Arsip Kategori: Bisnis Terkait

Sektor usaha yang terkait dengan asosiasi logistik dan forwarder di Indonesia.

Biaya Logistik RI Belum Efisien, Ini Penyebabnya

ALFIJAK – Kamar dagang dan industri (Kadin) Indonesia mengungkapkan, biaya logistik di Indonesia masih belum efisien lantaran masih salah satu yang tertinggi di negara-negara di Asean.

Oleh karena itu, melalui adanya kebijakan-kebijakan pemerintah, termasuk salah satunya mendorong keuangan untuk infrastruktur diharapkan biaya logistik yang tinggi ini akan menjadi lebih baik.

Hal tersebut dikemukakan Ketua Umum Kadin Indonesia, Rosan P Roeslani, saat pembukaan ajang Indonesia Transport, Supply Chain and Logistic (ITSCL) 2019, di JIExpo Kemayoran pada Rabu (16/10/2019).

ITSCL merupakan sebuah event penting bagi semua pemangku kepentingan, terutama di bidang pemasokan dan logistik.

Dia mengatakan, dengan melihat perubahan teknologi yang begitu cepat, diharapkan sektor logistik bisa memanfaatkannya menjadi hal yang positif. Apalagi, negara-negara lain terus meningkatkan efisiensinya dalam banyak hal, baik dari segi industri maupun sumber daya manusianya.

Menurutnya, program prioritas dari pemerintahan Presiden Joko Widodo ke depan adalah pembangunan sumber daya manusia atau pembangunan human capital yang dibarengi dengan pembangunan infrastruktur yang terus berkelanjutan ke depannya.

Di acara ini, imbuhnya diharapkan semua pelaku usaha bidang ini benar-benar bertukar pikiran, informasi maupun memberikan masukan untuk pemerintah sehingga banyak juga kebijakan-kebijakan pemerintah yang baru yang perlu disosialisasikan kepada pelaku usaha.

“Jadi event ini diadakan dengan harapan mampu menciptakan kesempatan-kesempatan baru pada para pelaku usaha terutama di bidang perhubungan, supply chain dan logistic,” ucap Rosan.

ITSCL 2019 resmi dibuka pada Rabu, 16 Oktober 2019 oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Transportasi Carmelita Hartoto, mengatakan, pertumbuhan sektor transportasi dan pergudangan Nasional masih mencatatkan pertumbuhan positif sebesar 7,01 persen pada tahun lalu.

Menurutnya, capaian ini lebih tinggi dibanding laju pertumbuhan ekonomi Nasional yang hanya mencapai 5,17 persen pada 2018.

Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat kontribusi lapangan usaha transportasi dan pergudangan terhadap PDB pada 2018 mencapai Rp797,3 triliun atau 5,37 persen dari PDB yang bernilai Rp14.837,36 triliun.

“Pertumbuhan sektor logistik diprediksi akan terus melaju kencang pada tahun ini. Pertumbuhan sektor ini tidak lepas dari masih berlanjutnya pertumbuhan aktivitas belanja online atau e-commerce,”ucap Carmelita.

Namun, imbuhnya, efisiensi logistik masih menjadi tantangan besar. Beban biaya logistik Indonesia masih terlalu tinggi, sekitar 24 persen dari PDB.(ri)

Kewajiban B20 rugikan pengusaha logistik

Kewajiban menggunakan bahan bakar biodiesel sebesar 20 persen (B20) dinilai akan merugikan perusahaan transportasi.

JAKARTA (alfijak):Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Kyatmaja Lookman kepada Republika.co.id.

“Pertama tambah boros, kedua perawatan butuh lebih sering,” katanya, Senin (3/9).

Performa bahan bakar ini juga tidak lebih baik dari solar. Jika melihat Cetane Number (CN) atau angka setana biodiesel B20 memang lebih baik dari solar. Namun nilai kalornya tidak lebih baik dari solar.

Dengan begitu tenaga akhir yang dihasilkan kendaraan dengan B20 jauh lebih rendah. Bahkan diakui Kyatmaja, ada truk yang mogok di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Timur, setelah menggunakan biodiesel.

Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) sebelumnya menegaskan jika kendaraan yang menggunakan biodiesel B20 tidak mengalami gangguan.

Pernyataan Aprobi tersebut menurut Kyatmaja tidak relevan karena bahan bakar yang digunakan bukanlah B20 melainkan B5 dan B10.

Pemerintah telah mewajibkan penggunaan biodiesel kepada pelaku usaha. Hal itu tertuang dalam Perpres Nomor 66 Tahun 2018 tentang Revisi Kedua Perpres Nomor 61 Tahun 2015 tentang Program Mandatory B20.

Berbagai masalah yang berpotensi muncul karena penggunaan B20 ini diakui Kyatmaja telah disampaikan. Kewajiban pun mau tidak mau akan tetap dijalankan sesuai dengan kebijakan pemerintah.

Untuk itu, pihaknya harus mengeluarkan biaya tambahan dan memikirkan solusi lain demi menjaga performa kendaraan.

“Ya harus ada tambahan komponen,” ujar Kyatmaja. (republika.co.id/ac)

GINSI tolak uang jaminan kontainer, INSA bersikukuh tetap tagih

Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) tetap menolak kutipan uang jaminan kontainer eks-impor oleh pelayaran asing karena sangat membebani biaya logistik nasional.

JAKART (alfijak): Isu perlunya transparansi pun mengemuka, sementara di sisi lain muncul pula bahwa kutipan tersebut lazim terjadi di pelayaran internasional.

Sekjen BPP GINSI Erwin Taufan mengatakan jaminan kontainer sudah menjadi persoalan di seluruh pelabuhan Indonesia.

“Kami ingin segera ada solusi karena kutipan jaminan itu sangat membebani pemilik barang,” ujarnya dalam Forum Group Discussion (FGD) Uang Jaminan Kontainer Eks-Impor yang digelar BPD GINSI DKI Jakarta pada Rabu (29/8/2018).

FGD itu dihadiri ratusan perusahaan importir di DKI Jakarta, Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok, perwakilan manajemen PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II dan manajemen terminal peti kemas ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok, serta asosiasi terkait di Pelabuhan Priok.

Ketua BPD GINSI DKI Jakarta Subandi mendesak perlunya pihak independen yang menyurvei kerusakan kontainer saat hendak dikeluarkan dari terminal atau pelabuhan.

“Soalnya, alasan pelayaran mengutip uang jaminan kontainer itu kan karena alasan untuk meng-cover kerusakan dan kehilangan, tetapi praktiknya di lapangan kutipan ini cuma jadi bancakan saja karena kontainer tidak rusak juga dianggap rusak. Ini sudah tidak fair bagi iklim usaha,” ujarnya.

Oleh karena itu, lanjutnya, pelayaran asing dan pengelola depo peti kemas kosong eks-impor harus lebih transparan menyangkut terjadinya kerusakan kontainer pasca-importasi itu.

“Pemilik barang jangan diakal-akali, makanya kami mendesak tak perlu ada uang jaminan dan harus ada surveyor independen untuk menilai kerusakan kontainer. Jangan cuma sepihak,” paparnya.

Subandi mengungkapkan kutipan uang jaminan kontainer yang dipungut pelayaran asing kepada pemilik barang di Indonesia rata-rata Rp1 juta hingga Rp1,5 juta per boks.

Kepala Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok Hermanta mengatakan regulasi penghapusan uang jaminan kontainer eks-impor sudah sangat tegas yakni diatur lewat surat edaran Dirjen Perhubungan Laut Kemenhub No. UM.003/40/II/DJPL-17 tanggal 19 Mei 2017.

“Terhadap uang jaminan kontainer yang masih berjalan sampai saat ini masuk kategori pelanggaran hukum dan masuk ranah pidana dan perdata,” ujar Hermanta.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Depo Kontainer Indonesia (Asdeki) Muslan A. R. mengatakan penggunaan uang jaminan kontainer yakni untuk apabila kontainer itu hilang dan apabila terjadi kerusakan.

