Arsip Tag: Kementerian Perindustrian

Menperin Ajak Optimalkan Pembelian Produk Lokal

ALFIJAK – Pemerintah menegaskan perlunya mengoptimalkan pembelian produk-produk industri dalam negeri melalui pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah pusat, daerah, hingga BUMN. Hal ini dinilai mampu membangun kemandirian serta ketahanan ekonomi nasional, bahkan berdampak pada ekonomi rakyat bawah.

“Pada Sidang Kabinet Paripurna kemarin, Bapak Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa untuk pertumbuhan ekonomi kita sudah normal dan baik di angka 5,01%. Ini sebuah angka yang sangat baik kalau dibandingkan dengan negara-negara lain, sehingga pertumbuhan ini harus kita pertahankan, dan kalau perlu ditingkatkan pada kuartal kedua,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Selasa (10/5/2022).

Menperin menyampaikan, guna memacu kinerja perekonomian nasional, Presiden meminta kepada menteri yang terkait untuk aktif memonitor belanja-belanja di setiap kementerian, lembaga, pemerintah daerah, dan BUMN.

“Jadi, yang perlu diperhatikan sekali adalah kualitas belanjanya. Sebab, percepatan realisasi belanja ini harus betul-betul disegerakan untuk menjaga konsumsi dan daya beli,” jelasnya.

Agus mengemukakan, saat ini potensi belanja pemerintah pusat dan daerah mencapai Rp1.071,4 triliun, dan Rp400 triliun di antaranya akan diserap melalui belanja produk-produk dalam negeri sepanjang tahun 2022.

“Sampai saat ini, tercatat nilai komitmen pembelian Produk Dalam Negeri (PDN) sebesar Rp216,77 triliun dari 18 kementerian/lembaga, 34 Pemprov, dan 276 Pemkot/Pemkab,” ungkapnya.

Menperin menegaskan, pihaknya bertekad untuk terus  menjalankan program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN). Program ini bertujuan agar produk industri dalam negeri dapat diserap dalam proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah pusat dan daerah, hingga BUMN.

“Sampai 7 April 2022, terdapat 13.891 produk industri dalam negeri dengan nilai tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) lebih dari 40%, dan terdapat sebanyak 7.574 produk industri dengan nilai TKDN antara 25-40%,” sebutnya.

Lebih lanjut, menurut Agus, program P3DN merupakan langkah konkret keberpihakan terhadap industri dan produk dalam negeri guna memberikan kesempatan bagi industri dalam negeri untuk berkembang dan meningkatkan daya saingnya. “Sehingga para pelaku industri kita juga akan mampu bertarung di kancah global,” imbuhnya.

Meskipun dihadapkan pada tantangan dan persaingan global sampai dampak pandemi Covid-19, sektor industri manufaktur masih menunjukkan kinerjanya sebagai penggerak utama perekonomian nasional. Hal ini tercemin pada sejumlah indikator, di antaranya pertumbuhan industri pengolahan nonmigas sebesar 5,47% pada triwulan I tahun 2022 (y-o-y), yang melebihi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,01%.

Berikutnya, kontribusi industri pengolahan nonmigas pada triwulan I 2022 adalah sebesar 19,19%, yang merupakan angka tertinggi di antara sektor lainnya. Selain itu, untuk kinerja ekspor sektor industri, sampai dengan Maret 2022 sudah mencapai USD50,52 miliar, dengan kontribusi yang mendominasi sebesar 78,83% terhadap total ekspor nasional.

“Realisasi investasi di sektor manufaktur mengalami peningkatan, pada triwulan I-2022 tercatat sebesar Rp 103,5 triliun. Selanjutnya, kondisi Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia juga masih mampu berada di level ekspansif, yaitu berada di posisi 51,9 pada bulan April 2022 ini,” pungkasnya.(*)

Industri Pengolahan Sawit Berorientasi Ekspor & Padat Karya

ALFIJAK – Industri pengolahan sawit sebagai salah satu sektor unggulan yang menopang perekonomian nasional. Kinerja ini dibuktikan antara lain melalui kontribusinya sebesar 17,6% terhadap total ekspor nonmigas pada tahun 2021.

“Pada tahun 2021, ekspor produk sawit sekitar 40,31 juta ton dengan nilai ekspor USD35,79 miliar, meningkat sebesar 56,63% dari nilai ekspor tahun 2020,” kata Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arif di Jakarta, baru-baru ini.

