
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu telah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap salah seorang pejabat eselon III Direktorat Jenderal Pajak, Handang Soekarno (HS). HS ditangkap setelah terbukti menerima uang senilai Rp1,3 miliar dari salah seorang pengusaha.
Hal ini pun sontak berdampak pada kekecewaan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Pasalnya, hal ini terjadi pada saat reformasi perpajakan tengah dilakukan.
“Mereka (pegawai pajak yang bersih) luka, mereka kecewa. Saya luka, saya kecewa,” tutur Sri Mulyani.
Sri Mulyani juga cukup geram dengan terjadinya OTT ini. Bahkan, dirinya mengatakan bahwa hal ini merupakan wujud ketamakan dari pegawai Ditjen Pajak.
“Saya dalam hal ini sudah menyampaikan kepada seluruh jajaran Kementerian Keuangan baik di Pajak , baik di Bea Cukai, Direktorat Jenderal Anggaran, Perimbangan Keuangan, perbendaharaan, bahwa perang terhadap korupsi dan mereka yang memiliki keinginan untuk merusak konstitusi, ini kan ketamakan yang tidak terbatas dalam hal ini,” kata Sri Mulyani.
Menurut Sri Mulyani hal ini tidak dapat diantisipasi dengan memberikan kenaikan gaji pada jajaran pegawai pajak. Sebab, kenaikan tetap tidak akan mengubah niat oknum pegawai pajak untuk melakukan pungutan liar.
“Kalau mau dinaikkan 1.000 kali lipat pun ini enggak akan pernah cukup untuk ketamakan. Saya enggak akan pernah mampu untuk naikkan gaji Rp1 miliar eselon III,” jelasnya.
Sri pun juga menuliskan kekecewaannya dalam secarik surat. Surat ini ia tulis setelah menggelar konferensi pers di KPK. Dalam surat ini, Sri Mulyani meminta kepada pegawai Ditjen Pajak dan Kementerian Keuangan untuk terus meningkatkan layanannya kepada masyakarat.
“Seluruh jajaran dan staf Kementerian Keuangan yang saya cintai dan banggakan. Hari ini kita semua telah dikecewakan dengan kejadian penangkapan seorang kepala subbit di Direktorat Pajak oleh KPK dalam operasi tangkap tangan di Jakarta. Sebelumnya kita juga mendapat berita penangkapan aparat bea cukai oleh Kepolisan RI di Semarang,” tulis Sri Mulyani
“Kekecewaan kita harus kita salurkan dengan bekerja lebih baik lagi dan bekerja keras untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi,” imbuhnya.
Sri Mulyani bahkan juga sempat salah menyebutkan nama Ditjen Pajak menjadi Direktorat Jenderal Korupsi. Disinyalir hal itu dilakukan Sri Mulyani tidak dengan sengaja lantara dirinya terlalu bersemangat dalam berpidato. Meskipun belum lama ini ada satu oknum Ditjen Pajak yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK.
“Banyak hal yang sudah dilakukan oleh Kemenkeu dan utamanya Direktorat Jenderal Korupsi, eh kok Korupsi, Direktorat Jenderal Pajak di dalam melawan korupsi selama beberapa tahun terakhir,” ujarnya sembari tersenyum malu.
Namun, ditengah kekecewaannya, Sri Mulyani kembali mengingatkan kepada para pegawai pajak untuk tetap menjaga integritas. Setiap wajib pajak, dilarang menerima apapun dalam bentuk apapun.
Sri Mulyani berharap, jajaran Ditjen Pajak dapat melakukan evaluasi secara menyeluruh. Reformasi pun perlu dilakukan dengan menggunakan konsep revolusi mental dari Presiden Joko Widodo.
“Tidak boleh beri apapun, dalam bentuk apapun, yang kita perkirakan bahwa dia berhubungan dengan pekerjaan kita. Tidak memberikan atau tidak menerima. Di sesuatu yang kita ucapkan di atas kitab suci, yang ada di samping atau di atas Anda,” imbuhnya.