Dari sisi pengelola depo penyimpanan, tuturnya, pelayaran juga belum meratifikasi aturan sesuai dengan standar internasional menyangkut kriteria kerusakan kontainer sehingga dokumen kerusakan kontainer yang diterbitkan oleh operator depo masih dianggap sebagai dokumen yang lemah.

“Hal ini karena memang pelayaran juga melarang agar dokumen inspeksi/pemeriksaan kontainer (EIR) jangan diberikan kepada forwarder maupun importir,” ujarnya.

Sebelumnya, Indonesia National Shipowners Association (INSA) menyatakan akan menjembatani dan menyepakati jaminan kontainer terhadap kegiatan impor agar tidak berupa uang, melainkan bank garansi mengingat jaminan kontainer merupakan domain business to business (b-to-b).

Ketua Umum DPP INSA Carmelita Hartoto mengatakan jaminan kontainer merupakan praktik yang biasa terjadi di pelayaran internasional dan hal itu bersifat b-to-b.

“Untuk anggota INSA, kami akan menjembatani agar bentuk jaminan kontainer itu tidak berupa uang, melainkan berupa bank garansi,” ujarnya.

Menurut dia, saat ini tidak semua perusahaan pelayaran asing mengutip uang jaminan kontainer kepada pemilik barang impor di Indonesia. (bisnis.com/ac)

CFS Center agar di luar pelabuhan, jalur logistik siap akhir tahun

Layanan kargo impor berstatus less than container load (LCL) pada fasiltas container freight station (CFS center) pelabuhan Tanjung Priok, hingga kini tidak berjalan optimal alias mangkrak lantaran tidak mendapat dukungan maskimal dari pelaku usaha forwarder dan logistik di pelabuhan itu

JAKARTA (aflijak): Berdasarkan pantauan Bisnis, fasilitas pusat konsolidasi kargo atau container freight station /CFS centre di pelabuhan Priok yang berlokasi di gate 9 pelabuhan Priok itu hingga kini tidak ada aktivitas pemasukan dan pengeluaran kargo.

Hanya terpampang loket layanan billing CFS centre pada fasilitas yang sudah di deklair beroperasi sejak akhir 2017 itu.

Adil Karim, Sekretaris Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta, mengungkapkan sejak awal asosiasinya sudah mengingatkan bahwa lokasi fasilitas CFS centre di Priok itu keliru, dan seharusnya kalau mau siapkan fasilitas semacam itu jangan di dalam pelabuhan karena akan menyebabkan kemacetan trafic, tetapi disiapkan di luar pelabuhan.

“Kalau didalam pelabuhan gak efisien karena sekarang saja kondisinya macet apalagi kalau ada CFS centre. Jadi kami rasa para pelaku usaha logistik di Priok juga mempertimbangkan faktor efisiensi itu sehingga gak menggunakan fasilitas CFS centre tersebut,” ujar Adil kepada Bisnis, Sabtu (19/8/2018).

Adil mengatakan, layanan kargo impor bestatus LCL saat ini sudah dilayani di sejumlah fasilitas pergudangan di luar pelabuhan yang masih masuk wilayah pabean dan cukai pelabuhan Tanjung Priok.

“Pada praktiknya, layanan kargo impor LCL yang ada di luar pelabuhan saat ini tidak ada masalah mengingat layanan ini kan sifatnya business to business antara forwarder, pemilik gudang dan pemilik barang. Jadi kalau mau dipusatkan hanya disatu tempat saja cukup sulit,”kata Adil.

Sejak Nopember 2017, PT.Pelabuhan Indonesia II/IPC meluncurkan fasilitas CFS centre di pelabuhan Tanjung Priok yang merupakan bagian program penataan pelabuhan guna mempercepat arus barang impor berstatus less than container load (LCL) dari dan ke pelabuhan tersibuk di Indonesia itu.

CFS center Priok merupakan area pusat konsolidasi kargo untuk barang impor berstatus LCL yang dilayani melalui pelabuhan tersebut setelah kontener dibongkar dari kapal dari terminal peti kemas.

Priok-Cikarang

PT Pelabuhan Indonesia atau
Pelindo II (Persero) berencana membangun proyek Cikarang Bekasi Laut (CBL) untuk mempermudah pengiriman logistik dari Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta ke Kawasan Industri Cikarang, Jawa Barat.