Selain itu, industri pengolahan sawit merupakan sektor padat karya, yang telah menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 4,20 juta orang dan pekerja tidak langsung hingga 12 juta orang.

“Peran penting lainnya, industri sawit juga turut menciptakan kemandirian energi melalui biodiesel sehingga menghemat devisa dan berdampak positif terhadap lingkungan,” imbuh Febri.

Program mandatory biodiesel ini juga konsisten dijalankan karena berdampak positif bagi perekonomian.

Sepanjang tahun 2021, program B30 bermanfaat pada pengurangan impor BBM Diesel sebesar 9,02 juta kiloliter. Ini artinya menghemat devisa sekitar USD4,54 miliar atau Rp.64,45 Trilliun. Program B30 juga mampu mengurangi emisi Gas Rumah Kaca sekitar 24,4 juta ton setara CO2.

Menurut Febri, hilirisasi industri berbasis kelapa sawit merupakan salah satu keberhasilan dari kebijakan pemerintah sejak tahun 2007 yang menetapkan sektor ini sebagai program prioritas secara konsisten sampai tahun 2022.

Di samping itu, dalam kurun 10 tahun, ekspor produk turunan kelapa sawit meningkat signifikan, dari 20% di tahun 2010 menjadi 80% pada 2020. Hal ini sesuai target peta jalan pengembangan industri hilir kelapa sawit yang diatur melalui Peraturan Menteri Perindustrian No 13 Tahun 2010.

Bahkan, saat ini terdapat 168 jenis produk hilir CPO yang telah mampu diproduksi oleh industri di dalam dalam negeri untuk keperluan pangan, fitofarmaka/nutrisi, bahan kimia/oleokimia, hingga bahan bakar terbarukan/biodiesel FAME. Sementara pada tahun 2011, hanya ada 54 jenis produk hilir CPO.

Realisasi produksi MGS tahun 2021 mencapai 20,22 juta ton digunakan untuk memenuhi dalam negeri sebesar 5,07 juta ton (25,07%) dan sisanya sebesar 15,55 juta ton (74,93%) untuk tujuan ekspor.

“Dengan angka produksi demikian, kemampuan pasok industri MGS jauh di atas kebutuhan dalam negeri dan menciptakan penerimaan devisa negara yang sangat besar,” ujar Febri.

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, kebutuhan minyak goreng sawit (MGS) nasional tahun 2021 sebesar 5,07 juta ton, terdiri dari kebutuhan curah industri sebesar 1,62 juta ton (32%), curah rumah tangga 2,12 juta ton (42%), kemasan sederhana 0,21 juta ton (4%), dan kemasan premium 1,11 juta ton (22%).

Pemenuhan kebutuhan MGS curah sebesar 1,62 juta ton untuk industri makanan pengguna bahan baku dan/atau bahan penolong MGS kecil kemungkinan menggunakan MGS curah hasil Domestic Market Obligation (DMO) karena biasanya disuplai oleh pabrik MGS milik grupnya dengan harga pasar atau membeli dari pabrik MGS dengan mekanisme Business to Business (B2B).

“Kami meyakini industri makanan pengguna MGS tidak menggunakan MGS hasil DMO,” ujar Febri.

Selain itu, masalah kekosongan pasar MGS merupakan akumulasi dari permasalahan persediaan atau stok MGS sejak bulan Desember 2021, termasuk terjadinya rush buying pada pertengahan bulan Januari 2022.

Hal ini diperkirakan berkontribusi pada kelangkaan MGS di pasar, meskipun pada beberapa minggu terakhir dilakukan tambahan pasokan MGS ke masyarakat hasil perolehan DMO.

“Industri makanan dan minuman juga terus berkomitmen untuk menggunakan Minyak Goreng Sawit (MGS) yang sesuai dengan peruntukannya,” ujar Ketua Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi Lukman.

Lebih lanjut, Adhi menjelaskan, industri makanan yang membutuhkan MGS sebagai bahan baku atau bahan penolong, seperti industri mi instan, industri makanan ringan, dan industri ikan dalam kaleng, membeli MGS dengan mekanisme B2B dengan harga pasar.

“Khusus untuk industri makanan skala UMKM dan/atau IKM masih diperbolehkan membeli MGS dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) sesuai Pasal 4 ayat (2) Permendag No. 6 Tahun 2022 tentang Penetapan HET MGS,” ujarnya.(*)