Pegawai pajak juga diminta untuk mengingatkan layanan kepada para wajib pajak. Meskipun telah menggunakan sistem self assessment, namun peningkatan layanan tetap perlu dilakukan.
Peningkatan layanan ini pun juga perlu dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat yang selama ini mulai pudar terhadap Ditjen Pajak. Tak hanya WP, rasa percaya diri pegawai pajak juga harus dipupuk.
“Tidak hanya menunjukkan bahwa Anda punya komitmen, tapi Anda adalah tulang punggung yang luar bias penting bagi republik ini bagi kepentingan nasional,” pungkasnya.
Komitmen internal
Ketika pemerintah tengah gencar melaksanakan program amnesti pajak dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak dalam APBN dan menyusun basis data perpajakan yang baru, seorang pejabat pajak ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tak urung, penangkapan pejabat pajak ini membuat Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati kecewa. Menkeu pun bertekad tidak boleh ada lagi terjadi korupsi di Ditjen Pajak.
Maklum, peristiwa itu terjadi ketika pemerintah tengah berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak yang memang sangat diperlukan untuk membiayai pembangunan.
Apalagi peristiwa penangkapan yang mencoreng pemerintah itu terjadi di tengah seringnya masyarakat mendapat informasi tentang tindakan korupsi oleh aparat pajak seperti kasus yang melibatkan Gayus HP Tambunan.
KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Handang Soekarno (HS), Kasubdit Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum Ditjen Pajak dan R Rajamohanan Nair (RRN), Direktur PT EK Prima Ekspor Indonesia (EKP). Dari lokasi diamankan uang sebesar Rp1,9 miliar.
Menkeu Sri Mulyani menyatakan ia menyambut positif langkah KPK tersebut dan merupakan sinyal jelas pihaknya dalam memerangi praktik pungli dan korupsi.
“Itu sudah disampaikan kepada jajaran di Kemenkeu. Kami sudah sampaikan peringatan bahwa kini saatnya untuk melakukan perbaikan, kalau tidak, akan ada penindakan dari institusi di dalam sendiri atau akan ada institusi di luar yang bertindak,” katanya.
Menkeu juga menegaskan tidak boleh terjadi korupsi lagi di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) Kementerian Keuangan, terutama di Direktorat Jenderal Pajak.
Karena itu, ia akan memperkuat pengawasan dan melakukan evaluasi terhadap seluruh pegawai sehingga kejadian pegawai yang tertangkap tangan oleh KPK tidak terulang kembali.
Bagi Sri Mulyani, tindakan yang dilakukan oknum Ditjen Pajak itu mencerminkan pengkhianatan terhadap prinsip dan tata kelola yang baik, efektivitas dan kejujuran yang selama ini menjadi nilai-nilai yang dianut oleh Kemenkeu, dalam hal ini Ditjen Pajak.
Menkeu menyebutkan penangkapan pejabat Ditjen Pajak itu merupakan hasil kerja sama KPK dengan Itjen Kemenkeu.
“Informasi awal berasal dari kami, ada unit-unit yang mengawasi di Kemenkeu dan untuk menindak dilakukan kerja sama dengan KPK,” katanya.
Ia menjanjikan pembenahan dalam sistem maupun sumber daya manusia terkait sektor perpajakan, seperti pajak dan bea cukai, agar perilaku korupsi makin berkurang.
Ia mengakui masih ada kerawanan yang terjadi dari sisi penegakan hukum, terutama pegawai yang terlibat dalam pemeriksaan maupun penagihan pajak, karena sebagian besar kasus pelanggaran hukum terjadi dari bagian tersebut.
Untuk itu, ia mengatakan akan ada upaya untuk memperkuat sistem teknologi informasi agar interaksi pegawai dengan wajib pajak (WP) makin berkurang dan tagihan pajak yang disampaikan tidak menimbulkan sengketa maupun persoalan baru.
Namun, ia menegaskan, apabila dibutuhkan interaksi antara pegawai dengan WP terkait pemeriksaan lanjutan, maka diperlukan suatu standar operasi prosedur yang jelas agar proses pengawasan dapat lebih mudah dan berkualitas.
