Persoalan pungutan liar (pungli) dan tindak premanisme di sepanjang jalur transportasi mendapatkan perhatian dari Presiden Joko Widodo. Selasa pagi, 8 Mei 2018, sebanyak kurang lebih 80 orang yang berprofesi sebagai pengemudi truk logistik berkesempatan menyampaikan keluhan yang biasa mereka temui di sepanjang perjalanan kepada Presiden di Istana Negara, Jakarta.
JAKARTA (alfijak): “Di jalanan kita ini masih banyak pungli gak sih? Masih banyak atau tambah banyak?” tanya Presiden memulai diskusi.
Selama pertemuan berlangsung, Presiden Joko Widodo lebih banyak mendengarkan apa yang diutarakan sejumlah pengemudi logistik yang hadir. Presiden tampak tidak dapat menahan keterkejutannya ketika mendengar langsung keluhan-keluhan yang disampaikan.
Setidaknya, terdapat dua keluhan besar yang disampaikan para pengemudi truk dari seluruh Indonesia itu. Pertama ialah mengenai adanya pungli dan tindak premanisme yang biasa mereka temui saat beroperasi.
“Mesti bayar kalau mau lewat jalan. Kalau tidak bayar, kaca pecah. Kalau _gak_ kaca pecah, golok sampai di leher. Kalau _nggak_, ranjau paku. Ban kita disobek,” seorang pengemudi menjelaskan.
Sementara keluhan kedua ialah mengenai peraturan pembatasan tonase yang dikeluhkan sejumlah pengemudi. Menurut pengakuan mereka, para pengemudi sering kali tidak mengetahui batas-batas yang diterapkan peraturan itu.
“Selama ini kami pengemudi ngertinya kan bawa barang, Pak. Kalau tidak bawa barang banyak, ya uangnya tidak ada. Karena ongkos pun kita _gak_ tau batas atasnya di mana bawahnya di mana. Biar kita _gak overload_ terus akhirnya tidak dimintai uang sama Dishub,” ucap salah satu perwakilan.
Terkait keluhan-keluhan ini, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa tindakan pungli dan premanisme itu tidak dibenarkan dan tidak boleh terus terjadi. Selepas pertemuan, ia langsung memerintahkan Kapolri dan Wakapolri untuk menindaklanjuti laporan-laporan itu.
“Saya perintahkan langsung ke Pak Kapolri dan Wakapolri untuk segera ditindaklanjuti. Tidak bisa seperti itu, itu yang pertama meresahkan, menyebabkan ketidaknyamanan, kedua menyebabkan biaya yang tinggi dalam transportasi kita. Ada _cost-cost_ tambahan yang seharusnya tidak ada. Itu dirasakan oleh para pengemudi truk dan itu sangat mengganggu,” ujar Presiden di Istana Negara.
Dirinya juga mewanti-wanti bila ada oknum aparat yang sampai terlibat dalam tindakan pungli dan premanisme di jalanan ini. Menurutnya, sanksi yang akan diberikan akan sama dengan para pelaku pungli di administrasi pemerintahan yang ditangani oleh Saber Pungli (Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar).
“Sama saja, disikat semuanya,” ucapnya.
Adapun mengenai keluhan soal aturan pembatasan tonase kendaraan, Presiden Joko Widodo menganggap hal itu akibat dari kurangnya sosialisasi yang dilakukan Dinas Perhubungan kepada para pengemudi maupun kepada perusahaan-perusahaan. Untuk itu, ia meminta kepada Perhubungan untuk lebih menyosialisasikan aturan-aturan dimaksud.
“Saya kira ada aturan-aturannya. Mungkin perlu sosialisasi agar para pengemudi mengerti, mana yang boleh, mana yang tidak boleh,” tuturnya.
Selepas pertemuan, Kepala Negara juga menerima seorang pengemudi truk yang melakukan aksi jalan kaki dari Mojokerto ke Jakarta untuk menyampaikan keluhan-keluhan para pengemudi truk kepada Presiden.
Agus Yuda, pengemudi dimaksud, diterima langsung oleh Presiden dengan didampingi oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Wakapolri Komjen Pol Syafruddin.
