Semua artikel oleh Ali Cestar

RI masih butuh fasilitas GSP, Kadin tekankan win-win solution

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita melakukan terus melobi pemerintah Amerika Serikat (AS) supaya Indonesia tetap bisa menikmati fasilitas tarif yang lebih murah lewat skema generalized system of preferences (GSP).

JAKARTA (alfijak): Lewat keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu (29/7/2018), Mendag bertemu dengan Perwakilan Dagang AS, Robert Lighthizer di kantornya di Washington DC, AS. Pertemuan itu merupakan agenda utama kunjungan kerja Mendag sejak awal pekan ini.

“Lighthizer sangat menghargai dan menyambut baik pendekatan pemerintah Indonesia untuk bekerja sama meningkatkan hubungan bilateral kedua negara sebagai mitra strategis. Kerja sama Indonesia AS diharapkan dapat meningkatkan nilai perdagangan kedua negara yang menurut kami masih sangat rendah dibanding potensi yang ada,” kata Mendag.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan total perdagangan Indonesia dan AS pada tahun lalu mencapai 25,91 miliar. Dari jumlah tersebut, ekspor Indonesia mencapai 17,79 miliar dolar AS dan impor Indonesia sebesar 8,12 miliar dolar AS.

Dengan demikian, Indonesia mengalami surplus terhadap Amerika 9,67 miliar dolar AS.

Dalam pertemuan itu, pria kelahiran Cirebon, Jawa Barat itu menyatakan, Indonesia akan meningkatkan ekspor produk-produk Indonesia yang potensial di pasar AS.

Selain itu, Indonesia juga siap membeli bahan baku dan barang modal AS yang tidak diproduksi di Indonesia

“Di dalam ketidakpastian ekonomi dunia saat ini, justru Indonesia proaktif memanfaatkan setiap peluang yang ada. Misalnya dengan mengadakan perundingan perdagangan maupun kerja sama bilateral yang lebih erat antara bisnis dan pemerintah seperti yang kita adakan di Washington DC ini,” ujar Mendag.

Mendag juga mengutarakan, berbagai isu hambatan perdagangan yang menjadi perhatian Indonesia seperti proses peninjauan ulang terhadap Indonesia sebagai negara penerima skema GSP dan pengecualian bagi Indonesia atas pengenaan kenaikan tarif impor produk besi baja dan aluminium AS.

“Permintaan mempertahankan GSP untuk Indonesia tersebut tidak hanya untuk kepentingan industri di Indonesia, tetapi juga juga untuk kepentingan industri di AS karena terkait proses produksi domestik mereka, jadi sebetulnya ini kerja sama win-win,” ujar Mantan Ketua DPP Partai Nasdem itu.

Indonesia masih memerlukan GSP untuk meningkatkan daya saing produk di pasar AS.

Produk-produk Indonesia yang selamaini menggunakan skema GSP AS antara lain karet, ban mobil,perlengkapan perkabelan kendaraan, emas, asam lemak, perhiasan logam, aluminium, sarung tangan, alat musik, pengeras suara, keyboard, dan baterai.

Di tahun 2017, produk Indonesia yang menggunakan skema GSP bernilai 1,9 miliar dolar AS.

Angka ini masih jauh di bawah negara-negara penerima GSP lainnya seperti India sebesar 5,6 miliar dolar AS, Thailand 4,2 miliar dolar AS, dan Brasil 2,5 miliar dolar AS.

“Proses peninjauan ulang saat ini tengah berlangsung, oleh karena itu kunjungan kali ini sangat tepat waktunya dan strategis dalam menegaskan kembali arti penting perdagangan kedua negara,” kata Mendag.

Dalam kunjungan kerja ke AS tersebut, Mendag juga menggalang dukungan berbagai kalangan bagi keterbukaan akses pasar Indonesia, seperti menemui asosiasi importir AS, asosiasi tekstil, AS, hingga anggota kongres AS.