Kaji remunerasi Selain itu, Menkeu juga akan mengkaji ulang Peraturan Presiden (Perpres) No 37 tahun 2015 mengenai tunjangan remunerasi bagi pegawai pajak yang justru menimbulkan beban tersendiri dan tidak memberikan manfaat kepada kinerja, terutama bagi pegawai lapangan.
“Saya berjanji akan melakukan koreksi terhadap Perpres, sehingga insentifnya tidak seperti sekarang ini, kalau level direktur ke atas aman, tapi eselon III justru mereka itu yang mengalami pendekatan dengan wajib pajak. Jadi, kami sudah mendengar ‘feedback’ dan menjadi bahan bagi kami,” kata Menkeu.
Sri Mulyani siap memberikan “reward and punishment” yang seimbang kepada para pegawai pajak maupun bea cukai bagi yang melakukan tindakan pelanggaran hukum dengan mempertimbangkan UU Aparatur Sipil Negara maupun yang berprestasi.
“Saya terus terang tidak pernah segan. Dulu masalah Gayus, bagian unit sampai direkturnya saya copot. Saya tidak akan melakukan hal yang semena-mena. Kita tetap melihat ‘maximum punishment’ dan sinyal yang salah harus ditindak. Tapi jajaran baik harus diproteksi dan ‘reward’ yang sesuai dengan yang diharapkan,” ujarnya.
Kronologi Ketua KPK Agus Rahardjo menyampaikan kronologi OTT pada Senin (21/11) malam di daerah Kemayoran.
OTT dilakukan terhadap R Rajamohanan Nair (RRN), Direktur PT EK Prima Ekspor Indonesia (EKP) dan Handang Soekarno (HS), Kasubdit Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum Ditjen Pajak.
Turut juga diamankan tiga orang staf RRN, masing-masing di Tangerang Selatan, Jakarta, dan Surabaya serta seorang sopir dan ajudan HS.
Pada Senin (21/11), pukul 20.00 WIB terjadi penyerahan uang dari RRN ke HS di kediaman RRN di Springhill Residences, Kemayoran. Usai penyerahan, penyidik mengamankan HS beserta supir dan ajudan pada pukul 20.30 WIB saat ke luar dari kediaman RRN.
“Dari lokasi diamankan uang sejumlah 148.500 dolar AS atau setara Rp1,9 miliar,” kata Agus.
Setelah itu, penyidik menuju kediaman RRN untuk mengamankan RRN untuk kemudian membawa keduanya untuk dilakukan pemeriksaan. Dua staf RRN diamankan di kediaman masing-masing. Selain itu penyidik juga mengamankan staf lainnya di Surabaya Agus menyatakan uang tersebut diduga terkait dengan sejumlah permasalahan pajak yang dihadapi PT EKP antara lain terkait dengan Surat Tagihan Pajak (STP) sebesar Rp78 miliar.
Setelah melakukan pemeriksaan 1×24 jam pasca penangkapan, KPK melakukan gelar perkara antara pimpinan dan seluruh penyidik, dan memutuskan meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan sejalan dengan penetapan dua orang sebagai tersangka.
Sebagai pemberi, RRN disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pasal tersebut mengatur tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
Sebagai penerima, HS disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Yakin berintegritas Menkeu Sri Mulyani meyakini masih banyak pegawai yang memiliki integritas dan bekerja dengan sungguh-sungguh untuk melayani masyarakat.
Ia memastikan langkah-langkah pembersihan terhadap oknum pegawai DJP yang nakal akan terus dilakukan secara konsisten untuk memberikan kepercayaan kepada para pembayar pajak yang patuh.
“Kami akan melakukan secara konsisten, untuk menyampaikan kepada ‘tax payer’ dan masyarakat Indonesia, bahwa kami akan terus melakukan pembersihan di dalam dan kepada pembayar pajak yang tidak membayar pajak,” kata Menkeu.
sumber: okezone,com/netralnews.com