lainnya juga dapat lebih lancar, dengan menggunakan lajur khusus selama di ruas tol,” kata Bambang Pri.

Dalam keberhasilan ini, Bambang juga mengapresiasi bantuan dari Korlantas, Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), Jasamarga, Aptrindo, Himpunan Kawasan, Asosiasi Logistics dan Forwarder Indonesia (ALFI) dan Organda yang telah bekerja bersama dalam mengurai kemacetan Jabodetabek. (harianterbit.com/ac)