Win-win

Pemerintah Amerika Serikat (AS) tunjukkan sinyal positif pasca melakukan pertemuan dengan Indonesia. Pertemuan tersebut terkait dengan pemberian klarifikasi dari Indonesia mengenai peninjauan generalized system of preferences (GSP).

Pertemuan dengan United States Trade Representative (USTR) hanya dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam ini dilakukan oleh Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita. Sementara pengusaha yang ikut kunjungan lebih berfokus pada hubungan antar bisnis (Business to Business/B2B).

“Rombongan yang bertemu GSP hanya pemerintah, kalau pemerintah bilang pertemuan berlangsung positif,” ujar Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani kepada Kontan.co.id, Minggu (29/7).

Pihak swasta diungkapkan Shinta juga ikut membantu perundingan. Penguatan hubungan bisnis dengan pihak importir AS dilakukan mengingat fasilitas GSP juga akan menguntungkan importir.

Selain itu, Shinta juga mengungkapkan rencana pemerintah untuk membuka akses pasar Indonesia bagi AS. Meski begitu pasar di Indonesia dinilai tidak akan terganggu meski masuk barang dari AS.

“Kita mau kerja sama yang win-win, seperti tekstil kalau kita ekspor maka kita impor kapas dari AS karena kita tidak produksi kapas,” terang Shinta.

Meski telah adasinyal positif, keputusan terkait GSP masih menunggu. Pasalnya saat ini masih terus dilakukan proses peninjuan.

Fasilitas GSP merupakan hak veto dari pemerintah AS. Keputusan terkait GSP nantinya akan diputuskan oleh Presiden AS.

“Hasil pertemuan masih menunggu pastinya karena keputusan diambil oleh Presiden Trump,” ujar Direktur Pengamanan Perdagangan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Ditjen Daglu) Kementerian Perdagangan (Kemdag), Pradnyawati. (inews.id/kontan.co.id/ac)

 

Aptrindo lapor ke Menhub tarif tol Priok mahal

Pengusaha truk yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) menyampaikan keluhan kepada Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi soal mahalnya tarif tol langsung Pelabuhan Tanjung Priok, sehingga operator truk lebih memilih jalan arteri untuk kegiatan distribusi kargo via kepelabuhan itu.

JAKARTA (alfijak): “Lihat itu pak Menteri, coba tengok saja di atas tol itu sepi gak ada yang melintas, sementara di bawahnya jalan biasa padat kan,” ujar Gemilang Tarigan, Ketua Umum DPP Aptrindo kepada Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, di lantai 3 Gedung Graha Aptrindo, Kamis, 26 Juli 2018.

Tarigan menyoba membandingkan kondisi ruas kedua jalan itu karena truk memilih jalur arteri demi menghindari jalan tol yang dinilai mahal tarifnya.

“Itu karena truk gak mau masuk tol lantaran tarifnya tolnya mahal banget sampai Rp 45 ribu per truk. Padahal jaraknya dekat. Tolonglah Pak Menteri bisa mencarikan solusi keluhan para operator truk ini,” kata Tarigan menambahkan.

Sejumlah pengusaha truk turut menghadiri acara tersebut. Selain itu juga dihadiri manajemen Pelindo II, Jakarta International Container Terminal (JICT), serta para asosiasi pelaku usaha terkait.

Gemilang mengharapkan tarif jalan tol akses Pelabuhan Tanjung Priok bisa diturunkan secepatnya untuk menggairahkan iklim bisnis logistik dan menekan kemacetan Priok.

Menanggapi hal ini, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan akan membicarakan keluhan pengusaha truk itu dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

“Saya sudah dengar keluhannya dan secepatnya saya akan bicarakan dengan instansi terkait. Itu (tarif tol) wewenangnya kementerian PUPR,” ujar Menhub Budi Karya.

Tagih tarif integrasi

“Ini sudah pernah kami diskusikan dan dari kami sudah minta ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) supaya ini dilakukan perubahan. Yakni perubahan usulan kami bahwa JORR itu diberlakukan tariif integrasi,” kata Gemilang saat ditemui Kontan.co.id di Tanjung Priok, Kamis (26/7).