Menurut Direktur Teknik dan Manajemen Risiko Pelindo II, Dani Rusli, selama ini pengiriman logistik dari Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta menuju Kawasan Industri Cikarang hanya melalui Tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) dan kereta api.\

“CBL diperlukan karena tol dan kereta terbatas. CBL ini nanti melewati aliran laut-sungai,” ucapnya saat ditemui di Belitung, Jumat (16/8).

Menurut dia, CBL akan dibangun melalui 3 tahap dengan total kapasitas nantinya mencapai 1,5 TEUs peti kemas per tahun.

Pada tahap pertama, CBL akan dibangun dengan kapasitas 500 ribu TEUs peti kemas per tahun terlebih dulu.

“Kami targetkan bisa dibangun akhir tahun ini tahun ini. Investasi yang kami siapkan Rp 3 triliun untuk pembangunan CBL,” ujar Dani.

Adapun pembangunan CBL tengah dalam proses mengurus perizinan di Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cibitung, Kementerian PUPR. Menengok alur sungai yang akan dilalui kapal logistik, saat ini difungsikan sebagai pengendali banjir.

“Kami proses perizinan penggunaan lahan PUPR, AMDAL juga berjalan. Kami memang fokus bisa dieksekusi tahun ini,” tegasnya. (bisnis.com/kumparan.com/ac)

Penindakan ODOL belum jangkau pemilik barang

Penertiban truk over dimensi dan overload (ODOL) menjadi perhatian serius sejumlah asosiasi dan pengusaha. Sebagai kalangan yang terkena langsung imbasnya, Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) menaruh perhatian khusus terhadap kebijakan ini.

JAKARTA (alfijak): Menurut Wakil Ketua DPP Aptrindo, Kyatmaja Lookman, pada prinsipnya, pengusaha truk yang tergabung dalam Aptrindo mendukung penertiban ODOL tersebut. Hal itu semakin dipertegas dalam pertemuan DPP Aptrindo dengan para perwakilan DPD Aptrindo, pada Senin (13/8).

“Namun, ada sejumlah catatan yang semestinya diperhatikan dan dilakukan pemerintah,” kata Kyatmaja kepada Kontan.co.id, pada Selasa (14/8).

Ia menyebut, setidaknya ada empat catatan yang dituliskan oleh Aptrindo. Yaitu mengenai aturan dan kualitas kelas jalan, daya angkut kendaraan, memfasilitasi harga angkut dengan pemilik barang, serta soal sasaran penindakan.

Mengenai kelas jalan, Kyatmaja menyebut bahwa harus ada upgrade soal kelas dan kualitas jalan.

Ia mencontohkan, apabila kekuatan truk mampu mengangkut 26 ton, sedangkan kualitas jalan hanya mampu menahan 21 ton, berarti ada selisih 5 ton.

“Kalau dari contoh itu kan kita kehilangan 5 ton. Jadi kami usulkan agar ada pemetaan dan perbaikan kualitas jalan dengan kajian yang komprehensif,” terangnya.

Soal daya dan harga angkut, Kyatmaja menyebut bahwa karakteristik barang dengan berat per-kilogram, menjadi yang paling terdampak. Sebabnya adalah soal perbandingan berat dan ruang truk yang tersedia.

“Untuk barang dengan karakteristik hitungan per kilogram, itu pasti terdampak sekali. Contohnya begini, barang yang masa jenisnya berat, tapi truknya belum penuh. Maka ketika harus dikurangi muatannya, truknya jadi nggak full, nggak optimal, truk sebesar itu, muatannya sedikit,” terang Kyatmaja.

Oleh sebab itu, masih ada sejumlah sektor usaha yang keberatan. Kyatmaja menyebutkan, kelompok usaha dari jenis sawit (minyak goreng), gula rafinasi, dan pupuk menjadi contoh tiga jenis usaha dari yang masih berkeberatan.

“Sawit-minyak goreng sebagai bahan pokok, gula rafinasi dan pupuk sebagai bahan penting. Toleransi 50% dinilai belum cukup. Namun sebaiknya, kita bedah dulu ongkos transpor ke harga barangnya seberapa signifikan,” ujarnya.