“Tadi dibicarakan sama Bapak Presiden beliau memang sangat kaget bahwasanya masih banyak hal-hal seperti itu membebani kita (pengemudi),” ujar Agus usai pertemuan.
Panggil pelaku usaha
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi berencana memanggil para pelaku usaha guna membahas pengiriman logistik.
Hal itu bakal dilakukan Budi sebagai tindak lanjut pertemuan para sopir truk dengan Presiden RI Joko Widodo di Istana Negara, Selasa (8/5) pagi.
“Supaya sopir jangan resah. Kami akan kumpulkan pengikut barang mengikuti aturan,” ujar Budi Karya di Kompleks Istana Kepresidenan, Selasa (8/5).
Dalam pertemuan tadi, sopir truk mengadu kepada Presiden, Menhub, dan Wakapolri Komisaris Jenderal Syafrudin bahwa dalam menjalankan tugas mengantar barang mereka kerap jadi korban aparat dan premanisme.
Salah satu oleh pihak aparat adalah ketika mereka dimintaka uang karena kelebihan beban dari pada yang diperbolehkan dalam aturan, dan kemampuan normal mobil.
“Kami pengemudi hanya mengerti bawa barang. Kalau enggak bawa barang, enggak ada uang. Minta biar tidak kelebihan berat dan diminta uang sama Dishub. Di jalan jadi korban terus premanisme dan aparat,” keluh seseorang pengemudi kepada Jokowi.
Menanggapi itu, Budi menyatakan para sopir itu adalah korban karena membawa beban berlebih. Ia menilai yang patut dimintai tanggung jawab sebetulnya para pelaku usaha pengiriman barang.
“Dari evaluasi yang kita lakukan, 80 persen truk itu melampaui, kalau tidak batas berat, ya batas volume. Saya harus katakan memang yang jadi korban adalah sopir. Pemilik barang biasanya, inginnya, mengangkut barang sebanyak-banyaknya tanpa memerhatikan daya dukung,” ujar Budi.
Namun, di sisi lain, Budi berharap pengemudi pun mesti tegas pada kemampuan bawaan kendaraannya.
Misal, lanjutnya, pelanggaran yang ditemukan adalah truk berkemampuan 15 ton ternyata membawa barang 20 ton.
Ia mengatakan umumnya pengemudi kerap menyatakan tidak mengetahui hal tersebut kepada petugas perhubungan.
Padahal, sambungnya, pengemudi diyakini mengetahui bobot maksimal sebab tertulis di sisi kanan truk.
“Kalau dibilang tidak tahu, tidak benar. Mereka tahu tapi terpaksa. Membuat kesalahan berjamaah karena si pemilik barang memaksakan,” kata Budi.
Atas dasar itulah, Budi menegaskan akan memanggil para pelaku usaha, juga sebagai tindak lanjut pertemuan para sopir dengan presiden. Menhub juga bakal mengumpulkan seluruh kadishub, serta sopir truk untuk membahas hal ini kembali.
“Saya pikir apa yang dilakukan para sopir adalah masukan yang baik untuk kita, supaya kita saling mengoreksi dan mencari satu bentuk eksekusi dari peraturan yang lebih baik,” ujar Budi.
Terkait aturan beban yang kemudian dipantau lewat jembatan timbang di setiap daerah, Budi menegaskan regulasi tersebut sudah jelas.
“Jembatan timbang itu dengan dasar-dasar baik peraturan tingkat pusat maupun daerah adalah satu bentuk pengaturan yang mengatur berat dan volume,” katanya.
“Memang di beberapa daerah digunakan untuk mendapatkan pendapatan APBD. Kita memang akan menertibkan.”
Salah satu kasus yang vulgar mengenai pungli di jembatan timbang ini terjadi di Jawa Tengah pada 27 April 2014 silam. Kala itu, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo melakukan inspeksi mendadak ke jembatan timbang di Subah, Batang.
Di sana, ia memergoki terjadi pungutan liar oleh petugas. Ganjar pun meradang kala menangkap basah aksi pungli dan menyemprot petugas yang bertanggung jawab di sana. (beritalima.com/cnnincondonesia.com/ac)