Menteri Koordinator (Menko) bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan meminta Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno, untuk mencopot Direktur Utama PT Pelindo II (Persero) Elvyn G Masassya, jika tidak bisa membenahi sistem logistik di pelabuhan Tanjung Priok.
Pasalnya, kata Luhut, hingga saat ini ongkos logistik di pelabuhan internasional tersebut masih tinggi. Dia mengungkapkan, waktu tunggu bongkar muat (dwelling time) di Pelabuhan Tanjung Priok memang sudah diturunkan menjadi tiga hari.
Meski demikian, mantan Menkopolhukam ini mengaku belum puas dengan capaian tersebut, karena ongkos logistik masih tetap mahal.
“Dwelling time memang berhasil diturunkan tiga hari sekian itu. Tapi saya pribadi belum puas. Karena ternyata kami cek cost-nya masih tinggi,” katanya di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Rabu (14/6/2017).
Awalnya, dia mengira ongkos logistik akan turun seiring dengan dwelling time yang mulai terpangkas. Ternyata, meski dwelling time sudah turun tapi ongkos logistik masih tetap tinggi. Seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) di pelabuhan seakan menikmati hal tersebut.
“Jadi, mereka enggak mau keluar dari comfort zone. Orang menikmati ketidakteraturan di situlah jadi bisa macam-macam,” imbuh dia.
Sebab itu, jenderal bintang empat ini meminta agar ongkos logistik di pelabuhan dapat dituruunkan. Sebab, hingga saat ini inefisiensi di pelabuhan mencpai Rp720 triliun.
“Jadi saya sudah bilang Bu Rini, kalau (Pelindo II) macam-macam ganti saja. We have to make choice,” ujar Luhut.
Penyimpangan manajemen lama
Di tempat terpisah, Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan ada indikasi kerugian negara sebesar Rp 4,08 triliun atas perpanjangan kerja sama pengelolaan dan pengoperasian pelabuhan PT Jakarta International Container Terminal atau JICT antara PT Pelindo II dan PT Hutchinson Port Holding (HPH).
“Berdasarkan hasil investigasi, BPK menyimpulkan adanya berbagai penyimpangan dalam proses perpanjangan kerja sama,” kata Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara saat ditemui di ruang pimpinan DPR, Jakarta, Selasa, 13 Juni 2017.
Moermahadi menuturkan indikasi kerugian yang dialami negara berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia per 2 Juli 2015, yaitu Rp 13.337 per US$.
“BPK menyimpulkan ada penyimpangan dari proses perpanjangan kerja sama yang ditandatangani 5 Agustus 2014.”
Adapun rincian penyimpangan-penyimpangan tersebut yang pertama adalah rencana perpanjangan kerja sama itu tak pernah dibahas dan dimasukkan dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP), serta tak dimasukkan ke Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP).
Padahal rencana perpanjangan ini telah diinisiasi oleh Direktur Utama PT Pelindo II saat itu sejak 2011. “Serta tidak diinformasikan secara terbuka kepada pemangku kepentingan dalam laporan tahunan 2014,” ujar Moermahadi.
Lalu penyimpangan kedua adalah perpanjangan perjanjian kerja sama tersebut terjadi tanpa adanya izin konsensi ke Menteri Perhubungan. Kemudian penunjukkan PT Hutchinson Port Holding oleh Pelindo II sebagai mitra juga dilakukan tanpa melalui mekanisme pemilihan mitra yang seharusnya.
Penyimpangan keempat adalah perpanjangan perjanjian kerja sama pengelolaan dan pengoperasian PT JICT ditandatangani oleh Pelindo II dan HPH, meski belum ada persetujuan di dalam rapat umum pemegang saham dari Menteri BUMN.
Terakhir penunjukkan Deutsche Bank sebagai financial advisor oleh Pelindo II dinilai dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan peraturan perundangan.
Pekerjaan DB berupa valuasi nilai bisnis perpanjangan perjanjian kerja sama itu diduga dipersiapkan untuk mendukung tercapainya kerja sama dengan PT HPH.
sumber: sindonews.com/tempo.co