Sebagai informasi, pemerintah telah menerapkan kebijakan penurunan muatan bagi kendaraan barang yang melebihi 100% dari ketentuan atau ODOL ini pada 1 Agustus lalu.

Dalam catatan KONTAN, merujuk pada keterangan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Budi Setiyadi, saat ini pihaknya masih memberikan toleransi bagi kendaraan dengan muatan berlebih 40%-50% dari aturan yang ada. Misalnya, komoditi semen diberi toleransi 40%, dan logistik sembako 50%.

Kebijakan ODOL ini pun baru berlaku di tiga Unit Pelaksana Pengujian Kendaraan Bermotor (UPPKB) jembatan timbang yang menjadi pilot project. Yakni UPPKB Balonggandu Karawang, UPPKB Losarang Indramayu, dan UPPKB Widang Tuban.

“Jadi sebenarnya tidak perlu khawatir. Tapi temen-temen memang harus mempersiapkan diri,” imbuh Kytmaja.

Soal sasaran penindakan, para pengusaha truk ini mengajukan keluhan. Pasalnya, yang menjadi sasaran lebih ditekankan pada angkutan truk, dibandingkan dengan pengusaha pemilik barang.

“Maunya, penindakan angkutan jangan cuma di pengusaha truknya, tapi di pengusaha pemilik barangnya juga. Diawasi, jadi truknya nggak perlu melanggar. Kalau untuk overdimensi, kami masih galau. Kalau harus dilakukan pemotongan truk, itu memakan waktu dan biaya. Siapa yang akan tanggung? Sedangkan truknya kan kami beli sudah seperti itu barangnya,” tandas Kyatmaja. (kontan.co.id/ac)

Aptrindo lapor ke Menhub tarif tol Priok mahal

Pengusaha truk yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) menyampaikan keluhan kepada Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi soal mahalnya tarif tol langsung Pelabuhan Tanjung Priok, sehingga operator truk lebih memilih jalan arteri untuk kegiatan distribusi kargo via kepelabuhan itu.

JAKARTA (alfijak): “Lihat itu pak Menteri, coba tengok saja di atas tol itu sepi gak ada yang melintas, sementara di bawahnya jalan biasa padat kan,” ujar Gemilang Tarigan, Ketua Umum DPP Aptrindo kepada Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, di lantai 3 Gedung Graha Aptrindo, Kamis, 26 Juli 2018.

Tarigan menyoba membandingkan kondisi ruas kedua jalan itu karena truk memilih jalur arteri demi menghindari jalan tol yang dinilai mahal tarifnya.

“Itu karena truk gak mau masuk tol lantaran tarifnya tolnya mahal banget sampai Rp 45 ribu per truk. Padahal jaraknya dekat. Tolonglah Pak Menteri bisa mencarikan solusi keluhan para operator truk ini,” kata Tarigan menambahkan.

Sejumlah pengusaha truk turut menghadiri acara tersebut. Selain itu juga dihadiri manajemen Pelindo II, Jakarta International Container Terminal (JICT), serta para asosiasi pelaku usaha terkait.

Gemilang mengharapkan tarif jalan tol akses Pelabuhan Tanjung Priok bisa diturunkan secepatnya untuk menggairahkan iklim bisnis logistik dan menekan kemacetan Priok.

Menanggapi hal ini, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan akan membicarakan keluhan pengusaha truk itu dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

“Saya sudah dengar keluhannya dan secepatnya saya akan bicarakan dengan instansi terkait. Itu (tarif tol) wewenangnya kementerian PUPR,” ujar Menhub Budi Karya.

Tagih tarif integrasi

“Ini sudah pernah kami diskusikan dan dari kami sudah minta ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) supaya ini dilakukan perubahan. Yakni perubahan usulan kami bahwa JORR itu diberlakukan tariif integrasi,” kata Gemilang saat ditemui Kontan.co.id di Tanjung Priok, Kamis (26/7).

Kini keputusan menteri pada tarif ini sudah turun, dan kabarnya akan diimplementasikan. Namun, pemerintah tidak kunjung menerapkan tarif integrasi di tol JORR tersebut.