Kini keputusan menteri pada tarif ini sudah turun, dan kabarnya akan diimplementasikan. Namun, pemerintah tidak kunjung menerapkan tarif integrasi di tol JORR tersebut.

“Kemarin ditunggu karena ada arus balik Lebaran dan katanya selesai arus balik akan diterapkan setelah itu belum juga di terapkan. Kendalanya saya tidak tau, kenapa tidak diterapkan, maka mereka mengevalasi lagi,” jelasnya.

Dia menjelaskan, dengan tarif integrasi sebesar Rp. 30.000 merupakan tarif yang ideal. Namun, untuk penumpang mobil pribadi yang tarifnya Rp 9.500 akan dinaikkan menjadi Rp 15.000.

Gemilang menduga, hal tersebut membuat kendaraan pribadi keberatan melewati tol JORR dengan jarak pendek.

“Jadi kalau menurut saya penerapan tarif integrasi sangat baik karena akan mengurangi kepadatan lalu lintas di tol JORR. Mengenai ini perlu penerapan yang cepat,” harapnya. (kontan.co.id/tempo.co/ac)

GINSI dukung penertiban truk ODOL asal tak turunkan muatan

Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) mendukung program penertiban truk yang kelebihan muatan di jalan raya atau over dimensi dan over load (ODOL), menyusul akan digelar operasi penertiban angkutan itu mulai 1 Agustus 2018.

JAKARTA (alfijak): Namun asosiasi pemilik barang impor itu menyampaikan sejumlah catatan yang berkaitan dengan sanksi dalam penertiban truk ODOL tersebut.

Erwin Taufan, Sekjen Badan Pengurus Pusat GINSI, mengatakan upaya pemerintah untuk menegakkan aturan angkutan barang di jalan raya patut diapresiasi semua kalangan pelaku usaha logistik namun juga mesti tetap menjaga keberlangsungan kegiatan logistik nasional.

“GINSI mendukung penertiban truk ODOL namun sanksi atas penertiban itu mesti dilakukan lebih bijak dengan tidak menurunkan kelebihan muatan truk ODOL di jalan,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (25/7/2018).

Dia mengatakan penertiban truk ODOL merujuk kepada aturan yang berlaku saat ini tentang operasional dan kelaikan angkutan berat/truk di jalan raya sesuai Undang-Undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan , serta KM No.14 tahun 2007 tentang Kendaraan Pengangkut Peti Kemas di jalan.

Taufan mengatakan, GINSI mencatat agar penertiban truk ODOL semestinya mempertimbangkan empat  aspek. Pertama, tetap menjamin kelangsungan layanan logistik terutama yang menyangkut kepastian alur distribusi dan keluar masuk barang dari dan ke pabrik/kawasan industri.

'Penertiban truk ODOL jangan sampai hambat arus logistik'
‘Penertiban truk ODOL jangan sampai hambat arus logistik’

Kedua, tidak menerapkan sanksi menurunkan muatan di jalan terhadap truk yang melanggar aturan atau ODOL, karena hal ini bisa berimbas pada menurunnya tingkat kepercayaan bisnis antara pemilik barang dan operator truk.

“Kalau muatannya diturunkan GINSi secara tegas menolak kebijakan ini,” tuturnya.

Ketiga, penertiban truk ODOL supaya dilakukan secara bertahap berdasarkan jenis barang atau komoditinya lantaran tidak semua komoditi yang diangkut trucking melanggar batas maksimum berat dan ukuran.

Keempat, diperlukan penambahan waktu untuk sosialisasi untuk menegakkan aturan terhadap truk pelanggar ODOL tersebut agar seluruh unsur pelaku usaha terkait benar-benar siap.

“Pokoknya pemerintah dan instansi berwenang mesti lebih bijaklah mengimplementasikan program ini. Kami tetap mendukung ada penertiban truk ODOL untuk perbaikan kedepannya, namun layanan logistik nasional jangan sampai terganggu agar cost logistik gak membengkak,” ujar Taufan. (bisnis.com/ac)