“Kemarin ditunggu karena ada arus balik Lebaran dan katanya selesai arus balik akan diterapkan setelah itu belum juga di terapkan. Kendalanya saya tidak tau, kenapa tidak diterapkan, maka mereka mengevalasi lagi,” jelasnya.

Dia menjelaskan, dengan tarif integrasi sebesar Rp. 30.000 merupakan tarif yang ideal. Namun, untuk penumpang mobil pribadi yang tarifnya Rp 9.500 akan dinaikkan menjadi Rp 15.000.

Gemilang menduga, hal tersebut membuat kendaraan pribadi keberatan melewati tol JORR dengan jarak pendek.

“Jadi kalau menurut saya penerapan tarif integrasi sangat baik karena akan mengurangi kepadatan lalu lintas di tol JORR. Mengenai ini perlu penerapan yang cepat,” harapnya. (kontan.co.id/tempo.co/ac)

Meski indeks naik, logistik masih bekerja terpisah & berjalan masing-masing

Asosiasi Pertekstilan Indonesia meminta pemerintah tidak cepat berpuas diri dengan perbaikan peringkat logistik yang dikeluarkan oleh Bank Dunia.

JAKARTA (alfijak): Ernovian G. Ismy, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), menuturkan dukungan logistik bagi industri manufaktur memiliki peranan penting untuk meningkatkan daya saing. Logistik mendukung bisnis sejak pengadaan bahan baku, kelancaran proses produksi, hingga penjualan akhir.

“Dukungan logistik yang dimaksud mencakup moda transportasi yang meliputi angkutan darat, laut, dan udara, serta dukungan gudang,” ungkapnya di Jakarta pada Rabu (25/7/2018).

Di Indonesia, menurut dia, sistem logistik bekerja dan berjalan terpisah-pisah, masing-masing entitas berusaha mementingkan kepentingan bisnisnya.

“Akibatnya, biaya logistik di Indonesia selain mahal juga lead time-nya masih lama. Akhirnya percepatan lalu lintas arus barang impor dan ekspor tidak terukur. Beban ini akhirnya harus ditanggung industri manufaktur nasional [sebagai komponen harga],” paparnya.

Untuk mempercepat perbaikan bisnis manufaktur nasional dari sisi logistik, dia berpendapat perlu ditetapkan sentral koordinasi sehingga masala logistik terurai.

Pemerintah juga harus menetapkan fokus utama apakah berkutat pada kecepatan dengan membenahi kinerja operator atau berfokus pada biaya dan waktu tunggu yang menuntut perbaikan menyeluruh dalam sistem logistik nasional.

Jangan puas diri

Indonesia belum boleh berpuas diri atas kenaikan peringkat indeks kinerja logistik karena masih kalah dari sejumlah negara Asean.

Berdasarkan Logistic Performance Index (LPI) 2018 yang baru saja dirilis World Bank, Indonesia berada di peringkat 46 dengan skor 3,15 atau naik dari posisi 2016 yang ada di rangking 63 dengan skor 2,98.

Peningkatan tersebut merupakan capaian signifikan meskipun belum dibarengi dengan penurunan ongkos logistik Indonesia yang masih terbilang tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain.

Lembaga riset dan pendidikan Supply Chain Indonesia (SCI) menyatakan walaupun secara keseluruhan peringkat LPI Indonesia membaik, tapi di sisi lain posisi Indonesia di antara negara-negara Asean lainnya justru turun dari peringkat 4 menjadi peringkat 5.

“Indonesia tidak bisa berpuas diri atas peningkatan LPI-nya pada 2018. Perbaikan LPI negara-negara Asean lainnya yang lebih baik menunjukkan peningkatan dukungan logistik yang lebih tinggi terhadap daya saing produk dan komoditasnya,” kata Chairman SCI Setijadi kepada Bisnis.com, Rabu (25/7/2018).

Data LPI 2018 menunjukkan Thailand naik 13 peringkat menjadi rangking 32, Vietnam merangsek ke posisi 39 setelah naik 25 peringkat, Filipina berada di posisi 60 setelah naik 11 peringkat, dan Laos naik 70 peringkat ke posisi 82.

Sementara itu, Singapura turun 2 peringkat ke rangking 7, Malaysia turun 9 peringkat ke posisi 41, Kamboja berada di rangking 98 setelah turun 25 peringkat, dan Myanmar turun 24 peringkat ke posisi 137.

Adapun Brunei berada di rangking 80. Pada 2016, negara di utara Kalimantan ini tidak termasuk negara yang disurvei.

Setijadi menuturkan peningkatan skor Indonesia terutama didukung oleh pertumbuhan dimensi pengiriman internasional (international shipments) sebesar 0,33 poin atau 11,4%, infrastruktur 0,25 poin atau 9,4%, dan ketepatan waktu (timeliness) sebesar 0,21 poin atau 6,1%.

Selanjutnya, dimensi pencarian barang (tracking/tracing) sebesar 0,11 poin atau 3,4% serta kualitas dan kompetensi logistik sebesar 0,1 poin atau 3,3%.

“Sementara itu, dimensi kepabeanan mengalami penurunan 0,02 poin atau 0,7%,” sebutnya.

Menurut Setijadi, analisis per dimensi itu menunjukkan dampak positif di sektor logistik dari hasil pembangunan infrastruktur dan peningkatan konektivitas yang tengah gencar dilakukan pemerintah. Kendati demikian, perlu adanya sejumlah perbaikan agar kinerja logistik Indonesia bisa bersaing terutama dengan negara tetangga.

“Atas penurunan skor dimensi kepabeanan, perlu dilakukan analisis lebih lanjut sebagai tahap awal upaya perbaikannya,” tegasnya.

LPI 2018 menempatkan Jerman di peringkat pertama dengan skor 4,2. Swedia menyusul di posisi berikutnya dengan 4,05 poin, Belgia dengan 4,04 poin, serta Austria dan Jepang dengan 4,03 poin. (bisnis.com/ac)

GINSI dukung penertiban truk ODOL asal tak turunkan muatan

Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) mendukung program penertiban truk yang kelebihan muatan di jalan raya atau over dimensi dan over load (ODOL), menyusul akan digelar operasi penertiban angkutan itu mulai 1 Agustus 2018.

JAKARTA (alfijak): Namun asosiasi pemilik barang impor itu menyampaikan sejumlah catatan yang berkaitan dengan sanksi dalam penertiban truk ODOL tersebut.

Erwin Taufan, Sekjen Badan Pengurus Pusat GINSI, mengatakan upaya pemerintah untuk menegakkan aturan angkutan barang di jalan raya patut diapresiasi semua kalangan pelaku usaha logistik namun juga mesti tetap menjaga keberlangsungan kegiatan logistik nasional.

“GINSI mendukung penertiban truk ODOL namun sanksi atas penertiban itu mesti dilakukan lebih bijak dengan tidak menurunkan kelebihan muatan truk ODOL di jalan,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (25/7/2018).

Dia mengatakan penertiban truk ODOL merujuk kepada aturan yang berlaku saat ini tentang operasional dan kelaikan angkutan berat/truk di jalan raya sesuai Undang-Undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan , serta KM No.14 tahun 2007 tentang Kendaraan Pengangkut Peti Kemas di jalan.

Taufan mengatakan, GINSI mencatat agar penertiban truk ODOL semestinya mempertimbangkan empat  aspek. Pertama, tetap menjamin kelangsungan layanan logistik terutama yang menyangkut kepastian alur distribusi dan keluar masuk barang dari dan ke pabrik/kawasan industri.

'Penertiban truk ODOL jangan sampai hambat arus logistik'
‘Penertiban truk ODOL jangan sampai hambat arus logistik’

Kedua, tidak menerapkan sanksi menurunkan muatan di jalan terhadap truk yang melanggar aturan atau ODOL, karena hal ini bisa berimbas pada menurunnya tingkat kepercayaan bisnis antara pemilik barang dan operator truk.

“Kalau muatannya diturunkan GINSi secara tegas menolak kebijakan ini,” tuturnya.

Ketiga, penertiban truk ODOL supaya dilakukan secara bertahap berdasarkan jenis barang atau komoditinya lantaran tidak semua komoditi yang diangkut trucking melanggar batas maksimum berat dan ukuran.

Keempat, diperlukan penambahan waktu untuk sosialisasi untuk menegakkan aturan terhadap truk pelanggar ODOL tersebut agar seluruh unsur pelaku usaha terkait benar-benar siap.

“Pokoknya pemerintah dan instansi berwenang mesti lebih bijaklah mengimplementasikan program ini. Kami tetap mendukung ada penertiban truk ODOL untuk perbaikan kedepannya, namun layanan logistik nasional jangan sampai terganggu agar cost logistik gak membengkak,” ujar Taufan. (bisnis.com/ac)

‘Penertiban truk ODOL jangan sampai hambat arus logistik’

Indonesia Maritime,Logistic and Transportation Watch (IMLOW) meminta penertiban angkutan truk yang melanggar over dimensi dan over load di jalan raya atau (ODOL), tidak mengganggu kegiatan logistik nasional. Mereka berharap Kementerian Perhubungan dan instansi berwenang tidak gegabah dalam melakukan penertiban.

JAKARTA (alfijak): Menurut Sekretaris Jenderal IMLOW, Achmad Ridwan Tento dalam aturan yang berlaku saat ini operasiol dan kelaikan angkutan berat/truk di jalan raya masih mengacu pada Undang-Undang No: 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Serta KM 14 tahun 2007 tentang kendaraan pengangkut peti kemas di jalan.

“Dalam kedua beleid itu disebutkan, kereta tempelan (chasis dan trailler) dan ban yang digunakan sesuai dengan spesifikasi yang disyahkan dalam pengesahan rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor yakni memiliki tinggi maksimum kendaraan termasuk peti kemas-nya tidak melebihi 4,2 meter,” ujarnya, Kamis (19/7).

Menurut Ridwan, saat ini sekitar 20 persen kegiatan impor di Indonesia sudah memakai peti kemas berukuran high cube (HC) yang memiliki tinggi peti kemas rata-rata 9 kaki 6 inci atau sekitar 2,9 Meter.

Jika ditambah chasis truk yang tingginya rata-rata 1,5 meter maka total tinggi angkutan peti kemas HC diatas truk bisa mencapai 4,4 meter. Atau kelebihan sekitar 30 cm dibanding peti kemas ukuran standar.

“Kalau peti kemas ukuran HC ini kena penertiban ODOL bisa berdampak terganggunya layanan logistik dan mengganggu perekonomian nasional. Jadi aparat penegak hukum mesti berhati-hati dalam hal ini jangan gegabah,” ujarnya.

Lebih lanjut Ridwan mengatakan rencana Kemenhub yang akan menggelar operasi penertiban angkutan truk ODOL mulai 1 Agustus 2018, harus mengantisipasi hal itu.

Pihaknya mengusulkan kepada pemerintah agar segera mengajukan revisi UU no 22 tahun 2009 dan KM 14 tahun 2007 itu. Lantaran jika peti kemas ukuran HC tidak dapat lewat dijalan raya karena pembatasan tinggi 4,2 meter apalagi dengan adanya penertiban ODOL itu, maka harus diumumkan secara internasional.

Karena Indonesia sudah meratifikasi ISO , Convention of Safe Container (CSC) serta Trade Facilitation Agreement (artikel 1, publikasi).

“Saat ini sekitar 20 persen impor kita memakai peti kemas high cube (HC). Karena populasi peti kemas jenis itu untuk kegiatan ekspor dan impor RI kini cukup tinggi dan regulasi peti kemas HC berlaku internasional,” ujar Ridwan.

Menurutnya, jika semua angkutan barang memperhatikan berat kendaraan beserta muatannya sesuai dengan Jumlah Berat yang Diizinkan (JBI) serta ukuran kendaraan sesuai ketentuan, biaya perbaikan kerusakan jalan bisa diminimalisir.

“Dan tingkat keselamatan berlalulintas lebih baik,” pungkasnya. (indopos.co.id/ac)